Setelah semua kembali normal, hari-hari terlewati begitu saja. Tidak ada yang berubah kecuali pengawasan Anna yang lebih ketat. Raden pun semakin menegaskan bahwa semua kepergian Anna harus dilaporkan ke dirinya.
Anna tahu bahwa dia diawasi nyaris 24 jam. Akan tetapi, dia sudah tidak ada niatan untuk melakukan kekacauan lagi. Sudah cukup hari-hari itu menjadi luapan kegilaannya.
Sayangnya, semesta tidak membiarkan Anna bersantai begitu saja. Ia mendapat pesan yang menyatakan, 'Datang ke rumah. Ayah mau bicara denganmu.'
Atas perintah sang suami, Anna memberitahu kepada lelaki tersebut melalui media pesan. Kemudian mengirimkan gambar pesan sebagai bukti.
'Apakah boleh?' tanyanya melalui pesan teks. 'Jam dua siang nanti. ASAP.'
'Ya.' Balasan singkat itu ditunjukkan Anna secara nyata kepada kedua pengawalnya. "Aku ingin pergi ke rumah keluargaku."
Tibalah dia di rumah yang sudah lama tidak didatangi. Jika tidak dipaksa, dia tidak akan sudi menginjakkan kaki lagi di sini. Namun, dia selalu lemah di hadapan kedua orang tersebut.
Seorang wanita berumur tua, Anna mengenalnya sebagai pembantu Setiawan yang paling loyal, membukakan pintu dan tampak senang dengan kehadirannya. "Akhirnya Mbak Anna datang juga."
Anna memeluk sang pembantu. Selama ini, pembantu tersebut yang membantu Anna memiliki alasan kenapa dia harus bertahan hidup di rumah ini. Meski pembantu tersebut tidak akan bergerak ketika sesuatu terjadi kepadanya akibat perbuatan majikannya.
"Iya, Ayah ingin berbicara sesuatu padaku," jawab Anna agar asisten tersebut paham alasan kedatangannya.
"Tentu dong, Mbak. Akhir-akhir ini saya lihat si Bapak merasa kesepian. Lebih diam, pasti kangen Mbak Anna." Anna mendesah malas namun tetap memberikan senyuman palsu. Memang asisten tua ini sudah sangat loyal, terlalu loyal sampai menganggap semua perbuatan orang tuanya adalah baik.
Dulu, setiap kali Anna memecah tangisan tengah malam, sang pembantu akan memeluknya dan menenangkan dirinya. Tetapi, akan berakhir berkata, "Ini semua demi kebaikan Mbak, juga."
"Aku masuk ke dalam, ya."
"Iya, Mbak."
Saat tiba di ruang tamu, keadaan rumah masih cukup sepi. Namun, sebuah suara bergema dan bernada ceria, "Kakak? Apakah itu Kak Elisa?"
Bisa dilihat bagaimana raut kekecewaan tampak di lelaki berumur lima belas tahun tersebut. Anna hanya menatap datar, dia tahu bahwa keberadaannya tidak diinginkan oleh keluarga ini. Bahkan oleh saudara-saudaranya yang lebih muda.
Tidak apa-apa, Anna pun tidak berniat untuk bertingkah menjadi kakak yang baik. "Di mana Ayah?"
"Di ... ruang makan." Suaranya kecil, matanya juga tidak melihat ke arah Anna. Setelah mendengar jawaban, Anna siap untuk melenggang pergi begitu saja. Namun, lanjutan kalimat Erik membuat Anna berhenti dan menoleh. "Sudah lama Kakak enggak pulang...."
Apa maksudnya? "Maksudmu Kak Elisa?"
"Bukan, tapi Kakak sendiri. Kak Anna. Omong-omong, aku sebentar lagi lulus SMP sebagai murid terbaik." Apakah informasi tambahan itu menandakan sebuah kode?
Anna tidak terbiasa untuk mendengar informasi tambahan yang mendadak. Selama ini saudara-saudaranya tidak pernah berinteraksi lebih dengannya. Mereka pun jarak umurnya cukup jauh dengan Anna sehingga ia merasa gugup jika harus mendekati duluan--hanya saudara keduanya saja yang berselisih setahun. Karena itu, Anna jadi terbiasa bersikap dingin terhadap ketiga saudaranya.
Selama ini Anna pun merasa dia bukan bagian dari keluarga ini, itulah sebabnya dia tidak berusaha mendekati lebih.
Namun, kali ini mungkin dia ingin bertindak tidak sedingin biasanya.
Anna membalikkan badan dan mengacak rambut Erik. "Kamu anak yang hebat. Kuharap kamu pun bisa mempertahankan prestasimu di SMA. Omong-omong kamu akan ambil jurusan apa?"
"Jurusan IPS! Aku mau jadi hakim!"
Hakim? Mimpi yang tidak terduga juga, ya. "Kenapa kamu mau jadi hakim?"
"Karena hakim bisa menentukan siapa yang bersalah dan tidak, Kak. Saat ini banyak orang yang bersalah, tapi mereka enggak dihukum karena sudah ada penyuapan--termasuk ke hakim. Aku mau jadi hakim yang jujur dan baik untuk masa depan negara ini."
"Bagus. Mimpi yang sangat penuh dengan idealisme. Seandainya Kakak bisa mempunyai kebebasan seperti itu, Kakak akan menikahi orang yang Kakak cintai." Cukup dengan basa-basi, Anna melemparkan senyuman simpul sebelum pergi ke ruang makan.
Erik menatap punggung Anna yang cepat sekali menghilang. Meski sang kakak tertua tidak dapat memahami kodenya, Erik dapat mengetahui maksud perkataan Anna. Punggung sang kakak yang selama ini dipaksa tegak pun sebenarnya mendapati banyak beban dari orang tuanya, dan kini juga dari suaminya.
"Kuharap suatu hari nanti Kak Anna bisa bahagia," harapnya sebelum kembali antusias mendengar suara pintu terbuka. "Kak Elisa!"
Sedangkan di ruang makan, sudah ada Malik yang membaca berita dari tabletnya dan sesekali menghisap kopi yang dibuat Masya. "Apa kamu barusan selesai berbicara dengan Erik?"
"Hanya untuk basa-basi."
"Kamu tidak berbicara macam-macam, kan?"
"Apakah sampai sekarang Ayah masih berusaha meminimalisir interaksiku dengan saudara-saudaraku sendiri?" balas Anna dengan tajam. Malik mendelik cepat, tidak sehangat yang diberikan saat pesta kemarin.
Betul, inilah sisi sang Ayah yang sebenarnya. Terlihat tenang dan bijak, padahal sekali berkata-kata akan membuat Anna lumpuh mendadak. "Aku menyuruhmu ke sini untuk membicarakan sesuatu."
Di dapur yang bisa terlihat dari ruang makan, Masya dan dua pembantu tengah menyiapkan makan siang. Apakah mereka akan makan bersama untuk menyambut kedatangan Elisa? Mengingat Elisa yang umurnya tidak jauh berbeda dengannya pun pulang setelah setahun lebih bekerja di luar negeri.
Ah, tapi Anna pun tidak boleh lupa bahwa mungkin saja dia akan dihiraukan begitu saja seperti dulu.
"Kita akan berbicara setelah Elisa datang. Kita akan makan siang bersama secara sederhana untuk mensyukuri kenaikan jabatan Elisa." Sial, sepertinya Anna sudah sadar bagaimana acara makan bersama ini berlangsung.
Tidak lama, orang yang ditunggu-tunggu pun datang. Bersamaan dengan Erik yang sudah ingin menyambut sedari tadi. Lekas Masya keluar dari dapur untuk memeluk dan mencium Elisa. Malik pun sampai meletakkan tabletnya dan ikut memeluk dengan erat. "Kami sangat merindukanmu, El."
"Aku juga begitu, Ayah." Elisa melihat mereka dengan lembut sebelum tanpa sengaja menyadari kehadiran Anna. "Oh, Kakak pun datang untuk menyambut kepulanganku? Apa Kakak juga tahu kalau selain naik pangkat, aku akan dipindahtugaskan ke Jakarta?"
"Tidak. Aku tidak tahu apa pun sebelumnya," jawab Anna jujur dengan wajah datar. Dia langsung mendapatkan tatapan horor dari Masya. Berani-beraninya Anna mengatakan hal seperti itu kepada anaknya? Seakan mereka bukan saudara?
"Oh ... begitu rupanya." Sesaat suasana kembali canggung. Memang lebih baik Anna tidak usah diundang sama sekali ke sini.
Akan tetapi Masya tidak mau membuat anak sulungnya merasa aneh dengan rumah sendiri, dia langsung mengalihkan topik sekaligus menyuruh Elisa beristirahat. "Kamu bisa tidur sebentar di kamarmu. Tenang saja, kami sudah merapikan dan membersihkan semua kotoran di kamarmu. Erik, tolong antarkan Kakakmu. Sekalian kamu bisa bercerita banyak tentang kehidupanmu kepadanya. Ibu akan melanjutkan masakan makan siang ini."
Saat tubuh Masya berbalik, Masya masih sempat memberikan ekspresi 'awas saja kamu nanti' kepada Anna. Wanita tersebut hanya bergeming dan menatap kosong ke arah lukisan.
Terasa sekali kan bagaimana perbedaan kehidupannya dengan saudara-saudaranya sendiri?
"Tidak seharusnya kamu berbicara seperti itu ke Elisa. Lebih baik kamu berbohong saja agar dia tidak merasa canggung di rumahnya sendiri. Bagaimanapun juga, kamu adalah kakaknya."
Selalu begitu. Kamu adalah kakaknya, maka menurutlah dengan perintah kami.
Nasihat sialan tapi tidak bisa ia bantah. Hanya di saat ia jengah saja untuk mampu membalas perkataan orang tuanya. Untuk saat ini, Anna hanya menatap kosong dan asik sendiri dengan ponselnya.
'Jika aku sungguhan kakaknya, kenapa kalian tidak bertingkah sebagai orang tuaku yang sebenarnya? Apa kalian pikir aku pun senang mendapatkan orang tua tiri seperti kalian?' batin Anna yang sudah lelah selama hidup 29 tahun.
[Bersambung]
"Semua keberhasilanku juga karena Ayah dan Ibu, dong," sahut Elisa setelah sang Ibu sibuk memuji-muji dirinya di depan ketiga saudaranya. "Aku jadi tahu apa yang kuinginkan dan bisa melakukan yang terbaik di sana." "Baguslah kalau begitu, Nak," balas Malik dengan tatapan yang terpancar kehangatan penuh kasih sayang. "Kamu juga belum menemukan pasangan di sana, ya?" Elisa meringis, dia sudah menebak akan terjadi pembahasan mengenai pacar. Tentu saja, dia sudah berusia 28 tahun namun masih tetap single setelah tiga tahun lalu ia diputuskan oleh sang mantan. Sejak saat itu, dia lebih fokus pada pencapaian karirnya alih-alih memikirkan mengenai pernikahan. "Masih belum, Yah. Aku belum dapat calon yang pas." Beruntung, orang tuanya cukup santai mengenai itu. "Tidak apa-apa. Kamu tahu apa yang terbaik untukmu. Tapi, kalau kamu sudah punya calonnya, jangan lupa kenalkan pada kami, lho." "Aku jadi ingin seperti Kakak juga. Jadi wanita karir sukses du
Raden mencoba melepaskan dasi biru tua dengan sedikit kasar. Akhir-akhir ini ada banyak urusan pekerjaan yang membuat lebih lelah dibanding biasanya. Hatinya juga merasa gelisah seakan-akan ada suatu hal yang salah telah terjadi. Drrrtt! Drrrtt! Tanpa melihat siapa peneleponnya, Raden langsung menerima panggilan masuk tersebut. "Siapa ini?" "Raden." Ini adalah suara Anna. "Kenapa?" Dasinya berhasil terlepas dari leher dan ia gulung untuk ditaruh di tempat khusus dasi. "Apakah sekali saja kamu pernah menginginkanku?" tanyanya dari seberang sana. Pertanyaan acak macam apa itu? "Memangnya perlu kujawab--" "JAWAB SAJA!" Teriakan Anna benar-benar membuat gendang telinga Raden sakit. Namun, hal ini membuat hati Raden benar-benar bergemuruh. Meski kini di badannya hanya tersisa kemeja putih polos dan celana kerja yang masih rapi, Raden bergegas keluar dari kamar dan rumahnya. "Apa? Ulangi pe
Seharusnya semua telah berakhir. Seharusnya ia tidak lagi menarik nafas. Seharusnya tidak ada lagi cahaya lampu yang menyinari matanya. Seharusnya begitu. Akan tetapi, kenapa untuk mengakhiri hidup saja ia tidak bisa melakukannya? Sebuah kekecewaan langsung menghampiri ulu hatinya saat ia membuka mata dan mendapati langit-langit rumah sakit. Anna mencoba mengangkat tangan dan mendapati bagaimana telapak tangan mungilnya telah menjadi telapak tangan besar milik Raden. "Jadi ... aku kembali tertukar lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tentu saja tidak akan ada orang yang bisa menjawab hal itu. Anna menghela nafas lemas. Pada akhirnya dia tidak diperbolehkan semesta untuk menghadapi ajalnya sendiri. "Memangnya dosa besar apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai pintu mautku pun tertutup?" "Pak Raden!" seru seseorang yang kembali setelah mendengar hasil analisa dokter. "Tadi anda pingsan di depan pintu rumah, kami jadi khawatir dengan kondisi kes
"Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Laila kepada Raden--lebih tepatnya Anna--yang saat ini baru saja memuntahkan isi perut setelah mendatangi rapat. Ini sangat aneh, tidak biasanya si Bos terlihat pucat saat memasuki ruangan rapat, tidak berbicara apapun, dan ketika kembali malah langsung muntah di toilet. Hal ini malah mengingatkan Laila pada demam punggungnya saat baru menjadi sekretaris. Namun, tidak mungkin tiba-tiba Raden mengalami demam panggung, kan? Raden keluar dan mendudukkan diri di sofa abu-abu empuk. Tangannya terus memijat dahi lantaran rasa pusing tidak segera menghilang. Sedangkan Laila menjadi sekretaris yang gesit untuk memberikan minyak angin kepada Raden. "Kelihatannya Bapak tidak enak badan hari ini. Bukankah lebih baik Bapak pulang saja daripada memaksakan diri seperti ini?" Anna menggeleng, menolak tawaran Laila. Sebentar lagi adalah jam pulang, maka dia masih mampu untuk bertahan sampai jam pulang tiba. "Bapak tidak akan lembu
Untuk kembali ke tubuh masing-masing tanpa bertele-tele, mereka melakukan ciuman cepat di dalam mobil. Setelah itu, tiga hari kemudian ada kedatangan seorang psikiater ke rumah Anna. Persis dengan janji Raden di hari itu. Tentu saja Anna menolak, dia tidak ingin bertemu sama sekali. Obat-obatan tidak akan berhasil menyembuhkan luka kehidupannya. Untuk apa Raden bersikeras untuk sesuatu yang sia-sia? Namun, Anna sadar bahwa Raden melakukan itu karena dia memang tidak mengerti keadaan sang istri yang sebenarnya. Raden memaksakan pikirannya yang berkata tindakan itu adalah hal baik, tanpa memedulikan pendapat Anna sama sekali. "Kumohon, setelah ini jangan datang lagi. Anggap saja aku memperbolehkanmu untuk makan gaji buta," ujar Anna kepada psikiater yang berkacamata itu. Dengan tatapan yang memelas, sang psikiater menghela nafas. Dia sudah mencoba agar bisa berbicara dengan Anna, tapi yang didapatkannya adalah penolakan terang-terangan. Masalahnya, jika
Tidak ada yang tahu sama sekali bagaimana pesan itu bisa terkirim. Saat Raden meminta salah satu pegawai handalnya memeriksa siapa pengirim surel tersebut, dia hanya mendapatkan bahwa alamatemail tersebut masih baru dan tidak ada akun media apapun yang terhubung denganemailitu. Sedangkan di Anna, wanita itu sudah mencoba untuk menanyai sang pembawa makanan, tapi hasilnya juga nihil. Katanya orang tersebut tidak merasa ada surat terselip ketika ia membawa makanannya. Surat tersebut baru muncul ketika Anna datang. Ini lebih menyeramkan dibanding film horor mana pun. "Apa yang harus kita lakukan kalau begitu?" Dahi lelaki tersebut sudah berkerut sejak datang ke rumah Anna. Astaga, lama-lama kerutan samar akan timbul meski umur Raden masih cukup muda. Orang yang diajak berpikir bersama malah tidak merespon. Mata Raden melirik, rupanya Anna lebih memilih menghirup dan menghisap teh chamomile di cangkirnya alih-alih menjawab pert
Masya menatap aneh ke mobil yang ada di depan mereka. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju restoran yang ditentukan oleh Raden. Otomatis mobil Malik yang mengikuti mobil Raden. "Apa hubungan mereka benar-benar sudah membaik?" Malik tetap diam tetapi matanya terus memperhatikan mobil Raden dengan fokus. Saat Masya melirik, dia tahu bahwa suaminya sedang memikirkan hal yang sama. "Aneh, bukan?" "Memangnya itu hal yang aneh? Bukannya bagus, ya?" tanya Erik berbisik ke Ariel. Leher Ariel merinding akibat hembusan nafas aneh Erik. Namun, ia hanya menjawab singkat sesuai yang ia ketahui. "Entahlah. Buat apa kita pikirkan juga." Oops, Erik bertanya pada kakak yang salah. Ariel adalah saudara yang paling tidak peduli dengan Anna. Sejak dahulu saat wanita itu masih di rumah mereka, Ariel sangat jarang untuk berinteraksi dengannya. Tak ada keinginan dari Ariel atau Anna untuk memulai percakapan. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka bisa bertahan dari
Sebagai pengisi kesunyian, radio musik sengaja Raden nyalakan. Setidaknya ini akan membantu mereka agar merasa lebih nyaman meski tidak saling mengobrol. Saat ini rintik-rintik air jatuh dan mengenai kaca jendela mobil. Hujannya hanya berupa gerimis, tidak deras tetapi tidak mau berhenti sama sekali. Ketika ia memandangi butiran-butiran air tersebut, Raden jadi teringat pada hari itu. Hari saat menjelang tanggal pernikahan. Ingatannya masih segar untuk mengulang ulang rekaman tersebut."Dia adalah anak yang pendiam dan juga penurut. Kamu tidak akan kesusahan menghadapinya." Suara Masya saat itu terdengar ceria dan lembut. Tangan kirinya sibuk mengelus bahu Anna yang berdiri kaku. Melihat bagaimana Anna tidak merespon sama sekali membuat Raden memperkirakan hal yang sama. "Kami mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Saya harap setelah anda menjadi suaminya, Anna bisa mendapat perlakuan yang baik juga," ujar wanita tersebut. Kala
Setelah yang terjadi selama beberapa bulan, waktu terus berjalan. Perlahan namun pasti, semua orang telah beradaptasi pada lingkungan baru dan bisa beraktivitas seperti biasanya. Salah satunya adalah tokoh utama kisah ini, Raden dan Anna. Sebagai CFO, Raden terus membuat pencapaian baru dan bersama-sama keluarganya di Kusumagroup, perusahaan terus berkembang besar. Sedangkan di rumah, ada Anna yang mencari kegiatan lain untuk mengisi waktunya. Karena itu, akhir-akhir ini dia lebih sering menghabiskan waktu di dapur, gym untuk berolahraga, dan tempat manapun yang nyaman untuk menulis. Sekaligus untuk mendapatkan penghasilan sendiri, Anna membuka usaha katering bersama saudara-saudara perempuannya. Tidak sulit untuk mencari kostumer baru berkat koneksi yang dimiliki Elisa dan Ariel. Selain itu, perihal Masya sesudah Malik mendekam di penjara, dia tinggal sendiri di sebuah satu unit apartemen atas nama Anna di luar kota. Untuk menghindari keributan
Tibalah Elisa, Ariel, dan Erik yang berlebam-lebam di depan rumah Anna. Setelah menunggu konfirmasi, para satpam membukakan pagar untuk mobil mereka masuk ke dalam. Para pembantu yang menyapa mereka terkejut saat melihat Erik keluar. Kenapa ada anak laki-laki yang sedang terluka di antara mereka? Ketika Anna turun dari kamar untuk menyapa sang saudara, dia sama terkejutnya ketika melihat Erik. Cepat-cepat dia mendekati si bungsu dan menyuruh seseorang menelepon dokter. Untuk kali pertamanya dia melihat Erik ada di kondisi selusuh ini. "Apa apa ini? Kok kamu bisa terluka seperti ini?" "Dia bertengkar sama beberapa anak kelas sebelas." "Astaga, pantas saja memar seperti ini." Anna masih fokus pada luka-luka Erik dan mengomel tak seharusnya Erik mengalami luka separah ini. Tetapi dia lebih kaget saat mendengar Elisa berkata, "Lukanya tidak seberapa. Malah Erik sudah membuat tiga murid kelas sebelas dirawat di rumah sakit." "Serius?" Erik yang sel
Seusai memberitahu apa yang pernah terjadi di masa lalu, Masya berhasil dibawa pulang oleh Ariel dan Erik. Mereka berjanji akan mengawasi sang Ibu lebi ketat sehingga Anna tidak perlu takut kejadian tadi akan terulang. Sampai mobil adik-adiknya tak terlihat, Anna masih melamun. Raden berusaha mengajak Anna masuk dengan sangat hati-hati. "Ayo kita kembali masuk." Baru saja mereka melangkah dua kali, badan Anna sudah terhuyung dan nyaris jatuh jika Raden tidak sergap dalam menahan tubuh sang istri. Kemudian setetes air mata berhasil lolos dari mata wanita itu. Tidak mungkin bisa berjalan dengan kedua kaki ketika pikiran sedang di antah berantah, Raden memutuskan untuk menggendong Anna alabridal style. Para pembantu yang melihat kondisi Anna bisa berubah drastis jadi kebingungan sendiri. Apa yang telah terjadi? Raden hanya menyuruh mereka untuk mengantarkan minuman untuk jaga-jaga jika Anna sudah tidak sesyok ini. "Saya tunggu di kamar," kat
"Dasar anak haram tidak tahu diri!" seru Masya keras. Nafasnya sampai terengah-engah saking semangatnya untuk mengutuk Anna. Sedangkan Anna semakin tertegun. Anak haram? Apakah itu hanya umpatan asal atau ... memang seperti itu? Seandainya Masya tidak melanjutkan ucapannya, sudah pasti Anna hanya mengganggap sebagai angin lalu. "Tentu saja kamu tidak tahu kalau sebenarnya kamu ini anak di luar nikah, kan? Ibumu mengkhianati cinta suamiku saat itu dengan melakukan persetubuhan bersama Ayahmu dan berakhir memiliki dirimu. Seandainya kamu tak pernah ada, maka mungkin Malik tidak akan pernah tahu kalau Ibumu telah mengkhianatinya.” Kembali teringat ulang masa lalu, tanpa sengaja Masya kembali mengumpat yang bukan ditujukan pada Anna. "Dasar wanita jalang." Anna terkejut berat. Ibu kandungnya mengkhianati cinta Malik? Apakah dalam kata lain, Ibunya pernah melakukan perselingkuhan? “Bukankah wajar jika Malik sakit hati setiap kali melihat wajahmu?" Ma
Di pinggir teras ada seorang wanita yang berdiri dan memandangi langit biru. Mata cokelat gelapnya tak mampu beralih dari keindahan langit padahal masih ada hal yang harus dia lakukan. "Hari ini langitnya cantik." Ia pejamkan mata untuk beberapa detik, berusaha menfokuskan telinga untuk mendengarkan suara angin yang menerpa wajahnya serta kesejukan udara hari ini. Barulah ketika dia puas, dia turun ke dapur untuk membuat kopi instan dengan cepat. "Bu Anna mau makan apa?" tanya pembantu yang bertugas mengurus makanan di rumah itu. Anna hanya menjawab seadanya saja, "Terserah kamu. Yang penting bisa dimakan. Raden juga tidak akan pilih-pilih makanan." Kopi instan sudah siap jadi dan segera Anna bawa ke meja dekat sofa. Sekarang di pagi hari ini dia ingin bersantai dengan menonton sesuatu di televisi. Perasaannya berkata, ada sesuatu yang bagus jika dia membuka televisi. Remot hitam diambil dan salah satu tombol ditekan oleh ibu jari Anna. Layar hitam it
Noah sudah menerima kabar bahwa saat ini Malik sedang berurusan dengan polisi akibat kebocoran informasi yang menyebabkan seseorang bisa melapor. Sedikit dia merasa khawatir, tapi tidak benar-benar khawatir. Mungkin kekhawatirannya hanya sekitar sepuluh persen sebagai bentuk simpati. Selain dari itu, bukan urusannya sebab dia tidak pernah berurusan dengan harta benda Setiawan. Toh, meski sudah dua puluh tahun lewat dia dirawat suami istri tersebut, tetap Noah pernah menjadi seorang korban dari kejahatan mereka. Di sela-sela istirahatnya, sang sekretaris mengetuk pintu dan masuk untuk melaporkan bahwa Raden menyampaikan permintaannya untuk makan malam bersama Noah. Tentu saja alasan di baliknya tidak dijelaskan. "Jika Bapak mengiyakan, Bapak bisa menghubungi Pak Raden," beritahunya sebelum keluar lagi dari ruangan. Noah dibuat menerka-nerka dan lebih berhati-hati untuk mengambil langkah selanjutnya. "Apakah dia mengajakku bertemu untuk menyombongkan diri? Kare
"Kak, maafkan aku." Belum apa-apa, tiba-tiba Anna menerima telepon Ariel yang kemudian diisi dengan isakan tangis. Kebingungan, Anna berusaha bertanya selembut mungkin. "Ada apa, Ariel? Kenapa kamu nangis?" Sang adik terus mengatakan hal yang sama. "Maafkan aku." "Oke, oke. Aku akan memaafkan kamu asal kamu kasih tahu dulu, apa yang membuatmu menangis seperti ini?" Jelas pasti ada hal buruk yang menimpa adik keduanya. "Ayah dan Ibu ... Mereka tahu perbuatanku yang menipu para pekerja rumah. Terus mereka bertanya kenapa aku melakukan itu. Ayah sangat menyeramkan. Jadi ... mau tidak mau aku menyebutkan nama Kakak. Maafkan aku." Menipu pekerja rumah? Apakah ini berkaitan dengan hari di mana Raden berusaha memasuki ruang kerja pribadi Malik saat berada di tubuhnya? Kalau memang benar yang dimaksud adalah hari itu, artinya mereka sudah mendapatkan surat panggilan polisi dan sedang mencari tahu apa yang sudah mereka lewatkan. "Kurasa sehabis i
Siapa orang brengsek yang sudah menerobos masuk ruang kerja pribadi miliknya? Malik menghubungi pemimpin dari pengawal yang diam-diam dia sebarkan di sekitar rumah untuk menjaga keamanan. "Apakah ada seseorang yang masuk ke dalam rumah ini ketika tidak ada aku dan Masya?" Mustahil rasanya seseorang berhasil menerobos ruang kerja jika ada Masya. Sang istrinya tidak kalahstrictuntuk melarang siapapun masuk. Reaksi orang yang kali ini ditelepon cukup berbeda dengan orang-orang sebelumnya. Malik sudah berkali-kali mendapat jawaban tidak ada kebocoran apapun, sedangkan pemimpin pengawal kali ini memberitahu, "Saya tidak tahu--" Belum apa-apa Malik sudah mulai dibuat geram. "Tapi, memang ada sesuatu yang terjadi saat Bapak dan Ibu pergi ke luar negeri selama lima hari." "Maksudmu perjalanan bisnis yang terakhir ini?" "Iya. Saat itu, secara tiba-tiba semua pengawal diserang dan untuk beberapa jam kami tidak sadarkan diri. Lalu, s
Air sudah mendidih dan segera dituangkan di teko teh. Selama beberapa menit teh diseduhkan dan kemudian dituang kembali di cangkir keramik. Dengan hati-hati agar tidak tumpah, Masya berjalan menghampiri sang suami dan meletakkan teh di meja samping. Cuaca hari ini cukup bagus. Tidak terlalu panas ataupun hujan, bisa dibilang cukup sejuk bagi ibu kota. Hari ini terlalu damai. "Aku mendengar sesuatu dari Noah," celetuk Malik mendadak sambil menutup koran yang sudah dibaca selama lima belas menit. Setelah koran langganannya kembali terlipat rapi, ia lanjutkan pembicaraan barusan, "Raden hendak melakukan sesuatu padaku. Sudah beberapa minggu ini ada orang-orang di luar pegawai kantornya yang datang ke kantornya. Huh ... Tapi ini aneh. Raden terlihat seperti sengaja membuat kita dan Noah curiga." "Haish, Raden. Kenapa kita harus menikahkan Anna dengan dia, sih? Benar-benar menantu yang merepotkan. Kira-kira apa yang sedang dia rencanakan? Apakah Noah memberi