Bab 127"Tidak ada bantahan, Sayang. Kamu harus ke rumah sakit sekarang. Mau lahiran atau enggak, pokoknya harus ke rumah sakit," tegas pria itu.Aku terpaksa memijit tombol di gelang dan tidak sampai 10 menit, mas Yanto sudah muncul di depan pintu unit kami. Mas Ibra menggendongku, sementara mas Yanto membawa koper besar berisi perlengkapan.Bik Jum dan Mbak Ranti aku suruh stand by di rumah dan menjaga Keisha. Cukuplah aku didampingi mas Ibra saja. Lagipula, belum tentu juga aku mau lahiran. HPL aku masih tiga minggu lagi.Mobil membawaku dengan kecepatan tinggi. Mas Ibra mewanti-wanti mas Yanto agar membawa mobil dengan kecepatan tinggi tetapi tetap aman. Mungkin khawatir karena melihat aku yang terus merintih. Gelombang kontraksi itu kian cepat dan membuatku terus meringis. Namun tak ada cairan pun yang kurasakan keluar dari inti kewanitaanku.Aku menjadi ragu, apakah aku akan melahirkan? Sementara dulu waktu kelahiran Keisha, ciri-ciri melahirkan berupa keluar cairan dari inti ke
Bab 128Detik demi detik terus berlalu. Aku merasa itu sangat lambat. Jujur aku merasa gugup. Baru pertama kali ini aku berurusan dengan ruang operasi, karena dulu aku melahirkan Keisha secara normalMembayangkan pisau bedah menyayat perut bagian bawahku rasanya sudah terasa ngilu. Meski tidak akan sakit karena di bawah pengaruh obat bius, tetapi tetap saja aku merasa takut."Ibu tenang saja. Proses ini cukup aman, selama dikerjakan sesuai dengan prosedur," ucap dokter Nita. Wanita paruh baya itu malah mengusap kepalaku sebelum seorang asisten membentangkan kain dinding pembatas yang menghalangi penglihatanku dengan bagian bawah perutku.Aku berusaha untuk pasrah, tenang dan tidak gugup lagi. Mas Ibrahim berulang kali mengusap kepalaku seraya merapal doa-doa.Tak sampai beberapa menit, suara tangis bayi terdengar."Selamat, Bapak, Ibu, bayinya perempuan, sehat, tidak kurang suatu apapun," seru dokter Nita.Alhamdulillah. Rasanya lega sekali setelah mendengar tangis bayiku meski proses
Bab 129"Kapan kamu pulang ke Riyadh, Ibra?" Suara ummi Azizah langsung terdengar nyaring karena mas Ibra menghidupkan speaker pada ponselnya."Aku tidak tahu pastinya kapan, Ummi. Saat ini Kayla baru saja melahirkan," jawabnya. Dia terlihat menghela nafas seraya memandangku.Aku sengaja memasang ekspresi datar, tak mau turut campur urusan antara ibu dan anak itu."Kuat, Kayla. Kamu harus kuat!" Aku menyemangati diriku sendiri. Aku bukan perempuan manja. Dulu pun saat melahirkan Keisha, aku juga sendiri. Mas Gilang tidak menunggui saat lahiran dan perawatan di rumah sakit, beralasan sibuk kerja, dan belakangan aku ketahui jika dia bukan sibuk kerja, tapi sibuk bercinta dengan Anggi.Tidak cuma itu. Aku juga yang memonopoli semua keperluan Keisha. Untungnya saat itu aku memiliki penghasilan sendiri yang, dan itu tidak di ketahui oleh mas Gilang.Jika sekarang mas Ibra meninggalkanku, kembali ke Riyadh, bukankah sama saja?"Kayla baru melahirkan? Benarkah?"Suasana hening sejenak. Rupan
Bab 130"Masih sakit, Sayang?" Pria itu tersenyum sembari menghampiriku.Namun aku segera menggeleng. "Nggak, Mas. Nggak terasa sakit sama sekali dari tadi, padahal reaksi obat biusnya mungkin sudah hampir habis, Aku sudah bisa menggerakkan kaki," ujarku menenangkan, meski sebenarnya ada rasa nyeri sedikit dari bekas luka sayatan yang baru saja dijahit.Pria itu membungkukkan badan sembari menggenggam erat tanganku. Dia mengecup keningku lama sekali. "Sebentar lagi kamu akan boleh duduk. Mungkin nanti ada seorang perawat yang akan membantu kamu untuk duduk. Mas mengusahakan yang terbaik untuk kamu, biar kamu bisa segera menyusui adek," tuturnya."Benarkah?" Bibirku mengurai senyuman. "Yang aku tahu biasanya pasien yang menjalani operasi caesar harus berbaring satu kali 24 jam sebelum diperbolehkan untuk duduk.""Itu tidak berlaku untukmu. Kamu memakai metode eracs. Dua jam setelah selesai operasi kamu boleh belajar duduk, kemudian berdiri dan berjalan pelan-pelan. Mas ingin memasti
Bab 131Gita terdiam mendengar ucapanku. Seolah tak ingin menanggapi, ia malah memfokuskan diri ke bayiku. Tangannya yang sudah terulur kini menyentuh pipi lembut itu.Matanya nampak berkaca-kaca. Entah apa yang ia rasakan. Aku sendiri tidak tahu. Sejauh yang aku tahu, Gita hanya menginginkan seorang anak. Katanya bayi itu makhluk yang lucu. Tapi ah, sudahlah. Aku tidak ingin banyak berpikir.Keduanya hanya sebentar di ruangan ini. Setelah itu pamit pulang. Namun sebelum pulang, mas Gilang masih sempat mengusap pipi bayiku, kemudian mengulas senyum. Entah maksudnya apa. Dia hanya menganggukkan kepala, lalu berbalik menggandeng Gita keluar dari ruangan itu, setelah sebelumnya kembali menyalami suamiku.Aku merasa hubungan mas Gilang dengan Gita baik-baik saja, dan sepertinya mas Gilang memang sudah move on. Aku berharap dugaanku ini benar. Aku sudah lelah dengan drama. Masih segar di benakku ucapan mas Gilang dulu dan bagaimana sikapnya saat dia mengejarku pada waktu itu. Aku sudah di
Bab 132"Kalau bik Jum ingin menggendong si kecil, silahkan," ujarku seraya mengkode mas Ibra untuk menyerahkan si kecil kepada bik Jum.Wanita paruh baya itu menerima bayi mungil itu dengan penuh haru. Dia menggendongnya dengan sangat hati-hati. Perlahan-lahan dekapannya bertambah erat. Putriku menggeliat, tetapi dia terlihat cukup nyaman berada di dalam gendongan asisten rumah tanggaku ini.Mata bik Jum nampak berbinar-binar, dan dia mendekatkan bibirnya untuk mengecup pipi bayiku."Alisha dulu saya tinggalkan seperti ini di panti asuhan. Sekarang entah sebesar apa dia. Entah masih hidup atau sudah mati," lirih perempuan paruh baya itu."Bibik jangan berkecil hati. Jika memang putri Bik Jum masih hidup, pasti kalian akan segera bertemu," hibur mbak Ranti "Setelah 20 tahun berlalu, Bibik sudah tidak lagi berharap banyak, Ranti.""Jika Tuhan menghendaki, tidak ada yang tidak mungkin," timpalku.Wanita itu tersenyum kecut. *Entahlah. Mudah-mudahan doa orang-orang baik segera di ijabah
Bab 133"Ya, Ummi. Ada apa?"Ternyata bukan Evan, tapi ummi Azizah. Aku heran sekali, kenapa dia sampai bela-belain menelpon mas Ibra padahal waktu di sana sudah tengah malam. Ada hal yang sangat penting kah?"Kapan kamu kembali ke Riyadh? Kayla sudah pulih, kan?" cecar wanita tua itu.Berhubung Mas Ibra menghidupkan speaker, aku jadi mendengar apa yang mereka bicarakan. Soal apalagi jika bukan tentang Almeera Oil Company dan masalahnya."Aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Riyadh, Ummi....""Ya, tapi kenapa? Kayla melarang kamu?" Nada suaranya terdengar kecewa. Aku tidak bisa membayangkan ekspresi wajah ummi Azizah saat ini, karena ini hanya sekedar panggilan suara, bukan video call.Dadaku seketika berdebar saat beliau menyebut namaku."Aku punya tanggung jawab di sini, Ummi. Almeera Hotel, Almeera Travel, anak dan istriku juga. Mereka tidak bisa ditinggalkan. Kami pun di sini juga punya masalah dan harus diselesaikan dalam beberapa minggu ke depan." Mas Ibra tentu tidak mel
Bab 134Waktu yang tidak terlalu lama saat mereka berada di mobil digunakan Evan untuk membacakan beberapa bahan untuk topik pembicaraan mereka nantinya. Ibra menyimak dengan baik, kemudian dua lelaki itu serius berdiskusi. Hari ini mereka akan bertemu dengan seorang calon investor yang berniat menanamkan saham di resort yang sedianya akan Ibra dedikasikan untuk Keisha. Dia tidak pernah membeda-bedakan putrinya, meski sekarang dia sudah memiliki anak kandung. Baginya semua anak sama saja. Dia menikahi Kayla sekaligus menerima paketnya. Kesan itu yang dulu pernah dilekatkan abi Emir kepadanya. Dia tahu, Abi Emir tidak salah. Abi Emir sangat mencintai ibunya dan ibunya membalas cinta pria itu. Cinta ibunya kepada abi Emir tumbuh saat mereka sudah menikah.Tidak ada yang salah dalam hal itu. Ibra pun juga memaklumi kenapa abi Emir sampai menikahi ibunya. Mereka sama-sama dipertemukan oleh takdir dan sedang patah hati, meski keduanya terus belajar untuk move on dari pasangan hidup sebel
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan