Evan Wijaya. Usia pria itu 33 tahun sekarang. Pendapat Kia tentangnya? Si rupawan yang bajingan.
Contoh paling dekat dari sikap bajingannya itu, sekarang. Saat Kia masih ingin merebahkan tubuh di kasur karena memang masih lemas dan sedikit pusing, pria itu malah memaksanya ikut keluar rumah.
Di malam hari yang lumayan berangin pula. Seperti sengaja sekali ingin membuat sakitnya makin parah. Katanya, ingin mengajak makan bakso. Namun, malah berhenti di warung nasi goreng.
Kesal, Kia membiakan pria itu turun dari mobil dan masuk sendirian ke tempat makan. Sekitar tiga menit berlalu, Kia tertawa kecil saat melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu kembali menghampiri mobil.
"Kamu beneran sakit? Sempat-sempatnya bikin aku kesal?" Evan bicara tepat di samping Kia. Pria itu melepas seat belt yang masih melilit di tubuh istrinya.
"Aku enggak lapar. Kalau kamu mau kerepotan ngurusin aku yang muntah, silakan. Paksa aku masuk ke sana dan makan."
Tangan Evan menjauh dari seat belt yang sudah terbuka. Pria itu berkacak pinggang. Tubuh jangkungnya sedikit membungkuk agar bisa bersitatap dengan lawan bicara.
"Mau kamu apa?" tanyanya dengan dagu yang terangkat.
"Kamu yang maunya apa? Ngajak keluar mau apa?"
Runut, lugas, Evan menjelaskan. Ini ide Lidia. Istri pertamanya itu memberi saran agar Evan mengajak Kiandra keluar, bicara berdua, menanyakan mengapa Kia belum siap punya anak. Mereka bisa mencari solusi bersama, harap Lidia.
"Alasanku cukup masuk akal untuk kamu? Bisa turun sekarang?"
Usai menjelaskan dengan penuh kesabaran, Evan malah melihat gelengan dari Kia atas tanya itu.
"Dingin, Van. Ngomongnya sambil jalan atau di rumah aja. Aku kedinginan."
Mengalah kata Lidia. Evan diminta untuk lebih mengalah. Ia menurut. Pria itu menutup pintu di samping Kia, kembali menempati kursi kemudi.
"Jadi, kenapa? Apa alasan kamu sampai belum siap punya anak?" Pria itu tergelak. "Kamu ngerasa enggak, kalau kamu itu terlalu banyak mau?"
Dinikahi untuk memberikan anak, kenapa Evan harus bertindak sejauh ini untuk membujuk? Memastikan Kia bersedia, padahal jelas dinikahi memang untuk memberikan keturunan.
"Kamu sadar kamu itu menyebalkan, Ki?" sambung Evan. Mobil mereka mulai memasuki kawasan jalan raya, sudah meninggalkan parkiran warung nasi goreng.
"Aku enggak suka kamu. Aku enggak mau punya anak dari kamu." Kiandra menjawab tanpa menoleh. Matanya yang sayu lebih memilih memandangi pemandangan di luar mobil.
"Aku harus bikin kamu suka aku, gitu? Kamu merasa dirimu ratu, Ki?"
"Sikap kamu jelek. Kamu sering ngebentak aku. Aku enggak kamu kasih kesempatan untuk nolak apa pun mau kamu."
"Kamu keras kepala. Ngomong sekali, enggak bakal kamu gubris. Dibentak baru mempan." Evan tampak mengerutkan dahi. Sudah mulai hangat ubun-ubunnya.
"Aku udah makan sayur-sayuran seperti yang kamu mau. Kamu tetap ngebentak aku." Kia bicara soal insiden pertengkaran mereka sehari sebelum tragedi pil KB yang ketahuan. Evan membentak tepat di depan Irna dan Lidia.
"Kamu enggak jawab waktu aku tanya udah makan sayur apa belum? Menurut kamu, aku enggak pantas marah? Aku pulang kerja, capek dan masih harus ngurusin hal remeh gitu?"
Evan menekan klakson kuat. Barusan, seorang pengemudi sepeda motor menyalipnya. Membuat atmosfer kemarahan semakin berkobar.
"Jangan lupa, Ki. Kamu udah nipu aku. Kamu bohong soal pil itu. Jangan kira kamu bisa lari dari masalah ini."
Kiandra menoleh pada pria itu. "Kenapa? Kamu mau ambil rumah Bapak? Kamu mau buat keluargaku tinggal di jalanan? Jadi gelandangan?"
"Supaya itu enggak terjadi, kamu cuma perlu nurut." Evan menyeringai.
Kiandra semakin berang. Ia merasa sungguh tak dihargai. Evan sama sekali tak memikirkan dirinya. Pria itu hanya ingin keinginannya dituruti, jika tidak, ia hanya perlu mengancam Kia.
"Turunkan aku." Kia memegangi kunci pintu.
Evan melirik tajam. "Mau kabur lagi? Nanti pulang lagi? Kamu enggak capek, Ki?"
"Turunkan aku!" Kiandra berteriak.
Mengabaikan itu, Evan malah menginjak pedal gas semakin dalam. "Turun sendiri kalau bisa," gertaknya.
Kia menggigit bibir. Tangannya memegangi pintu mobil erat. Rendah sekali ternyata Evan memandangnya. Pria itu menganggapnya terlalu kecil, hingga dirasa tak punya keberanian apa-apa, termasuk loncat dari mobil ini.
Dengan segenap keberanian dan kemarahannya, Kia menarik kunci mobil hingga benda itu terbuka. Angin kencang langsung menampar wajahnya.
"Kia!"
"Di pernikahan ini, bukan cuma kamu yang berkuasa, Evan. Aku butuh uang kamu, tapi kamu juga butuh aku. Kalau kamu enggak bisa berubah, sedikit aja menghargai aku, lupakan niat kamu dapat anak dari aku."
Usai mengatakan itu, Kia melompat dari atas mobil. Benar-benar melompat hingga tubuhnya terlempar, berguling dan menghantam entah apa.
"Di pernikahan ini, bukan cuma kamu yang berkuasa, Evan. Aku butuh uang kamu, tapi kamu juga butuh aku. Kalau kamu enggak bisa berubah, sedikit aja menghargai aku, lupakan niat kamu dapat anak dari aku."Usai mengatakan itu, Kia melompat dari atas mobil. Benar-benar melompat hingga tubuhnya terlempar, berguling dan menghantam entah apa.Perempuan itu meringis setelah tubuh berhenti berguling. Ia bangkit untuk duduk. Sakit. Lutut, lengan, siku, kepala, semuanya. Ia menoleh ke belakang, mobil Evan berhenti.Mengumpulkan tenaga, menghalau semua rasa sakit, Kia berdiri. Meski pergelangan kakinya sakit, perempuan itu berlari menjauh dari sana. Ia tak ingin Evan berhasil mengejar. Kalau pria itu memang berusaha mencarinya.Jalanan malam itu cukup ramai, tetapi lancar. Kiandra yang sudah beberapa menit berlari, memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu trotoar. Evan sudah tak terlihat.
"Ki? Makan siang, yuk? Buka pintunya, aku antar, ya?"Pada Lidia yang mengetuk pintu kamar, Kiandra tak memberikan respon apa pun. Ia masih duduk di lantai dekat tempat tidur.Sejak kemarin, Kia memang tak keluar dari kamar. Masih tidak ingin bertemu si sinting Evan. Dan kesal pada Damar yang ternyata adalah sepupunya Lidia.Ia sudah berharap bisa bebas dari Evan. Menumpang sebentar di rumah saudara Damar, untuk nantinya mencari sumber uang dan bisa mandiri. Sayang, nasih6 terlalu licik mengatur semua ini.Tidak keluar dari kamar, sejak kemarin Kia juga belum makan. Jadi, untuk mengganjal perut sampai entah kapan, Kia memakan biskuit yang memang selalu ada di kamar.Di sela kegiatan itu, ponsel si perempuan bergetar. Ada telepon dari Nando. Cepat-cepat ia terima."Ada apa, Ndo?""Pagi, Kak. Cuma mau kasih tahu. Senin nanti aku ujian. Aku udah dapat kartu ujiannya, loh. Tunggakan sekolah, udah
"Dalam lima bulan, kalau Kia belum hamil, Evan berhak menarik kembali apa yang sudah diberikan pada Bapak, Ibu, Rina dan Nando. Selanjutnya, Evan bebas melakukan apa saja, tidak dihitung sebagai pemaksaan, selama perjanjian berlangsung." Pria itu menyuarakan apa yang sudah ditulis. Menanti reaksi lawan bicara.Kia mengangguk, meski sempat terlihat akan protes. Materai ditempel, mereka tanda tangan bergantian di atas nama masing-masing.Kia menatapi kertas itu dengan mata berbinar. Akhirnya, setengah dari bebannya lepas. Hanya tinggal tunggu tiga bulan usai efek KB hilang, hamil, melahirkan dan bebas dari Evan. Kia akan bisa memiliki hidupnya sepenuhnya lagi.Tanpa sepengetahuan Kia, Evan sudah berdiri. Pria itu memutari meja, memposisikan diri di samping kursi istrinya.Evan menarik lengan Kia, hingga perempuan itu berdiri. "Kamu naik apa ke sini?" Ia mengancingkan bagian bawah ritsleting jaket abu-abu Kia."Motor." Ki
Kia turun untuk makan malam. Sepertinya agak terlambat, karena meja sudah dihuni penghuni rumah lain. Ada Evan, Lidia dan sepupunya Lidia.Saat akan menarik kursi di sudut ujung, yang berseberangan langsung dengan Evan, Kia diinterupsi. Evan memang tidak bicara, tetapi menatapnya terus-menerus. Lurus, ke arah dada.Ingat kejadian di rumah makan kemarin, Kia dengan sigap menyilangkan lengan di depan dada. "Ada. Aku pakai."Alis Evan naik satu, pria itu masih tak membuka mulut, tetapi tatapannya sangat mengganggu Kiandra."Apanya yang ada, Ki?" tanya Lidia sembari menaruh piring di depan Kia.Kiandra menggeleng. Ia mengambil piring yang tadi Lidia berikan. "Aku bisa sendiri," ucapnya tak ramah.Kebiasaan Lidia itu, yang Kia paling tidak suka adalah, selalu bersikap baik. Bagaimana pun Kia berusaha ketus, tak acuh atau sengaja menyebalkan, istri pertama Evan itu tak pernah marah.Tadi itu, kalau
Kia menatap waspada pada lelaki itu. Apa Damar ingin melakukan pembalasan atas sikapnya pada Lidia?"Sini, aku bantu." Damar mengambil kapas dari tangan kiri Kia. Membasahinya dengan alkohol, lalu menarik lengan kanan gadis itu."Aku bisa sendiri." Kia berusaha menjauhkan lengan."Aku bantu." Damar sedikit melotot. Memaksa, hingga akhirnya gadis di depan tak lagi protes.Ada jeda yang diisi hening sekitar beberapa menit, sampai akhirnya Damar bersuara."Menurut kamu, Lidia itu sok baik?"Kan! Kia sudah menebak. Sepupunya Lidia ini pendendam. Tidak menjawab, Kia meringis sebab Damar sengaja menekan luka."Kamu bisa nolak dengan baik-baik kalau enggak mau dibantu. Kenapa harus ngatain?" Damar meniup luka di siku kanan si gadis.Damar melirik lutut Kia yang juga lecet. Pria itu menarik kaki si gadis, ditaruh di atas paha."Dia keras kepala. Tiap hari ditolak, tiap hari s
"Yang bener dikit, Ki. Apa, sih, yang bisa kamu kerjain dengan benar?" Evan menoleh dengan sorot galak ke belakang. Pada istrinya yang malas-malasan memijat punggung."Ini udah benar, Evan!" Kia menekan kuat di punggung si suami."Yang kuat. Kamu punya banyak tenaga untuk membantah, tapi untuk mijit aja enggak bisa benar."Mengerahkan seluruh tenaga, Kia memicit punggung dan bahu Evan."Yang kuat, Kia!""Ini udah kuat, Evan! Badan kamu aja yang kayak kayu!" Telapak tangan Kia memukul punggung si lelaki.Evan menengok, dahinya berkerut tak senang. "Kamu enggak boleh makan kalau aku enggak puas."Mengancam, mengancam dan mengancam. Hanya itu yang bisa Evan gunakan. Sial sekali Kia harus melalui Sabtu malam begini bersama si lelaki jahat itu.Terpaksa, demi perut yang sudah keroncongan, Kia berusaha memijat punggung dan bahu Evan lagi. Jemarinya sudah terasa kebas dan terlihat memera
Warning! 18+ Kiandra terperanjat. Perempuan itu menengok ke belakang sambil memegangi dada yang berdebar karena terkejut. "Mau ajak makan. Kamu habis mandi?" Dilihatnya Damar mengenakan kaus tanpa lengan dan handuk sebagai bawahan.Damar melirik benda-benda di atas kasur. Ia meneliti wajah Kiandra. "Di rumah ini, memang harus makan malam bareng-bareng, ya?"Damar berjalan menuju sisi kasur yang bersebrangan dengan posisi Kia berdiri. Pria itu membuka kausnya, mengambil gantinya dari tas ransel.Selesai mengenakan pakaian, Damar berbalik. Melempar senyum penuh maksud pada si perempuan yang tengah memasang raut heran."Kenapa? Enggak pernah lihat bekas luka?"Kia menggeleng. "Itu karena apa?" tanyanya tak bisa mengendalikan rasa ingin tahu. Ada bekas luka memanjang di punggung Damar tadi. Ia sempat melihat saat si lelaki berganti pakaian."Berke
Geram sekali, Evan yang tak bisa menahan diri akhirnya menendang pintu di hadapan. Pria itu berteriak memanggil nama perempuan di dalam ruangan."Aku mau tidur, Kia! Buka pintunya!"Ini Minggu. Masih jatah Evan bersama Kia. Pun, Evan sebenarnya hanya ingin tidur. Besok Senin, banyak pekerjaan yang harus diurus, ia perlu menghemat tenaga. Namun, dasarnya Kiandra alergi membuat rumah ini tenang. Perempuan itu malah tak mengizinkan Evan masuk ke kamar itu."Tidur sama Lidia! Aku enggak mau kasih kamu masuk, sebelum kamu setujui aku kerja di rumah makan kamu!"Teriakan dari dalam dibalas pukulan oleh Evan di pintu. Pria itu menarik napas. Merapikan helai rambut yang sudah beberapa kali diacak."Ini rumahku, Kia. Ini kamarku. Buka pintunya, atau kudobrak." Pelan, tetapi penuh ancaman. Evan mendoktrion diri untuk mewujudkan ucapan barusan, jika si istri tetap tak mengalah."Dobrak aja! Uangmu
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
"Abang, kok, kita dilihatin mereka?" Gadis kecil dengan kaus kuning itu bergeser ke kanan agar semakin dekat dengan sang kakak. Kai melirik pada beberapa pegawai di rumah makan itu. Anak lelaki itu tahu apa yang adiknya maksud. Memang, mereka sedang jadi bahan tontonan sekarang. Bukan hanya pegawai bagian dapur yang ada di sini, pekerja yang biasanya siap siaga di depan pun sudah silih berganti muncul. Sekadar pura-pura lewat, demi bisa melihat mereka. "Abang?" Si gadis kecil menyenggol bahu kakaknya. Tangannya yang kecil itu terus berusaha mencuci kentang dalam ember yang penuh air. "Enggak apa, Vian. Mereka itu teman Papa. Vian takut?" Kai melempar senyum tulus pada sang adik. Gadis kecil berambut hitam sepundak itu mengangguk. Matanya yang sedikit bengkak mulai berkaca-kaca lagi. "Salah Vian. Maafin Vian, ya, Bang?" Ia membersit hidung. Kai mengangguk. Tangannya basah, anak itu menyentuh kepala sang adik dengan lengan. "Abang juga salah." Kai dan Vian sedang dihukum. Oleh ay
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap