Bab 93. Perusahaan Alisya Berkembang, Perusahan Deva Di Ambang Kehancuran“Alisya?! Masa iya, ini Alisya? Tak mungkinlah!” gumam Alina tak percaya. Wanita itu menyipitkan kedua kelopak mata, bahkan sempat menjauhkan layar ponselnya. Itu untuk memastikan foto yang terpampang di sana. “Saat ini Alisya sedang terlunta-lunta di jalan. Paling banter juga pulang kampung ke daerah pegunungan sana! Mana mungkin dia menjadi pengusaha, hah … mimpi! Perempuan ini hanya mirip,” desisnya seraya tersenyum sinis.Namun, hati dan otak tak seirama. Seberapa keraspun hatinya menolak, pikirannya tetap menegaskan kalau itu Alisya. Jemarinya lalu mengusap layar, membuka halaman berikutnya. Ingin tahu siapa wanita itu sesungguhnya. Alina lalu membaca baner berita utama.[Perusahaan kecil yang bakal menjadi primadona. Alis --]“Selamat Pagi Bu Alina!”Belum selesai dia membaca baner halaman, seseorang menyapa dari kejauhan. Sontak Alina menoleh. Orang yang dia tunggu-tunggu sudah tiba. Ardho berjalan den
Bab 94. Serangan Di Kantor AlisyaAlisya terpana menatap para penyerang. Seorang pria tampan memimpin paling depan. Para bodyguard mengiring di belakang. “Mas Deva?” Alisya menyebut nama itu. Tak salah lihatkah dia? Pria dengan wajah ketat merah padam dan rahang mengeras itu berjalan angkuh menghampiri meja kerjanya.“Kamu?” Pria itu bergumam. Langkahnya sontak berhenti. Tanganya terangkat memberi kode agar para pengawal juga berhenti. Seluruh anak buahnya yang berjumlah delapan orang itu pun patuh. “Kamu di sini? Pantas! Rupanya kau mengemis di perusahaan kaleng-kaleng ini! Kenapa? Udah enggak makan? Terlunta-lunta di jalan, iya?” cercanya seraya terkekeh. Mata tajamnya melahap tubuh Alisya dari ujung kepala hingga ujung kaki.Alisya balas menantang tatapan menghujam itu. Tatapan mereka beradu, saling mengunci tak ada yang mau mengalah. Namun, tiba-tiba Alisya merasa ada yang aneh di perutnya. Ada rasa mual, dan ….“Ouup …!” Alisya sontak menutup mulut dengan telapak tangan.
Bab 95. Talakmu Sah, Mas!“Selamat, ya, Pak! Bu Alisya positif hamil.”‘Apa?’ Alisya tersentak dengan mata masih terpejam. Kepalanya masih terasa pusing. Begitu berat. Dia sudah mencoba membuka kelopak mata, namun sangat sepat. Bumi ini dia rasakan berputar bila memaksakan diri. Terpaksa dia tetap terpejam, sembari mengumpulkan tenaga kembali.Keterangan sang Dokter barusan seperti petir yang tiba-tiba menggelegar tepat di gendang telinga. Alisya tak percaya. Dokter ini pasti salah! ‘Hanya karena aku merasa mual dan sempat muntah-muntah, lalu mereka menyimpulkan aku hamil?’ celetuk Alisya membatin.Alisya merasa perutnya baik-baik saja. Tadi dia memang sempat mual. Tapi mual karena menahan amarah. Bukan karena hamil. ‘Tapi, tunggu … apakah bulan ini aku memang belum datang bulan?’ Alisya mencoba mengingat-ngingat dan menghitung tanggal. Sejak sering bermasalah dengan Deva, dia lupa akan hal itu. Pertengkaran dan perang dingin yang kerap terjadi membuat dia stress, dia bahkan lupa kapa
Bab 96. Kepergok Aisyah“Lepaskan dia, Mas! Alisya, ayo aku antar!” Seseorang muncul di depan pintu. Alisya merasa sedikit lega. Meski yang datang sangat tak dia harapkan. Tetapi setidaknya kehadiran pria itu bisa membantu Alisya untuk terlepas dari sikap keras kepala dan suka memerintah Deva.“Mas Raja?” gumam Alisya menyebut nama pria itu.“Kau?” sergah Deva masih tetap mencekal lengan Alisya. “Darimana kau tahu kami di klinik ini! Dan, buat apa kau ke sini!” cecar Deva lagi.“Tak penting Mas tahu dari mana. Tolong jagan sakiti Alisya! Lepaskan, Mas!” pinta Raja dengan suara memohon.“Pergi, Raja! Aku tidak membutuhkanmu di sini!” sergah Deva tak peduli.“Lepaskan tangan saya, Pak Deva! Saya memang seorang janda! Tapi bukan berarti Anda bisa sembarangan memegang saya! Tolong hargai saya!” Alisya berusaha meloloskan tangannya. Tetapi Deva malah makin kencang mencekalnya.“Jangan emosi, Mas! Perbuatan Mas ini menyakiti Alisya! Sekarang tolong lepaskan tangannya! Aku akan mengan
Bab 97. Pengakuan Alisya Hamil Anak Selingkuhan“Aisyah, kamu ke sini?” tanya Raja kaget.Alisya dan Deby tak kalah terkejut. Seorang wanita cantik berhijab lebar telah berdiri kaku di ambang pintu utama. Menatap ke arah mereka dengan sorot murung penuh kecewa. Dia adalah Aisyah, istri pria yang saat ini berdiri di hadapan Alisya.Raja segera berbalik dan menyongsong sang istri. “Kenapa menyusul ke sini? Kamu masih capek, kan? Harusnya kamu istirahat saja di rumah, bagaimana penerbangannya?” tanya Raja lagi lalu mengulurkan tangan kanan yang masih sedikit kaku sisa perkelahian dengan Deva.Aisya menyalam lalu mencium punggung tangan sang suami seperti biasanya. Namun, gerakannya terlihat sangat kaku. Wajah murungnya ditekuk. Sorot mata memancarkan kesedihan.“Penerbangannya lancar, Mas. Mas Raja kenapa?” Aisyah terkejut melihat wajah suaminya dari dekat. “Ini berdarah, ya, ampuuun, Mas Raja dipukuli orang? Siapa yang mukuli, Mas?” cecarnya sangat khawatir. Jemarinya menyeka be
Bab 98. Stop membayangkan Alisya saat kita melakukannya, Mas!Raja menepikan mobilnya di halaman rumah megah keluarga Wibawa. Mobil milik Haga Wibawa, sang Papa. Sejak Raja kembali ke kota ini, Haga Wibawa menyerahkan mobil itu kepada putra keduanya itu. Sedangkan mobil Raja masih tertinggal di Pekan Baru. Alina bermaksud menjualnya beserta perusahaan cabang yang ada di sana.“Mas, kenapa dari tadi cemberut aja, sih? Aku baru datang, lho dari Bandara,” protes Aisyah saat mesin mobil sudah dimatikan oleh Raja.“Aku sedang stress, Ai. Aku tahu kamu baru tiba dari bandara. Harusnya kamu gak usah menyusul ke kantor Alisya! Apa salahnya kamu pesan taksi lalu pulang sendiri ke sini, lalu Istirahat di rumah!” sahut Raja gegas membuka pintu mobil lalu turun.Aisyah menghentakkan kakinya di lantai mobil. Kesal dan geram, Raja sama sekali tak peduli akan keluh kesahnya. Wanita itu lalu ikut turun, buru-buru menjejeri langkah Raja.“Mas Raja pasti stress gara-gara Alisya, kan?” tuduhnya be
Bab 99. Raja Kembali salah Sebut Nama“Stop membayangkan Alisya saat kita melakukannya, Mas! Kamu bisa?”“Ai?” Raja sontak melepas rengkuhannya. Pria itu lalu duduk di pinggiran ranjang. Menatap lekat mata istrinya dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi dia membenarkan tuduhan Aisyah, namun di sisi lain dia tak mau dituduh. Harga dirinya serasa terkoyak.“Kenapa? menatapku begitu? Benar seperti itu, kan? Bagaimana Allah akan memberikan kita anak, jika Mas melakukannya tak pernah ihklas!” sergah Aisyah menantang mata suaminya.“Tidak ihklas bagaimana maksud kamu, Ai?”“Ya, Mas melakukannya tidak ihklas. Mas melakukannya hanya setiap aku yang minta duluan. Aku juga selalu perhatikan, Mas selalu memejamkan mata saat melakukanya. Aku tau tujuan Mas memejamkan mata karena Mas sedang berkhayal! Mas membayangkan sedang mencumbu Kak Alisya! Mas sengaja membayangkan lalu menggunakan tubuhku sebagai perantara.”“Cukup, Ai!”“Kenapa cukup, Mas!? Karena yang aku katakan ini sangat bena
Bab 100. Aisyah Mengamuk, Alisya Terusir“Terima kasih, Alisya ….” ucap Raja terkulai di samping Aisyah. Matanya terpejam, bibirnya membentuk lengkungan samar. Raja tengah tersenyum. Senyum penuh kepuasan. Aisyah membeku di posisinya. Menatap nanar wajah tampan di sampingnya. Wajah yang masih basah oleh peluh sisa-sisa pertempuran. Wajah yang terlihat begitu tenang sekarang. Detik berikutnya, dengkur haluspun terdengar. Raja telah terlelap, begitu damai setelah berhasil mereguk nikmat percintaan dengan seorang istri yang justru tak pernah dia cintai.“Kamu mengulangnya, Mas,” lirih Aisyah pelan. Matanya memanas. Air bening lolos begitu saja. Baru saja Raja berjanji akan berubah. Memohon maaf akan kejadian yang sudah sudah. Aisyah sempat percaya, Aisyah bahkan sangat menikmatinya. Sungguh tak dapat dia percaya, Raja ternyata berdusta.Di awal Raja masih menyebut nama Aisyah, mengatakan sayang dengan penuh perasaan. Namun, di akhir permainan, saat Raja mereguk tuntas nikmat perci
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI