Yoga tertegun, batinnya seolah tertantang. "Kamu nggak bisa bicara seenaknya seperti ini, Lia! Kamu nggak bisa mengambil rumah itu secara keseluruhan. Nanti aku bisa saja menuntutmu!" Yoga kembali coba mengancam."Sudah kubilang sebelumnya kan, jangankan nanti, sekarang pun kamu boleh menuntutku ke manapun kamu mau! Ke kantor polisi? Atau dengan membawa pengacara? Monggo lakukan saja! Aku tidak takut.""Lia! Hentikan bicaramu! Kamu telah memalsukan surat sertifikat yang ada di tanganku! Kamu telah menipu! Terus kesalahan terbesarmu adalah kamu menjual rumah tersebut tanpa seizinku." Yoga kembali mengeluarkan kata-kata berharap dia akan luluh dan bersedia untuk mengembalikan rumah tersebut padanya."Siapa bilang tanpa seizinmu. Bukankah kau sendiri yang telah menandatangani surat pengalihan nama sertifikat itu atas namaku terlebih dahulu?""Haaaa?" kali ini mulut Rianalah yang menganga lebar."Jadi... jadi sebelumnya kamu udah mengalihkan nama sertifikat rumah itu atas nama Lia ya, Ma
"Cukup Lia! cukup! Hentikan!" Yoga sungguh tak mampu dan tak sanggup untuk mendengar ucapan Lia selanjutnya.Ini baru yang namanya ditampar di depan istri muda. Ditambah dengan kata-kata menyakitkan, sensasinya jauh lebih perih jika di bandingkan dengan kena tampar lima jari. Kata-kata itu tajam menusuk jantung. Benar-benar membuat Yoga kehilangan harga diri di hadapan Riana. Harga dirinya diinjak-injak dan dilecehkan dengan sedemikian rupa."Jaga tutur katamu, Lia! Riana berkata begitu bukan karena dia mau mengemis harta. Tapi dia memang merasa berhak atas hartanya Yoga. Dan itu sangat wajar sekali!" Bu Lasmi turut membela."Apa? Apa menurut Anda Riana berhak atas harta yang di dapatkan oleh orang lain? Padahal harta tersebut di peroleh tanpa ada sedikitpun campur tangannya? Sebaiknya jernihkan sedikit jalan pikiran kalian. Agar nggak terlalu ceroboh dan asal-asalan kalo ngomong. Setidaknya ngomong tuh pake logika? Biar kagak asal meluncur ajah." sergah Lia."Kalian nyadar apa ng
"Mas, aku nggak mau tahu! Pokoknya sekarang juga aku pengen cerai dari kamu! Aku pengen cerai! Kamu dengar, kan?" dengan matanya yang memerah Riana berkata.Sikap Riana kali ini sungguh berbeda dengan sikap Riana yang sebelumnya dinilai lembut oleh keluarga Yoga. "Tolong Sayang, tolong jangan ulangi kata-kata itu lagi! Aku tahu aku salah dalam hal ini, tapi semua orang nggak ada yang sempurna, Sayang. semua orang bisa melakukan kesalahan! Begitu juga halnya sama Mas. Mas mohon, maafin kesalahan Mas ini. Please! Kamu bisa maafin, kan?" Yoga memelas dalam ucapan permohonannnya."Tidak, Mas! Aku tidak bisa memaafkan sedikitpun kesalahan Mas. Kalian udah keterlaluan banget nyakitin aku! Padahal kesalahan apa yang udah aku lakuin sama kalian sekeluarga, hingga sampai-sampai kalian memperlakukan aku kayak begini. Ibu kamu juga nggak ada bedanya. Mengapa kalian bersekongkol untuk menipuku? Aku nggak bakalan bisa ikhlas menerima kelakuan kalian. Kalian beneran nggak bisa ngehargain pengorba
Bu Lasmi dan Yoga sama sekali tidak bisa mencegah kepergian Riana hari itu. Kedua orang tersebut sangat tidak pernah menyangka jika Riana mampu berlaku senekat itu. Padahal selama ini mereka mengenal Riana sebagai seorang wanita yang menawan, sopan dan senantiasa berlembut hati.Terlebih lagi bagi Yoga, lelaki tersebut masih ingat betul bagaimana perkataan sang Ibu ketika hubungannya dan Riana masih baik-baik saja. Yoga masih bisa mengingat bagaimana Bu Lasmi mengatakan bahwa Riana adalah wanita yang pantas untuk dijadikan istri, wanita yang baik dan wanita yang bisa dibanggakan kepada setiap orang. Tentu saja yoga yang begitu percaya dengan ucapan sang ibunda, merasa itu adalah sebuah dukungan dan awal yang baik untuk kehidupan mereka. Meskipun sebelumnya Riana hanyalah seorang selingkuhan saja.Karena bagi Yoga, restu dan dukungan dari seorang ibu adalah hal utama.Tapi tiba-tiba sekarang Yoga mulai merasakan jika ucapan ibunya tak benar. Padahal sebelumnya Yoga selalu beranggapan
"Bu, kalo Lia mah wajar ajah dia bisa cepet dapet duit! Toh dia kerjanya cuma menyodorkan diri sama para laki-laki hidung belang di luaran sana! Pasti beda lah Bu, sama aku yang pengen cari kerja yang bener dan halal." Yoga tak rela Jika dibanding-bandingkan dengan sosok Lia."Halah, pokoknya Ibu nggak peduli mau kerja bener atau nggak bener. Zaman sekarang nih ya, yang penting dalam hidupadalah uang, Yoga! Uang! Kalo nggak ada uang, kita nggak bisa hidup." Bu Lasmi menyambar cepat.Yoga menelan saliva mendengar ucapan ibunya."Ibu yang sabar dulu, Bu. Nggak boleh bilang begitu. Karena kalo bisa, kita lebih mencari kepada rezeki yang halal daripada yang haram. Mudah-mudahan ajah dalam waktu dekat aku bisa kembali mendapatkan uang buat kalian." sahut Yoga perlahan."Jangan cuma ngomong doang lah, Yoga! Harusnya kamu buktiin dong kalo ucapan kamu benar-benar bisa diandalkan. Tunjukan sama ibu kalo kamu benar-benar laki-laki yang berbakti pada orang tua dan keluarga. Masih untung Ibu mas
"Tidak! Tidak mungkin, Lia! Kamu cuma mengada-ada aja, kan?" sungguh Bu Lasmi tidak percaya sedikitpun."Udah! Kamu nggak usah berpura-pura. Aku datang kemari bukan buat nemuin kamu!" lanjut Bu Lasmi."Lalu siapa yang pengen ditemuin sama ibu?" tanya Lia."Seperti apa udah aku bilang tadi, aku kemari karena pengen nemuin bos kamu si pemilik toko gede di mana kamu kerja dulu." jawab Bu Lasmi."Kami udah janjian di sini. Jadi kamu jangan ganggu pertemuan kami!" ketus Bu Lasmi."Ibu tahu nggak, sebenarnya yang pengen ibu temui itu adalah aku.""Apaa? Nggak! Aku tetep nggak akan percaya!""Kenapa anda tidak percaya? Kalau begitu Ibu bisa telepon balik deh nomor yang tadi anda hubungi. Yang Ibu hubungi tadi adalah nomorku. Dan yang bicara sama ibu tadi juga adalah aku." ucap Lia sambil tersenyum sinis.Bu Lasmi termangu."Ti... Tidak! Kamu pasti bohong. Aku nggak bisa di bodohi sama kamu." kukuh Bu Lasmi."Bohong bagaimana?""Yang aku telepon tadi adalah orang yang punya toko tempat kamu b
Bu Lasmi terdiam seribu bahasa. Ia tak menyangka sama sekali jika Lia yang selama ini mereka rendahkan secara habis-habisan, ternyata menyimpan begitu banyak misteri."Sedangkan kalian tahu aku kerja serabutan gitu aja kalian tega banget morot dan ngerampok. Salah satu contohnya ya kalian minta duit mulu, terus pinjem duit aku tapi nggak pake dibalikin. Apalagi kalau seandainya kalian tahu aku punya usaha sendiri. Haduuuh!" ucap Lia kembali.Jika menyinggung hutang, Bu Lasmi tak bisa berkutik. Tapi, yang namanya Bu Lasmi, ia tak akan mudah mengalah dan tak akan pernah mengakui kesalahan."Oh jadi sekarang kamu mau ngungkit-ngungkit, ya? Atau jangan-jangan kalau kamu beneran punya tuh toko, kamu buka toko itu pake uangnya Yoga? Iya?" Bu Lasmi menebak dengan seringai tajam."Haaa? buja toko pake fuit Yoga? Bu Lasmi, gaji anakmu itu cuma buat makan kalian bertiga aja kagak cukup! Mana mungkin aku bisa pakai uang Yoga buat ngebangun toko. Setengah tahun seukuran gaji anakmu, buat modal b
"Bu, kenapa hari ini Ibu nampak lesu sekali? Ada apa, Bu?" Yoga menghampiri ibunya yang tengah terduduk di kursi sembari menatap ke arah luar jendela. Di mata Yoga, tatapan ibunya terlihat kosong.Terlihat sekali Jika Bu lasmi tak nampak seperti biasanya. Hari beranjak malam, namun Bu Lasmi masih membuka lebar kaca jendela.Yoga kembali merasa getir, sebab di hadapan sang Ibu tidak ada lagi cemilan yang menemani duduk ibunya. Padahal biasanya cemilan pasti selalu siap sedia di atas meja dan siap untuk dinikmati kapan saja.Tapi sekarang yang ada di hadapan Bu Lasmi hanyalah sebuah toples kosong. Kemerosotan ekonomi benar-benar membuat kehidupan mereka berubah.Sedangkan Melisa terlihat semakin cuek. Menjelang malam anak itu selalu saja keluar rumah dan akan kembali keesokan harinya itu pun terkadang menjelang tengah atau sore hari.Soal kemana tujuan Melisa pergi, Yoga tidak pernah tahu. Dan Melisa pun tak pernah ingin memberitahu. Anak itu memang benar-benar berubah keras kepala
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter