Bab 45. Perjuangan Sonya Untuk DevaAlisya masih mematung di ruang tamu, saat Sonya mengetuk halus pintu kamar tamu.“Mas, buka sebentar, ada yang mau aku sampaikan,” ucap wanita itu dengan suara lembut. Alisya terkesiap. Beraninya Sonya mengetuk pintu kamar suaminya. Apakah wajar seorang mantan istri mengetuk pintu kamar mantan suami? Andai saat ini situasinya bukan sedang perang dingin begini, pasti Alisya sudah menyeret perempuan itu keluar. Tapi apa daya, sedang pernikahan mereka pun sudah berada di ambang kehancuran, Alisya merasa tak perlu ikut campur.Yang penting sekarang baginya adalah, bagaimana cara membawa kedua anaknya keluar dari rumah ini. Bahkan hingga detik ini, Alisya tak punya jalan keluar.‘Apa yang harus aku lakukan sekarang?’ gelisah, batin wanita itu remuk redam. Perlahan dia bergerak menuju sofa, duduk lemas menatap putranya yang sedang tenggelam dengan permainan mobilannya.“Mas, buka bentar aja pintunya, aku mau nyampaikan pesan Pak Cahor tadi, lho, Mas.
Bab 46. Tawaran Sonya Untuk Fajar“Astaga! Kalian!” Alisya membeku di depan pintu menyaksikan pemandangan di sana. Sonya tengah meraba dada Deva. Sementara Deva terpejam, begitu menikmati sentuhan Sonya, yang dalam khayalannya adalah Alisya.“Alisya! Astaga! Ini … Sonya, kamu!” Deva tersentak kaget, spontan tubuh Sonya dia dorong kuat.“Mas!” protes Sonya lebih kaget dengan perlakuan Deva. Hampir saja tubuhnya terjerembab ke lantai. Untung dia segera berpegangan pada sudut nakas.“Terima kasih makanannya. Sekarang kamu pulang saja!” perintah Deva tegas.Alisya segera berpaling. Pikirannya campur aduk antara percaya, curiga, dan prasangka. Otaknya tak sanggup berpikir. Entah apa yang baru saja dilakukan oleh Deva dan Sonya.“Mammmmma …. mamma ….” Adante berjalan ke arahnya dengan dua buah mobilan di tangannya.“Adante? Sayang? Kamu dari mana?” Alisya menoleh.“Mobilannya meluncun jauh, Dante kejan, Ma. Mama … papa Bobok, ya?” Adante hendak masuk ke dalam kamar Deva.“Iya, Sayan
Bab 47 Tenggelam Di dalam Kubangan Dosa“Ya, aku kunci dulu pintunya!” Fajar bangkit dari kasur, lalu berjalan ke arah pintu. Dua buah kancing pintu dia geser, atas dan bawah. Pintu kamar kini tertutup rapat.Sonya menatap lekat tubuh tinggi Fajar. Benar, kalah jauh dengan fostur Deva. Fajar terlihat lebih kurus, kumal dan tak terawat. Kulitnya lebih hitam dari aslinya. Beban hidup dan pikiran ruwet membuat penampilan Fajar makin tak karuan.Namun, Sonya yakin Fajar pasti bisa memberinya kehangatan. Fajar pasti sangat tangguh di atas ranjang. Dia bisa menangkap jejak kejantanan dari bahasa tubuh mantan suami Alisya itu. Khayal liar Sonya makin mengembara. Dia yakin permainan kali ini pasti sangat berbeda dengan permainan Alex.Sonyalah yang akan menguasai Fajar, bukan dikuasai. Fajar membutuhkan dia, tentu Fajar akan memperlakukannya dengan sangat baik. Tidak seperti Alex. Bos preman itu selalu memperlakukan Sonya tak ubah barang. Sonya melayani juga bukan dari hati, tetapi sela
Bab 48. Rena Dikunci di Toilet Sekolah“Baik-baik belajarnya ya, Non! Jangan ke mana-mana kelar sekolah, kakek akan menunggu di sini! Gak boleh pulang bareng siapapun selain kakek. Ingat pesan Papa dan Mama, kan?” Dadang melepas kedua putri majikannya pagi itu.“Baik, Kakek. Rena masuk kelas, ya?” sahut Rena lalu menyalam sang supir. Sementara Tasya sama sekali tak peduli. Dengan langkah angkuh dia berjalan ke arah gerbang sekolah.Dadang menghela napas panjang. Tasya sudah sangat berubah. Padahal dulu dia begitu sopan, ramah dan selalu menghargai siapapun. Alisya selalu mengajarkan kebaikan dan budi pekerti. Namun, sejak Sonya dan Alina mendekat, Tasya berubah total.“Semoga Non Tasya bisa kembali seperti dulu,” gumam Dadang sambil melajukan mobil kembali pulang.Rena berhenti di depan kelasnya. Menatap lurus ke arah rumah kecil di sudut halaman sekolah. Mengenang saat-saat indah dahulu. Biasanya pagi begini dia akan berlari ke rumah penjaga sekolah itu dengan wadah bekal di tanga
Bab 49. Ancaman Fajar Sonya tengah menyiapkan berkas-berkas yang diminta oleh Deva saat sebuah notifikasi pesan chat masuk ke dalam ponselnya. Segera wanita itu mengusap layar. Pesan dari Tasya putrinya.[Ma, Rena Tasya kunci di dalam Toilet sekolah, hehehe ….Tasya keren, kan Ma?][Oh, ya! Keren banget. Tasya memang anak Mama!]Sonya mengetik pesan balasan. Terkirim, namun tak berubah warna. Ponsel Tasya tak aktif lagi. Wanita itu lalu memutar otak. Dia harus memanfaatkan kesempatan langka ini. Segera dia menghubungi nomor Fajar.“Hallo, Mas! Mas Fajar di mana?” sapanya begitu ponselnya terhubung.“Ada apa, Sayang? Oh, iya. terima kasih yang tadi malam, ya? Tapi, maaf, aku belum dapat ide untuk mendekati Alisya. Sabar, ya, Sayang!” terdengar jawaban mesra dari seberang sana.“Iya, aku paham. Sekarang Mas posisinya di mana?”“Bu Mawar sedang arisan. Aku nunggu di mobil, kenapa, Sayang?”“Em, bagus kalau begitu! Mas Fajar izin sama Mama, bilang alasan apa, kek, gitu! Lalu, segera k
Bab 50. Pesan Suara Rena Kepada Alisya“Apa? Tasya menganiayaya adik tirinya? Maksudnya Rena? Fitnah apa ini? Usir mereka!” perintah Deva.“Mereka punya buktinya, Pak. Tolong Bapak segera datang ke kantor, mereka menunggu!” nada suara Sonya terdengar sangat panik.“Siapa, mereka? Jangan cari masalah sama saya!”“Mereka dua orang. Satu pengacara dan satu lagi perwakilan dari komisi perlindungan anak.”“Apa? Siapa yang mengirim mereka?”“Sepertinya Pak Fajar.”“Fajar? Gembel itu berani menantang saya?”“Sepertinya Pak Fajar punya relasi orang hebat. Makanya Bapak cepat datang ke kantor, ya!”“Wah, ngajak ribut dia! Baik! Aku datang!”Deva menutup ponsel. “Cari tahu tempat tinggal si berengsek itu! Bawa Rena pulang! Segera!” perintahnya kepada anak buahnya.“Baik, Pak!” Empat orang pria berseragam safari segera bergerak pergi.“Kita pulang, aku harus bicara dengan Tasya sebelum ke kantor.” Deva menoleh ke arah Alisya.“Aku akan ikut cari Rena! Aku gak akan bisa tenang kalau Rena belum di
Bab 51. Pengakuan Tasya“Rena! Ini suara Rena, Rena ….” gugup Alisya demi mendengar pesan suara yang masuk ke ponselnya. Buru-buru dia menekan symbol panggil di layar.“Hallo …. Rena jawab mama, Nak! Di mana alamat Tante Intan, Sayang! Hallo …!” Alisya berulang-ulang memanggil nomor Intan. Namun, panggilannya tak tersambung. Ponsel Intan tak aktif lagi.“Rena … kamu baik-baik aja, kan, Nak! Kamu di mana? Mama mau peluk, tolong jangan trauma lagi, ya, Sayang! Rena … jawab telpon mama!” Alisya ngeracau, berulang-ulang memanggil nomor Intan di ponselnya.Deva masih berdiri kaku di posisinya. Suara Rena yang terdegar jelas di telinga masih belum bisa dia percaya. Rena bilang dia tak mau lagi pulang ke rumah, tak mau lagi ke sekolah, itu karena takut pada Tasya. Takut karena Tasya sempat menguncinya di toilet.Apakah ini bagian dari rencana Fajar untuk menyerang dirinya, dengan cara memfitnah Tasya? Lalu Fajar menyuruh Rena berkata dusta? Astaga Rena, kenapa kau mau mengikuti ide g
Bab 52. Deva Kalah Dalam Ancaman FajarSuasana terasa begitu tegang di rumah kediaman Deva. Seluruh penghuni rumah larut dalam kegelisahan. Para ART tak luput dari kekalutan. Semua turut sedih akan kejadian yang menimpa Rena. Mereka sangat membenci perbuatan Tasya. Namun, tak ada yang berani menghujat.Tasya merasa kalau dia dibenci oleh seluruh penghuni rumah. Itu membuatnya merasa tidak nyaman. Gadis itu segera mengadu kepada Sonya dan Alina. Tentu saja kedua wanita itu membujuk dan membesarkan hatinya. Sonya berjanji akan segera datang setelah pulang kantor. Alina bahkan segera memanggil supir untuk mengantarnya ke rumah cucu kesayangan.Alisya berjalan hilir mudik di teras rumah. Tak sabar menunggu kepulangan Deva. Wanita itu sangat berharap Deva bisa menyelesaikan masalah ini dengan utusan Fajar. Bukankah selama ini Deva bisa menyelesaikan masalah apapun. Dengan uang dan nama besarnya, Deva dengan gampang mengatasi segalanya. Konon lagi hanya seorang Fajar.Alisya yakin, D
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI