Hari itu hari yang cerah. Tan Hoat menyusuri padang rumput di sebuah desa terpencil. Perintah dari Ciangbunjinnya yang baru, sudah diketahuinya. Cara anggota Bu Tong menyampaikan berita memang unik. Jika pusat perguruan menurunkan perintah atau berita, maka cukup satu orang saja membawa kabar itu ke sebuah desa di kaki gunung. Tidak sampai 5 hari, berita itu sudah tersebar luas di kalangan Bu Lim (kalangan kaum persilatan). Kebesaran dan ketenaran Bu Tong-pay memang jarang ada bandingannya.
Berita-berita rahasia juga disampaikan dengan cara yang unik. Para murid Bu Tong-pay memiliki sandi-sandi rahasia dan bahasa-bahasa tertentu yang hanya bisa dipahami mereka. Setiap angkatan memiliki sandi rahasia tersendiri. Biasanya, sandi atau pesan-pesan rahasia ini tertulis di tempat yang sering dilewati orang, namun tidak mudah untuk diperhatikan.
Begitulah cara mereka bertukar berita. Begitu pulalah cara Tan Hoat menerima berita kematian sang Guru Besar, beserta perintah untuk mencari murid. Sebenarnya, ia ingin pulang secepatnya untuk menziarahi makam sangGuru Besar, namun perintah Ketua Lau mengharuskannya mencari murid terlebih dahulu. Sebelum mendapatkan calon murid hebat, maka para murid angkatan ke-3 ini tidak diijinkan naik ke BuTong-san (gunung Bu- Tong).
Perasaannya sedih sekali. Kecintaan rakyat jelata kepada mendiang Thio Sam Hong saja, sudah besar sekali. Apalagi kecintaan para muridnya sendiri. Itulah mengapa Tan Hoat merasa terharu dan sedih sekali. Sepanjangjalan, ia mendengar nama Thio Sam Hong disebut-sebut dengan penuh rasa hormat. Dimana-mana, orang-orang memujinya. Dimana-mana, orang-orang berdoa untuk kedamaian arwah Thio Sam Hong.Sebagai murid Bu Tong, Tan Hoat merasa bangga dan terharu.
Kabar beritanya sendiri, ia lihat melalui goresan pedang di pintu sebuah rumah makan di kotaraja. Goresan pedang itu kecil saja, tidak akan terlihat jika mata tidak awas. Tapi sebagai murid Bu Tong angkatan ke 3, hal-hal begini sudah menjadi bagian hidupnyasehari-hari.
Membaca pesan-pesan rahasia itu hatinya bagai teriris-iris. Tapi sebagai pendekar, ia sudah mampu menahan perasaannya. Ia tidak meneteskan airmatanya di tengah keramaian. Ia berlari secepatnya. Namun begitu sampai di luar gerbang ibukota, air matanya tumpah bagai air bah.
Butuh waktu lama sekali bagi Tan Hoat untuk menguras air matanya. Setelah merasa tenang dan kuat, ia melanjutkan lagi perjalanannya. Kali ini, ia punya tugas baru dari sang Ciangbunjin (Ketua). Mencari murid baru. Padahal ia sedang dalam perjalanan menumpas perampok-perampok yang mulai berani menggerayangi ibukota.
Tan Hoat memutuskan untuk mengunjungi rumah salah seorang kerabatnya, bernama Cio Kim. Cio Kim adalah sahabat lama Tan Hoat sejak mereka masih kecil. AyahCio Kim adalah salah seorang pemimpin pasukan perlawanan yang berhasil mengusir penjajah. Ia berpikir, mungkin ayah Cio Kim belum mendengar kabar meninggalnya Thio Sam Hong.
Rumah Cio Kim berada di sebuah desa yang terkenal. Para penghuni desa ini adalah para petani yang berhasil membangun pertanian mereka menjadi sebuah perdagangan yang lumayan besar. Mereka membentuk perkumpulan tani yang berhasil mengurusi hasil tani mereka dengan baik. Pengelolaan yang baik ini membuat desa mereka makmur dan sangat terkenal di Tionggoan (China daratan).
Bagitu menyusuri padang rumput yang luas, Tan Hoat teringat pada masa kecilnya. Ia adalah anak seorang petani. Keluarganya bukan asli orang desa itu, tapi merupakan perantauan dari daerah lain. Karena mendengar nama desa itu yang terkenal, ayahnya memutuskan untuk memboyong keluarganya ke sana dan mulai berusaha di sana.
Di sanalah Tan Hoat yang baru berusia 10 tahun itu bertemu dengan Cio Kim. Mereka yang masih seumur memang langsung akrab. Setelah itu mereka menjadi sahabat dekat. Ayah Cio Kim adalah kepala desa.
Pergolakan perang pengusiran bangsa Goan, membuat ayah Cio Kim, yang bernama Cio Hong Lim bergabung dengan tentara perlawanan. Dengan bakat dan kecerdasannya, Cio Hong Lim malah mempunyai pangkat tinggi dalam ketentaraan itu, padahal ia tidak bisa ilmu silat.
Cio Hong Lim memiliki otak yang sangat cerdas, sehingga ia diangkat menjadi ahli strategi. Ia bahkan menjadi salah satu tokoh penting berhasilnya pengusiran itu. Tidak seperti kebanyakan orang, ia memilih mundur dari jabatannya setelah perjuangan selesai. Ia memilih bertani, membangun perkumpulan petani yang dulu sempat terbengkalai di jaman perjuangan itu. Usahanya kemudian berhasil. Desanya berkembang lagi. Sejak saat itu, Cio Hong Lim menjadi orang yang termasuk kaya. Kekayaan yang didapatkannya secara jujur, melalui kerja keras.
Saat berusia 15 tahun, Tan Hoat kehilangan kedua orangtuanya. Ibu Tan Hoat meninggal lantaran sakit. Beberapa bulan kemudian, ayah Tan Hoat juga meninggal. Kepergian Tan Leng, ayah Tan Hoat itu, mungkin disebabkan rasa cintayang mendalam dan kesedihankarena ditinggal sang istri. Tan Hoat yang telah menjadi yatim-piatu, kemudian diasuh oleh keluarga Cio selama hampir setahun. Oleh Cio Hong Lim, Tan Hoat dikirimkan ke perguruan Bu Tong-pay. Posisi Cio Hong Lim dulu saat menjadi ahli strategi, membuatnya dekat dan kagum dengan para pendekar Bu Tong. Cio Hong Lim sendiri, walaupun tidak menyukai ilmu silat, mempunyai pandangan yang luas. Ia melihat Tan Hoat memiliki bakat untuk mempelajari ilmu silat, sehingga mengirimkan anak itu ke Bu Tong.
Cio Hong Lim tidak memaksakan pandangannya yang anti ilmu silat itu terhadap Tan Hoat. Bahkan juga kepada anaknya semata wayang,Cio Kim. Namun Cio Kim memang tidak memiliki bakat ilmu silat. Cio Kim malah memiliki ketertarikan kepada sastra. Cio Hong Lim mengirimkannya belajar ke ibukota, hingga berhasil mendapat gelar Siucai (Sastrawan).
Kini Tan Hoat sudah berusia 32 tahun. Ia belum menikah. Pada jaman itu, usia begitu sudah dianggap sangat terlambat untuk menikah. Tan Hoat sendiripun tidak peduli. Walaupun tidak ada larangan menikah bagi anggota Bu Tong angkatan ke-3, Tan Hoat sendiri memang lebih suka menjadi bujang. Menurutnya, itu malah membuatnya bisa lebih bebas dan tidak terikat.
Walaupun sudah menjadi murid Bu Tong-pay, Tan Hoat masih sempat mengunjungi desa itu beberapa kali. Yang pertama, saat ia menemani salah seorang gurunya mengerjakan sebuah keperluan. Yang kedua, saat ia menjadi murid angkatan ke-3 dan turun gunung untuk pertama kalinya. Itu sudah 7 atau 8 tahun yang lalu.
Desanya pun tidak banyak berubah. Walaupun ini desa yang makmur, penduduknya tidak serta-merta langsung berubah gaya hidupnya bagaikan saudagar kaya. Memang ada beberapa yang seperti itu. Namun sifat sebagian besar penduduknya yang sederhana, membuat desa itu tetap asri, walaupun diakui sebagai salah satu desa yang paling makmur di Tionggoan.
Setelah melintasi padang rumput, kini Tan Hoat menyusuri jalan setapak menuju desanya. Tadi saat di padang rumput, desanya telah terlihat dari kejauhan. Kini semakin dekat, rasa haru yang ada di hati Tan Hoat semakin menguat.Begitu sampai di gerbang desa, ia sudah disambut oleh beberapa penduduk yang sedang menggarap sawah. Sebagai ‘bekas’ penduduk desa itu, apalagi murid perguruan Bu Tong, ia memang lumayan dikenal di desa itu.Setelah mengucap salam dan menanyakan kabar orang-orang yang tadi menyapanya, ia menanyakan kabar keluarga Cio.Wajah orang-orang itu segera berubah. Kata mereka, “Tan-tayhiap (Pendekar Besar Tan) belum dengar? Wah, kalau begitu, Tayhiap secepatnya saja kesana.”“Memangnya ada apa?” tanya Tan Hoat penasaran.“Lebih baik Tayhiap kesana dulu. Nanti pasti ada yang bercerita disana....,” jawab salah seorang penduduk desa dengan wajah khawatir.Penasaran, Tan Hoat segera menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh). Nalurinya sebagai seorang pendekar mengatakan ba
Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-orang desa. Cio San masih tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah. Sedikitnya Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati anak itu.“Cio San..,” kata Tan Hoat, “Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayah-ibumu, bukan? Mulai sekarang aku adalah gihumu”.“Iya, Gihu....,” kata Cio San.“Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah aku ke Bu Tong. Kau akan kuangkat menjadi muridku,” kata Tan Hoat perlahan.Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada, “Gihu..., Gihu adalah orang yang paling ‘anak’ hormati. Ayah dan Ibu sudah sering bercerita tentang Gihu”.Lanjutnya, “Bukannya ‘anak’ kurang ajar, tetapi ‘anak’ tidak menyukai ilmu silat. Ayah pun sering mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik. Gihu, ampuni ‘anak’...”Tan Hoat hanya memandangnya kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil ini sudah begitu paham adat dan sopan santun.Cio San lalu melanjutkan lagi, “Apakah boleh ‘anak’ belajar i
“Lalu, Nikow Bi Goat itu berasal dari golongan mana?” tanya Tan Hoat.“Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu, termasuk di luar Go Bi-pay. Karena beliau sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Go Bi-pay sebelumnya,” jawab Cio San.“Memang dari yang ‘anak’ dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak Ciangbunjin terdahulu. Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada yang berani melawan. Saat beliau meninggal dan menunjuk penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.”“Ah.. Kacau juga ini...... Eh, lalu kau tahu cerita ini dari siapa?” tanya Tan Hoat lagi.“Ayah dan Ibu sering mengobrol,” jawab Cio San.“Lalu kau mencuri dengar, bukan?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.Cio San hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil tersenyum. “Anak nakal. Lain kali, kau tidak boleh begitu. Laki-laki sejati tidak mencuri. Tidak mencuri barang orang, tidak mencuri istri orang, tidak juga mencuri dengar pembicaraan orang.”“’Anak’ mendengar, Gihu....”“Sa
Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai di Bu Tong-san. Tan Hoat langsung menuju ke makam Thio Sam Hong. Di sana, ia berlutut dan bersujud lama sekali. Di sana, ia menumpahkan air mata. Saudara-saudara seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah sering terjadi saat anak murid Bu Tong-pay yang baru mendengar kabar kematian itu tiba di kuburan.Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya, Tan Hoat baru membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Ingin ia bertemu dengan Ciangbunjinnya yang baru, tapi Lau-ciangbunjin berada di biliknya dan tidak keluar dari pagi sampai sore. Berhubung saat itu masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid yang lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan Cio San sebagai muridnya, dan juga menceritakan asal-usulnya.Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong Lim. Panglima terkenal yang taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan penjajah Go
Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. Memang kesaktian Thay Suhunya itu sudah tidak bisa diukur lagi. Padahal Lau Tian Liong sudah memiliki ilmu kelas tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama dunia Kang Ouw, bahkan setara dengan pemimpin Siau Lim-pay (Partai Silat Shao-Lin) sekarang. Nama Lau Tian Liong mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi ilmunya di dunia Kang Ouw. Bisa dibayangkan, betapa tingginya ilmu Thio Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-ciangbunjin dalam satu pukulan saja!“Pikir-pikirkanlah ucapan Thay Suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu cerdas, dan pikiranmu tajam.”“Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus, Suhu...,” kata Tan Hoat.“Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan ini hanya kepadamu saja,” kata Lau-ciangbunjin.“Eh. Kenapa, Suhu?”“Ah, sungguh berat mengatakannya. Aku tak tahu harus memulainya darimana...”Lalu Lau Tian Liong melanjutkan, “Sebelum Thay Suhu meninggal, beliau bercerita bahwa di dunia
Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan. Hanya dalam beberapa tahun saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa. Ini mungkin karena bakat mereka memang besar. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa hampir seluruh kelimabelas murid itu sebelumnya memang sudah digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Bu Tong-pay. Mereka sebagian besar berasal dari keturunan ahli silat atau keluarga terpandang.Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar belakangnya. Walaupun anak dari seorang ahli silat Go Bi-pay, ia tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena tubuhnya memang lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan gerakan silat Go Bi-pay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat itu tidak diteruskan. Jadi, bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa ilmu silat, walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan silat. Ayahnya pun juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan, yang mana g
Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga totokan itu hanya lewat di depan matanya.Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terlihat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik, sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkat 5.Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Bu Tong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Bu Tong ini bergerak sang
Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya, tidak seperti ini wajah gihunya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali turun-naik gunung untuk menunaikan tugas perguruan. Melihat ada gihunya di samping, Cio San merasa senang sekali.Namun gihunya bertanya dengan ketus, “Kau sudah siuman?”“Iya, Gihu,” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara.“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaimana ia menceritakan ini kepada gurunya? S
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge