Bagaimanapun ia merasa sulit untuk percaya jikalau Abram menduduki jabatan setinggi itu."Jangan-jangan kamu di sini hanya bertindak sebagai asisten bos saya, Abram. Namun kamu dengan lancangnya mengirimkan aku surat pemecatan? Kamu jangan main-main, Abram! Aku bisa saja menuntutmu karena sudah mencemari nama baik atasan saya dengan berpura-pura menjadi atasan saya sendiri!" Yoga berkata membabi buta.Setidaknya itu lah pikiran yang terselip di hatinya saat ini. Ia tidak terima dan tidak percaya Abram yang tiba-tiba ia ketahui menduduki jabatan itu."Menurutmu siapa yang lebih pantas untuk membawa masalah ini ke pengadilan? Kau tahu, tingkah kamu ini yang jauh berpotensi untuk membuatmu berada dalam jeruji besi! Kamu mengatakan aku berpura-pura menduduki jabatan ini? Haa ..? Tidakkah kamu berpikir, jika aku tidak menduduki jabatan ini, maka aku tidak akan pernah bisa berada di kursi ini, Yoga!" Gebrakk! Abram menepuk meja di hadapannya.Yoga gemetaran."Sebenarnya mau apa ka.u kemar
"Yoga!" Yoga terkejut. Lamunannya buyar."Ehhmmm... I iya.." tanggap Yoga bergetar."Pulanglah! Tidak ada gunanya lagi kamu masih berdiri di sana?" ucap Abram.Sebentar kemudian, terlihat Abram membuka laci.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah amplop. Tidak lama kemudian, Abram meletakkan amplop itu di hadapan Yoga."Ini tunjangan buat kamu!"Dugh!Yoga mengelus dada. Ia sadar, kali ini ia memang benar-benar dipecat dari pekerjaan yang amat dibangga-banggakan olehnya dan juga oleh keluarganya selamanya ini.Terasa semua bagaikan mimpi, tapi sayangnya semua ini benar-benar terjadi di alam nyata.Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin diutarakan oleh Yoga pada Abram, tapi sepertinya Abram tidak menyukai keberadaan yoga di sana. Sikap Abram membuat Yoga gentar."Kak, sebelum aku pergi, bolehkah aku bertanya sedikit saja?" Yoga masih memberanikan diri untuk mengutarakan sebuah pertanyaan."Silakan taanyakan sekarang!""Kak, di mana Lia sekarang? Aku ingin meminta maaf padanya. Aku m
"Bu, gimana uang lima juta kemarin? Udah disiapin belum?" pagi-pagi Melisa sudah menghampiri ibunya yang tengah belepotan di dapur."Mel, ibu dari kemarin sampe malem ke sana kemari cari pinjaman, tapi nggak ada yang mau ngutangin kita." Bu Lasmi menjawab."Yah....! Payah kalo gini! Terus gimana dong sama acara yang ingin diadakan di kampus kami hari ini, Bu? Kan aku yang harus nanggung biayanya. Aduh." Melisa benar-benar pusing dibuatnya."Maafkan Ibu, Melisa! Ibu udah nggak tahu harus gimana lagi. Yang pastinya Ibu udah berusaha dari kemarin. Tapi sayangnya ibu masih kagak dapat tuh duit, Nak." Bu Lasmi berkata dengan mimik wajah pilu."Kan aku udah bilang dari siang kemarin Bu, masa pagi ini uangnya belum juga siap? Ibu sama kak Yoga gimana sih? Kalian niat nggak mau nguliahin aku? Masa segitu ajah Kak Yoga nggak punya simpanan?" Melisa berkata kesal."Kakakmu benar-benar kagak punya simpanan lagi, Melisa! Dia aja bingung buat bayar cicilan mobil bulan ini. Mana udah mepet lagi wa
Astaga! Melisa mengusap muka.Apa yang di ia takutkan sekarang jadi kenyataan, ini saja baru bibir Dean yang bicara. Belum lagi mulut-mulut teman-temannya yang lain. Melisa sungguh tidak bisa membayangkan ketika nanti ia bertemu dengan teman-teman kampusnya.Ada sedikit rasa penyesalan dalam benak Melisa mengapa kemarin ia harus koar-koar dihadapan teman-temannya bahwa ia pasti akan membawa uang sejumlah lima juta itu untuk biaya acara mereka. Dan itu benar-benar ia pastikan. Dan bahkan di hadapan teman-temannya Melisa sendiri masih ingat jika dia dengan begitu percaya dirinya menganggap uang lima juta itu hanyalah jumlah yang kecil bagi keluarganya. "Kalian tenang ajah, semua biaya acara biar aku yang keluarin. Kalian tahu sendiri kan kalo kakak aku itu seorang pejabat gede. Kalo cuma uang segitu mah kecil bagi dia. Belum seperempat dari gajinya selama sebulan. Mobil ajah kami kebeli, apalagi cuma uang seuprit gitu!" Melisa masih ingat betul bagaimana ia berbicara seperti itu di had
Dengan cukup terpaksa, Yoga dan ibunya harus menggunakan uang tunjangan yang diberikan Abram kemarin untuk melunasi angsuran mobil.Meskipun Yoga sadar, dengan habisnya uang itu, artinya dia harus benar-benar ekstra berusaha untuk mencari uang dengan cara lain untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka setelah ini."Semua ini gara-gara kakaknya Lia! Seandainya saja Abram tidak macam-macam sama kita, kita tidak akan menghadapi hidup sial kayak gini." Bu Lasmi mengepalkan tangannya. Kekesalan pada diri Ibu Lasmi tengah menggebu-gebu. "Benar, Bu.""Awas saja mereka! Kalo aku bisa ketemu sama Lia kembali, akan kuremas-remas tuh mulutnya! Keterlaluan mereka." dendam Bu Lasmi."Menurut perkiraan Ibu, Emang mereka pasti sengajain buat ngelakuin semua ini sama kita! Mereka kan nggak suka kalo ngelihat kita hidup tenang dan nyaman. Mungkin mereka tuh iri sama kita yang bisa beli mobil, bisa beli pengganti semua barang-barang yang udah Lia bawa dari rumah ini, terus mereka juga kayaknya iri sa
"Davin? Bantuan seperti apa yang kamu maksud barusan?"Lia serta merta mendekat dan langsung bertanya.Uuups!Davin terkejut dengan kedatangan Lia yang terkesan begitu tiba-tiba."Li ... Lia?" Davin sedikit salah tingkah."Maaf Lia, maksudku, aku hanya membantu hal kecil saja. Lagian tidak terlalu berarti juga. Sudahlah! Lupakan!" Davin buru-buru ingin mengakhiri ucapan yang menyangkut pertanyaan Lia."Barusan aku udah denger langsung kalo kamu banyak bantu aku sebelumnya, yang pengen aku tanyain bantuan apa aja sih yang udah kamu lakuin buat aku? Kok bisa-bisanya kamu nolong aku, tapi tanpa memberitahu terlebih dahulu. Nggak bisa gitu juga kali!" Lia tetap menuntut jawaban."Nggak, Lia! Maksudku aku cuma membantu papamu mengelola perkebunan. Itu ajah, nggak ada yang lain, kok."Lia berkerut. Apa mungkin yang dimaksud mereka barusan adalah bantuan yang Davin berikan di perkebunan papanya?Meski masih banyak menyimpan pertanyaan yang membuatnya bertanya-tanya, Lia akhirnya menganggukka
Bu Lasmi membisu sejenak. Ada rasa kesal mendengar ucapan Aleena.Yoga yang berdiri di belakangnya merasa gelisah. Sebelumnya, memang Yoga merasa keberatan dengan hasrat ibunya yang ingin benar-benar menemui keluarga Lia, inilah yang Yoga takutkan. Ia tahu ibunya tidak bisa dihentikan. Yoga berinisiatif untuk menghentikan umpatan ibunya."Sudahlah Bu! Nggak usah terlalu emosi gini!" buru-buru Yoga menghampiri ibunya.Sekalian Yoga menatap Aleena, sang mantan mertua. "Maaf, Maaf, Bu Alena. Sebenarnya maksud kami kemari bukan untuk berkoar-koar seperti yang Ibu katakan. Aku minta maaf banget.""Apa-apaan kamu minta maaf sama orang kayak mereka, Yoga! Mereka mereka ini udah bikin kita menderita, udah bikin kamu kehilangan pekerjaan juga! Jadi kamu gak perlu sedikit pun buat minta-minta maaf segala! Seharusnya mereka ini yang minta maaf sama kita, dan kembali mengembalikan jabatan kamu selama ini yang dicopot oleh Abram secara seenaknya!" Bu Lasmi berbicara cepat memotong ucapan Yoga."
"Nyonya... Nyonya Nadine? Bagaimana Ibu bisa berada di sini?" Bu Lasmi kaget bukan kepalang.Rasa malu yang ia rasakan naik ke ubun-ubun. Malu ketika ia mengingat bagaimana dulu kasusnya di rumah keluarga Nadine, hingga membuatnya masuk ke dalam bui. Pertemuan bersama Nadine sukses membuat Bu Lasmi gugup. Bu Lasmi takut rahasianya terbongkar di hadapan Aleena, seseorang yang ingin ia jatuhkan harga dirinya.Yoga juga tak kalah terkejutnya."Bu, ini kan majikan ibu dulu? Bagaimana ini? Aku malu, Bu! Gimana kalau kita pulang aja sekarang!" Yoga berkata pelan juga dengan nada gugup.Jujur saja, karena rasa malu yang Yoga rasakan terhadap mantan majikan ibunya, membuat Yoga merasa tak tahu lagi kemana harus menghadapkan muka. Muka laki-laki itu terlihat memerah."Lasmi Lasmi, tidak kusangka sama sekali ternyata kamu masih belum berubah juga! Dulu jahat sama majikan, bersedia kamu jadi kaki tangan orang yang nggak baik demi menghancurkan keluarga aku, sekarang sama mantu juga kamu jahat.
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter