Belum pernah melihat Fajar marah sebelumnya membuat Indira terkejut, mencoba untuk tenang agar tidak terpancing dengan emosi Fajar, tangannya terulur pelan membelai punggung Fajar agar sedikit lebih tenang.
“Aku baik-baik saja.” Fajar menatap Indira yang tampak ketakutan “Aku berasa lemah dan tidak berhak atas tubuh ini.”Indira menggelengkan kepalanya “Kamu yang layak atas tubuh ini bukan mereka, dari awal ini adalah tubuhmu jadi pasti kamu bisa melakukan ini semuanya dengan baik. Aku ada disampingmu apapun yang terjadi.”Fajar terdiam menatap bola mata Indira seakan mencari keseriusan disana dari setiap kata-kata yang dikeluarkannya, hembusan nafas panjang karena tatapan Indira adalah keseriusan didalam sana. Indira tulus dengan dirinya, membuat Fajar hanya bisa berdoa jika semua ini tidak semu.“Bagaimana kalau kita kembali keatas? Aku rasa Pak Wawan dan istrinya telah selesai masak.” Indira memberikan usul agar Fajar melupakan sementaMelihat perubahan pada Fajar yang memegang kepalanya membuat Indira langsung waspada, tangannya memegang pundak Fajar agar tetap sadar dan tidak menutup matanya, tapi sudut hatinya terdalam berharap salah satu dari mereka keluar yang membuat Indira bisa bertanya banyak hal.“Ahhh...sakit...ahhh....Indira kalau salah satu dari mereka keluar gunakan waktu sebanyak-banyaknhya untuk bertanya...ahhh...aku rasa salah satu akan keluar.” Fajar memejamkan matanya merasakan sakit pada kepalanya dan tidak lama menutup mata.“Mas...mas Fajar...mas...jangan tutup matanya...” Indira menggerakkan Fajar kanan kiri.Melihat Fajar menutup matanya, Indira hanya bisa pasrah. Meletakkan kepala Fajar agar sedikit lebih nyaman dengan posisi duduk, kembali menatap layar dan kali ini tidak melihat paman serta mantan tunangannya Fajar, mencoba mencari sekitar dan tidak menemukan dimanapun.“Siapa yang akan keluar? Aku harap Joe karena dia bisa diajak bicara.” Indir
Pengakuan Frans membuat Indira tidak percaya, saat tadi melihat isi dari map itu Fajar tidak mengingat apapun, memberikan tatapan penuh selidik pada Frans yang semakin tidak nyaman dengan tatapan yang Indira lakukan.“Kamu nggak percaya?” Indira langsung menganggukkan kepalanya “Terserah.” “Kamu nggak mau memberitahu bagaimana caranya komunikasi dengan kalian saat Fajar yang keluar? Setidaknya kalau kalian menginginkan menjadi satu dengan dia, kasih tahu apa-apa saja yang terjadi selama Fajar tidak keluar.” Indira memberikan ceramahnya.“Kenapa kamu mau menikah denganku...maksudnya Fajar.” Frans mengalihkan pembicaraan membuat Indira terdiam “Kamu nggak sedang mengincar harta kami, kan?”Indira membelalakkan matanya menatap tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari bibir Frans “Kamu pikir aku wanita kaya tunanganmu itu.” Indira mengatakan dengan penuh emosi.Frans tersenyum kecil “Bajingan ini sudah tahu? Apa reaksinya?”
Hening, tidak ada yang membuka suara. Indira menunggu jawaban dari pria yang ada dihadapannya, tidak tahu siapa sekarang yang sedang mengambil alih tubuh. Dirinya mendengarkan pembicaraan mereka untuk pertama kali, setidaknya Indira sudah tahu apa yang harus dilakukan saat bersama dengan mereka seperti sekarang.“Jadi? Apa aku bisa berbicara secara bersamaan?” tanya Indira lagi.“Aku saja cukup, nggak usah yang lain. Aku Frans.” Indira menganggukkan kepalanya “Lalu tadi Joe kenapa ikut bicara kalau memang kamu yang keluar?”“Aku Joe, ini pertama kali aku bisa bicara walaupun tidak keluar. Kamu tahu kenapa?” Indira menggelengkan kepalanya “Sebelumnya nggak pernah seperti ini? Sebutkan siapa yang bicara sekarang agar aku nggak bingung.”“Tetap Joe ini, kita belum pernah mengalami hal ini sama sekali dan ini pertama kali. Aku belum tahu kenapa bisa begini karena selama ini belum pernah mengalaminya.”“Apa ya
Indira membaca buku yang dimaksud Joe, tidak ada satupun yang dipahaminya. Fajar sendiri memilih membaca buku tentang teknologi, hal yang berhubungan dengan dirinya. Suara hembusan nafas panjang yang Indira lakukan membuat perhatian Fajar teralihkan, menatap Indira yang memijat kepalanya pelan.“Aku nggak paham.” Indira membuka suaranya “Aku salut sama Joe yang memahami bahasa beginian.” “Kenapa nggak minta bantuan Dave saja?” Fajar membuka suara yang dijawab gelengan kepala Indira, melihat itu Fajar mengerutkan keningnya.“Tidak ada ada yang boleh tahu rumah ini, baik itu Dave atau Rifan bahkan Kunto.”“Kenapa sampai sejauh itu?” Fajar semakin mengerutkan keningnya “Apa yang mereka bicarakan? Memang tadi siapa yang keluar?”“Frans.” Fajar menatap tidak percaya, berdiri dan mendekati Indira melihat keadaannya menyeluruh. Indira memukul pelan Fajar agar tidak terlalu berlebihan, mendorong pelan dengan memberikan tata
Indira masih membaca buku yang dikasih tahu Joe, banyak hal yang tidak dimengerti olehnya. Dave, sepupunya itu pasti bisa memahami arti semua tulisan ini. Menatap Fajar yang kembali menjadi dirinya, pria yang ada dihadapannya sesuai dengan gambaran banyak orang selama ini. Pria dingin, tidak banyak bicara dan sejak tadi tidak ada bahan pembicaraan yang mereka keluarkan. Indira rasanya sudah gatal bertanya banyak hal pada Fajar, tapi tampaknya pria itu hanya diam.“Apa tidak ada yang kamu tepukan?” suara Fajar menghentikan pikiran gilanya.“Banyak bahasa yang aku nggak paham, aku nggak bisa membayangkan bagaimana Joe bisa memahami ini semua.” Indira menggelengkan kepalanya menatap buku lagi “Apa yang kamu temukan?”“Tidak ada.”“Kamu mau kemana?” Indira menatap Fajar yang melangkah ke tempat mereka untuk ke ruang bawah tanah “Apa yang akan kamu lakukan?”“Aku tidak nyaman dan merasa tenang berada disini.” Fajar membuka suaranya.
Indira menemani Fajar yang menatap layar CCTV, membujuk agar istirahat tidak mendapatkan tanggapan sama sekali dan tetap fokus dengan layar CCTV. “Apa Frans yakin dengan penilaiannya? Apa sudah diteliti dengan benar?” Fajar bertanya yang sudah tidak terhitung jumlahnya.“Kamu mau sampai berapa kali bertanya?” Indira menatap malas pada Fajar.“Hal yang sama, pertanyaan yang sama kamu berikan sejak membicarakan tentang Wawan dan istrinya.” “Aku hanya waspada.” Fajar memberikan alasan yang sama.Indira berjalan mendekati Fajar yang masih fokus pada layar CCTV, tangannya memegang leher Fajar memberikan gerakan pelan pada bahunya. Gerakan tangan di bahu Fajar membuatnya sedikit tenang, Indira juga menatap layar yang dilihat Fajar dan tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan.“Mungkin hanya perasaanku saja.” Fajar membuka suaranya dengan memegang tangan Indira. “Lebih baik kita tidur saja.”Indira menghembus
Indira sangat tahu jika Fajar saat ini sedang bingung dan gelisah, pikirannya mengenai ketakutan dan curiga pada orang lain semakin besar, seharusnya saat ini mereka memecahkan masalah agar bisa berkomunikasi dengan kepribadian yang lain, tapi tampaknya Fajar tidak bisa melakukannya dengan baik.Membersihkan dirinya dengan meninggalkan Fajar di tempat persembunyiannya, keluar dari kamar dan mendapati meja sudah tersedia beberapa menu untuk sarapan. Menatap sekitar dan tidak menemukan siapapun, Wawan dan istrinya juga tidak ada di tempat. Indira menatap makanan yang ada diatas meja, menu sarapan terhidang dengan sangat lengkap dan seharusnya semalam memberitahu ingin makan apa.Perutnya yang sudah berbunyi dan ingin diisi, Indira langsung mengambil makanan yang ada diatas meja, matanya mengarah pada kamera yang letaknya tidak jauh dari tempat Indira berdiri, mengangkat piring dengan memberikan kode agar Fajar turun untuk makan, tidak mau menunggu akhirnya makan
“Kamu seharusnya tahu apa yang terjadi padaku.” Fajar membuka suaranya.Indira menaikkan alisnya mendengar perkataan Fajar “Apa yang harus aku mengerti? Kamu dari semalam penuh dengan kecurigaan, tidak mencari jawaban bagaimana bisa komunikasi dengan mereka. Aku yang dari kemarin mencari cara dengan membaca buku-buku yang ada di perpustakaan, koleksi kalian. Apa aku masih belum mengerti keadaan kamu, sebenarnya kamu sendiri mau sembuh atau nggak? Walaupun aku tahu akan sulit sembuh sepenuhnya.”Diam, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Indira sudah tidak peduli lagi dengan apa yang Fajar pikirkan atau tindakannya nanti, mereka sama-sama terdiam seakan memikirkan suatu hal yang tidak tahu apa.“Aku tidak pernah masalah saat kamu melihat adegan mereka, tapi saat ini semua itu bukan hal pentung.” Indira membuka suara terlebih dahulu “Apa kamu tidak mau komunikasi dengan mereka? Cari cara bagaimana kamu bisa komunikasi dengan mereka, hentikan semua
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak