Bab 68. Dilema (Antara Cemburu dan Hati Burani)“Mbak! Mbak Alisya! Mbak! Hallo! Hallo … Mbak! Ada apa, Mbak!” Aisyah kebingungan, telepon Alisya masih aktif, tetapi tak ada lagi sahutan.“Hallo … hallo … Mbak Alisya! Ada apa?” teriaknya lagi mulai panik. Terakhir yang dia dengar adalah suara Alisya minta tolong. Minta tolong kenapa?“Hallo, ini siapa? Bu Alisya ke mana? Kok, enggak di dalam mobil?” terdengar suara seorang laki-laki paruh baya.“Hallo, saya Aisyah, adik iparnya Mbak Alisya. Mbak Alisyanya ke mana? Terakhir dia minta tolong saya dengar. Bapak siapa? Bapak yang jahatin kakak saya, ya? Ke mana Kakak saya?” teriak Aisyah.“Sa-saya Dadang. Saya supir keluarga Pak Deva Wibawa. Lho, Bu Alisya ke mana? Ya, Tuhan … apa yang terjadi? Tadi saya tinggal beliau di dalam mobil, saya masuk ke dalam pos jaga satpam di depan sekolahan. Saat saya tinggal Bu Alisya sedang main hape.”“Iya, dia nelpon saya. Kami sedang ngobrol, tiba-tiba saya dengar Mbal Alisya bilang ‘Mau apa kalian!
Bab 69. Luka Batin Seorang Istri Yang Tak Dicinta“Aku udah coba telpon Mas Deva, tapi enggak diangkat. Aku telpon Mama juga udah. Tapi langsung terputus. Sepertinya signal jelek. Aku mau bilang ke mereka kalau Mbak Alisya hilang!” Aisyah berkata dengan hati-hati. Wanita itu khawatir Raja akan panik.“Apa! Hilang? Maksud kamu, tolong yang jelas ngomongnya, Ai! Jangan buat aku bingung! Hilang gimana maksudnya?” cecar Raja terdengar begitu panik. Apa yang Aisyah khawatirkan terjadi juga.“Saat tadi kami lagi ngobrol, Mbak Alisya tiba-tiba teriak ‘Mau apa kalian! Lepaskan! Lepas! Tolong! To ….’ Seperti itu, Mas!” tutur Aisyah tetap tenang. Meski api cemburu makin nyalang membakar.“Astaga! Ada yang menculik Alisya! Sudah kau telpon Mas Deva atau Mama tapi enggak diangkat, gitu?”“Mas Deva yang enggak ngangkat, Mama ngangkat, tapi putus lagi, sepertinya signal jelek!”“Ok, aku ke Medan, ya, Sayang! Aku langsung ke Bandara. Transit ke Jakarta duu pun enggak apa-apa. Yang penting a
Bab 70. Alisya Di Sarang Penyamun“Bu Alisya? Ada apa dengan Bu Alisya?” tanya Sonya pura-pura belum tahu.“Bu Alisya tiba-tiba manghilang dari dalam mobil, ponselnya tertinggal di atas jok masih dalam keadaan menyala dan tersambung dengan Bu Aisyah. Tolong, Mbak! Beritahu di mana Pak Deva?” urai anggota Deva makin tak tenang.“Pak Dirut sedang ada tamu. Tolong jangan diganggu! Bu Alisya tak mungkin ke mana-mana!” sergah Sonya tegas.“Di mana Pak Deva bersama tamunya! Katakan di restoran mana? Atau di café mana! Tolong cepat beritahu, Mbak! Ini darurat! Tapi, kalau Pak Deva keluar dari kantor ini, tak mungkin kamu tak tahu. Kami selalu siaga di bawah. Beliau pasti masih berada di dalam kantor ini. Tolong katakan di ruangan mana!” cecar pria itu lagi.“Kami enggak tau! Yang jelas dia enggak ada di dalam ruangannya! Kalau enggak percaya liat aja sendiri!” ketus Sonya menunjuk pintu ruangan Deva yang tertutup rapat.“Baik, kami akan obrak-abrik seluruh ruangan di kantor ini!” Kedua pr
Bab 71. Pria Yang Berjuang Menyelamatkan AlisyaFlass BackPOV FajarFajar tengah termenung di dalam mobil milik majikannya, di areal parkir gedung perkantoran di mana kantor Deva berada. Bayangan wajah Alisya kembali memenuhi pikiran. Wajah cantik, lembut, dan begitu elegan. Makin ditatap makin sulit dilupakan.Seolah-olah ada magnet di sana. Siapapun yang menatap tak pernah bisa lagi berpaling. Mata yang teduh itu bak sebuah telaga. Betapa Fajar ingin tenggelam saja di dalamnya. Kulit Alisya yang eksotis, membuat pikiran melayang ke mana-mana. Ada yang berdesir di dalam dada, bisikkan ingin yang menggelora.Tubuh Fajar bergetar, aliran darah tiba-tiba tak normal. Detak jantung bertalu, menghentak tak karuan. Itu membuatnya semakin tak tenang. Angan semakin liar, hati tak mampu lagi mencegah. Pikiran tak mampu lagi dikontrol.Ada bagian tubuhnya yang tiba-tiba menegang.“Alisya, aku menginginkanmu! Aku ingin sekali, Sayang! Aku ingin kita melebur menjadi satu!”Pria itu memejamkan m
Bab 72. Benda Dingin dan Tajam Menempel di Dada Alisya“Alisya!” gumam Fajar langsung berlari ke dalam mobilnya, segera tancap gas mengejar mobil Van di depannya.Tangan kirinya meraih ponsel di dalam saku celana. Semetara tangan kanan mengendalikan stir mobil. Ponselnya sudah menyala, dia harus menelpon Deva. Meminta suami sah Alisya itu untuk mengirimkan bantuan dengan segera. Saat telunjuknya hendak menekan symbol telepon, niat itu urung seketika. Pikirannya bercabang dua. Buat apa dia melapor dan meminta bantuan Deva? Begitu anak buahnya datang, maka tak akan ada lagi kesempatan baginya untuk bersama Alisya.Bukankah ini kesempatan langka? Dia bisa meraih simpati Alisya lagi dengan cara ini. Dia juga punya kesempatan untuk berdekatan dengan wanita itu setelah dia menyelamatkannya nanti. Fajar menguatkan tekat. Dia harus bisa menyelamatkan Alisya, sendirian.Pria itu lalu mencari nomor Intan.“Tan, aku gak bisa jemput Rena, tolong kamu saja yang jemput, ya!” titahnya pada s
Bab 73. Umpan Fajar Kena Sasaran“Ok, kamu sudah tenang? Baik, kita mulai, ya!” gumam Leo menyeringai seraya mulai membuka kedua paha Alisya. Betapa miliknya sudah tak sabar, ingin cepat cepat menancap di sana.“Ini luar biasa, Alisya! Kau membuatku mabuk!” Leo mulai ngaracu, jemarinya menyibak kain segitiga yang di kenakan Alisya. “Sesaat lagi, ya, sesaat lagi, Cantik! Ini dia. Astaga, indah sekali!”Buug!“Aaaauw! Apa ini?” Leo tiba-tiba ambruk menimpa tubuh Alisya.“Bangun, Alisya! Cepat bangun!”“Mas Fajar?”“Ya, cepat bangun!”Fajar berusaha mendorong tubuh gempal yang menindih tubuh Alisya. Pria yang sudah setengah telanjang itu dia dorong ke sudut tempat tidur. Alisya lepas dari kungkungan pria yang hampir saja memperkosanya itu.“Lari! Cepat lari, Alisya!” perintah Fajar lagi.Alisya segera merapikan gaunnya yang sudah acak-acakan. Lalu berlari keluar dari ruangan pengap itu.“Kau? Sia … pa?” Leo masih sempat bergumam. Tangannya berusaha meraih belati yang tadi sempat l
Bab 74. Alisya dan Rena di Kontrakan FajarMobil Mawar yang dikemudikan Fajar menepi di depan kontrakan. Rena, segera berlari keluar menyambutnya. Namun, langkah gadis kecil itu segera surut ke belakang saat melihat Alisya juga datang.“Enggak mau pulang, Mama! Rena mau di sini saja!” teriaknya langsung berlari kembali masuk ke dalam. Dia bahkan langsung ke kamar belakang, menguncinya dari dalam.“Sabar, ya! Ayo masuk, dekati dia pelan-pelan!” ucap Fajar memberi semangat pada Alisya. Wanita itu mengangguk lalu berjalan masuk diringi Fajar.“Kak Alisya!” Intan menyambutnya di ambang pintu. “Kirain kenapa Rena teriak, rupanya karena ada Kakak. Tapi, kok, bisa bareng Mas Fajar?” tanyanya penasaran.“Enggak apa-apa, Tan. Maaf, boleh aku masuk? Aku mau ketemu Rena.”“Boleh, dong, Kak! Dia berlari ke kamar Mas Fajar, di belakang.”Alisya melanjutkan langkah. “Kak, Mama sakit, kalau Kakak tidak keberatan, nanti temui Mama di kamar sebentar, ya! Dia akan sangat senang kalau Kakak sudi menje
Bab 75. Perintah Deva Untuk Melenyapkan FajarAlisya tergidik. Wajah Deva tampak makin ketat dengan rahang mengeras. Pria itu mendekat ke arahnya, lalu mencengkram bahu Alisya dengan kencang.“Jadi, kau sengaja menghilang dan bersembunyi di sini, Alisya?” tanyanya penuh tekanan.“Mas,” gumam Alisya menahan sakit di kedua bahu. “Ini sakit, Mas! Lepas!” lirihnya mencoba melepas cengkraman tangan kekar Deva.Joni segera mendekati Intan. “Tolong bawa Non Rena keluar, Mbak! Saya akan membujuk Pak Deva agar tidak emosi,” bisik pria itu di dekat telinga Intan.Gadis itu sempat terkejut, merasa geli karena kumis tipis sang pimpinan bodyguard Deva itu menyapu lembut daun telinganya. Sontak gadis itu menoleh. Gerakan yang repleks itu membuat wajah mereka beradu. Pipi Intan menempel di pipi Joni tanpa disengaja.“Eh, maaf!” ucap Joni langsung menundukkan kepala. Tampang seramnya melunak seketika.“Em, gak apa-apa,” sahut Intan sama gugupnya. Wajah manis itu merona, ada perasaan tak ka
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI