Aku duduk bersandar di ranjang kecil ini, kupeluk bantal untuk temani sedihku. Meskipun aku berusaha tegar dan garang di hadapan Mas Yudi, tapi sesungguhnya dalam hati ini begitu pilu, aku hanya manusia biasa, perempuan lemah yang mengabdi pada suami hingga berada di kota ini, tapi laki-laki yang aku puja itu kini telah menorehkan luka yang begitu dahsyat menyakitkan. Akan di bawa kemana nasib rumah tangga yang sudah tak sehat ini."Sin, apa kamu yakin dengan pilihanmu? Apa tak sebaiknya kamu pikirkan dulu, dia orang jauh." Terngiang ucapan Ayah saat aku akan menikah dengan Mas Yudi dulu.Seketika bulir bening ini luruh tanpa sanggup aku bendung mengingat ucapan beliau. Sekarang ini aku belum menceritakan semua ini pada siapapun, kecuali Rizal dan Hana. Aku tak tau jika ayah yang berada jauh di kampung halaman, tau tentang masalah ini, beliau pasti akan sangat kecewa. Aku terlelap dalam keheningan.***Seperti biasanya waktu subuh aku bangun dan segera menunaikan kewajibanku sebagai
"Mamah!" teriak Rizki saat aku sampai di ambang pintu. Ia berlari ke arahku dan memelukku dengan erat, aku pun menyambut dengan hangat pelukannya, semalam saja tidak bersamanya rasanya begitu merindu.Hiks, hiks huhu ... hiks Aku terkejut saat merasakan tangis Rizki pecah dalam pelukanku. terasa air matanya menetes di bahuku, apa gerangan yang membuatnya menangis. Apa yang terjadi hingga ia menangis begitu pilu dan sesegukan.Aku renggangkan sedikit pelukannya, kedua tanganku menangkup wajah tampan jagoan kecilku yang masih terisak."Rizki kenapa, Sayang?" tanyaku lembut seraya menyapu air matanya yang membasahi pipi gembilnya."Mama, semalam Rizki mimpi buruk!" jawabnya memekik, menahan sesak di dadanya.Aku mengerenyit, mendengar jawaban itu, mimpi apakah gerangan, yang bisa membuat anak sekecil menangis pilu."Emang Rizki mimpi apa, Sayang!" tanyaku lagi mengelus rambutnya yang halus.Mbak Yanti tertegun melihat pemandangan bak sinetron di depannya, dan Devan masih duduk di dalam
Terlihat pancaran senyum dari kedua manusia durjana itu. Ah kenapa rasa nyeri di sini kian terasa.[Dia berada di Kafe dekat kantorku]Sebuah kalimat pesan dari Hana, menyusul gambar yang yang baru saja ia kirim.Segera aku menghubunginya.Tak lama Hana menjawab panggilanku."Halo, Sin!" sapa Hana di seberang sana."Iya, Han! Gimana?" tanyaku."Tak salah lagi, Sin! Eva wanita penggoda, dan gila harta," ucap Hana sedikit berbisik."Posisiku tak jauh dari mereka, hanya saja aku duduk membelakangi mereka, nanti akan aku rekam percakapan mereka," tambahnya lagiTut.Hana memutuskan panggilan secara sepihak. Aku mengerenyit mencoba menguasai hati.1 menit kemudian, Sebuah notifikasi pesan suara atau voice note masuk. Segera aku unduh.Aku sedikit mendekatkan benda pipih itu ke telingaku. Untuk mendengarkannya.Meski pesan suara itu terdengar kurang jelas, namun aku bisa mencerna percakapan mereka."Makasih ya Mas kalungnya bagus aku suka! Tapi kenapa nggak sekalian sama cincin dan gelangny
Mungkin lebih baik jika aku amankan semua aset ini, sebelum jatuh ke tangan wanita itu, aku yakin ia hanya menginginkan harta Mas Yudi.Tiba-tiba terdengar suara motor Mas Yudi disertai tawa kecil berhenti di depan rumahku. Aku kaget, segera aku mengambil berkas itu dan menukarnya dengan kertas biasa.Dengan langkah cepat aku memasuki kamar Rizki dan menaruh semua berkas penting itu di laci paling bawah lemari Rizki. Bergegas aku keluar untuk melihat Mas Yudi, ia pulang bersama siapa, sepertinya bahagia dengan tawa kecilnya terdengar hingga ke dalam rumah.Aku menuju pintu depan, aku singkap sedikit gorden jendela, dan melihat ke luar.Pemandangan di depan rumah mampu membuat mataku terbelalak, aku menggeleng tak menyangka dengan apa yang kulihat, dengan santai dan mesranya Mas Yudi membawa wanita si*lan ke rumah ini. Benar-benar tak punya perasaan. Entah apa Mas Yudi memang sudah tak punya hati dan perasaan, hingga ia tega menabur garam di atas luka yang baru saja ia torehkan.Aku b
"Sudahlah Sin! Dengan ataupun tanpa izin darimu, Mas akan tetap menikahi Eva!" "Mamah!" terdengar panggil Rizki dari kamarnya, sepertinya ia sudah bangun.Aku segera bangkit dan berjalan menuju kamar Rizki, tanpa menyahuti ucapan Mas Yudi.Aku peluk erat putra semata wayangku, menahan sesak di dada, pasti Rizki akan bingung dengan kondisi ini."Mamah kenapa? Aku kaya denger suara Ayah tadi, Mah?" tanyanya, masih dalam pelukanku, untuk saat ini hanya memeluknya bisa membuat hati ini sedikit tenang."Mamah nggak apa-apa kok, Sayang! Iya itu Ayah udah pulang tapi ayah sedang ada tamu, jadi Rizki di sini aja dulu ya, jangan keluar kamar dulu," ucapku berbohong, karena tak mungkin aku bilang kalau ayahnya pulang bersama calon mama barunya kan, ia pun mengangguk.Aku beranjak hendak kembali ke ruang tamu, namun saat langkahku tengah diambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu, langkah kakiku tercekat melihat dua orang tak tau malu itu bermesraan di rumah ini.Astaghfirullah ... Ucapk
Aku meletakkan makanan itu di meja makan, dan membukanya. Makanan bento ala Jepang dua porsi, lengkap dengan dua botol juice.Aku berjalan masuk ke dapur dan mengambil sesuatu, aku yakin dengan ini mereka akan merasa tidak nyaman duduk berduaan dalam waktu lama. hatiku tersenyum simpul. Dengan berjalan pelan aku keluar dari dapur dan menuju kembali ke ruang tamu, segera aku membuka bungkusan itu, dan membuka kotak mika bento, semua aku lakukan dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara, kulirik Eva masih sibuk dengan gawainya dengan sesekali senyum-senyum macam orang gila. Enak saja kalian, datang kesini dan pamer kemesraan di depanku. Aku tidak bodoh, aku kerjain kamu Mas, dan calon istrimu itu, biar ngerti sopan santun. Gerutuku dalam hati sambil menaburkan bubuk obat pencuci perut ke dalam salad. Setelah selesai kulakukan aksiku, aku bungkus kembali seperti semula. Dan segera kumasukkan botol obat pencuci perut itu ke dalam saku gamisku.Mas Yudi juga keterlaluan, beli makanan
Sebenarnya bisa saja aku langsung menggugat cerai Mas Yudi saat ini, tapi itu akan membuat mereka merasa menang, terutama perempuan murahan itu, pasti ia akan tertawa bangga karena berhasil merebut Mas Yudi dariku dan Rizki. Tapi aku tak akan membiarkanya menang, aku harus bertahan sebentar lagi hingga melihat mereka menyesal telah menancapkan duri di hatiku.Cukup lama aku berdiam diri di dalam kamar ini, hingga terdengar olehku suara gaduh dari Mas Yudi dan Eva. Aku keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi, terlihat Mas Yudi bejalan cepat masuk ke kamar mandi seperti menahan sesuatu yang ingin segera keluar dari bagian bawah pinggangnya."Kamu kenapa, Mas?" tanyaku sok polos padahal dalam hatiku tertawa, sepertinya obat pencuci perut yang aku taburkan di dalam makanannya sudah mulai bereaksi.Mas Yudi tidak menjawab, dan segera masuk ke kamar mandi. Kulihat Eva yang duduk di sofa ruang tamu tengah memegang perutnya, dengan ekspresi meringis dan terlihat sangat lucu menurutku."K
Aku tersentak, apa?! Enak saja perempuan yang sudah jelas-jelas mengambil separuh hatiku itu aku biarkan menginap di rumahku, No?! Jawaban Mas Yudi membuatku geram. Seketika napasku naik turun, seiring dengan luapan emosi yang siap meledak. Ingin rasanya aku telan bulat-bulat dua manusia tak ada akhlak ini."Tidak, Mas! Aku tak sudi dia menginap di sini! Cepat antarkan dia pulang!" ucapku tegas menolak permintaan Mas Yudi."Tapi Sin, apa kamu nggak kasihan sama Mas yang sudah lemes gini?" tanya Mas Yudi dengan raut memelas."Apa, kasihan? Saat kamu memutuskan untuk berselingkuh di belakangku apa kamu tidak merasa kasihan sama aku, Mas?" Mas Yudi terdiam."Aku akan mencari Rizki dan mengajaknya untuk pulang, aku harap saat aku dan Rizki tiba di rumah ini, Mas sudah membawa pergi wanita ini!" timpalku lagi."Sin, tunggu! Apa itu artinya kamu menerima Eva untuk menjadi madumu, aku janji kalian tidak akan tinggal satu atap." ucap Mas Yudi saat aku baru saja berbalik badan melangkah."Untu
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K