KETIKA MAS GAGAH TIBA 35Merasa diabaikan, aku mengejar dia ke depan. Mas Nata tampak menahan senyum sambil menyalakan TV."Aku cemburu, dengar tidak?""Terus Mas harus gimana?""Klarifikasi lah. Dia siapa? Kenapa masuk rumah orang tanpa etika. Pake baju seksi pula. Mana bilang kecewa karena kita menikah."Suamiku menghempaskan bokong di sofa. Dua tangannya merentang, lalu melambaikan jari. Kemudian menepuk sofa di sampingnya, menyuruh duduk.Dengan malas aku patuh. Duduk tepat di sampingnya."Oke. Mas klarifikasi." Mas Nata mengubah posisi duduk jadi menyamping. Kepalanya ditopang telapak kiri yang bertumpu pada sandaran sofa. Menatapku lekat bersama seulas senyuman yang tak pudar."Namanya Nona. Dia masih kelas dua SMA. Anak tetangga, kebetulan Mas dekat dengan ayahnya.""Kamu juga akrab dengan anaknya?"Dia berpikir sejenak. "Tidak," serunya seraya menggeleng. "Selayaknya tetangga.""Kenapa dia pake kecewa pas tahu kita nikah?""Katanya dia dan kakaknya suka sama Mas. Memang anakny
KETIKA MAS GAGAH TIBA 36Beranjak dari kehidupan Andini Larasati yang sedang membangun fondasi rumah tangganya. Jauh di sana, di sebuah perkampungan, Pak Galuh memijat pangkal hidung. Dahi mengernyit tegang. Raut kacau. Sejalan dengan beban pikiran yang bertumpuk.Semakin hari, semakin aneh-aneh saja keinginan istri dan anak tirinya. Dituruti satu minta yang lain. Yang lain diikuti minta lagi yang lebih. Sebagai seorang kepala keluarga, dia berusaha memenuhi semua harapan, sayangnya harapan itu semakin berat saja bergantung di pundaknya. Bertolak belakang dengan kekuatan tubuh yang terus menua.“Dekornya harus yang bagus, Pak.”“MUA-nya harus yang sama dengan Andini.”“Pokoknya prasmanannya harus daging, jangan ayam. Malu-maluin.”“Pilih hiburan juga jangan artis kampung.”Sumarni terus saja menuntut ini dan itu. Padahal kondisi anaknya sudah tidak layak untuk dibuat pesta besar-besaran. Mau tidak dituruti, tapi minta ampun bawelnya Bu Sumarni. Dari pada telinga panas, mata sepet piki
KETIKA MAS GAGAH TIBA 37Pulang dengan heli. Setiap kali membayangkannya, Andini tersenyum geli. Terbayang saja jika iya, baling-balingnya yang berputar akan memorak-porandakan acara nikahan Wulan. Tentu itu hanya sebatas candaan, mana mungkin Nata melakukannya, meski begitu, cara suaminya sangat menghibur. Sedikitnya dapat menghalau rasa kecewa.Pada akhir pekan, pasangan yang masih diliputi suasana hangatnya pengantin baru itu kembali ke kampung. Mengendarai mobil Nata—sebuah kendaraan merah yang harganya jelas tak murah.Sungguh putri mana yang tidak kecewa diperlakukan berbeda dengan anak lainnya. Satu kandung saja jelas tidak akan terima, apa lagi orang lain. Kendatipun demikian, kehadiran Nata berhasil mengobati duka lara. Tak sempat Andini meneteskan air mata. Suami selalu hadir dengan pesonanya.Dalam perjalanan itu, Nata menggenggam tangan Andini, sesekali mengecupnya. Sementara mobil terus melaju cepat.“Jadi mau ambil jurusan apa?” Pria yang tidak bisa banyak bergombal itu
KETIKA MAS GAGAH TIBA 38Banyak pekerjaan di acara resepsinya Wulandari. Rumah itu ramai dari luar sampai ke dalam. Mayoritas yang datang keluarga dari Bu Sumarni sementara keluarga Pak Galuh hanya beberapa saja. Pasalnya banyak yang tak suka pada ketimpangan itu, jarak pernikahan Andini dan Wulan tidak jauh berbeda, tapi perlakuannya sangat berbeda.“Andini! Kau bantu lah sambut tamu di dalam, bukannya malah duduk-duduk di sini.” Bu Sum yang merasa kerepotan meminta bantuan. Bicara tepat di depan Andini dan Nata seraya sedikit mengangkat rok karena ribet. Nata segera memegang tangan Andini, menahan wanitanya agar tidak beranjak.“Kami tidak bisa berlama-lama. Minta yang lain saja, Bu Sum,” seru Nata.Bu Sumarni melotot. Dia ingin memaki hanya saja waktunya kurang tepat. Wanita berkebaya itu mengumpat lantas buru-buru pergi, meminta tolong pada keluarga yang lain.Hanya beberapa saat setelah ijab kabul dan makan-makan, Nata dan keluarga Pak Gumilar pulang.“Gak apa-apa kalau aku gak a
KETIKA MAS GAGAH TIBA 39“Maaf, Andin. Bapak belum bisa bayar hutang.” Pak Galuh menghela lemas di hadapan Andini, hari itu dia sengaja tidak pulang ke rumah, malah mampir ke kediaman Andini. Kondisi di rumah semakin membuatnya tidak nyaman. Apa lagi setelah kehadiran Burhan, Sumarni selalu saja mengomel hal-hal sepele. Tentang Burhan yang bau; sering menyimpan pakaian di mana saja; bangun siang dan kerjaannya tidak jelas. Kepala Pak Galuh berasap gara-gara curhatan tak pernah berujung itu.“Tapi tetap harus dibayar loh, Pak. Malu aku sama Mas Nata, bukan uang sedikit pula.”“Iya, Nduk. Bapak pasti bayar.”Kasihan juga Andini melihat kondisi Pak Galuh saat ini. Jika ingat bagaimana dia menghabiskan tahun-tahun yang telah berlalu dengan kondisi bapaknya yang bagai tuli dan buta hingga kehidupan Andini serupa neraka, ingin dia berpuas hati saja. Namun, nuraninya tidak sejahat itu. Tetap tidak tega melihat kondisi orang tua yang semakin nelangsa.“Apa sih, Pak, yang bapak pertahankan dar
KETIKA MAS GAGAH TIBA 40Di sebuah ruang bercat seputih tulang, seorang pria berjas biru dan dasi bercorak garis duduk dengan mimik serius di balik mejanya. Ia sedikit menunduk membaca berkas yang ada di hadapan.“Kinerjamu sekarang sungguh jelek, Wulan.” Perlahan wajah pria 40 tahun yang masih terlihat muda itu terangkat. Memandang lurus pada Wulandari yang duduk di seberang mejanya.Wanita berseragam biru yang dipadukan dengan rok mini senada itu menatap cemas.Sejak Wulandari dirundung masalah, pekerjaannya memang banyak yang terbengkalai. Belum lagi bawaan janin yang membuat tubuhnya tidak benar-benar sehat. Dalam sebulan ada saja absennya.“Ini sungguh prestasi yang memalukan, Wulandari. Pekerjaan bermasalah, banyak bolos, ribut dengan rekan satu team, ditambah kondisi tubuhmu yang ternyata sudah mulai hamil besar padahal baru menikah. Sepertinya kita tidak dapat melanjutkan kontrak kerja sama lagi.”Laki-laki ber-name tag Wibowo itu memasang raut serius. Nadanya datar tapi mengh
KETIKA MAS GAGAH TIBA 41Kembali ke POV Andini.Lelah rasanya setiap hari harus bertempur dengan jalanan kota. Bergabung dalam hingar-bingar padatnya kendaraan. Tetapi mengingat begitu serius Nata mendukung sampai-sampai mengeluarkan banyak uang, sungguh tidak pantas aku mengeluh.Aku pernah memintanya untuk memasukkanku kursus saja. Tapi dia lebih setuju masuk dunia perkuliahan, karena tujuannya bukan hanya bisa masak. Tapi memperbaiki lingkungan supaya pola pikir ikut berkembang.Aku mengambil pendidikan tata boga. Ilmu yang katanya bukan hanya mengupas tentang bagaimana caranya menyiapkan, mengolah, dan menyajikan makanan, tapi juga mempelajari bagaimana mendidik. Kedepannya, mahasiswa dari jurusan ini tidak hanya bisa jadi chef atau wirausaha, tapi jadi guru juga bisa.“Sudah lengkap kan ilmunya. Walau nanti ujun-ujungnya hanya jadi ibu rumah tangga, Insya Allah bermanfaat. Aku dan anak-anak bakal dimasakin yang enak-enak, kamu juga jadi punya ilmu mendidik,” begitu perkataannya s
Ketika Mas Gagah Tiba 42Jam 11 malam, deru motor suamiku baru terdengar. Dari balik gorden, bisa kulihat dia membuka pintu gerbang dengan menggunakan jas hujan. Air dari langit memang tidak berhenti seutuhnya. Kadang menderas, sebentar gerimis, lalu besar lagi.Aku menyambutnya di pintu dengan muka masam.Kesal. Aku menunggunya berjam-jam. Sementara chat dan teleponku diabaikan. Dia pikir aku tidak khawatir apa. Namanya berkendara, semua bisa saja terjadi. Tadinya mau kulaporkan polisi kalau sampai jam 12 malam tak juga pulang."Ke mana aja? Chat-ku gak dibalas. Telpon gak diangkat. Gak mikir apa kalau istri khawatir." Aku langsung menyemprotnya."Ada kerjaan, Sayang." Nata membuka helm dan jas hujannya di teras basah."Sampai gak ada waktu buat ngangkat telpon?""Tanggung. Mas silent hp nya.""Astagfirullah. Aku khawatir tahu. Kalau jam dua belas belum juga pulang, aku mau lapor polisi loh.""Mas gak kenapa-napa. Hanya ada kerjaan saja."Suamiku ini gak semanis tokoh di drama Korea.
Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip
KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda
KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata
"Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak
KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d
Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me
Ketika Mas Gagah Tiba 44Tangan Bu Sum meraba gagang pintu, baru kulihat raut takut di matanya. Dia berusaha tetap mengendalikan diri dengan mengangkat dagunya tinggi lalu menantang nyalang."Ibu datang ke sini sengaja buat urus bapak. Tapi kalau kamu lancang begini, maka lebih baik ibu pergi saja. Sana urus bapakmu sendiri!""Alasan! Kau memang hanya mau bapakku saat sehat saja. Saat sakit begini tidak mau mengurus. Ke mana saja kamu sampai-sampai baru datang ke sini?""Aku sibuk ngurus bayi Wulan.""Prioritasmu memang hanya Wulan dan dirimu sendiri. Bahkan ketika bapak sedang sekarat begini. Aku dan bapak hanya kau peras demi kebahagiaan kalian berdua.""Cukup, Andini! Semakin lancang saja kamu ... Pak, kamu diam saja lihat dia begini?""Pergi saja, Bu!" sahut bapak tak kalah kecewa."Kami tidak butuh kehadiranmu di sini. Dari dulu juga aku yang mengurus bapak. Yang mencuci pakaiannya, yang bangun malam untuk menyiapkan sarapannya tiap pagi, yang masak dan mengurus segala keperluann
Ketika Mas Gagah Tiba 43"Kenapa bapak?!" Aku setengah berteriak. Nada Bu Sumarni di seberang sana terdengar begitu panik, dan jelas membuatku sangat panik juga."Bapak kecelakaan di tol. Ibu tak tahu bagaimana kabarnya."Astagfirullah, lututku rasanya mendadak lemas. Tangan jadi gemetaran. Teringat bagaimana sikap dinginku belakangan ini pada bapak."Gimana keadaan bapak sekarang?""Ibu tidak tahu. Ibu baru dengar kabar."Allahuakbar. Aku mengusap wajah. Hal yang paling aku takutkan terjadi. Bapak mengalami kecelakaan. Tenang, Andini, tenang. Mungkin bapak tidak kenapa-napa.Aku mengendalikan diri dari kepanikan tak jelas ini. Lalu menelepon Nata."Mas, aku dengar bapak kecelakaan," kataku begitu sambungan diterima."Mas juga dengar. Ayo sebaiknya pulang, kita langsung ke sana saja.""Mas tahu lokasinya?""Tahu. Ayo pulang saja. Hati-hati di jalan.""Iya."Aku segera meninggalkan kampus. Pulang ke rumah menjemput suami. Sesampainya di sana, Nata mengambil alih kemudi. Kemudian kami m
Ketika Mas Gagah Tiba 42Jam 11 malam, deru motor suamiku baru terdengar. Dari balik gorden, bisa kulihat dia membuka pintu gerbang dengan menggunakan jas hujan. Air dari langit memang tidak berhenti seutuhnya. Kadang menderas, sebentar gerimis, lalu besar lagi.Aku menyambutnya di pintu dengan muka masam.Kesal. Aku menunggunya berjam-jam. Sementara chat dan teleponku diabaikan. Dia pikir aku tidak khawatir apa. Namanya berkendara, semua bisa saja terjadi. Tadinya mau kulaporkan polisi kalau sampai jam 12 malam tak juga pulang."Ke mana aja? Chat-ku gak dibalas. Telpon gak diangkat. Gak mikir apa kalau istri khawatir." Aku langsung menyemprotnya."Ada kerjaan, Sayang." Nata membuka helm dan jas hujannya di teras basah."Sampai gak ada waktu buat ngangkat telpon?""Tanggung. Mas silent hp nya.""Astagfirullah. Aku khawatir tahu. Kalau jam dua belas belum juga pulang, aku mau lapor polisi loh.""Mas gak kenapa-napa. Hanya ada kerjaan saja."Suamiku ini gak semanis tokoh di drama Korea.