Banyak hal yang tidak semua orang tahu tentang Vero, termasuk sifat posesifnya yang menurun dari sang daddy. Vero memang layaknya laki-laki lain yang akan menyimpan tambatan hati untuk dirinya sendiri. Ia tak akan rela jika gadis itu, gadis pujaannya, dikagumi oleh manusia-manusia lain— meski hanya secara penampilan.
"Masuk!" titah Vero sembari menatap tajam Stefany. “Cepet masuk!” ulang Vero tak mau dibantah.
"Gue mau pulang!" sentak Stefany saat Vero terus menyuruhnya untuk masuk ke dalam unit apartemen milik laki-laki muda itu.
"MASUK, SEKARANG!" tubuh Stefany tersentak. Ia tak menyangka jika Vero akan berubah semenyeramkan ini. Laki-laki yang biasanya bertingkah tak punya otak itu, cukup membuat tubuh Stefany bergetar hanya karena sebuah sentakan keras.
"Lama!" hardik Vero lalu mendorong tubuh Stefany melewati pintu apartemennya yang telah terbuka lebar.
Vero mendengus. Stefany tak kunjung meninggalkan posisinya di depan pintu. Tak mau mengambil pusing akan keterdiaman Stefany, Vero berjalan meninggalkan gadis itu untuk mencuci tangan di wastafel.
"Masih mau minum? Tunggu bentar. Abis ini minuman lo dateng. Awas aja sampe nggak abis, gur cekokin lo sampe kobam!” ucap Vero tajam. Ia memang tak terlalu suka dengan gosip yang beredar mengenai sosok Stefany. Gadis itu meski pintar dan menjadi ketua BEM di kampus mereka, Stefany juga seorang mahasiswi kebanyakan yang suka dengan gemerlapnya dunia malam. Jujur saja, Vero nggak like banget. Dunia malam hanya untuk kaum lelaki, bukan gadis yang harusnya memiliki image baik-baik.
Ting... Tong...
Suara bel membuat Vero kembali melangkah mendekati Stefany. Laki-laki itu menggeser sedikit tubuh sang gadis agar bisa membuka pintu.
"Tuan Muda, ini pesanannya." Vero menganggukkan kepala menerima paper bag berisi pesanan alkohol yang akan ia berikan pada Stefany. Setelahnya Vero menyuruh orang suruhannya untuk hengkang secepat mungkin.
"Duduk sana!" titah Vero sebelum melangkahkan kaki menuju pantry untuk mengambil gelas. Malam ini dia akan membuat Stefany jera agar tidak meneruskan gaya bebas yang selama ini gadis itu lakukan.
Stefany duduk gelisah. Ia tak mungkin disuruh menghabiskan satu botol minuman dalam semalam kan? Bagaimanapun juga ia punya batas resistensi dalam mengkonsumsi minuman beralkohol.
"Minum!" Vero menatap tajam Stefany. Melirik gelas dengan cairan pekat kekuningan yang baru saja ia tuangkan dengan ekor matanya, seolah mengatakan pada Stefany jika gadis itu harus menenggak minuman yang ia sediakan.
Satu gelas,
Dua gelas,
Vero masih menguji sejauh mana kehebatan gadis pujaannya dalam menenggak alkohol. Hingga pada gelas ke lima, Stefany mulai meracau membuat Vero tak tega. Gadis itu bahkan sudah menangis sesenggukan di tempatnya duduk.
"Hiks, lo jahat! Racunin gue." Stefany bangkit dan berjalan sempoyongan ke arah Vero.
"Jahat!" racaunya sembari duduk di samping Vero. Stefany lalu melayangkan pukulan tak bertenaga ke da*da laki-laki itu.
"Lo juga harus minum! Harus! Masih banyak itu, sayang kalau dibuang." Stefany meraih botol kaca di meja, meski sempat hampir terjatuh karena jiwa gadis itu melayang-layang, namun pada akhirnya moncong botol berhasil ia bawa ke depan bibir Vero.
"Minum!" titahnya pada sosok yang mulai terlihat samar.
Vero menghembuskan nafas. Ia memegangi botol yang kini berpindah ke tangannya. Menenggak cairan itu berkali-kali sambil melirik ke arah Stefany yang kini menyandarkan tubuh ke sandaran sofa.
Vero tersenyum kala melihat Stefany bangkit dan berjoget. Ia suka melihat Stefany yang polos dan ceria. Vero bangkit, berjalan cepat untuk merengkuh tubuh Stefany ke dalam pelukannya.
"Stef.." bisik Vero ke telinga Stefany yang terdiam di dalam pelukannya.
"Yang.."
"Hemm.." gumam Stefany setengah sadar. Biasanya gadis itu akan mengamuk jika Vero memanggilnya sayang atau jenis dari panggilan yang serupa.
"Stef.. Gue pengen cium lo boleh?” tanya Vero sembari melepaskan tubuh Stefany. Kedua tangannya merengkuh pundak gadis itu. “Boleh?” ulang Vero meminta persetujuan.
“Hem..”
Vero meyakini jika deheman yang Stefany berikan merupakan lampu hijau untuknya. Ia lantas mendaratkan bibir ke atas milik Stefany. Mulai mengecap madu yang tercipta dari lipatan tak bertulang yang biasanya pandai mengutuk dirinya.
Stefany hanya bisa melenguh. Ia tak tahan dengan ciuman bertubi-tubi yang Vero lancarkan. Sedangkan Vero saat ini tengah melucuti pakaiannya sendiri setelah berhasil menelanjangi Stefany. Ia terus saja melabuhkan ciuman nakal pada si pencuri hati setelah Adriana. Hingga fokus Vero buyar karena mendengar seseorang menekan-nekan tombol password apartemen.
"Shit! Yang ayo ke kamar aku. Mau ada or..."
"Alvero Husodo!" Mellia menjerit ketika menemukan sepasang manusia tanpa sehelai benangpun dan itu adalah anaknya sendiri yang mencoba merayu gadis yang sepertinya tengah mabuk.
"Veroooooooooooooo!!!" murka Mellia.
Vero memejamkan mata. Kesenangannya kenapa harus terganggu dengan kedatangan sang Mommy.
"Mom, wait! Vero nggak like Mommy main terobos aja. Bentar-bentar, Vero amanin Stefany dulu." ujar Vero meminta penundaan waktu untuk Mommynya yang murka.
Sedangkan Ray yang tadi baru saja masuk ke unit Vero bingung melihat wajah merah padam sang istri, "Mommy kenapa?" tanya laki-laki itu tak mengerti. Bukankah tadi Mellia mengajak untuk membujuk Vero agar mau pulang ke rumah. Berjanji tidak akan lagi memarahi anak mereka agar Vero berhenti merajuk.
"Hiiaaaaa! Kamu kenapa telanjang?" teriak Ray saat Vero keluar dari kamar.
Mellia secepat kilat berjalan ke arah Vero, melayangkan tas ditangannya ke tubuh anak itu. "Nggak punya otak! Anak nakal! Nikahin dulu baru kawinin anak orang. Kenapa kamu nggak ada bedanya sih sama Daddy kamu!" Hardik Mellia membuat Vero menjerit kesakitan karena terus saja dipukuli secara membabi buta.
"Mommy ini ada apa?" Ray masih saja tak mengerti padahal sedari tadi Mellia telah memberikan clue yang amat jelas.
"Ver ini nggak jadi?" tiba-tiba saja Stefany menyembulkan kepala melalui celah pintu yang ia bula sedikit membuat Vero meringis. Tamat riwayatnya setelah ini.
"Hiiaaaaaa!
Bugh!
Bugh!
Bugh!
"Aaaaa, Mommy Vero nggak like di pukulin gini." Teriak Vero kesakitan.
"Cepet pakaiin cewek kamu baju. Bawa pulang ke rumah. Besok kita pergi ke orang tuanya buat lamaran."
Antara sial dan berkah yang datang bersamaan, Vero tak bisa membedakan namun tentu saja dalam hati anak itu berteriak senang. Akhirnya direstui juga, batin Vero.
"Loh? Lamaran apa Mell? Ini kenapa?" panik Ray karena anaknya yang ganteng mau nikahkan di usia yang terbilang masih sangat muda.
"His! Ayo balik aku ceritain di jalan." kesal Mellia pada Ray, "dan kamu!" Mellia menunjuk ke arah Vero, "bawa ke rumah! Bukan ke hotel! Ngerti?!" Vero menganggukkan kepalanya takut. Tentu saja Vero akan membawa ke rumah dibanding rencana menikahi Stefany gagal. Kesempatan kan nggak akan dua kali, masa dilewatin!
"Kesel Mommy! Kamu minum nggak ajak-ajak! Mana kesukaan Mommy lagi." bibir Vero terbuka lebar. Rahangnya serasa mau lepas setelah mendengar ucapan terakhir sang Mommy sebelum menyeret Daddy nya untuk keluar.
Brakk!!
"Astaga!" pekik Vero kaget karena bisanya sang Mommy masih membanting pintu. Bisa libas Justine sama Axel nanti dia kalau pintu apartemen mereka rusak. Unit ini kan sudah Vero jual sebagian kamarnya demi uang jajan yang pernah terpotong.
"Ver..."
Vero segera memungut pakaian Stefany yang tercecer di atas lantai. Buru-buru ia masuk ke dalam kamar. Matanya membulat saat melihat pose Stefany yang terlentang di atas ranjang. Jakun Vero naik turun, menelan saliva yang mulai banjir memenuhi kerongkongan.
"God! Ayang! Waktunya nggak nyampe kalau kita terusin yang tadi. Pending dulu ya, Ayang. Bambang takut Mommy murka terus rencana nikahin kita gagal.” ujarnya cepat lalu membantu Stefany untuk bangun. Vero lantas memakaikan pakaian untuk Stefany. Dia harus cepat. Jangan sampai otak Mommy nya kembali waras, terus restu kembali tarik.
Amit-amit! Jangan-jangan! Gue nggak mau bikin dosa sebelum nikah!
Vero menarik nafas dalam untuk beberapa detik, sebelum mengeluarkannya secara perlahan. Ia mencoba mengumpulkan tenaga di kedua otot lengannya untuk menaikkan posisi Stefany yang terlelap dalam gendongan laki-laki itu. Dalam hati Vero mengumpat, merasakan berat badan Stefany yang ternyata cukup ampuh untuk membuat seluruh tubuhnya pegal.Kebanyakan dosa nih cewek! Makanya jangan nolak gue, biar dosa lo berkurang Stef, gerutu Vero dalam hati lalu kembali berjalan untuk melangkahkan kaki menaiki anak tangga pertama rumahnya. "Eits! Mau dibawa kemana itu anak orang, Bang?" cegah Mellia bertindak bak begal yang siap menghadang mangsa buruannya."Kamar Abang Vero, Mom." Jawab Vero menjelaskan kemana tujuan kakinya akan melangkah. Vero mengerang kala sang Mommy justru merentangkan kedua tangan seolah benar-benar niat untuk menghadang dirinya."Mom, ini berat. Awas ih!” pinta Vero. Ia benar-benar nggak like sama kerjaan mommynya saat ini. Jika Stefany jatuh lalu masuk neraka, ia akan menjad
Stefany merasakan mual. Di sepanjang perjalanan, selepas mereka mendarat di Bandara Ahmad Yani Semarang dan menuju ke kota kelahirannya, Batang, Mommy Vero selalu saja melancarkan aksi tanya yang lebih dapat Stefany jelaskan sebagai interogasi dadakan. Stefany sebenarnya tak suka jika orang lain terlalu banyak mengusik privasinya. Tapi apa daya, ia tentu tak memiliki pilihan lain selain memberikan jawaban."Serem gini sih jalannya, Yang. Kamu orang ndeso ya?! Tinggalnya di hutan gini." celetuk Vero membuat sumbu amarah di otak Stefany semakin memendek. Seharian ini Stefany sudah mencoba memanjangkan sabarnya. Pasalnya tak hanya Vero, seluruh anggota keluarga laki-laki itu benar-benar menguji kewarasan."Bukan, gue Orang Utan makanya tinggalnya di hutan gini buat pulang ke rumah. Puas!" amuk Stefan ketika mobil yang mereka kendarai sedang melintasi jalanan Alas Roban. Daerah yang mereka lewati memang menyajikan pepohonan besar seperti jati dan mahoni. Terlebih kendaraan yang berlalu-l
"Ver... Lo kemaren pergi kemana?!" tanya Justine sembari memainkan ponselnya. Selain menjadi mahasiswa abadi, Justine juga calon ayah yang harus memantau kondisi terkini malaikat kecilnya. Ia tak bisa jauh-jauh dari benda pipih itu. Meleng sedikit saja istrinya yang cantik jelita pasti akan berselfie-ria, membuat seluruh kaum adam mengirimkan direct message pada akun sosial sang istri."Sibuk gue, Just! Banyak acara.." sahut Vero. Mata Vero berbinar. Justine yakin sebentar lagi pasti akan ada kekacauan yang sahabatnya itu buat."Cantik..."Nah, kan!!"Cewek!! Yuhuuu! Godain Abang dong!" goda Vero sembari memberikan cengiran kuda andalannya hingga membuat Justine menggelengkan kepala. Memang selalu ada saja kelakuan Pangeran Husodo satu itu. Sehari tidak mengganggu Stefany mungkin anak itu akan sembelit dengan perut melilit-lilit. Justine saja heran."Cewek, uhuiii. Swiuuuiiittt." Kali ini Vero bahkan sampai bersiul. Andai anak itu tahu jika apa yang ia lakukan masuk ke dalam kategori
Hais!! Seandainya Stefany boleh membunuh Vero, mungkin Stefany akan melakukan itu dan mencoba melupakan kesalahan fatal yang ia lakukan bersama Vero seminggu lalu. Hanya saja waktu tak bisa ia putar kembali demi mengembalikan apa yang telah hilang. Jujur Stefany menyesal membiarkan Vero menikmatinya seperti harimau kelaparan. Ia terlalu terbawa suasana sampai ikut lupa daratan.Laki-laki bodoh, begitulah Stefany menjuluki Vero dan segala tingkah laku tak tahu malunya. Bagaimana bisa ada orang normal sengaja mengumbar aib. Sungguh Stefany tak habis pikir. Belum lagi alasan Vero yang sungguh tak masuk diakal.Bayangkan saja, Vero menyebarkan aib mereka karena takut ditinggalkan.Takut ditinggalkan?! Tolong dicatat satu kalimat dalam dua kata itu. Sungguh tak logis sekali. Alasan yang semakin membuat Stefany meyakini jika otak Vero benar-benar halus. Tak memiliki sedikitpun urat kasar alias bodoh!"Goblok banget sih lo!" kesal Stefany. Wanita itu bahkan sampai berteriak demi menumpahkan
Suasana di kediaman Raynald Husodo mendadak ramai. Seluruh anggotanya dipaksa pulang sebelum waktunya. Vallery yang sedang menghabiskan waktu bersama teman-temannya bahkan terpaksa membatalkan janjinya, begitu pula dengan seluruh acara keluarga Stefany. Mereka diberi kabar yang cukup membuat jantungan."Saya kecewa.. Tapi mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi. Saya harap kamu tidak akan meninggalkan putri saya. Menyakiti dia sama saja kamu meminta saya mengambil Stefany!"Hening sesaat.Vero tidak berani melayangkan protes apalagi balasan pada peringatan yang calon mertuanya berikan. Vero tiba-tiba merasakan panas dingin di sekujur tubuhnya. Nyalinya menciut ketika melihat tatapan maut yang Papah Stefany layangkan. Perasaan euforia yang sempat menguasai diri anak itu seketika lenyap, tergantikan dengan rasa takut kalau-kalau setelah sah nanti ia justru akan dibunuh, lalu dicincang menjadi potongan kecil untuk santapan para piranha peliharaan tetangganya.Hiii! Amit-amit! Masa baru s
Vero menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Mata laki-laki itu terpejam, berputar pada hari dimana seharusnya ia dan Stefany dapat menghabiskan malam pertama mereka. Huft! Mengingat itu Vero jadi kesal sendiri. Malam pertama apa! Boro-boro malam pertama, baru mau buka baju istri saja, Stefany sudah ngibrit ke kamar mandi. Sekalinya keluar malah minta roti yang buat masa period.Ngeselin nggak sih?! Kenapa bulan itu datang disaat yang tidak tepat. Kan jadi merana Vero nggak dapet jatah malam pertama."Aaaa...." Vero berteriak membuat Stefany yang baru saja keluar dari kamar mandi berjengit- kaget."Ish! Bisa nggak sih jangan ngagetin gitu!” Amuk Stefany.Vero memalingkan wajah ke kanan, melihat tubuh Stefany yang hanya berbalutkan kimono saja. "Aaaa, Daddy Vero nggak like. Makin merana Daddy!” jerit anak itu mengadu pada sang Daddy yang tidak ada di kamarnya.Jeritan kepiluan Vero membuat Stefany berdecak. Ia terlalu hafal dengan jalan pikiran Vero. Pasti lelaki itu tengah berpikir mes
"Kenapa baru pulang sekarang? Kenapa harus sekarang?!"Tak kuat mendengar temu kangen antara Stefany dengan laki-laki yang tak ia ketahui, Vero memilih untuk meninggalkan mereka. Ia butuh waktu untuk menyembuhkan sakit yang sekarang ia rasakan. Katakan dia pengecut. Tapi hanya ini yang bisa ia lakukan saat mendengar suara lirih teramat menyakitkan milik wanita yang selama ini selalu memasang benteng pertahanan padanya. Baru kali ini Vero melihat Stefany serapuh itu."Ver, lo kenapa?" tanya Justine melihat air mata di mata Vero turun, meski laki-laki itu menghapusnya cepat."Lo bisa hubungin kelab punya mantan tunangannya bini lo nggak? Suruh buka, gue mau ke sana." Pinta Vero. Ia butuh sesuatu yang bisa membuat rasa nyeri di hatinya menghilang."Lo? Siang-siang gini?" heran Justine."Gue nggak mungkin minum di rumah. Mommy pasti.. Udah lah, bisa nggak?" paksa Vero. Kali ini dia butuh dan Vero berharap Justine bisa membantunya karena tidak ada lagi Axel sang Abang sepupu.Ah, Vero jadi
Satu bulan sudah Vero membiarkan Stefany. Anak Ray Husodo itu bahkan seakan tak melihat keberadaan sang istri meski mereka tidur di dalam kamar yang sama. Stefany seperti tak kasat mata di mata laki-laki itu."Vero nggak sarapan lagi?" tanya Mellia ketika Vero menuruni anak tangga rumah. Tadinya Mellia ingin memanggil Vero, tapi anak itu turun sendiri secara tak terduga. "Di kampus aja, Mom. Sama Justine..” jawab Vero tak berselera."Nggak bareng Stefany lagi? Dia lagi sarapan loh." "Dia bisa pake mobil sendiri. Punya kaki." Mellia menyerngit. Perilaku Vero sungguh diluar kebiasaan. Vero terlihat seperti tak menggilai Stefany lagi sejak Ray Husodo membawa anak itu yang pulang dengan keadaan setengah sadar. "Kalian lagi berantem?" selidik Mellia. Jika ia ingat-ingat kembali tingkah tak manusiawi putranya sudah berlangsung cukup lama.Vero menggeleng, ia berlalu cepat tak menghiraukan sang Mommy yang berteriak mengatai ia tak memiliki sopan santun. Biar saja. Vero sedang dalam mood y
Blitz kamera para wartawan langsung bermunculan menyambut kedatangan tiga keluarga besar yang memasuki ballroom hotel milik salah satunya. Para wartawan seakan berlomba untuk mengambil gambar dari tempat mereka. Mengabadikan sebanyak-banyaknya momen langka yang baru saja tercipta.Husodo, Darmawan dan Dirgantara– Ketiga nama itu terlalu besar untuk dilewatkan. Kapan lagi mereka bisa menangkap dalam satu acara yang memang ditujukan untuk ketiganya.Malam ini, pesta akbar digelar untuk memperkenalkan pasangan muda yang resmi bergabung pada ketiganya. Memamerkan ikatan erat yang terjalin tidak hanya sebagai rekanan semata, melainkan sebagai keluarga besar utuh yang kelak tak dapat dipisahkan oleh apapun– termasuk itu maut. Katakanlah, Husodo pemenang dari segalanya. Keluarga bertamengkan baja berlapiskan emas tersebut mendapatkan menantu spektakuler– berasalkan putri-putri yang kekayaannya bahkan sebanding dengan milik mereka. Ini merupakan durian runtuh yang nilainya tidak terkira mesk
“Anak kesayangan Papa, mentang-mentang udah jadi bagian Husodo nggak pernah sekali-kalinya nengokin!” Melihat Princess berada di ruang keluarga rumahnya– Justine yang baru saja pulang dari kantor langsung melancarkan sindiran keras. Sebagai ayah, hatinya terluka. Putrinya seakan lupa jika dia memiliki orang tua setelah menikah. Jujur Justin kecewa, tapi dirinya juga tak dapat melakukan apa-apa. Jika saja bisa– Justine ingin protes. Menggerakkan massa untuk demo besar-besaran di depan rumah Vero. Berorasi agar Keluarga Husodo mau mengembalikan putri kesayangannya. Terdengar gila memang– Namun begitulah adanya. Justine ingin membuat keributan supaya putrinya di depak dan kembali padanya. Ia belum siap kehilangan Princess. Rasanya baru kemarin putrinya terlahir ke dunia.Seharusnya Justine telah terbiasa dengan alpanya Princess dari kehidupannya. Hampir empat tahun lamanya Princess tinggal memisahkan diri, memilih apartemen sebagai tempat bernaung. Namun kini kasusnya berbeda. Raga dan
“Jesseeeen!! Musuh bebuyutan gue!!” Mian berjalan cepat, ia menangkap pergelangan tangan Princess. “You are a pregnant woman! Nggak usah lari-lari. Jessen nggak akan kemana-mana!” Peringat Mian dengan wajahnya yang memerah.“Sorry..” Lirih Princess– menyesal karena tak mengingat keadaannya. “Thank you for reminding me, Buy.”“It’s okay. Jangan diulangi. Sini gandengan aja turunnya.” Mian menyatukan tangan mereka dalam genggaman. Ia tidak bisa memarahi Princess karena istrinya terlalu excited setelah bangun tidur. Ketika pertama kali membuka mata– Princess mencari-cari adiknya. Mungkin efek pemberitaan yang Oma Buyutnya sampaikan. Semalam Princess dan Marchellia diantarkan langsung oleh Marchellino. Keduanya terlelap begitu damai, sampai-sampai tak terusik pada pergerakannya dengan Jessen yang memindahkan tubuh mereka.“Sarapan Ces.. Papi denger kamu hari ini ada jadwal bimbingan? Isi tenaga dulu.” Ucap Vero sembari memindahkan sayuran ke piring Marchellia, “harus dimakan. Untuk keseh
Sudah diputuskan, lima persen saham Darmawan diakuisisi oleh Husodo. Saham itu diberikan secara khusus beratasnamakan Jessen Husodo sebagai pemilik saham yang sah. Saham tersebut didapatkan dari milik Ardira Darmawan yang mempunyai lebih dari dua puluh persen saham di perusahaan suaminya. Meski berita resmi dan berkas perpindahan belum diselesaikan secara legal– keluarga besar Darmawan telah mengetahui bergulirnya saham tersebut ke tangan Jessen. “Pilihan yang sangat baik Bu Dira.. Saya mengapresiasi pengorbanan Ibu untuk cucu-cucu kita.” Ucap Mellia. Michell yang mengantarkan Mamanya, memainkan kaki. Mamanya sedang diberikan lawan yang tangguh dalam bermain peran kehidupan. Baru kali ini Michell melihat Mamanya kalah selain dari Mami istri kakaknya.“Di keluarga Darmawan pantang hukumnya menceraikan atau diceraikan oleh pasangan, Merlliana Haryo. Sesuatu yang dipersatukan Tuhan, tidak sepantasnya dipisahkan manusia. Terlebih dalam kasus ini, anak dan cucu saya memang keterlaluan. M
Jessen terengah. Dadanya naik turun karena napas yang tak berjalan mulus keluar dari paru-parunya. Pria muda yang melarikan diri dari jerat saudara, papi dan sahabatnya tersebut mendudukan diri pada sebuah pohon besar dipinggir lapangan bola. Jessen merasa telah berlari sangat jauh, jadi kemungkinan untuk ditangkap sangatlah tipis.“Tega bener mereka,” hela Jessen sembari meluruskan kaki-kakinya. Kepalanya mengadah, bersandar pada batang pohon dengan mata terpejam.Tidak.. Jessen tak mau pernikahannya hancur. Sekuat hati ia memaklumi tingkah Papi dan Abang Marchellia. Menahan letupan amarah yang kadang singgah karena perkataan menjatuhkan mereka. Ia tidak ingin usahanya sia-sia.Jessen sendiri bukannya tidak mengetahui jika kata-kata sinis yang kerap kali ditujukan padanya merupakan bentuk ketidaksukaan mereka. Jessen mengetahuinya. Ia juga memiliki perasaan sama seperti kebanyakan orang. Terlebih mereka menunjukkannya tanpa aling-aling— tidak ditutup-tutupi atau diperhalus. Mereka m
“Kedainya masih lurus lagi Pi. Belokan pertama ke kanan,” Mian memberikan arahan kepada Vero. Mereka berniat untuk menjemput Jessen setelah mengetahui keberadaan anak itu dari balasan pesan Dodit.“Ini kalian seriusan kenapa kalau cari basecamp ngumpul! Nggak habis thinking Papi.” Omel Vero. Ia mengenal baik lingkungan yang sedang mereka lalui. Vero sendiri tidak akan pernah melupakan jalanan menuju indekos yang sempat ia tinggali. “Ini area kos-kosan, Yan! Papi belum pernah liat kedai bintang lima juga di area ini.”“Nggak ada yang namanya kedai berbintang, Papi. Ini warung yang sempet Papi liat pas VCall-an sama Jess.” Terang Mian agar Vero tidak salah paham kemana tujuan mereka yang sebenarnya. Papinya yang kasta bangsawan tidak boleh terkejut karena itu akan menggagalkan misi mereka untuk ke rumah Opa Ray.“Kalian kebanyakan ngumpul sama di Dodit, Dodit itu! Begini jadinya.” Vero melirik gerbang rumah berlantai dua di sisi kanan yang baru saja ia lewati. Pria itu tersenyum, ‘kosan
Usai memberikan bagiannya dalam melampiaskan emosi pada dosennya, Jessen keluar dari ruang kerja Chello. Ia sudah cukup puas menginjak-injak dua telur sang dosen menggunakan sol sepatunya. Setelahnya Jessen menyerahkan semua kepada mertua dan kakak iparnya. Terserah mereka ingin melakukan apa, setidaknya Jessen telah berusaha melindungi Marchellia semampu yang ia bisa.“Balik?”“Princess?” Jessen menjawab Mian dengan pertanyaan lain. Jika mereka pulang sebelum para wanita sampai di rumah, saudara kembarnya bisa mendapat masalah. Jessen tidak ingin hal tersebut terjadi. Mian hari ini banyak menunjukan sisi terhebatnya sebagai seorang kakak— dan Jessen berharap tidak menyulitkan posisi Mian walau hanya sesaat.“Bisa gue chat biar langsung pulang naik Taksi. Gue yakin dia nggak bakalan marah.” Ucap Mian seperti tahu apa yang memberatkan diri Jessen. “Cepetan! Gue males liat komuk mertua sama abang ipar lo, Jes!! Mumpung mereka masih sibuk sama Pak Wisnu.” Seloroh Mian mengajak agar Jesse
Menuruti permintaan Audi Mahendra untuk menyantap makanan yang wanita itu sajikan, telah Jessen lakukan bersama dua pengikut sekte aliran gelapnya. Siapa sangka Mian dan Princess mau diajak ikut serta menyatroni meja makan rumah orang lain. Ya, walau tidak sepenuhnya orang lain karena rumah Marchello Darmawan merupakan salah satu Opa Princess, tapi hebatnya wanita galak Mian rela dibangunkan secara paksa dengan iming-iming traktiran mie instan di Kedai Pelangi. Murahan memang istrinya Mian– Jessen saja dibuat tidak percaya pada awalnya jika makanan seharga sembilan ribuan lengkap dengan telur bisa membuat wanita itu luluh.Lupakan perihal Princess dan mie instan idamannya, kini saatnya Jessen berbicara serius dengan para lelaki di keluarga Darmawan. Ia ingin masalahnya cepat selesai dan manusia lancang yang menjadikan istrinya fantasi liar segera diangkut dan mendapatkan karma atas perbuatan beraninya.“Pi,” Jessen menyambangi Chello di ruang keluarga. Ia menghabiskan makanan lebih d
Jantung Vero berdetak sangat cepat ketika melihat menantu keduanya berlarian menuruni tangga rumah. Demi Tuhan! Jika terjadi sesuatu pada Princess sesungguhnya keluarga Darmawan itu– seluruh manusia bernama belakang Husodo mungkin akan di-bumi hanguskan untuk selama-lamanya. Trah keluarga mereka dipastikan mengalami kepunahan total. Kejadian buruk harus segera Vero cegah.. Sesegera mungkin! “Acheeellll!!! Jangan lari-larian! Jalan aja, Chell!” Teriak Vero dengan tetap menjaga pita suaranya agar tak terdengar membentak. Runyam dunia persilatan kalau si Tuan Putri tersinggung. Jet lee bisa berubah jadi personel boyband nanti.“Papi, Ecen mana?! Ini.. Papi Achell telepon. Dia mau ngomong sama Ecen.” Sulit juga jika memiliki nama panggilan yang sama. Bagaimana nanti jika mereka tengah berada di acara kumpul keluarga besar dan Marchellia hanya memanggil dengan sebutan Papi. Besok-besok, untuk menantu selanjutnya Vero akan meminta Jemima mencarikan besan yang julukannya Bapak, Daddy atau