Bab 180. Pembunuh Suamiku Ternyata Mereka
“Ini yang namanya Hendro?” Embun berbisik. Lelaki itu semakin dekat. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Bram, pimpinan anggota Darry telah pergi. Truk itu meninggalkan kami. Pasti Bram dan Darry tidak sadar, kalau bahaya yang sebenarnya adalah lelaki yang kini menatapku tajam. Inilah sosok yang sesungguhnya paling kutakuti.
Terlintas kembali di benak, bagaimana dia menjatuhkan tubuhku di gulita malam itu. Masih terasa sakit dan perih, saat mulut dan hidung mengeluarkan darah segar kena tamparannya, karena berusaha melawan. Apa lagi saat tubuh besar itu mulai menindih tubuhku, kakinya mengunci setiap gerakanku, dan telapak tangan besar itu membekap mulutku.
Masih terbayang, saat lantai rumah tergenang cairan berwarna merah, darah yang muncrat dari perutnya, akibat tusukan belati Bang Doni. Trauma itu mampu menghancurkan keberanian yang sesaat
Bab 181. Perasaan Dr. Danu Bukan Untukku“Kak Layla? Kakak baik-baik saja, kan?” Embun menyentuh punggung tanganku.Tak ada jawaban dari mulutku. Lidahku masih sangat kelu.“Bu Layla, minum dulu, ya!” Dokter Danu menghampiri kami, menyodorkan sebuah botol minuman mineral kepadaku.Aku hanya mematung. Aku dengar, aku melihat, tapi otakku membeku. Tak bisa memerintahkan anggota tubuh ini untuk melakukan apapun, meski sekedar menerima botol minuman pemberian Dokter Danu.“Saya bantu, ya!” Pemuda itu memutar tutup botol, lalu menempelkannya di bibirku.“Telan Bu Layla, meski beberapa teguk! Ayo!” bujuk Dokter Danu menyentuh punggungku. Embun bergeser menjauh, memberi ruang kepada Dokter Danu untuk membantu memulihkan kesadaranku.“Bu Layla tenang, ya! Semua akan baik- bai
Bab 182. Kejutan Pengakuan Dian===Pak Satpam melebarkan pintu gerbang buat mobil Dokter Danu. Dengan hati hati mobil ini berhenti, persis di samping sebuah mobil asing yang belum kukenal sebelumnya. Ini bukan mobil Embun, juga bukan mobil Darry. Mereka sepertinya belum tiba, mungkin masih mengurus beberapa urusan setelah kami tinggal tadi.Dokter Danu kulihat gelisah. Wajahnya yang tadi begitu tenang, kini tampak tegang. Keringat dingin merembes di keningnya. Kenapa?“Dokter baik-baik saja?” tanyaku penasaran,“Baik, Bu Layla. Ada yang mau saya sampaikan,” jawabnya semakin gelisah.“Boleh, silahkan, katakanlah!” kataku menatapnya serius.“Begini, mengenai pemilik mobil itu, dia adalah –““Dokter! Udah sampai, ya! Dari tadi sa
Bab 183. Ternyata Bukan Layla, Bukan Pula EmbunNomor Dian?”“Ya, aku bertemu dia sore tadi. Dan aku sudah melihat apa yang sebenarnya yang ada di hati Dokter Danu.”“Apa maksud Kakak?”“Embun, ketahuilah. Kita berdua hanyalah obsesi Dokter Danu, namun cinta sejatinya adalah Dian.”“Begitukah?”“Dian cemburu melihat aku berada di sisi Dokter Danu. Kembali dia berbuat yang sama, saat dia tahu pria impiannya telah memilih wanita lain. Dia memilih mundur. Dengan bersandiwara, telah menemukan tambatan hati. Gadis yang baik, begitu mulia hatinya. Dan kau tahu apa yang terjadi dengan Doketr Danu, demi mendengar hal itu?”“Gimana reaksinya?”“Dokter Danu terluka, dalam sekali.”&l
Bab 184.POV Dian[Dokter Danu, aku minta maaf. Rasa ini terlalu sakit kurasakan. Aku tak sanggup lagi menahan. Rasa ini menyiksaku, Dok! Maafkan aku. Aku tahu aku salah. Tidak seharusnya seorang perempuan menyatakan lebih dahulu. Tapi, sungguh aku sudah tidak sanggup. Aku harus mengatakan yang sebenarnya. Tentang perasaanku, tentang rasa yang sangat menyiksa ini. Aku mencintai kamu! Dok, aku sayang sama Dokter! Aku sudah coba hindari perasaan ini. Aku sudah coba bunuh mati rasa ini. Tapi … maaf, aku tidak bisa, Dok! Aku enggak bisa menghentikan ini! Aku paham, Dok. Aku akan sabar menunggu sampai Dokter bisa menerimaku, kapanpun itu.]Kalimat itu pernah diungkapkan. Ungkapan cinta langsung pada Dokter Danu. Ungkapan yang diakhiri dengan ciuman.Setelah kejadian malam itu, setelah ciuman panas yang kami lakukan
Bab 185. Kejutan Di Rumah Orang Tua Mas AndarPOV Layla====Segera kumatikan ponsel di tanganku. Pembicaraan kedua gadis itu sudah tersimpan rapi di dalam memori benda pipih itu. Benda ini masih seminggu kumiliki. Sebelumnya aku tak pernah memiliki handphone. Dulu Bang Doni punya, tetapi yang model kuno. Hanya bisa untuk memanggil, menerima dan kirim SMS. Terpaksa kami jual, untuk membeli beras, karena kesulitan yang kami alami waktu itu.Kini, Embun yang memberikan jenis yang lebih canggih. Dengan sabar dia mengajariku cara menggunakan semua aplikasi di dalamnya. Salah satunya adalah yang baru saja kulakukan. Merekam pembicaraan kedua gadis itu.“Kak Layla? Kakak udah datang?” Dian tampak gugup. Pasti karena pembicaraan mereka berhasil kudengar.“Ya, adikku Sayang. Kakak udah datang, dan maaf, ya, kakak juga udah dengar semuanya.”
Bab 186. Saya Pinjam Kamu, Layla!“Lho, aku berusaha semaksimal mungkin agar kamu ikut denganku menemui Ibuk. Sesampai di sini, kamu malah minta turun. Jangan, dong, La! Kumohon , ikut, ya, ke rumah Ibuk!”Aku tercekat. Apa katanya barusan? Dia sudah berusaha semaksimal mungkin agar aku ikut dengannya ke rumah ibunya? Maksudnya apa? Kenapa aku jadi curiga ada sesuatu di balik ini? Aku teringat sikap Embun tadi malam, setelah dia menerima telpon dari Mas Andar. Ya, Mas Andar tadi malam nelpon Embun, dia meminta nomornya padaku. Alasannya ingin meminta izin langsung.Saat Mas Andar datang berkunjung, mereka mengobrol lama di teras depan. Entah apa yang mereka obrolkan. Yang kutahu, Embun seperti berusaha membujukku agar ikut saja dengan mobil Mas Andar ke desa. Kukira, karena Embun dan Darry tak punya waktu untuk mengantarku, sedang bila aku naik Bus mereka tak tega. Itu sebab aku
Bab 187. Potongan Foto Layla Di Kamar AndarBu Haji menatapku takjub. Matanya berbinar, entah karena suka, atau karena tak menyangka saja. Ya, dulu, hanya dia dan suaminya yang masih mau membelaku, saat semua warga menudingku. Warga memandang jijik padaku, karena hasutan Kak Ambar. Kak Ambar telah bersumpah, bahwa dia melihat sendiri aku yang memancing Hendro datang ke rumahku malam itu. Warga percaya, terutama para istri, yang sering cemburu karena suami mereka suka melirikku.Kak Ambar menatapku tajam. Mata penuh kebencian itu menyapu seluruh tubuhku, memindai dress yang membalut, perhiasan yang melekat, lalu sepatu anggun di kakiku. Tak ada lagi sandal jepit yang selalu melengkapi, kadang sendalnya berbeda warna antara keduanya, karena bila sandal sebelah kanan putus, tetap kupakai yang bagian kirinya. Kulengkapi dengan bagian sandal yang belum putus bulan lalu. Aku tak pernah malu, meski sering di sindir. Tak apa, yang pentin
Bab 188. Dia Perempuan Penggoda, Andar!Bu Haji menarik tanganku lembut, kembali menuju ruang depan.“Andar sudah tiga puluh tahun lebih, masa belum nikah juga. Pacar saja dia tak punya. Gimana mau nikah? Makanya kami jodohkan dengan Fika. Ayah kandung Fika itu dulunya sempat berpesan juga secara samar, dia kan dulu sering main ke sini juga. Akrab dengan ayahnya Andar.” Bu Haji bertutur sambil berjalan. Aku hanya mengangguk tersenyum samar.Acara pengajian sudah usai, dilanjutkan dengan acara inti. Ucapan syukur karena Bu Haji hari ini sudah genap berusia enam puluh tahun. Semoga tetap di beri kesehatan, dan segera mendapat cucu dari putra lelakinya. Begitu ucapan sang pemandu acara.“Untuk itu, kami akan memperkenalkan calon pasangan yang telah dipilihkan oleh Bu Haji dan Pak Haji, buat Ananda Andar. Mohon doa dari kita
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili