"Oh, anu Mbak. Tadi Mama nitipin ini." Aku menyodorkan bagpapper yang aku bawa tadi."Apa ini? Kenapa Mama ngasi ke kamu?" Dia semakin terlihat tidak senang."Itu seragam buat kita dan juga Mas Raka, Mbak." Dia membongkar isi kantongan itu."Mama bicara apa lagi sama kamu?""Anu, itu, dia bilang...." Aku ragu-ragu mengatakannya. Takut Mbak Silvi tersinggung, dan malah terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya padaku."Mama bilang apa, Delima?" Dia terdengar tak sabaran."Mama bilang, Mbak Silvi sedang hamil. Selamat ya, Mbak. Akhirnya apa yang Mbak dan Mas Raka impikan akan segera terwujud," ucapku dengan tulus. Meski ada yang berdenyut di hati ini."Oh, itu, ya. Maaf, kalau Mbak belum cerita." Dia terlihat salah tingkah."Iya, Mbak. Delima ngerti. Sekali lagi selamat ya, Mbak.""Iya, iya. Makasih," ucapnya begitu saja.Usai mengganti pakaian di kamar tadi, aku langsung keluar seperti yang diperintahkan oleh Mbak Silvi. Lalu berkeliling mencari apa yang dia suruh tadi. Setelah me
"Kamu udah ganti baju, Delima? Wah, cantik banget mantu, Mama." Mama tiba-tiba datang sambil tersenyum pada kami."Makasih, Ma," ucapku membalas senyumannya."Kok kamu ditinggal terus? Mana Silvi sama Raka?""Lagi ganti baju, Ma.""Panggilin sana! Acara sudah mulai ini," pintanya. Lalu pergi meninggalkan kami."Mas Deni, kalau begitu, Delima permisi dulu, ya."Aku izin pamit dan meninggalkannya. Lalu menyusul kembali ke lantai dua. Lagi-lagi aku tak sengaja mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu."Sabar, Sayang. Sabar. Kamu jangan marah-marah sama aku dong." Suara Mas Raka seperti sedang menenangkan."Sabar gimana? Belum apa-apa aja, Delima sudah dikasi kalung sama Mama."Aku terperanjat. Lalu memegangi kalung yang sedang aku pakai saat ini. Ternyata Mbak Silvi sudah menyadari. Tapi kenapa tadi dia diam saja, dan tak bertanya?"Kamu kan juga udah pernah dikasi, Sil. Berarti Mama berbuat adil, kan? Lagian, kamu sendiri yang memilih Delima untuk jadi menantunya. Kenapa sekarang
Aku menemani Mbak Silvi yang sudah mendapatkan penanganan di ruang IGD. Sementara Mas Raka menghubungi keluarga di luar ruangan."Sakit banget, Suster." Mbak Silvi kembali merintih. "Sebentar ya, Buk. Biar saya pasang infusnya dulu," jawab suster menenangkan. Aku hanya bisa melihat mereka menanganinya tanpa bisa berbuat apa-apa.Tak lama Mas Raka masuk dan langsung mendekati istrinya itu. Kata Dokter, kandungan Mbak Silvi yang baru berusia tiga minggu sangat lemah. Agak berbahaya jika terlalu stres dan banyak pikiran. Aku pun tak terlalu paham apa istilah yang kudengar dari Dokter tadi. Untungnya saat ini kandungannya tidak apa-apa, namun tetap harus menginap sampai keadaannya benar-benar pulih dan janinnya kuat.Mas Raka setuju saja. Asal istri dan anaknya baik-baik saja. Sampai di ruangan, aku membantu Mbak Silvi untuk menyeka badannya yang tadi sempat berkeringat. Hanya saja tak ada pakaian ganti yang bisa aku pakaikan. Betapa risihnya dia harus berbaring memakai terusan brokat s
Canggung juga rasanya berada dalam satu mobil bersama Mas Raka. Laki-laki yang menjadi suamiku, namun jarang sekali berbicara hal-hal tidak penting padaku. Padahal kalau sama Mbak Silvi dan keluarga lainnya, Mas Raka terlihat sangat ramah dan juga banyak bicara. Mungkin memang dia benar-benar merasa tidak nyaman saat bersamaku.Perjalanan kami terasa sangat kaku. Aku yang baru kali ini duduk sejajar dengannya di kursi depan, tak berani melihat. Hanya bersandar, dan membuang pandangan ke arah jendela."Kamu ngantuk, Delima?" Tiba-tiba saja suara Mas Raka menegurku. Aku yang sama sekali tidak menyangka langsung mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya."Eh, enggak kok, Mas. Delima nggak ngantuk. Ada apa, Mas?""Nggak apa-apa kalau memang ngantuk. Hari ini kan kita semua memang capek. Nanti kamu tinggal aja di rumah. Biar Mas sendiri yang jagain Mbakmu."Ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar saat dia berbicara padaku. "Nggak usah, Mas. Delima ikut aja. Nanti selesai mandi, dan m
"Eh, Maaf Dek. Mas masuk nggak ketuk pintu dulu. Mas tunggu di luar aja, ya." Mas Raka langsung melangkah keluar dengan cepat-cepat, dan kembali menutup pintu.Aku memegangi jantungku yang tiba-tiba berdegup dengan kencang. Kenapa Mas Raka malah meminta maaf. Bukankah dia juga punya hak untuk melihatku. Lagi pula, tak seharusnya juga aku bersembunyi dan menutup erat tubuh ini.Usai berpakaian, aku segera keluar untuk menemui Mas Raka. Kulihat dia duduk sambil memainkan telepon genggamnya di ruang tamu."Eh, Dek. Kamu jadi ikut?" Mas Raka terdengar gugup dan salah tingkah. Dia pasti masih memikirkan hal tadi."Iya, Mas. Kasihan kalau Mama yang nungguin. Nanti Mama sama Mas Deni disuruh pulang aja. Delima udah biasa kok jagain pasien di rumah sakit. Dulu waktu Bue operasi, Delima juga, kok yang jagain.""Iya. Mas tau. Sekali lagi, terima kasih ya, Dek. Mas jadi merasa tidak enak sama kamu.""Nggak enak kenapa, Mas?" Apa dia masih ingin membahas soal di kamar tadi? Atau tentang niatnya m
Pagi ini aku membawakan semua keperluan Mbak Silvi. Mas Raka pun sudah izin tak masuk kantor. Katanya ingin memastikan istrinya baik-baik saja. Padahal aku sudah bilang untuk tak perlu khawatir, karena aku akan merawat Mbak Silvi dengan sebaik mungkin.Di sana aku kembali bertemu dengan Mama dan Mas Deni. Ternyata Mbak Dian pulang pagi-pagi sekali karena suaminya harus pergi ke kantor.Aku melirik ke arah Mbak Silvi yang masih terbaring lemah. Wajahnya lebih cemberut dari hari kemarin. Aku jadi semakin tidak enak dibuatnya."Ya udah, Ka. Mama sama Deni pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, cepat kamu kabari." Mama bersiap-siap untuk pulang."Dek, kamu ikut Mama sama Deni aja dulu cari sarapan, ya. Kan tadi belum sempat makan di rumah." Mas Raka memberi perintah. Sepertinya dia sengaja mencari alasan untuk menyuruhku keluar, dan membiarkan mereka berduaan.Entah apa lagi yang akan mereka bicarakan. Melihat wajah Mbak Silvi yang dari tadi tak tersenyum sedikit pun, aku yakin pasti Mas Rak
Aku tak mau lagi jadi duri dalam rumah tangga mereka. Meski miskin dan berasal dari kampung, aku masih tetap memiliki harga diri. Kalau seperti ini, baiknya aku saja yang mundur. Dari pada selalu berharap-harap cemas tentang keputusan mereka, yang bisa datang kapan saja untuk menendangku keluar dari kehidupan mereka.Baru saja aku ingin mengungkapkan semua yang aku dengar, tiba-tiba saja suara ponsel berdering. Sepertinya itu ponsel Mbak Silvi yang tergeletak di atas nakas di samping ranjang.Mas Raka mewakili untuk mengambilnya. Mengernyitkan dahi karena tak ada nama pemanggil katanya."Angkat saja!" ketus Mbak Silvi masih dengan wajah cemberut. Lagi-lagi Mas Raka hanya menurut."Halo," sahutnya, sembari meletakkan benda pipih itu di telinga."Oh, iya. Ada, ada. Sebentar." Mas Raka menoleh ke arahku. Menyodorkan ponsel itu.Aku yang kebingungan, langsung menerimanya tanpa bertanya."Mbak Delima. Ini Sidik." Sidik? Oh, aku baru ingat. Nomor ini pernah kuberikan padanya jika ada perl
"Terima kasih ya, Delima." Mbak Silvi tersenyum saat aku mengantarnya berbaring di kamarnya. Sikapnya masih baik seperti di awal saat aku baru pindah ke rumah ini.Entah itu memang tulus, atau hanya kepura-puraan. Yang jelas, sikap dan gaya bicaranya sangat jauh berbeda saat kudengar dia membicarkanku dengan Mas Raka jika aku tidak ada.Dan kurasa, aku harus sering-sering menguping pembicaraan mereka, agar aku tahu dan selalu waspada dengan rencana mereka kedepannya.Sungguh, aku pun sudah tak betah berlama-lama tinggal di rumah ini. Ingin rasanya segera pergi dan mengakhiri pernikahan konyol ini."Iya, Mbak. Ini kan sudah menjadi kewajiban Delima mengurus Mbak Silvi sebagai seorang adik.""Mbak boleh minta tolong lagi nggak, Delima?""Bilang aja, Mbak. Delima bakal lakuin, kok.""Kamu nggak keberatan kan, kalau saat ini, Mas Raka tidur di kamar Mbak terus. Mbak nggak ada temennya. Takutnya kalau malam tiba-tiba terbangun dan butuh sesuatu."Ternyata benar. Kebaikannya memang karena a
"Ba_bagaimana, Say... eh,... Delima?" Mas Deni tampak takut-takut menanyakan itu padaku. Aku kembali terdiam. Masih syok dengan semua ini. Semuanya serba mendadak dan tiba-tiba. Membuatku bingung harus bertanya mulai dari mana.Lalu Mas Raka meminta sesuatu pada Mbak Silvi. Dengan senyum kebahagiaan Mbak Silvi merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Dikeluarkan sebuah amplop ke tangan Mas Raka."Ini, Dek." Mas Raka menyodorkan kertas itu ke atas meja. Dengan ragu aku mengambil dan melihat apa isinya."I_ini?" Air mataku tumpah seketika."Iya, Dek. Itu surat cerai yang kamu inginkan. Kamu sudah bebas sekarang."Rasa di hatiku kini bercampur aduk tak menentu. Ada perasaan sedih, bahagia, juga lega."Jadi, gimana, Dek? Mas sendiri yang melamar kamu untuk Deni. Kamu mau, kan?"Aku menatap mereka semua secara bergantian. Lalu mengangguk."Iya, Mas. Delima mau.""Alhamdulilah...." Semua orang di ruangan ini mengucap syukur.*****Akhirnya hari bahagia yang dinantikan semua orang terjadi juga. M
Mataku menghangat melihat orang-orang itu kini berdiri di hadapanku. Aku merasa ini seperti sebuah mimpi. Aku berdiri terpaku dengan air mata yang mulai mengalir.Lalu tiba-tiba saja tubuhku direngkuh dan masuk dalam pelukan hangatnya."Mama?" Aku menangis sesenggukan."Iya, sayang. Ini Mama," ucap wanita yang sudah setengah tahun ini tak pernah lagi kutemui. "Kamu sehat-sehat aja kan, Delima?"Aku makin sesenggukan melihat sikap pedulinya. Lalu aku juga merasakan tangan seseorang ikut menyentuh dan mengusap bahuku. Benarkah apa yang sedang kulihat saat ini?Aku melepaskan pelukan Mama. Lalu menatap satu persatu wajah mereka yang ikut berkunjung ke rumahku."Mbak Silvi?""Iya, Delima. Mbak datang." Wanita yang pernah menamparku saat terakhir kali bertemu ini, tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.Lalu kulihat Mas Raka dan Mas Deni tampak berdiri sejajar. Sepertinya semua orang sudah baik-baik saja. Dan mereka semua terlihat akur.Pasti sudah banyak hal yang terjadi selama aku tak a
Biarlah hanya kami berdua yang tahu tentang semua ini. Seperti yang dia katakan, itu untuk yang terakhir kalinya. Kuberikan sebagai upah, atas apa yang dia berikan selama ini. Dengan begitu, nantinya dia hanya akan mengingatku sebagai wanita bayaran saja. Yang bisa dia cumbu tanpa hati, dan juga rasa cinta.Aku harus benar-benar terlihat murahan di matanya.*"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba ninggalin Mas seperti ini?" Mas Deni begitu syok saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya untuk berpamitan."Maafin Delima, Mas. Delima bukanlah wanita yang baik untuk Mas Deni." Lagi-lagi aku membatukan hati agar tak lagi goyah.Berbicara dengan Mama pun rasanya hati ini sudah akan luluh melihat kekecewaan di wajahnya. Apa lagi saat berbicara dengan Mas Deni. Aku harus benar-benar bisa mengendalikan diriku. Rasa sakit yang aku rasakan tak boleh terlalu nampak. Aku lebih memilih Mas Deni kecewa dan membenciku saja, dari pada harus menangis dan mengiba, memohon agar aku tetap tinggal."Sampai h
Tanpa terasa enam bulan sudah aku kembali ke kampung. Kembali tinggal dengan Bue dan juga Sidik. Tak peduli lagi pada gunjingan tetangga dan warga sekitar atas statusku sekarang ini.Awal kepulanganku dulu, bisik-bisik mereka selalu terdengar. Katanya memang seperti itulah resiko menjadi wanita kedua. Hanya sebagai cadangan untuk bersenang-senang. Giliran bosan, pasti kembali ke pelukan istri pertama.Aku hanya diam, tak ambil pusing dengan pendapat mereka. Tak ada gunanya juga menceritakan hal yang sebenarnya. Asal Bue mengerti dan tidak terlalu memikirkannya hingga sakit, kurasa itu bukan masalah.Anggap saja memang ini adalah hukuman atas keserakahanku waktu itu. Lepas dari seorang pria beristri, malah berkhayal mendapatkan bujangan kaya raya.Tapi semua itu sudah berlalu. Tak ada lagi bisik-bisik seperti itu kudengar. Semuanya seakan lupa, dan aku bisa menjalani kehidupan dengan normal kembali.Kini aku tak perlu lagi bersusah payah bekerja dari pintu ke pintu untuk bekerja di rum
"Kita rujuk ya, Dek?" Napasnya makin memburu di telingaku. Aku kembali menggeleng dalam tangisan."Kasi kesempatan Mas satu kali lagi untuk membahagiakan kamu, Sayang." Aku semakin menggeleng."Dek?""Kalau Mas benar-benar mencintai Delima dan ingin melihat Delima bahagia, tolong bebaskan Delima. Kalau Mas ingin balas dendam dan tidak ingin melihat Delima bahagia dengan Mas Deni, Delima akan turuti. Delima akan putuskan hubungan dengan Mas Deni dan akan kembali ke kampung. Apa itu cukup membuat Mas Raka puas?""Enggak, Dek. Bukan seperti itu maksud Mas. Mas ingin kamu bahagia sama Mas, Sayang. Kenapa kamu nggak percaya sama perasaan Mas?" Dia tampak gelisah sembari menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa memejamkan mata dengan pasrah. Melawan pun percuma. Hanya akan membuat keributan malam-malam begini."Delima hanya ingin hubungan Mas Raka dan Mas Deni kembali baik, Mas. Jangan lagi bermusuhan seperti ini hanya gara-gara Delima. Delima bukan wanita yang pantas untuk
Aku segera menarik tanganku kembali. Namun Mas Raka tak mengizinkan dan malah menahannya. Dia terlihat begitu marah. Padahal saat di bawah tadi, dia terlihat biasa-biasa saja dan tak memperdulikan.Atau, jangan-jangan Mama bercerita tentang aktivitas aku dan Mas Deni tadi. Bukan salah Mama juga. Salahku yang tak berani bilang untuk merahasiakannya dari Mas Raka."Tega banget kamu, Dek. Mas udah bilang, jangan pergi sama Deni. Kenapa kamu masih nekat juga? Malah gantiin cincin Mas dengan cincin dari dia. Kamu pikir Mas main-main dengan ancaman Mas waktu itu?""Kenapa Mas melakukan itu? Kenapa Mas nggak ngijinin Delima sama Mas Deni? Jujur aja, Mas." Aku mulai berani."Kamu masih nanya? Kamu tau sendiri kenapa Mas melakukan itu, Dek.""Kenapa?" Aku meyakinkan."Tentu saja karena Mas mencintai kamu.""Bohong!" sanggahku dengan penuh amarah. "Mas Raka bohong. Mas Raka sama sekali nggak pernah mencintai Delima.""Itu nggak benar, Dek. Mas sayang sama kamu.""Delima nggak percaya. Mas Raka
"Oh, iya, Den. Soal pesta, nanti kita adakan di rumah kamu aja, ya. Biar kita buat acara yang meriah. Di kampung Delima kita adakan akad saja. Biar Delima nggak terlalu jadi sorotan orang kampung.""Kalau Deni nggak masalah, Bulek. Terserah Delimanya aja.""Kalau kamu, gimana, Delima?" Mama meminta pendapatku."Delima juga nurut, Ma. Gimana baiknya aja.""Ya sudah, nanti Mama tanyakan sama Ibu kamu. Setuju atau enggak.""Baik, Ma."Setelah Mas Deni pulang, aku langsung menuju ke kamar untuk menyimpan barang-barang yang aku beli tadi. Padahal aku tidak memintanya. Tapi dengan begitu royal dia membelikan semua ini untukku.Aku terduduk di ranjang sembari memegangi bibirku. Teringat saat Mas Deni mengecupnya tadi. Membuat perasaanku semakin tak karuan. Inilah ciuman pertamaku dengan seorang lelaki. Padahal sebelumnya aku berpikir, bahwa Mas Rakalah yang akan mengambil semuanya.Usai makan malam aku memijat punggung Mama. Mengobrol dan tertawa bersama. Tak lama Mas Raka datang dan bergabu
Dia menghentikan kata-katanya."Lagi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Eh, nggak. Mas juga jarang-jarang dengar suara kamu, kok." Mas Raka gelagapan. "Kamu kenapa belum tidur jam segini?" "Tadi sudah mau tidur. Tapi Mas Raka tiba-tiba nelpon. Apa lain kali tidak usah diangkat saja, kalau sudah mengantuk?""Eh, eh. Udah berani kamu, ya." Aku tertawa mendengarnya.Kudengar suara Mas Raka seperti bernapas lega. "Kenapa, Mas?" tanyaku lagi."Mas senang, kita bisa bicara santai seperti ini. Makasih ya, Dek. Kamu udah nggak takut lagi sama, Mas."Aku tertegun. Bahkan hal yang tak kusadari pun bisa membuat orang lain merasa lega.*Pagi ini aku pamit pada Mama untuk ikut Mas Deni. Sengaja menunggu Mas Raka berangkat ke kantor terlebih dahulu. Padahal Mama sendiri tidak tahu kalau aku dan Mas Deni sekarang lagi kucing-kucingan sama Mas Raka. Bertemu pun harus diam-diam.Aku bisa saja mengadu pada Mama. Tapi posisiku yang hanya menumpang membuatku tak bisa melakukannya. Seperti memakan buah si
Cih, pintar sekali wanita ini bersandiwara. Padahal baru saja dia bersikap seperti orang gila padaku."Kamu aja yang pulang. Dan tunggu surat cerai sampai ke tangan kamu.""Jangan, Mas. Aku nggak mau. Aku nggak mau cerai dari kamu. Kamu harus pulang sama aku. Kamu nggak boleh lagi tinggal sama pelacur ini.""Diam kamu, Silvi. Sekali lagi kamu hina Delima, aku nggak akan segan-segan lagi sama kamu.""Mas!""Jangan salahkan Delima untuk semuanya. Delima sama sekali nggak ada hubungannya dengan keputusanku.""Tapi aku istri kamu, Mas.""Kamu lupa kalau aku sudah menjatuhkan talak sama kamu?""Jadi kamu lebih memilih pelacur ini dari pada aku?"Plak!Aku menutup mulut dengan kedua tanganku saat Mas Raka menampar Mbak Silvi. Mbak Silvi menatap tajam suaminya sambil memegangi pipinya. "Tega kamu, Mas," rintihnya."Aku sudah memberi peringatan sebelumnya. Jangan pernah berani menghina Delima. Urusan kamu sama aku. Sekarang kamu pergi, atau aku panggil polisi karena kamu telah membuat keribu