Ponsel Anis berdering. Ia menyibakkan selimut. Widya hanya mendengkus sebal.“Halo, Ro. Ada apa?”“Halo, Nis. Mau tanya, kamu jadi nggak pulang kampung?”“Memangnya kenapa, Ro?”“Bapakmu, Nis.”“Kenapa lagi dengan bapak?”“Bapakmu sakit, Nis.”“Sakit apa?”“Nggak tahu. Sering manggil namamu, Nis.”“Duuh bapak kenapa lagi, sih?”Anis teringat obrolannya dengan Aro. Waktu itu. Waktu memang cepat berlalu. Anis menghubungi Aro.“Halo, Anis. Ada apa?”“Gimana keadaan bapak?”“Bapakmu udah sembuh, Nis.”“Tadinya aku mau bilang ke bapak kalau aku bakalan pulang kampung.”“Kamu serius ingin pulang kampung?”“Serius. Bapak sering sakit gitu kok.”Sebenarnya masih ada kakaknya yang merawat bapaknya. Ia tidak mengetahui semenjak Aro bekerja di mall, Aro sering memberitahukan kabar Anis kepada kakaknya Anis.“Terus gimana hubunganmu sama Reno?”“Makanya aku bingung, Ro.”“Besok atau lusa atau sampai Reno benar-benar siap ngomong sama bapak, mungkin aku bakalan pulang kampung, Ro.”“Nunggu lama do
Reno hanya diam. Mereka sampai juga di kamar hotel yang sudah dipesan oleh Reno. Anis termakan juga oleh rayuannya Reno. Seharusnya Reno bisa menahan.“Aku melakukan ini agar kamu nurut sama aku, Nis. Kamu senang?”“Ya, Ren. Aku senang. Apakah ini yang kamu bilang surprise?”“Iya, Anis. Ini lah surprise yang ku maksud.”“Tapi kamu bilang belum siap buat melamarku?”“Aku memang belum siap, Nis kalau melamarmu.”“Terus kenapa melakukan ini, Ren? Apa kamu bakal tanggung jawab, Ren?”“Aku bakalan tanggung jawab kok, Nis.”Anis tersenyum tipis. Begitu lah jika pacaran jika hanya untuk bersenang-senang saja. Mereka terjerumus. Padahal Anis cukup taat jika di dalam keluarganya yang berada di kampung halaman. Lelaki itu mengalungkan kalung berliontin mutiara di lehernya Anis.“Kalung ini bisa menangkal setan.”“Apakah gangguan makhluk halus itu benar-benar hilang, Ren?”“Ya. Tentu aja.”Reno membohongi Anis bahwa gangguan makhluk halus tersebut sudah hilang.“Kalau boleh tahu sebenarnya kamu
Semenjak kejadian itu, Anis jadi lebih sering menghubungi Reno.[Lagi ngapain, Ren?][Lagi kerja sayang.][Ganggu kerjaanmu ya?][Enggak kok, santai aja. Kamu sendiri lagi ngapain?][Kerja jaga toko.][Oh.][Ren, kamu janji kan nggak akan ninggalin aku?][Iya, aku janji.]Anis membaca kembali sms dari Reno. Widya yang membuat teh lalu menyesapnya, berujar, “Nis, kamu kenapa sih kok akhir-akhir ini seperti berubah?”“Berubah gimana sih, Wid? Aku ya Anis sama seperti dulu.”“Kamu jadi lebih sering mentingin ponselmu dari pada kerjaan di toko.”“Masa sih, Wid?”“Iya, Nis.”“Wid, aku boleh ngomong sesuatu nggak sama kamu?”“Ngomong aja, Nis. Kamu biasanya kalau mau ngomong, ngomong aja.”“Gitu, ya?”“Iya Nis.”“Wid, kamu kalau sama pacarmu gimana?”“Maksudnya?”“Maksudku, kamu kalau sama pacarmu, apakah selalu menuruti apa keinginan dia?” pertanyaan Anis membuat Widya menghentikan ritual minum tehnya. Gadis yang berperawakan tinggi semampai itu menatap lekat wajah Anis yang mulai timbul j
Ada rasa sesal yang menggelayut di hati Anis. Entah menyesal telah menaruh rasa percaya yang begitu amat kepada Reno, atau karena ia sudah tidak gadis lagi. Entahlah.“Kamu beruntung banget ya, Wid punya pacar yang seperti itu.”“Memangnya Reno nggak seperti itu?” tanya Widya.Deg! Seolah-olah bongkahan batu menghantam dada Anis. Mulutnya terbungkam, berpikir apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan Widya? Anis menghela napas pelan.“Reno baik kok, Wid. Dia nggak akan ninggalin aku hanya karena aku nggak memberikan apa yang dia mau.”Anis berbohong. Toh, ia memberikan apa yang kekasihnya inginkan karena ia tidak ingin Reno meninggalkannya. Ia harus segera menghubungi Reno. Jika perlu, Anis yang lebih sering mengajak Reno untuk bertemu.[Ren, kamu sibuk nggak?][Hari ini aku sibuk banyak banget kerjaannya. Ada apa?]Anis yang membaca pesan dari Reno, merasa ada yang aneh dengan sikap Reno.[Aku pengen ketemu sama kamu, Ren.][Kalau pengen ketemu, mending lewat sms aja, ya.][Kenapa begi
Ketika Anis memasukkan nasi satu suap ke dalam mulut, ponselnya berdering. Telepon dari Aro. Ia segera menjawab telepon tersebut.“Halo, Nis. Apa kabarnya?” Aro bertanya tentang kabar dari Anis. Gadis cantik itu kelimpungan saat ingin menjawab pertanyaan Aro. “Halo. Kabarku baik-baik aja, Ro.” Anis terpaksa berbohong. Keadaannya tidak baik-baik saja. Ia baru saja mengalami penyiksaan dari Reno.“Syukurlah.”“Ada apa nelpon? Untung hari ini hari libur kerja. Jadi ngejawab telponmu nggak usah sembunyi lagi.”“Ah nggak ada apa-apa, Nis. Aku cuman mau nanya kabarmu gimana.”“Oh. Aku baik-baik saja, Ro. Kamu gimana di sana?”“Aku juga baik kok, Nis.”“Oh ya, ini kan kamu udah lumayan lama ya kerja di Jakarta.”“Iya, terus, Nis?”“Nggak ada apa-apa, sih cuman kok kamu nggak pulang kampung.”Deg! Tiba-tiba saja lidahnya kelu, air menetes dari dahinya. Ingin rasanya ia pulang kampung, tapi apa daya. Ia masih menunggu lelaki itu untuk tanggung jawab.“Pulang kampung. Hanya saja ….” Anis mengh
Namun, lama-kelamaan jarum jam menunjukkan angka dua belas waktu Indonesia bagian barat. Entah mengapa Anis kesulitan tidur. Sedangkan Widya sudah terlelap dalam tidur. Sekelebat bayangan hitam melintas jendela kamar.“I-i-itu apaan?” ujar Anis dalam ketakutan. Ia hanya memandang Widya dan tidak mungkin membangunkan Widya. Anis kembali memaksakan dirinya agar terlelap.Glodak!“Su-su-suara apa, itu?” ucap Anis yang masih dalam ketakutan. Ia mencoba membuka kelopak matanya. Deg! Ada getaran yang tidak biasa. Degup jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya. Hawa dingin seolah-olah menusuk kulitnya. Ternyata sesosok wanita tua bertubuh kurus melayang di depan Anis.“Si-si-siapa kamu?” tanya Anis kepada sosok wanita tua itu.“Aku ibumu, Nak. Aku datang ke mari untuk membantumu.”“Membantuku?”“Iya, Nak. Hampir tiap malam kamu diganggu oleh genderuwo, kan? Aku datang untuk mengusirnya.”“Te-terimakasih.”Tiba-tiba saja arwah itu menghilang entah ke mana. Anis menarik napas lalu mengelua
Pulang kampung. Yup! Terbersit pikiran untuk pulang kampung. Ia semakin tidak betah dengan gangguan dari makhluk halus itu. Apalagi ada sesosok arwah yang mengaku ibunya turut membantu Anis mengusir genderuwo.Ia teringat akan obrolannya dengan Aro kemarin. Ia menata barang-barangnya ke dalam tas berukuran besar.“Mau kemana kamu, Nis?” tanya Widya.“Pulang kampung, Wid,” jawab Anis yang tetap memasukkan barang-barang tersebut ke dalam tas.“Memangnya kamu udah izin sama bos?”“Udah dong, Wid. Bos udah izinin.”“Tapi kok rasanya cepet gitu lo, Nis.”“Cepet gimana?” Anis mengerutkan dahi.“Baru juga kemarin kamu aku buatkan teh, eeh sekarang malahan pulang kampung. Kan aku jadi nganu, Nis.”“Mau gimana lagi, Wid aku harus pulang kampung. Bapak sering sakit-sakitan.” Akhirnya gadis cantik itu memiliki alasan yang tepat untuk pulang ke kampung halamannya. Ia tidak mungkin cerita kepada Widya mengenai arwah yang sering mendatanginya. Widya akan ketakutan jika mengetahui cerita tersebut.“
Hari ini kakaknya Anis membersihkan dapur rumahnya Aro. Memang, keluarganya Aro akan kedatangan tamu istimewa. Apalagi ini bulan Agustus yang mana desa ini akan merayakan kemerdekaan Indonesia. Tentu saja harus bersih-bersih.Angin menerpa bendera yang telah berdiri kokoh di tiang pinggir jalan. Aro hanya bisa melakukan aktivitas menonton televisi. Ia menonton acara kesukaannya. Drama keluarga yang mengisahkan tentang cinta beda dunia.Sedangkan Anis di rumahnya. Ia memasak, mencuci baju, hingga bermain di rumah tetangga dekat rumahnya. Semenjak Anis di rumah, ia sering menghabiskan waktunya di rumah tetangga. Bercanda, tertawa, hingga membuat rujak.Tamu istimewa itu telah datang ke rumah Aro. Kakaknya Anis kembali ke rumahnya karena tidak ada yang diajak ngobrol.“Nis, kamu kalau di rumah terus-terusan gini nggak dapat uang. Nggak mungkin aku ngasih uang ke kamu terus. Aku ya punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Kamu cari kerja gih. Gajinya yang sehari langsung dibayar.”“Kerja apa,
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Anis yang merayakan ulang tahun anaknya mengundang Aro di acara tersebut. Sama seperti teman-temannya Putri, Aro pun memberikan kado ulang tahun kepada Putri. Anis tersenyum sangat manis. Tomo yang berdiri di samping Anis, melirik Aro.Aro menyadari tingkah Tomo segera berdehem. Tomo menjadi salah tingkah. Perayaan ulang tahun diiringi tepuk tangan dari teman-temannya Putri. Putri segera merapalkan doa lalu meniup lilin.Suara riuh dari anak-anak yang bertepuk tangan, membuat Aro melihat Tomo. Tomo nyengir kuda sambil mengusap bagian belakang kepala. Entah mengapa Aro dan Tomo saling berpandangan. Anis yang menyadari sikap aneh Aro dan Tomo, hanya bisa diam.“Makasih ya teman-teman sudah datang di acara ulang tahunnya Putri,” ucap Anis.“Sama-sama, Tante,” sahut Acil.Acara ulang tahun Putri pun selesai. Anak-anak itu bergegas pulang.“Aku pulang dulu ya, Nis,” kata Aro sambil nyengir.“Kamu jangan pulang dulu, Ro.”“Memangnya kenapa, Nis?”“Kamu makan dulu gih. Aku udah masakin nasi
Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut
Bagas terbangun dari tidurnya. Lelaki itu hanya tersenyum pahit memandang wajah Aro. Lalu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Pagi ini Aro membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi.Lalu Aro menyiapkan sarapan. Pagi ini pun Bagas harus pergi ke dokter. Semalam perut lelaki itu kesakitan. Aro mengambil gawainya yang berada di kamar. Ia mengirim pesan WA kepada Anis.[Anis, aku boleh curhat?]Tak berselang lama balasan dari Anis.[Iya curhat aja, Ro. Apa perlu aku ke rumahmu biar kamu bisa cerita leluasa?][Nggak perlu, Nis.][Memangnya ada apa sama kamu, Ro?][Aku bingung, Nis. Penjualan pakaianku menurun. Kamu ada saran nggak?][Wah iya. Kamu jualan pakaian. Aku nanti ke rumahmu sekalian mau beli baju.][Kebetulan, Ro aku ini kan pernah kerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Jadi aku punya saran untuk tokomu.][Apa tuh, Nis?][Kamu coba nyebar selebaran. Terus kamu buat diskon yang sesuai dengan jenis bahan pakaian yang kamu jual, Ro.][Boleh juga tuh, Nis. Makasi