Tidak! Ini pasti hanya kebetulan. Lagian nama seperti dia 'kan banyak. Airin menggeleng, meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa apa yang tengah di pikirkan hanyalah sebuah kebetulan. Gadis itu bangkit, lantas berjalan menuju lantai atas.
Pada akhirnya Airin harus menerima perjodohan dari kedua orang tuanya. Namun, sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah, gadis itu sempat meminta pada sang Ayah agar mengijinkannya bekerja di cafe sampai akhir bulan. Selain ingin berterima kasih pada Nana karena sudah memberinya pekerjaan dan tempat tinggal, Airin juga merasa tidak enak jika harus meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja.
Pak Bagas menyetujui. Tapi dengan syarat, Airin tidak boleh lagi kabur atau berbuat hal yang macam-macam. Jika itu terjadi, maka cafe Nana yang akan menerima akibatnya. Bukan tanpa alasan ayah Airin sampai mengancam, pria paruh baya itu terlalu takut jika anak gadis satu-satunya benar-benar pergi dan mengambil jalan yang salah.
"Oke. Mul
Semua orang yang menyaksikan satu-persatu bubar saat Nana memberi komando. Takut di pecat? Mungkin. Apalagi kedudukan gadis itu sebagai Manager cafe, sekaligus anak dari pemilik tempat mereka bekerja. Dan mau tidak mau mereka hanya bisa saling berbisik satu sama lain di belakang.Airin melangkah gontai ke belakang, mencari tempat persembunyian sementara dari orang-orang yang tadi memergokinya. Bukan takut jadi gunjingan. Tapi, gadis itu tengah menetralkan detak jantungnya yang sejak tadi ingin meledak."Astaga, ada apa dengan jantungku? Dia 'kan cuma orang asing, kenapa bisa berdebar seperti ini?" Menyandarkan tubuhnya ke dinding, gadis itu mengingat kembali sketsa wajah laki-laki yang tadi terjatuh bersamanya. Mata tajam, hidung mancung, serta rahang tegas seakan memukau dirinya sejenak. Airin juga menyadari jika lelaki itu juga tadi memperhatikannya. Hingga pintu terbuka dengan keras, memaksa dirinya harus cepat-cepat bangkit dari posisi y
Malam menyapa, Alex mengendarai mobil dengan santai. Menyusuri jalanan kota yang sedikit lengang, lelaki itu melirik jam di pergelangan tangan, menunjuk pukul sepuluh malam. Alex terlihat lega karena meeting berjalan dengan lancar. Lelaki itu tersenyum sumringah, mengingat proyek besar baru saja dia dapatkan. Alex kembali fokus ke kemudi. Melintasi sebuah jalanan yang sedikit sepi, lelaki itu melihat keributan dari arah depan. Tampaknya seorang supir taksi dan dua orang berkendara sepeda motor sedang bertikai. Alex menepikan mobilnya sejenak, mengamati dari jarak yang lumayan jauh."Cepat, serahkan semua barang berharga milikmu!" teriak seoarng pria berwajah sangar."Maaf, Tuan? Tapi, saya tidak punya barang berharga apapun." Supir taksi terlihat ketakutan. Tadinya dia tidak ingin turun, tapi mereka terus berteriak dan menghalangi jalannya."Alahhh, aku tidak percaya. Cepat! Serahkan! Atau...?" seorang lagi mengarahkan pisau persis di
Alex sudah kembali ke mobil. Lelaki itu diam sejenak, mengatur deru napasnya yang masih tidak beraturan. Mengamati taksi di depan sana yang masih belum bergerak. Alex begitu heran, padahal tadi sang supir sudah berpamitan padanya, ingin segera mengantar gadis yang tadi hampir di lecehkan oleh kedua begal itu. Namun, sudah lebih dari sepuluh menit, lelaki itu malah melihat keduanya keluar dari dalam taksi tersebut."Pak, bagaimana ini?" Airin kebingungan, dengan penampilannya yang seperti ini, tidak mungkin untuknya mencari kendaraan lain. Sedangkan malam sudah mulai larut, ponsel yang dia bawa pun sudah lowbet sejak tadi."Maaf, Nona. Saya akan mencarikan taksi lain untuk Anda." Pak Supir menyesal, karena tidak bisa mengantarkan gadis itu sampai tujuan."Tapi, apa masih ada kendaraan lain yang lewat?"Sang supir diam, mengamati jam di pergelangan tangannya. Lalu dia sadar, apa yang di katakan gadis di depannya ini benar juga. Jam menunjuk pukul dua belas
"Bunda...?" Airin mengerjap, merasakan tubuhnya yang sudah terasa membaik. Tadi, setelah Ayah Bagas menyuruhnya masuk kamar, Bunda langsung mengobati luka-luka di tubuh gadis itu dan memintanya untuk beristirahat.Airin tak bisa menolak, dia pikir akan turun nanti setelah dia mengganti pakaiaannya. Gadis itu ingin menjelaskan semuanya kepada sang ayah, sekaligus berterima kasih pada laki-laki yang telah menolongnya tadi. Tapi, baru saja Airin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, gadis itu sudah tidak merasakan apa-apa lagi.Airin bangkit dari tempat tidur dengan cepat. Gelagapan sendiri, mengingat akan Alex yang tengah di introgasi oleh sang ayah."Kamu mau kemana?" Bunda yang sejak tadi menunggu gadis itu terbangun langsung mencegah, menahan langkah putrinya yang hendak meninggalkan ranjang."Turun, Bun. Mau nemuin Alex."Bunda sampai melongo di buatnya. Apa dia pikir mereka akan membiarkan laki-laki itu tetap disini hingga pagi?
"Sebaiknya perjodohan ini di batalkan." Alex mengulanginya lagi meski dengan kalimat yang berbeda.Papa Wahyu diam sejenak, mencerna ucapan dari Alex yang baru saja dia dengar. Begitupun dengan Bu Lasmi, perempuan paruh baya itu yang tersadar lebih dulu langsung menutup mulutnya tidak percaya.Apa??Brakkkk!Papa Wahyu langsung menggebrak meja keras, hingga terdengar suara sendok dan piring yang saling bersentuhan.Tangannya mengepal hebat, siap melayangkan pukulan pada siapapun yang ada di depannya. Kata-kata macam apa itu! Geram.Seorang pelayan berlari ke arah sumber suara, mengira ada sesuatu yang jatuh. Tapi, ketika melihat situasi yang memanas, langsung berbalik dan memilih meninggalkan tempat itu lagi."Apa maksudmu, hahhh!""Aku minta maaf, Pa? Karena tidak bisa melanjutkan perjodohan ini." Meski melihat sang papa sudah murka, Alex tetap melanjutkan ucapannya."Kamu sadar? Apa yang kamu ucapkan?" Papa Wahyu masih b
"Hallo...? I-iya...?"Sudah tidak tahu sepucat apa wajah Papa Wahyu sekarang, saat mengetahui siapa yang menghubunginya saat ini."Sekali lagi, maafkan aku, Wahyu. Sungguh, aku tidak punya niat sama sekali mempermainmu dan juga putramu. Tapi ini benar-benar murni kesalahan putriku. Aku hanya tidak ingin setelah menikah nanti, putramu akan menyesal. Sekali lagi, maaf. Aku harap pertemanan kita tidak akan putus sampai disini."Sumpah demi apa, Papa Wahyu sampai menjatuhkan telepon yang sejak tadi dia gengam. Hingga benda itu jatuh begitu saja menyentuh lantai. Bibik pelayan rumah yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu, langsung bergegas menghampiri majikannya."Tuan? Anda tidak apa-apa?"Pria paruh baya itu masih bungkam, tangannya pun masih menggantung di udara, "Bik, Katakan. Apa saya sedang bermimpi?"Yang di tanya melongo heran, menatap wajah sang majikan ada di depannya."Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya Bibik sekal
Malam itu, Elisa yang tengah berguling di bawah selimut harus segera beranjak, menemui laki-laki yang sudah menunggunya di teras depan."Maaf, Nona, ada Tuan Roy di depan," ucap salah satu pelayan di rumahnya."Kak Roy?" Wanita itu segera bangkit, merapikan sedikit rambutnya yang berantakan, lalu melangkah menuruni anak tangga.Sampai di pintu depan Elisa sempat berhenti, menimbang lagi langkahnya yang terasa berat. Dalam hati Elisa terus bertanya, ada apa dengan Roy, hingga malam-malam datang kesini?"Kak...?" panggil wanita itu, setelah berhasil membuka pintu rumahnya. "Ayo masuk."Roy yang tadi tengah duduk langsung beranjak, menatap ke arah sumber suara, lalu mengamati penampilan Elisa malam ini.Kenapa dia terlihat bertambah cantik?Roy berbisik sendiri di dalam hati, sejenak dirinya terdiam. Masih dengan posisi yang sama, laki-laki itu terus memandang ke arah Elisa."Ayo masuk, kenapa menunggu di luar?" ajak Elisa s
Bu Lasmi dan Papa Wahyu sudah berdiri di samping mobil tengah menunggu Alex yang masih bersiap di dalam. Hari ini, tepatnya seminggu setelah kejadian itu, Papa Wahyu mendesak Alex untuk segera mengenalkan mereka kepada keluarga besar sang gadis. Gadis yang tidak sengaja Alex selamatkan dari percobaan pemerkosaan, lalu akhirnya Alex sendiri yang harus bertanggung jawab, karena ayah gadis itu mengira Alex lah laki-laki yang hendak menodai putrinya."Lex..?" Perempuan paruh baya itu kembali bersuara untuk yang ke dua kalinya. Memanggil nama sang anak yang tak kunjung keluar dari dalam rumah.Sebenarnya apa yang laki-laki itu lakukan, hingga berdandan selama ini...Tidak sabar, akhirnya Papa Wahyu kembali melangkah memasuki rumah. Mencari keberadaan Alex, pria paruh baya itu langsung menuju kamar pribadi putranya."Apa yang kau lakukan? Kenapa lama sekali!" Papa Wahyu menggedor pintu keras, membuat seseorang yang berada di dalam sana sampai terlonjak.
"jadi, maksud Anda istri saya sedang hamil?" Roy mengulangi pertanyaan untuk yang ke sekian kalinya. Menatap tak percaya pada Elisa yang ada di sebelahnya dengan pandangan sama-sama bingung."Iya, Tuan, istri Anda sedang hamil, dan usia kandungannya baru berumur empat minggu.""Apa, Dok? Saya hamil?" Elisa terlambat merespon, di raihnya hasil USG yang ia sendiri tidak paham dengan apa yang tertulis di dalamnya, "Ini beneran kan, Dokter?""Benar, Nona." Dokter pun meyakinkan sekali lagi, bahwa hasil test itu memang benar adanya."Tapi, kenapa usia kandungannya berjalan empat minggu?" Roy kembali menyahut, seingatnya ia berdamai dengan Elisa dan baru melakukan hubungan badan sekitar tiga minggu yang lalu, tapi....?Roy menatap bingung dengan penjelasan Dokter tadi, sempat ada rasa curiga dari pancaran mata lelaki itu. Bagaimana bisa?"Tidak mungkin Dokter, kami melakukannya baru tiga minggu yang lalu, ini kenapa bisa? Atau jangan-jangan----...
"Jangan lupa Kak, belikan aku somay." Isi pesan dari istrinya, membuat Roy mengernyit heran, sejak kapan Elisa suka dengan makanan itu? Bukankah yang ia tahu Elisa kurang suka dengan makanan apa saja yang berbahan ikan. Lelaki itu tidak membalasnya, tapi ia tetap membelikannya untuk Elisa.Roy memacu mobilnya kembali setelah mendapatkan apa yang di minta istrinya. Lelaki itu tiba di halaman depan dan bergegas mencari di mana keberadaan wanita itu."Bik, di mana Elisa?"Bibik yang sedang berada di dapur langsung berbalik, menatap heran sang majikan yang biasanya masih ada di kantor."Nona ada di taman belakang, Tuan.""Oh ya Bik, tolong pindahkan ini ke piring, lalu antarkan segera ke taman." Roy menyerahkan sebungkus somay yang ia bawa, lalu melangkah menuju taman belakang."Kak, kamu udah sampai?" Elisa terlihat berbinar, di letakkan ponsel yang ia pegang, lalu matanya menyipit ke arah kedua tangan suaminya. "Mana pesananku? Tidak ada kah?"
Hari-hari selanjutnya di lalui Elisa dengan sangat manis. Mereka mencoba saling memperbaiki diri dan memulainya kembali dari awal. Pernikahan mereka yang semula hanya status kini benar-benar layaknya pernikahan normal seperti biasa. Keduanya sama-sama menerima apapun kelebihan atau kekurangan dari diri mereka masing-masing."Kak, kapan kita mau jemput Rey?" tanya Elisa suatu pagi. Ini kali ketiganya wanita itu menanyakan, setelah beberapa hari yang lalu selalu Roy abaikan."Iya nanti. Kamu sabar dulu ya? Aku masih ada kerjaan penting yang nggak bisa di tinggalin." Selalu saja jawaban itu yang suaminya berikan. Sabar, sabar. Sampai kapan?"Kalau Kakak memang nggak bisa ninggalin kerjaan, bagaimana kalau aku aja yang jemput Rey sendiri?" Elisa mencoba bernegosiasi. Jika ia harus menjemput putranya sendiri, sebenarnya tidak masalah. Tapi lelaki itu yang selalu menghalanginya."Tunggu aku, El? Nanti kita pergi sama-sama." Lelaki itu terlihat sudah rapi. Di pe
"Ayo, Nak? Katanya mau ketemu Mama?" Aditya mengingatkan pada gadis kecil tentang tujuannya datang ke sini, lagi pula pria itu merasa tidak enak sendiri saat menyadari kalau ada wanita cantik di sebelah sana yang sejak tadi terabaikan keberadaannya."Tapi Alya masih pengen sama Ayah Roy," rengek bocah itu manja. Alya benar-benar terlihat enggan melepaskan lelaki itu yang sejak tadi menggendongnya."Sini sama Ayah Adit gantian, kasiah tuh Ayah Roy capek, kan sejak tadi udah gendong Alya."Gadis itu memandang wajah Roy sejenak, lalu segera bergerak turun dari gendongan lelaki itu. "Tapi Ayah janji kan, mau nengokin Mama lagi?"Roy hanya mengangguk setuju menjawab pertanyaan Alya. Sejujurnya ia kasihan dengan gadis kecil itu, tapi mau bagaimana lagi, Alina memang harus di rawat agar bisa segera sembuh.Aditya dan Alya kembali menyusuri lorong menuju kamar di mana tempat rawat untuk Alina. Keduanya sama-sama terlihat sedih melihat seorang yang sangat d
Elisa melangkah mendekati keduanya, lalu melipat kedua tangannya santai. "Sudah, nostalgianya?" ucap wanita itu sinis. Pandangannya masih tidak bersahabat pada sosok lelaki yang baru saja kemarin menyatakan cinta padanya."Kenapa kalian tidak balikan saja? Kalian cocok kok, yang satu penggoda dan satunya lagi..... PENGHIANAT!""El...!""Apa!!" Emosi wanita itu sudah memuncak, hingga ia tanpa sadar berteriak dan mengundang perhatian para penghuni tempat itu."Apa Kak Roy sengaja, ngajak aku ke sini untuk melihat keromantisan kalian berdua?""El, ini tidak seperti apa yang kamu lihat. Percayalah." Roy mendekati Elisa, meraih tangan wanita itu, namun segera di tepisnya dengan kasar."Lihat apa? Aku bukan anak kecil, Kak? Jika kalian ingin berbalikan, kenapa mengajakku kemari?" Elisa juga terlihat menangis. Bagaimana ia tidak sakit hati mendengar ungkapan Alina tadi yang menunjukkan betapa dekatnya mereka berdua."El, kumohon, berhentilah
Tiga hari berlalu, luka di tangan Rengganis sudah membaik dan hari ini dokter mengijinkannya untuk pulang. Perempuan itu bersiap-siap di bantu Arya yang sudah sejak pagi tadi datang menjemputnya untuk membereskan semua barang yang sudah di pakai selama berada di rumah sakit."Apa ada yang tertinggal?" tanya Arya saat keduanya hendak melangkah keluar. Di tatapnya wajah sang istri yang terlihat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan kedua anaknya yang selama tiga hari ini jarang ia temui."Ada."Langkah Arya terhenti, sejenak menatap ke belakang menyapu seisi ruangan yang sudah kosong. "Apa?" tanya lelaki itu bingung."Hatiku yang tertinggal. Di sini." Rengganis menyentuh dada bidang Arya, membuat sang pemilik tersenyum senang mendengarnya."Tiga hari di rumah sakit, kenapa kamu jadi pintar merayau?""Memangnya salah, merayu suami sendiri?" Perempuan itu mengerlingkan sebelah matanya, membuat sang suami gemas dan mendadak mende
"Tan-te....?""Kamu...! Wanita tidak tau malu!" maki Mama Anggi seketika saat melihat siapa orang yang tiba-tiba saja masuk. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk keluar dan lebih tertarik untuk melampiaskan emosinya kepada wanita yang menjadi sumber semua masalah."Tan-te, maaf....?" ucap Elisa menunduk. Wanita itu meremas ujung kain yang membalut tubuhnya dan menyiapkan hati untuk menerima apapun yang akan perempuan itu ucapkan."Mau apa kamu datang kesini! Belum puas menyakiti menantuku?" Pandangannya menajam, seakan sebuah belati yang siap menguliti tubuh wanita itu."Ak-aku hanya ingin minta maaf, Tante.""Minta maaf? Cih, lalu nanti kamu akan mengulanginya lagi? Setelah semua yang kamu lakukan pada mereka, apa menurutmu masih pantas mendapatkan maaf?""Ma...? Tolong jangan berbicara seperti itu?" cegah Papa Pratama dari arah belakang, pria itu menghampiri istrinya dan menahan tubuh perempuan itu agar tidak semakin menyudutkan Elisa.
"Jelaskan semuanya ke aku, Kak?" Elisa masih saja menghujani Roy dengan berbagai pertanyaan,, terutama mengenai ucapan Alina yang sukses membuatnya malu di depan umum.Bagaimana tidak, setelah Alina mengatakannya, tatapan semua orang langsung mengarah padanya. Meski setengah berbisik, tapi Elisa sedikit bisa mendengar gunjingan dari orang-orang yang menyaksikan perdebatan tadi."Kak...!" Entah sudah keberapa kali wanita itu berteriak, namun Roy masih saja bungkam dan tidak sama sekali memberi jawaban. Seharusnya Elisa tau kalau semua juga berawal dari dirinya yang membuat jarak begitu jauh dengan suaminya sendiri. Bahkan ia tidak mau sedikitpun di sentuh oleh lelaki itu.Kini Elisa dan Roy tengah berada di sebuah ruang perawatan. setelah Dokter memeriksanya tadi, beruntung tidak ada sedikitpun luka yang di temukan di tubuh wanita itu, Dokter pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua."Kak...!""Stttt....! Jangan berisik, El? Nanti mengganggu yang
Sementara di dalam toilet, antara Elisa dan Rengganis tengah terjadi ketengangan. Semua terjadi bukan berasal dua wanita cantik ini, tapi karena seorang perempuan yang tiba-tiba saja muncul dan hendak melukai Elisa."Lepas! Kau gila ya!" Elisa memaki, menahan garpu yang hampir saja melukai wajahnya."Ya, aku gila! Aku memang gila, kau mau apa, hahh!" Perempuan itu sudah seperti kerasukan iblis, ia menempelkan garpu runcing itu tepat di leher Elisa setelah tadi gagal melukai wajah wanita itu."Lepas!"Saat itu Rengganis juga tengah berada di salah satu bilik toilet, ia yang mendengar ke gaduhan langsung mengintip keluar, tubuhnya bergetar, detak jantungnya berpacu dengan cepat saat melihat pemandangan dari balik pintu."El-lisa...?"Rengganis kebingungan. Jika ditanya apa dia masih membenci wanita itu? Tentu saja masih, tapi melihat keadaannya sekarang sangatlah berbeda. Kini yang ada di depannya bukan perkara soal Elisa yang dulu hendak mere