Bab 174. Ikatan Batin Layla Dan Embun
Entah mengapa, hati kecilku tak menerima, saat dia mengatakan Embun tertidur di jalanan, setelah kelelahan dalam tangisnya. Hatiku begitu terenyuh. Adik yang belum sempat kulimpahi kasih sayang seorang kakak itu bahkan pernah nekat bunuh diri, begitu pengakuan suaminya.
Aku tidak mau hal itu terjadi padanya, aku tak mau dia kenapa-napa. Aku harus jelaskan padanya, bahwa aku bukan kakaknya, agar dia bisa melepas kepergiannku. Tanpa ragu aku meminta Darry membawaku ke rumahnya. Setelah Embun tenang, aku akan langsung pergi lagi, begitu rencanaku.
Tetapi, rencanaku gagal. Seorang lelaki yang mengaku bersalah karena telah menelantarkan diriku membuka fakta baru. Ternyata aku bukan disingkirkan oleh Mama dan Papa sebagaimana dugaanku semula. Aku justru disingkirkan oleh lelaki itu. Dia, yang kata Embun adalah sepupu jauh Mama.
Apa
Bab 175. Bala Bantuan Untuk LaylaAku terkejut, ucapan Embun begitu tegas. Kulihat Darry langsung menelpon seseorang, Om Ramlan juga menelepon seseorang.“Pak Robert, datang segera ke rumah Embun! Penting!” Begitu perintah Om Ramlan yang kudengar.“Empat personil, merapat ke rumah induk!” begitu perintah Darry di telponnya. Aku hanya termangu.“Duduk, Kak! Kita tunggu kedatangan mereka, ya!” Embun memapahku kembali duduk di sofa.Aku malah kebingungan. Apa maksud mereka?“Dokter Danu, terima kasih, ya!” Embun mengangguk pada Dokter tampan itu.“Iya, Bu Embun. Saya juga kaget awalnya. Bik Las Menelpon saya, katanya Bu Embun ketiduran di jalan sepulang dari rumah saya. Saya dimintanya menyusul Ibu. Rupanya Ibu udah duluan tiba di sini. Untuk memastikan, saya
Bab 176. Mas Darry Cemburu“Embun, kamu begitu baik.”“Kakak yakin, ya! Sekarang ceritakan semua, agar meraka paham masalah yang sebenarnya! Mau, kan?” bujukku lagi.“Aku, aku hampir diperkosa malam itu ….”Semua tersentak kaget. Napasku bahkan tetiba sesak. Tapi, aku harus tetap tenang, agar kakakku bisa bicara dengan gamlang.“Terus?” ucapku menguatkan.“Bang Doni menusuknya. Laki-laki itu bernama Hendro, putra kandung juragan Sanusi. Abang kandung ibu angkatku. Bang Doni di penjara, padahal Hendro tidak meninggal. Mereka meminta tebusan, rumah dan ladang milik kami diambil alih. Janjinya, Bang Doni tak akan di tuntut. Nyatanya, suami Kakak di tahan juga, hingga beberapa bulan. Dan saat dia dibebaskan, baru beberapa langkah dari gerbang lapas, dia ditusuk seseorang. Bang Doni meninggal
Bab 177. Tatapan Mesum Juragan Sanusi“Ok, silahkan turun!” ucap Mas Darry ketika mobil sudah memasuki halaman yang begitu luas dari sebuah rumah. Tampak peternakan luas tak jauh di belakang rumah itu. Rumah itu tampak berbeda dari yang lainnya. Paling besar dan terlihat mewah. Mobil besar yang mengiringi kami juga sudah berhenti.“Ayo, Kak!” bujukku mengguncang lengan Kak Layla.“Untuk apa kita ke sini?” lirihnya tiba-tiba.“Kita jumpai Juragan Sanusi, Kak. Bukankah Kakak ingin meminta kembali semua hak Kakak yang sudah dia rampas?” tanya Mas Darry lembut.“Aku nunggu di sini aja. Aku gak sanggup bertemu dengan manusia busuk itu.”“Baiklah. Tunggu di sini, ya! Biar saya dan Embun turun.”Kak Layla mengangguk.M
Bab 178. Pembalasan Dari Layla“Perempuan yang telah kau hancurkan harga dirinya, kau rebut semua miliknya, kau hina dia sebagai keturunan pelacur, kau tuduh dia seorang pelacur, dia adalah bosku! Kau mau minta keringanan bukan, minta keringanan padanya! Cepat! Sebelum anggotaku mengobrak abrik tempat ini!” teriak Mas Darry lagi.“Layla? Layla adalah Bos Anda?”“Ya, kenapa? Kau tak percaya!”“Bagaimana bisa? Apakah dia telah merayu bos besar Anda dengan tubuhnya?”PLak!Sebuah tamparan mendarat di pipinya. Tamparan dari tanganku. Lelaki itu terkejut.“Layla? Kau?” ringisnya mengusap pipinya yang memerah.“Aku Layla!”Kami semua terperangah. Kak Layla berjalan anggun menghampiri kami. Bibirnya mengulas s
Bab 179. Tatapan Takjub Warga KampungDarry langsung menghadap kepala desa, mereka berbincang serius. Para warga menatapku dan Embun bergantian, dengan mulut menganga dan mata membola. Mungkin mereka ikut bersyukur, kalau aku telah menemukan keluargaku.Tidak, tidak mungkin seperti itu. Yang benar adalah, pasti mereka tidak menyangka ternyata aku bisa bangkit juga, mereka pasti mengumpat. Perempuan yang mereka hinakan tiada jeda, kini tampil bak putri raja.“Layla? Layla yang mana?” Lastri belum berhenti berteriak, diguncangnya bahu Embun, lalu beralih kepadaku.Bang Roni dan istrinya berbuat yang sama. Menatap lekat wajah Embun, lalu menghampiriku. Embun terlihat begitu tenang. Tak ada riak emosi di wajahnya sedikitpun.“Yang ini Layla! Ya, yang ini! Aku hapal sekali, karena aku yang telah membesarkann
Bab 180. Pembunuh Suamiku Ternyata Mereka“Ini yang namanya Hendro?” Embun berbisik. Lelaki itu semakin dekat. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Bram, pimpinan anggota Darry telah pergi. Truk itu meninggalkan kami. Pasti Bram dan Darry tidak sadar, kalau bahaya yang sebenarnya adalah lelaki yang kini menatapku tajam. Inilah sosok yang sesungguhnya paling kutakuti.Terlintas kembali di benak, bagaimana dia menjatuhkan tubuhku di gulita malam itu. Masih terasa sakit dan perih, saat mulut dan hidung mengeluarkan darah segar kena tamparannya, karena berusaha melawan. Apa lagi saat tubuh besar itu mulai menindih tubuhku, kakinya mengunci setiap gerakanku, dan telapak tangan besar itu membekap mulutku.Masih terbayang, saat lantai rumah tergenang cairan berwarna merah, darah yang muncrat dari perutnya, akibat tusukan belati Bang Doni. Trauma itu mampu menghancurkan keberanian yang sesaat
Bab 181. Perasaan Dr. Danu Bukan Untukku“Kak Layla? Kakak baik-baik saja, kan?” Embun menyentuh punggung tanganku.Tak ada jawaban dari mulutku. Lidahku masih sangat kelu.“Bu Layla, minum dulu, ya!” Dokter Danu menghampiri kami, menyodorkan sebuah botol minuman mineral kepadaku.Aku hanya mematung. Aku dengar, aku melihat, tapi otakku membeku. Tak bisa memerintahkan anggota tubuh ini untuk melakukan apapun, meski sekedar menerima botol minuman pemberian Dokter Danu.“Saya bantu, ya!” Pemuda itu memutar tutup botol, lalu menempelkannya di bibirku.“Telan Bu Layla, meski beberapa teguk! Ayo!” bujuk Dokter Danu menyentuh punggungku. Embun bergeser menjauh, memberi ruang kepada Dokter Danu untuk membantu memulihkan kesadaranku.“Bu Layla tenang, ya! Semua akan baik- bai
Bab 182. Kejutan Pengakuan Dian===Pak Satpam melebarkan pintu gerbang buat mobil Dokter Danu. Dengan hati hati mobil ini berhenti, persis di samping sebuah mobil asing yang belum kukenal sebelumnya. Ini bukan mobil Embun, juga bukan mobil Darry. Mereka sepertinya belum tiba, mungkin masih mengurus beberapa urusan setelah kami tinggal tadi.Dokter Danu kulihat gelisah. Wajahnya yang tadi begitu tenang, kini tampak tegang. Keringat dingin merembes di keningnya. Kenapa?“Dokter baik-baik saja?” tanyaku penasaran,“Baik, Bu Layla. Ada yang mau saya sampaikan,” jawabnya semakin gelisah.“Boleh, silahkan, katakanlah!” kataku menatapnya serius.“Begini, mengenai pemilik mobil itu, dia adalah –““Dokter! Udah sampai, ya! Dari tadi sa
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili