Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Nina mendengar suara mobil Bima memasuki garasi. Dia segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, menyambut suaminya dengan senyum manis yang sudah dia latih sepanjang hari.“Sayang, kamu sudah pulang,” sapa Nina lembut saat Bima melangkah masuk ke dalam rumah.Bima tampak lelah. Dasi di lehernya sudah sedikit longgar dan kemejanya kusut setelah seharian bekerja.“Iya. Hari ini benar-benar melelahkan.” Bima menghela napas panjang sambil melepas sepatu.Nina dengan sigap menerima tas kerja Bima dan meletakkannya di meja. “Kamu mau makan dulu atau langsung mandi?” tanyanya dengan suara lembut.Bima mengusap wajahnya. “Mungkin mandi dulu biar segar,”Nina mengangguk mengerti. “Aku sudah siapkan air hangat di kamar mandi,”“Terima kasih,” jawab Bima singkat sebelum berjalan ke kamar mereka.***Setelah beberapa saat, Bima keluar dari kamar mandi dengan piyama. Dia duduk di tepi ranjang sambil mengecek ponsel, sesekali membalas pesan yang m
Siang itu, suasana rumah keluarga Harjono terasa lebih ramai dari biasanya. Meja panjang di tengah ruangan dihiasi dengan piring-piring berisi berbagai masakan mulai dari ayam panggang, sup hangat, hingga aneka lauk yang menggugah selera.Harjono sebagai kepala keluarga, duduk di kursi utama. Di sampingnya Sulastri tampak sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk. Wajahnya berseri-seri, terutama saat melihat Abi yang digendong oleh seorang pengasuh di dekat meja makan.“Lihat bayi kecil ini,” kata Sulastri. “Abi makin besar dan tampan saja. Dia benar-benar cucu kebanggaan keluarga Harjono,”Nina yang duduk di sebelah Bima hanya tersenyum tipis sambil melirik ke arah Sulastri.“Tentu saja,” sahut Harjono sambil menyantap makanan. “Abi adalah penerus keluarga ini,”“Ibu, bagaimana kabar toko?” Vina berusaha mengalihkan pembicaraan.Sulastri tersenyum dan mulai berbicara panjang lebar tentang tokonya. Dia memutuskan untuk membuka toko sembako beberapa bulan lalu, untuk mengisi waktu luang.D
Maya melangkah keluar dengan gaun sederhana berwarna biru tua. Rambutnya yang tergerai lembut berayun setiap kali dia melangkah. Maya sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu, tapi tetap merasa sedikit gugup.Begitu dia sampai di lobi, Reza turun dari mobil dan berjalan menghampirinya. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Begitu menawan. Senyum khasnya langsung menghangatkan hati Maya.“Kamu cantik,” puji Reza. Matanya menelusuri wajah Maya dengan penuh kekaguman.Maya tersipu. “Terima kasih. Kamu juga terlihat … luar biasa,” balasnya.Reza terkekeh pelan. “Jadi, siap untuk makan malam?”Maya mengangguk. “Tapi … kita mau makan di mana?”Reza membuka pintu mobil untuk Maya. “Itu kejutan,” katanya sambil tersenyum misterius.Maya menaiki mobil dan duduk, sementara Reza menutup pintu dan segera mengambil tempat di belakang kemudi. Mobil melaju perlahan meninggalkan apartemen. Lampu kota mulai menyala satu per satu, tampak begitu indah.“Setidaknya b
Maya menutup mulut dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menatap Reza, kemudian orang tua pria itu. Yang tampak begitu bahagia dan penuh harap.Segalanya terasa seperti mimpi. Tak pernah terpikir oleh Maya bahwa malam ini akan menjadi momen di mana hidupnya akan berubah selamanya.“Maya?” panggil Reza. Kali ini sedikit lebih khawatir karena wanita di hadapannya masih belum merespons.Maya menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.Hingga akhirnya, dia mengangguk. “Ya … Aku mau,”Seolah dunia berhenti berputar sejenak.Seketika suara tepuk tangan terdengar dari orang tua Reza. Bahkan beberapa tamu di restoran yang menyaksikan momen tersebut ikut bersorak.Reza tersenyum lega, lalu dengan hati-hati menyematkan cincin itu ke jari manis Maya. Setelahnya dia bangkit dan langsung menarik Maya ke dalam pelukannya.“Terima kasih. Aku sangat bahagia sekarang,” bisik Reza sambil memeluk M
Maya masih berdiri di tempat, hatinya diliputi kebingungan. Kenapa Bima ada di sini?Bima yang masih berdiri di depan nisan orang tua Maya, menundukkan kepalanya sejenak. Seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat. Udara di pemakaman terasa hening, hanya suara dedaunan yang berguguran terbawa angin yang terdengar di antara mereka."Aku datang ke sini bukan untuk mengganggumu, May," kata Bima akhirnya. Suaranya terdengar berat. "Aku hanya ingin melayat. Aku merasa bersalah pada ayah dan ibumu … ""Merasa bersalah?" ulang Maya, dingin.Bima menarik napas panjang, lalu berjongkok di depan nisan. Tangannya menyentuh batu dingin itu dengan penuh hati-hati, seolah sedang berbicara langsung kepada orang yang telah tiada. "Mereka menerimaku dengan baik saat aku menikah denganmu. Mereka mempercayaiku, menganggapku bagian dari keluarga. Aku berjanji di hadapan mereka untuk menjaga dan membahagiakanmu … tapi aku gagal," jelas Bima.Maya mengerutkan kening. “Semua sudah berlalu … “"Aku mengkh
Bima duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Matanya terpaku pada laporan transaksi kartu kredit yang baru saja dia terima melalui email dari bank. Sebuah transaksi besar—ratusan juta rupiah—keluar dari salah satu kartunya.Dia menggeser kursi sedikit mendekat. Matanya menyusuri setiap detail laporan itu. Waktu transaksi, tempat, dan jumlah yang tertera membuat hatinya mulai dipenuhi tanda tanya. Dia tidak ingat pernah mengeluarkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.Dengan rahang mengeras, Bima menghela napas dalam. Dia berusaha mengingat, tapi tidak ada satu pun pengeluaran yang sesuai dengan nominal tersebut.Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dan menekan nomor layanan bank. Setelah beberapa nada sambung, suara operator wanita menjawab.“Selamat siang, Pak Bima. Ada yang bisa kami bantu?”“Saya ingin konfirmasi transaksi di kartu kredit saya. Ada jumlah yang tidak saya kenali,” Bima langsung ke intinya.Operator itu meminta beberapa detail untuk
Raka menghela napas panjang. Lalu bersandar ke kursi, mencoba menunjukkan ekspresi tenang meskipun hatinya berdebar. “Aku sudah bilang, kan? Itu bukan urusanmu, Kak. Uang itu adalah urusan pribadiku dengan Nina,”Bima mendekat lagi, tangannya bertumpu di meja kerja Raka. Sorot matanya semakin tajam, penuh kecurigaan. "Uang ratusan juta itu berasal dari kartuku. Jadi, tentu menjadi urusanku sekarang,"Raka terdiam. Dia tahu Bima tidak akan menyerah sampai mendapatkan jawaban yang dia inginkan.“Atau aku harus bicara langsung dengan Nina?” tanya Bima, karena Raka tidak lagi bicara.Raka menatap Bima dengan rahang mengeras. Dia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat."Aku sedang butuh uang dan Nina menawarkan bantuan," jawab Raka. Hanya itu yang terlintas di otaknya sekarang.Bima menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban itu. "Butuh uang? Untuk apa?"Raka menggeram pelan. "Kamu tidak perlu tahu," katanya keras.Ruangan itu terasa semakin sempit karena tatapan tajam Bima yang ti
Raka menelan ludah. Berusaha tetap tenang meski kepalanya terasa berdenyut hebat. Dia melirik sekilas ke luar ruangan. Femil masih berdiri di sana, seolah menunggu dan mengawasinya.Bima menatapnya tajam. “Aku tunggu sampai kamu mau bicara,”Raka menghela napas panjang, mencoba menyusun jawaban yang masuk akal. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Tidak dengan Femil yang berdiri di sana, dengan belati tersembunyi di balik jaketnya.“Nina memberiku uang untuk usaha,” jawab Raka.Alis Bima terangkat. “Usaha?”Raka mengangguk. “Aku dan Vina berencana membuka usaha. Kami sudah lama membicarakannya. Tadinya aku mau cari modal sendiri, tapi Nina tahu rencana ini dan menawarkan bantuan. Itu saja,”Bima menatapnya lama, seolah menimbang kebenaran dari kata-kata Raka.“Usaha apa?” tanya Bima akhirnya.Raka menghela napas. “Kami ingin membuka butik kecil. Vina sudah lama ingin punya bisnis sendiri,”Ekspresi Bima tetap tajam. “Kenapa Nina tidak bilang apa-apa padaku soal ini?”Raka ber
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau
Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel
Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah
Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.