Share

pamit

Penulis: Budi Mae
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Happy Reading

"Kak Bagas, nih ponselnya." Aku sodorkan ponsel apple .miliknya yang dipinjamkan dua bulan untukku pakai.

"Loh, kok dikembalikan?"

"Aku mau pulang."

"Pulang?"

Sepertinya Bagas bingung dengan yang aku katakan. Selama ini kami tak pernah berbincang mengenai asal usulku. Aku juga sengaja tak memberinya tahu agar jika aku pergi nanti, tak ada yang mencariku ke rumah. Sama seperti di kampung Bunda, aku juga tak memberi informasi dimana aku tinggal dengan simbok.

"Aku hendak pulang ke daerah asalku. Aku bukan anak simbok, aku hanya gadis gemuk yang malang dan tersesat sampai di rumah Mbok Muti waktu itu. Dan beliau membantuku untuk kembali bangkit dan bersemangat dengan membuatku berbadan ideal seperti sekarang. Aku senang bertemu dan berteman denganmu, makasih ya," ucapku jujur.

Dia masih terpaku, menatap diriku dengan mata tak berkedip.

"Hay."

Dia tersadar dan langsung memegang kedua tanganku.

"Kamu bohong 'kan?

"Kok bohong? Serius, kalau nggak percaya nanti tanya sama sim
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Keturunan 100 kg   bohong

    *Happy Reading"Mbok, Dara harus pulang sekarang. Maaf, Bundaku masuk rumah sakit. Jadi, Dara ​nggak bisa nunggu sampai besok," ucapku panik.Setelah diantar Bagas tadi, Aldi telpon dan sedikit memarahiku karena belum juga pulang. Yana juga menelponku kembali, mengabarkan jika Bunda akhirnya dilarikan ke rumah sakit."Oalah, baiklah. Mbok temani ke terminal ya?" tanya Simbok Muti."Tidak usah, Mbok. Dara dijemput adik Dara. Sekarang sedang menuju ke sini," ucapku. Baru saja diperbincangkan, aku mendengar mobil berhenti di depan halaman rumah Mbok Muti. Awalnya ragu menunjukan alamat rumah simbok, tetapi lagi-lagi Radit dan Aldi mendesakku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku dan Simbok."Maaf, Bu. Apa benar ini tempat persinggahan kakak saya, Mantra namanya. Ini fotonya," ucap Aldi menunjukan foto pada Simbok.Aku yang sedang di kamar karena beberes barang yang hendak dibawa pulang. Tak banyak sih, karena memang selama ini hanya ada beberapa barang dari Bagas dan juga baju y

  • Keturunan 100 kg   pertimbangan

    Setelah membersihkan badanku, aku memilih langsung menuju ruang keluarga. Tak ingin melewatkan waktu bertanya karena ini terlihat sangat serius. Sampai-sampai Bunda beralasan sakit untuk memintaku pulang.“Sudah cantik anak Bunda. Bunda sampai pangling melihatmu tadi saat baru datang, Sayang,” puji Bunda padaku.Aku masih bersikap sedikit kalem, rasa kecewa membuatku harus memberi mereka pelajaran. Memaksaku pulang dengan alasan sakit sungguh tak bisa dibenarkan.“Yah, Mantra sebenarnya lelah hayati dan ingin istirahat di kamar. Namun, rasanya ada yang mengganjal pikiran Mantra kali ini. Mumpung semuanya berkumpul, Mantra ingin menjelaskan sesuatu dan bertanya sesuatu.” “Khair, panggil semua adik dan kakakmu,” ucap Eyang.Tak menunggu lama, Ayah, Radit, Aldi, Gala, Khair, Yana dan datang. Hanya Alga, Nino dan Oji yang tak ikut karena Nino dan Oji sedang mengantar istrinya pulang ke rumah sedangkan Alga usianya belum layak mendengar pembicaraan penting ini. Dia masih bersama Aldo di

  • Keturunan 100 kg   borongan

    "Kak Bagas? Bukannya ponselnya ada pada Simbok? Apa sudah diretas kembali?" kelakarku. Aku memilih mencari tempat sepi untuk mengangkat panggilan Kak Bagas."Ra, kenapa kamu nggak kabari Kakak kalau mau pulang lebih awal? Bukankah kita sudah sepakat pulang ke rumahmu bersama?" cecar Kak Bagas. Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Bagas justru memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Memang begitu? Maaf, Kak, Dara lupa, habisnya buru-buru sudah dijemput para adik-adik.”“Iyakah? Adik atau kekasih yang Kakak tidak tahu?” Aku tertawa menahan rasa lucunya mendengar nada panik bercampur cemburu.“Apaan sih? Dara itu punya adik sembilan, umurnya juga jaraknya dekat-dekat. Dara yakin, kak Bagas dengar dari tetangga kalau Dara dijemput bujang ganteng-ganteng. Ngaku nggak?”Panggilan berubah menjadi video call. “Jangan bohong, Ra. Kakak nggak suka dibohongi,” ucapnya.“Ya ampun Kakak, buat apa Dara bohong. Nanti aku kasih liat fotonya, aku sent deh jika perlu sekalian sama keluarga besar Dar

  • Keturunan 100 kg   kosong

    “Mantra pergi dulu, Bun. Ayo, Ga.” Aku menaiki motor berboncengan dengan Gala. Dia adikku yang kelima dan merupakan lelaki yang mendekati kata sempurna. Ganteng, pendiam, putih, anaknya selalu rapi dan suka akan kebersihan. Mungkin gen keturunan Bunda kebanyakan turun ke Gala daripada aku.Perjalanan semakin terik, udara dan polusi mulai tak nyaman di hidung mungilku ini. Keringat juga sudah mulai membanjiri, ah .. demi motor dan ponsel aku rela seperti ini. Jarak yang dilalui masih lumayan jauh, tetapi aku sudah gerah duluan.“Mampir dulu ke warung makan ya, Gal? Kita istirahat dulu. Ngga baik naik motor kalau badan udah letih,” ajakku.“Ya, Mbak. Tapi setengah jam lagi kita pasti sampai,” ucap Gala. “Ya, tapi Mbak haus pengen minum.”Akhirnya Gala mengalah dan menurutiku beristirahat. Jarak Jakarta Bogor sebenarnya tak lama bagi mereka yang sudah terbiasa pulang pergi. hanya saja, aku sudah lama tak melewati rute ini sehingga aku sedikit nyeri pinggang saat kembali ke kota asalku

  • Keturunan 100 kg   bertemu

    Kalau tahu Desi ada di apartemen Pak Zidan, aku tadi langsung saja ke sana. Tiga jam aku menunggu bu kos pulang dan akhirnya kejelasan Desi tinggal, kami ketahui juga.“Jadi langsung ke apartemen, Mbak?” tanya Gala.“Ya, sudah seharusnya seperti itu. Ya kali kita pulang ke rumah.”“Mbak tahu apartemennya?” tanya Gala seperti tak yakin dengan wajahku.“Hm, Mbak pernah tinggal di sana anaconda. Kuylah, dah hampir gelap ini.”Akibat insiden di kosan tadi, aku jadi harus kesorean membawa pulang semua barangku. Niat hati ingin satu hari di Jakarta sepertinya urung aku lakukan. Karena resiko jika memaksa pulang jika hari sudah malam. Begal mengancam di setiap sudut jalan yang sepi dan aku tidak mau ambil resiko terburuknya.Jarak kosan dan apartemen lumayan jauh. Pengamanan di sana juga lumayan ketat, patilah nanti aku akan sangat direpotkan dengan kegaduhan lagi mengingat KTP dan identitas lainnya tak ada yang aku miliki. Nomor Desi juga sudah tak dapat dihubungi membuat aku kesusahan sen

  • Keturunan 100 kg   Diantara dua pilihan

    Hati yang terlanjur gugup dan takut, membuatku berkeringat. Desi yang tadi ngoceh bak petasan lebaran, sepertinya tak lelah merepetkan suaranya dan aku menjawab seperlunya."Mbak jadi aneh ya? Biasanya kalau Desi ajak ngoceh Mbak jadi pemandunya. Paling nggak ikut ngegibah bareng. Ini seperti bukan Mbak Mantra yang Desi kenal," sungut Desi."Maunya aku ngapain? Ini di rumah orang loh. Dah, diem jangan berisik!" ujarku.Aku melihat Mami dan Papi Boz Zidan keluar dengan wajah bahagianya. "Wah, ini toh yang dimaksud calon mantu Mami. Cantik sekali, Mami kira kamu bakalan bawa si Mantra. Dah ganti?"Pak Zidan berdehem pelan."Tante, gimana kabarnya? Lama tidak berjumpa," sahutku setaya mencium tangannya takdim."Loh sudah pernah ketemu toh?" tanya Mami."Mami lupa atau gimana? Dia itu Mantra, sekarang memang sudah kurusan," sahut Pak Zidan. "Oh Mantra udah ganti casing toh. Sampai pangling Mami.""Selamat berjumpa kembali, Mantra. Mari kita ngobrol," ajak papinya Pal Zidan."Bagaimana k

  • Keturunan 100 kg   Jujur

    .Menyiapkan mental untuk jujur itu memang sulit. Ya, aku sadar aku bukanlah wanita yang sempurna dan aku sadar jika aku harus memilih salah satunya."Mbak Mantra …."Suara Kania yang cempreng memanggilku untuk segera keluar makan malam. Di rumah sebesar ini, aku merasa tak nyaman. Padahal orangtua Zidan sangatlah baik, tapi aku tidak bisa sesantai biasanya. Mungkin karena aku hendak jujur. Ya, jujurly, aku gugup."Ya."Aku beranjak setelah membetulkan baju yang aku kenakan. Desi yang sedari tadi bersama Kania, membiarkanku di kamar sendiri dan alhasil aku turun ke bawah sendiri."Tra …."Kali ini sosok yang pernah membuatku baver dan salting ada di depanku. Ya, Rangga, dia lelaki yang aku kira bisa menjadi pendamping namun sekarang hanya jadi tokoh figuran. Ngenes …."Eh, Mas Rangga," sapaku."Ini seriusan kamu? Aku sampai pangling loh. Cantik beut dah, makanya Kakak sampai jatuh cinta. Yuk kita makan malam, Mami Papi dan nunggu di bawah." Rangga merangkulku dan mengajakku turun. Dia

  • Keturunan 100 kg   Tunggu saja

    ."Mampir dulu, Pak?" tawarku saat baru sampai di depan pintu rumahnya."Sudah malam. Nggak enak, Tra. Ya sudah, kamu hati-hati. Maaf atas segala salahku padamu, semoga kamu memiliki jodoh yang tepat.""Aamiin, makasih doanya. Pak Zidan dan Mas Rangga juga, hati-hati di jalan. Semoga di jalan ketemu jodoh yang pas sesuai keinginan," kelakarku."Jodoh di malam hari begini? Yang ada kuntilanak, Tra," sahut Rangga, spontan membuatku terkekeh."Jodoh nggak kenal waktu, Pak. Yang kenal waktu hanya sholat lima waktu saja. Good bye and see you tomorrow."Aku membuka pintu mobil namun Pak Zidan meraih tanganku."Tunggu, Tra."Pak Zidan meraih sesuatu di saku celananya dan meletakkan pada tanganku."Tadinya mau aku pakaikan di tanganmu. Hanya saja, kamu menolakku. Namun, aku berharap kamu mau menyimpannya sebagai kenang-kenangan dariku. Jika tidak menganggapku, setidaknya terimalah ini sebagai hadiah terakhirku.""Ish! Ngeri ih! Pakai hadiah terakhir, ada lagi juga nggak apa. Tapi ini apa, Pak?

Bab terbaru

  • Keturunan 100 kg   akhirnya

    ******Hari pernikahan digelar sederhana di rumahku. Namun, setelah akad aku diboyong keluarga Bagas ke rumahnya untuk resepsi. Saat baru pertama melihat tempat acara, aku tertegun. Meski bukan meriah bak artis-artis, tapi itu indah banget.“Maaf, jika dekor dan panggungnya tak tanya konsepnya sama kamu. Habisnya Aa bingung, semua pihak keluargaku yang mengurus,” ucap Bagas saat kami naik ke atas panggung.“Tak apa. Neng suka, kok,” jawabku. Nyatanya emang aku suka. Dari warna hingga hiasannya, semua terlihat hidup. Bahkan semua keluargaku turut diberikan seragam.“A, makasih udah sayang sama Neng. Baik sama keluarga Neng. Pokoknya, Neng terlope dah,” batinku tanpa bersuara. Mau bilang love you takut ketahuan, kan malu. Tentu saja rasanya seperti kemarin saat ijab kabul. Jantung rasanya mau copot dari tempatnya karena semua orang mengagumi kecantikanku, eh … tapi lebih dominan ke Bagas si. Wajah oriental dengan tinggi badan pelukable dan nyaris sempurna itu serasi dengan apa yang dike

  • Keturunan 100 kg   pra nikah

    ***Aku dan Bagas mengurus kepentingan menikah bersama. Dari capeng hingga kelengkapan dokumen ke KUA, kami berdua bersama. Ibarat kata, aku dan dia sudah seperti pasangan yang sama-sam bucin.“Kak, hari H tinggal dua hari lagi. Semoga acaranya lancar,” pesanku saat kami esok hendak dipingit.“Iya. Eh, keluarga besar kamu orang Bogor semua?” tanyanya terlihat aneh. Sudah hampir sah baru menanyakan keluarga besar.“Nggak, ada juga yang di Bandung. Neng teh orang sunda, Aa Bagas. Kumaha atuh,” ujarku.“Ya kan nanti banyak yang hadir di resepsi kita. Ehm, panggilan Kakak ganti Aa, kitu?”“Bisa, kalau Aa mau teh. Neng seneng malah, jadi berasa kayak Akang kasep si Ucup di desa sana.”“Ucup?’“Hooh, orang Sunda asli Bandung yang dulu suka buli Eneng. Dia cakep, tapi mulutnya nyebelin.”Entah kenapa kami jadi membahas dia yang dulu pernah aku taksir. Dia yang menyebalkan tapi sayangnya aku suka, tapi dulu pas masih jadi monyet. Eh, maksudnya cinta monyet. Astaghfirullah! Aku langsung beris

  • Keturunan 100 kg   lamaran

    Pagi ini keluargaku benar-benar disibukkan dengan acara lamaran yang akan dilangsungkan nanti siang. Keluarga Bagas sudah mengabarkan jika mereka sudah sampai di perbatasan kota Bogor. Aku yang sudah berhias sederhana, merasa grogi saat semua adikku menggodaku. "Al, perasaan kita nggak punya keluarga yang mirip bidadari gitu. Ini siapa ya?" tanya Oji yang berusaha menggodaku. "Kak Oji cem mana, Mbak kita kan juga mirip bidadari. Tapi… kalau lagi makan, berubah menjadi hulk. Serem," ejek Aldo. Sialan."Kalian bisa diem nggak? Mbak slepet nih,” omelku. Bocah tua, dasar. Nggak tahu hatiku lagi kembang kempis kaya pompa balon.“Belum juga jadi manten, cantiknya dah kentara. Apa nggak pengin buru-buru dihalalin hari ini juga si Bagas. Opa yakin, anak itu nggak akan tahan lihat cucu opa yang cantiknya melebihi Eyang waktu muda,” ujar Opa.“Emang Eyang dulu nggak cantik, Opa? Wah. Al aduin sama EYang ah, biar Opa kena sembur,” ledek Aldi yang kemudian di hadiahi pentung tongkat kayu yang

  • Keturunan 100 kg   ciye

    ."Tapi, bukannya yang mau menikah sama lo itu … Pak Zidan? Lo jangan jadi playgirl gini, Tra. Awas lo ya kalau gonta ganti calon suami," cetus Tantri.Aku tertawa lepas sambil menepuk paha Lemi yang kebetulan ada di sampingku duduk. Mau nepuk Bagas, kasihan ayangku itu. Akhirnya, Lemi jadi bahan pelampiasan bahagiaku."Njirrr, sakit tau. Resek emang ya, lu. Ni paha bukan lawan tinju, sembarangan main pukul-pukul," omel Lemi."Habisnya kalian lucu. Sejak kapan Mantra Sekar Widodari ini suka mainin hati cowok? Yang ada dimainin sama cowok dan diputusin pas lagi sayang-sayangnya. Kalian itu salah kira ternyata. Gue itu udah temenan sama Rangga dan Pak Zidan, gue juga dah mau nikah. Nih calon suami gue, masih nggak percaya juga?" tanya aja sama orangnya. Nih, masih ada. Ya kan, Kak?" Paparku.Bagas mengangguk dengan menampakkan senyum termanisnya. Siapa sangka jika calon suamiku yang gantengnya mirip Kyungsoo dan manisnya mirip Lee Min Ho ini, adalah lelaki yang akan mendampingiku sehidu

  • Keturunan 100 kg   serius

    ."Apa-apaan ini?!" teriaknya. Sontak kami terkejut karena wanita di depanku ini tiba-tiba merebut barang yang diberikan Bagas untukku. Aku berdiri dan tangan mulus wanita tersebut menampar wajah oriku.Plak!"Dasar jalang!""Keysa! Apa yang kamu lakukan?!" Bagas mencoba melindungiku dan menyembunyikanku di belakang badannya. Aku yang tak mengerti apapun hanya bisa memegangi pipi yang terasa panas, perih dan ngilu.Terdengar dari teriakan nama tadi, Keysa, dialah wanita yang kini sedang menatap tajam ke arahku. Sayangnya, aku nggak ngaruh digitukan. Hanya sedikit bingung saja, kenapa dia tiba-tiba datang tanpa permisi."Mas Bagas tega! Aku nunggu Mas selama dua tahun di Jakarta, tapi Mas kembali justru melamar gadis ini. Mas janji pulang dari Ausy menikahiku, mana janjinya? Ternyata kepergian Mas waktu itu hanyalah alasan untuk menghindariku. Ya kan, Mas?" teriak wanita bernama Keysa itu."Iya. Memang aku sengaja menghindar dan meninggalkanmu. Kamu tahu apa sebabnya? Tanya sama Anton!

  • Keturunan 100 kg   Siapa

    Siapa."Aku jemput ya, Tra?"Pesan dari Bagas ternyata masuk setengah jam yang lalu saat aku masih mandi. Pukul jam 7 dia sudah mengirimi pesan membuat batinku bertanya-tanya. Apa dia tak tidur semalam karena mau bertemu denganku? Wah, pede sekali aku ye."Berani?" Baru saja hendak aku sent, sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Aku yakin, itu bukan anggota keluargaku.Aku intip dari dalam kamar, ternyata Bagas yang keluar dari mobil dengan membawa buah tangan."Assalamualaikum," salamnya yang masih terdengar olehku. Terdengar pula sahutan dari Bunda di luar. Tadi beliau memang sedang menyapu halaman. Aku merasa grogi. Kusisir kembali rambut lurusku dan menyemprotkan parfum babyswal kesukaanku.Bismillah. Semoga hari ini aku benar-benar dapat kabar baik. Kasihan adik-adikku, menungguku menikah selama ini."Mbak, ada Mas Bagas tuh!" Gala memanggilku dari luar kamar."Ya."Aku segera keluar dari kamar, meski harus dengan menetralkan detak jantung yang tak karuan. Kuhembuskan napas pe

  • Keturunan 100 kg   Tunggu saja

    ."Mampir dulu, Pak?" tawarku saat baru sampai di depan pintu rumahnya."Sudah malam. Nggak enak, Tra. Ya sudah, kamu hati-hati. Maaf atas segala salahku padamu, semoga kamu memiliki jodoh yang tepat.""Aamiin, makasih doanya. Pak Zidan dan Mas Rangga juga, hati-hati di jalan. Semoga di jalan ketemu jodoh yang pas sesuai keinginan," kelakarku."Jodoh di malam hari begini? Yang ada kuntilanak, Tra," sahut Rangga, spontan membuatku terkekeh."Jodoh nggak kenal waktu, Pak. Yang kenal waktu hanya sholat lima waktu saja. Good bye and see you tomorrow."Aku membuka pintu mobil namun Pak Zidan meraih tanganku."Tunggu, Tra."Pak Zidan meraih sesuatu di saku celananya dan meletakkan pada tanganku."Tadinya mau aku pakaikan di tanganmu. Hanya saja, kamu menolakku. Namun, aku berharap kamu mau menyimpannya sebagai kenang-kenangan dariku. Jika tidak menganggapku, setidaknya terimalah ini sebagai hadiah terakhirku.""Ish! Ngeri ih! Pakai hadiah terakhir, ada lagi juga nggak apa. Tapi ini apa, Pak?

  • Keturunan 100 kg   Jujur

    .Menyiapkan mental untuk jujur itu memang sulit. Ya, aku sadar aku bukanlah wanita yang sempurna dan aku sadar jika aku harus memilih salah satunya."Mbak Mantra …."Suara Kania yang cempreng memanggilku untuk segera keluar makan malam. Di rumah sebesar ini, aku merasa tak nyaman. Padahal orangtua Zidan sangatlah baik, tapi aku tidak bisa sesantai biasanya. Mungkin karena aku hendak jujur. Ya, jujurly, aku gugup."Ya."Aku beranjak setelah membetulkan baju yang aku kenakan. Desi yang sedari tadi bersama Kania, membiarkanku di kamar sendiri dan alhasil aku turun ke bawah sendiri."Tra …."Kali ini sosok yang pernah membuatku baver dan salting ada di depanku. Ya, Rangga, dia lelaki yang aku kira bisa menjadi pendamping namun sekarang hanya jadi tokoh figuran. Ngenes …."Eh, Mas Rangga," sapaku."Ini seriusan kamu? Aku sampai pangling loh. Cantik beut dah, makanya Kakak sampai jatuh cinta. Yuk kita makan malam, Mami Papi dan nunggu di bawah." Rangga merangkulku dan mengajakku turun. Dia

  • Keturunan 100 kg   Diantara dua pilihan

    Hati yang terlanjur gugup dan takut, membuatku berkeringat. Desi yang tadi ngoceh bak petasan lebaran, sepertinya tak lelah merepetkan suaranya dan aku menjawab seperlunya."Mbak jadi aneh ya? Biasanya kalau Desi ajak ngoceh Mbak jadi pemandunya. Paling nggak ikut ngegibah bareng. Ini seperti bukan Mbak Mantra yang Desi kenal," sungut Desi."Maunya aku ngapain? Ini di rumah orang loh. Dah, diem jangan berisik!" ujarku.Aku melihat Mami dan Papi Boz Zidan keluar dengan wajah bahagianya. "Wah, ini toh yang dimaksud calon mantu Mami. Cantik sekali, Mami kira kamu bakalan bawa si Mantra. Dah ganti?"Pak Zidan berdehem pelan."Tante, gimana kabarnya? Lama tidak berjumpa," sahutku setaya mencium tangannya takdim."Loh sudah pernah ketemu toh?" tanya Mami."Mami lupa atau gimana? Dia itu Mantra, sekarang memang sudah kurusan," sahut Pak Zidan. "Oh Mantra udah ganti casing toh. Sampai pangling Mami.""Selamat berjumpa kembali, Mantra. Mari kita ngobrol," ajak papinya Pal Zidan."Bagaimana k

DMCA.com Protection Status