“Mas Reno,” panggilku terbata.
“Lama banget, Li.” Mas Reno menerobos masuk sebelum aku persilakan. Kemudian disusul Mbak Risma dan Niko.Aku masih mematung,membiarkan keluarga dari Mas Reza masuk tanpa sopan santun. Ini nyata apa halusinasi? Baru semalam kami membahas mereka tapi kini justru berada di depan mata. Tangan kiri kucubit keras. Ah, sial! Ternyata ini nyata.Tuhan, rencana apa yang Engkau berikan kepadaku? Bolehkan aku tawar dengan dorpes yang lain?Lili, mana ada tukar tambah atas ujian ini? Jangan aneh-aneh. Allah memilihmu karena Dia yakin kamu mampu mengatasi benalu bergelar saudara ipar.Hidup sering kali membuatku tertawa. Bukan karena lucu ala komedi. Namun bercandanya tidak kira-kira. Kemarin drama bangun rumah, sekarang drama pinjam rumah. Entah besok ceritanya akan seperti apa. Satu yang pasti, aku harus sedia amunisi.Kaki kupaksa melangkah menuju ruang keluarga, tempat di mana tiga orang tamuku duduk santai tanpa rasa sungkan sama sekali.“Tante, aku haus!” Niko memegangi lehernya, tatapannya mengiba saat meminta segelas air minum. Namun entah kenapa aku justru semakin kesal.“Biasanya juga ambil sendiri, Nik.”“Capek,Tan habis perjalanan jauh.”“Tolong buatkan aku sekalian, Li.”“Aku juga.”Suami istri itu kompak memerintahku. Oke, akan aku patuhi karena ini hari pertama. Setelah ini jangan harap aku mau diperintah lagi.Tanpa menjawab aku pergi menuju dapur. Aku membuat empat gelas es teh. Bukan hanya mereka yang haus, aku pun demikian. Menghadapi mereka bertiga membutuhkan tenaga ekstra, apalagi aku hanya seorang diri,Tiga lawan satu, mana imbang, Bro!“Ini minumnya, Mas, Mbak.” Aku letakkan nampan itu di atas meja. Dengan cepat Niko mengambil gelas itu. Dia seperti tak minum beberapa hari sehingga dalam sekali teguk es teh itu sudah berpindah ke perutnya.Melihat tingkah Niko membuatku menggelengkan kepala. Itu kehausan atau tak diberi minum berhari-hari?“Nah, yang seger-seger begini kan enak.”Mbak Risma segera mengambil minuman itu, diikuti Mas Reno dan Niko. Niko ... bukankah minuman anak itu sudah habis terlebih dahulu?“Itu, kan punya tante, Niko!” seruku. Aku tatap tajam anak kecil di hadapanku itu. Namun bukannya takut ia justru menjulurkan lidah. Dia mengejekku.“Ngalah, Li. Kamu itu jauh lebih tua dari Niko, harusnya kamu sayangi keponakanmu itu. Bukan justu memarahinya. Lagi pula dia masih kehausan setelah perjalanan jauh.”Ini bukan lagi perkara meyayangi keponakan. Namun tentang akhlak yang harusnya ditanamkan sejak dini. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin itu salah, dan Niko melakukannya dengan dalil kehausan. Apa begitu sulit meminta izin? Ah, didikan orang tua memang berpengaruh tinggi. Apa kuharapkan terlalu tinggi, orang tuanya saja tidak berterima kasih, apa lagi anaknya?Aku beranjak dari tempat duduk, niat hati untuk menghilangkan dahaga musnah sudah. Lebih baik mengurung diri di dalam kamar. Terserah mereka mau melakukan apa. Jujur baru beberapa menit seolah satu bulan. Lalu bagaimana jika ia menginap di rumah ini? Ah, Tuhan ... perang belum mulai, tapi aku sudah kehabisan tenaga.“Li ...”Belum sempat aku melangkah Mas Reno kembali memanggil namaku. Mau apa lagi kakak iparku itu.“Siapkan makan, Li. Kami lapar, belum makan selama perjalanan kemari,” pintanya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Entah hilang di mana urat malu mereka.“Ambil sendiri saja, Mas. Aku sudah masak.”Aku berlalu pergi, tak akau pedulikan wajah kesal dari kakak kandung suamiku itu. Dia pikir ini rumahnya, dan akulah pembantunya. Sungguh, menyebalkan!Kamar aku kunci rapat sebelum merebahkan tubuh di atas ranjang. Hari ini aku akan tidur hingga Mas Reza pulang. Terserah mereka mau makan atau tidak. Aku tidak peduli!Suara motor Mas Reza bak alarm yang membuatku segera beranjak dari ranjang. Menyambut kedatangan suami sepulang kerja adalah rutinitas wajib seorang istri.Ini rutinitas versiku, belum tentu sama dengan ibu-ibu yang lain. Terlebih lagi yang sudah memiliki buah hati. Momen seperti ini kadang terlewat karena sibuk mengurus anak atau pekerjaan rumah yang belum selesai.Aku berjalan melewati ruang keluarga. Kamarku dan ruang keluarga tepat berhadapan, sehingga aku bisa melihat tiga orang itu terlelap di depan televisi yang menyala.“Kok pulang cepet, Mas?” tanyaku setelah mencium punggung tangannya."Ini hari sabtu, Li."Aku menepuk jidat.Jangan tanya kenapa aku tak lagi merajuk. Memang kenyataannya kami tak bisa bertengkar lebih dari 12 jam. Ada yang kurang saat kami hanya saling diam. Seolah-olah kami orang asing yang terus memperhatikan setiap pergerakan lawan. “Kamu masak apa, Li?” tanyanya seraya melepas sepatu.“Masak semur ayam, Mas. Mas mau makan sekarang?”“Iya.”Kami melangkah ke dalam,tak ada raut heran saat dia melewati ruang tamu. Ya, karena aku sudah mengirim pesan.“Sudah lama mereka tidur, Li?” tanya Mas Reza kemudian menjatuhkan bobot di kursi.Aku mengangkat bahu, karena memang tak tahu sejak kapan mereka terlelap. Rasa kesal membuatku memilih mengurung diri di dalam kamar.“Tolong ambilkan makan, Li. Aku sangat lapar. Semur ayam masakanmu pasti sangat enak. Sudah lama kamu tidak masak itu.”Tanpa menjawab aku segera mengambil piring. Dua centong nasi sudah berpindah tempat. Aku menoleh kanan dan kiri, mencari panci yang kuletakkan di atas meja, tepat di sebelah magic com.“Cari apa?”“Lauknya gak ada, Mas. Hilang di mana, ya?”Mas Reza pun berdiri, ia membantuku mencari lauk tesebut.“Pacinya warna merah, Li?”“Iya, Mas. Kamu sudah menemukannya?”“Pancinya di sini, Li.”Aku pun berjalan ke belakang. Benar saja panci itu berada di wastafel dan terisi gelas dan air. Ayam di dalamnya telah berpindah tempat ke perut keluarga kakak iparku.Aku mendengus kesal, ingin rasanya memaki kepada suami istri yang kini tidur nyenyak di depan televisi. Bisa-bisanya mereka makan tanpa menyisakan tuan rumah. Apa mereka pikir aku ini babu? "Kamu belum makan, Li?" tanya Mas Reza seraya melirik ke arahku. "Aku belum makan semur ayam, apalagi makan orang yang tidur di depan televisi."Mas Reza menelan ludah dengan susah payah. Dapat kulihat dari gerakan jakunnya. Dia ketakutan. Napasku memburu, tangan pun mengepal dengan sendirinya. Ini level kemarahan tertinggi setelah sekian purnama kutahan. Ternyata sabar tak semudah yang aku kira. "Kita makan di luar saja, Yang. Sekalian nonton. Ada film horor baru, kan?"Aku mendongakkan kepala. Aku tatap senyum manis yang kini menghiasai wajah suamiku. Seketika amarah itu sirna, seperti api yang disiram oleh air hujan. Dua tahun usia pernikahan kami. Aku tahu betul Mas Reza berusaha memadamkan amarahku. Ya, dia berhasil meski aku tahu ini tak akan bertahan lama. Namun merilekskan otot-otot se
"Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar."Ya Allah, kenapa malah doa makan yang aku ucapkan? “Se—setan!” teriakku lantang.Aku memejamkan mata, takut menatap rambut panjang dengan wajah putih itu. Entah kuntilanak model apa yang kini berada di dapur. Sejak kapan rumahku jadi horor begini? Ini pasti akibat aura negatif dari kakak iparku. Tuhan, harusnya kutolak mereka menginap di sini.“Kamu kenapa, Li? Mana setannya?”Suara itu bukan seperti kuntilanak yang ada di film horor. Jelas ini suara Mbak Rima. Berarti setan yang kulihat sudah lenyap dari pandangan. Perlahan aku membuka mata. “Aaa ... setan!”“Mana ... mana?”Setan itu menoleh ke kanan dan kiri. Tunggu ... kenapa suara setan itu seperti Mbak Rima.“Ini Mbak Risma atau kuntilanak?” tanyaku.“Kuntilanak ... kuntilanak, emang wajah Mbakmu ini kayak setan? Kelewatan kamu ini, Li. Saudara sendiri dibilang setan. Kualat tahu rasa kamu!”“Salah sendiri malam-malam maskeran, wajah putih rambut digerai begi
"Aku minta ganti rugi, Mbak!"Aku menengadahkan tangan di depan Mbak Risma. Istri kakak iparku itu menautkan dua alis, dia kebingungan dengan perkataanku. "Rp. 25.000,- Mbak?""Untuk apa kamu minta uang, Li?""Buat ganti uang batagor. Niko beli tidak bawa uang, jadi aku yang harus bayar.""Cuman uang receh aja, Li. Lagi pula Niko itu keponakanmu. Harusnya kamu manjain dia. Bukan justru pelit begini. Pantas saja sampai saat ini kamu gak hamil. Sama anak kecil saja gak deket, gimana Tuhan mau kasih."Aku diam, mulut ini mendadak membisu. Perkataan Mbak Risma tak ubahnya tombak yang ditancapkan tepat di jantungku. Sakit, teramat sakit. Perempuan mana yang tak sakit hati mendengar ucapannya. Aku bukannya pelit, aku hanya tak suka dengan cara Niko meminta uang. Dia seperti tak pernah diajari tata krama dan sopan santun kepada orang yang lebih tua. Apa salah aku memberinya pelajaran? "Lain kali sayang sama keponakan biar cepet hamil, Li."Perempuan itu kembali menyayat hati sebelum akhi
"Bayar maksud kamu, Li? Jadi kami harus sewa?" Mas Reno menatapku tajam, nada bicaranya pun naik satu oktaf. Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus pada acara televisi. "Za, gak bisa kayak gini dong! Aku ini Masmu lho. Sama saudara sendiri kok hitung-hitungan. Kalau keluarga susah itu dibantu. Kamu gak inget dulu aku yang bayar uang spp kamu?"Aku lirik Mas Reza yang hanya diam membisu. Aku paham, sebagai adik dia tak berdaya dengan ucapan Mas Reno. Namun sebagai suami dia tak tega padaku. Mas Reza tengah berada di satu titik, maju salah mundur apalagi. "Reza, ngomong! Jangan diem aja! Kamu hargai aku apa enggak? Aku ini masmu!"Aku menghembuskan napas kasar. Tanpa sadar tangan kanan mengepal dengan sendirinya. Namun sekuat tenaga kutahan amarah yang nyaris meledak. Aku masih ingat siapa lelaki itu, meski tak bisa kupungkiri jika hati memekik ingin menghajarnya. "Keputusan berada di tangan Lili, Mas.". "Kamu itu kepala keluarga, Reza! Jangan lembek sama perempuan! Kamu ma
"Kamu gak anter mereka, Mas?" "Emang muat motor satu dipakai berempat? Porsi jumbo lagi."Seketika aku tertawa lepas. Bahkan perutku sampai sakit gara-gara tak dapat berhenti tertawa. Satu yang menjadi pertanyaanku, kenapa tidak dari kemarin Mas Reza menolak permintaan kakaknya? "Udah ah, ketawa terus. Mas mau berangkat ya. Jangan ke mana-mana!""Siap komandan!" jawabku seraya menggerakkan tangan kanan ke kening, persis seperti saat ucapara bendera. Aku masih berdiri, menatap punggung Mas Reza hingga hilang di balik pagar. Puas mengantar Mas Reza aku pun masuk kembali ke rumah. Senyum merekah saat melihat rumah sepi, penuh kedamaian. Lega luar biasa. Aku duduk di kasur lantai seraya menonton televisi. Acara kartun menjadi pilihan terbaik dibanding berita politik yang membuat pusing tujuh keliling. Beginilah hidup yang kunikmati dua tahun ini. Ponsel milikku menjerit berulang kali. Nama Mbak Nida tertera jelas di layar benda pipih tersebut. Dia adalah salah satu supplier pakaian m
Aku sudah duduk di teras rumah. Berkali-kali aku melirik jam yang menempel di dinding ruang tamu. Hingga pundak terasa pegal karena terus menoleh ke dalam. Namun hingga pukul 16.30 Mas reza belum menampakkan batang hidungnya.Mas Reza bekerja di salah satu pabrik farmasi yang berada di kota ini sebagai supervisor. Lokasinya pun lumayan jauh dari rumah, 15 sampai 20 menit untuk bisa sampai ke sana. Tentu semua tergantung padat tidaknya lalu lintas.Tidak lama suara motor metik terdengar mendekat. Sontak aku mengalihkan pandangan ke arah halaman, benar saja itu Mas Reza, suamiku."Assalamualaikum," ucap Mas Reza seraya berjalan mendekat. Sebuah kantung plastik berwarna putih susu menempel di tangan kanannya.Aku menjawab salamnya kemudian melangkah mendekat. Seperti yang sudah-sudah, mencium punggung tangan suami setelah ia selesai bekerja menjadi suatu keharusan. Bahkan tertanam akhirnya menjadi kebiasaan.Aku masih menengadahkan tangan setelah selesai mencium punggung tangannya. Mas
"Za, ibu tunggu kirimannya!"Sambungan telepon dimatikan sepihak sebelum satu kata keluar dari mulutku. Aku terpaku sejenak dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Entah kenapa aku menjadi linglung, tak tahu harus berbuat apa."Ibu bilang apa, Li?"Mas Reza menyentuh pundak, menghilangkan siluet ibu mertua dari anganku. Kemudian berganti dengan ruangan gelap dan tampilan film yang diputar di layar besar."Ibu minta uang, Mas.""Astagfirullah, Mas lupa belum kirim uang ke ibu."Mas Reza dengan cepat mengambil ponsel dari tanganku. Dengan lihai jemarinya menari di atas layar benda pipih tersebut. Dia mengirim sejumlah uang untuk ibunya."Kamu kirim berapa, Mas?" tanyaku sedikit hati-hati."Rp. 1.500.000,00 Li. Kata ibu bulan ini banyak keperluan."Aku diam, kembali fokus menatap layar besar itu. Adegan hantu muncul tiba-tiba kini tak berarti lagi. Dalam kepalaku hanya dipenuhi rasa penasaran dengan nominal yang masuk ke rekening ibu mertua.Bukan ... Bukan aku melarang Mas Reza memb
"Kita berkemas sekarang, Li. Besok pagi kita berangkat ke Salatiga.""Salatiga ... mau ngapain, Mas? Bukannya besok kamu kerja?"Aku masih tak mengerti kenapa Mas Reza tiba-tiba mengajakku pulang kampung. Apa mungkin ada sesuatu yang darurat, tapi apa? Jangan bilang ada kabar duka. Mas Reza menghela napas beberapa kali. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Apa jangan-jangan dugaanku benar, ada keluarganya yang meninggal? Bapak atau ibu? Astagfirullah ... kenapa aku jadi berpikiran yang tidak-tidak? "Bapak gak kenapa-kenapa, kan, Mas?" Sontak ingatan tertuju pada bapak mertua. Beliau sering kali mengeluh kecapekan di usianya yang sudah kepala enam. "Bukan bapak, Li. Rara hamil."Aku melotot dengan mulut terbuka lebar. Rara hamil, gadis itu hamil? Kenapa bisa seperti ini? Tunggu ... aku tidak salah dengar, kan? "Perempuan yang datang tadi pasti Rara, Li. Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Kenapa Rara bisa hamil. Kenapa dia tega mencoreng nama baik keluarga?"Aku mem
20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku
5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu
Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang
Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke
"Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena
"Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri
"Bapak sudah memberikan tanah itu pada Reza, Bu. Bukankah rumah dan kebun bisa dibagi dua untuk Mas Raka dan Mas Reno. Apa masih kurang juga?" "Maksud kamu ibu harus terlunta-lunta di jalan karena sudah tidak memiliki rumah. Begitu mau kamu?"Allahu Akbar ... Aku mengelus dada sambil terus beristighfar. Perkataan ibu tidak hanya melukai hatiku tapi menghancurkan hati Mas Reza. Apa setelah harta warisan dibagi ibu akan terlunta-lunta? Kami tidak sejahat itu. Kami masih memiliki hati meski kadang ibu melukai berulang kali. "Reza ingat perkataan bapak dulu. Bukankah ibu juga tahu?""Bapak sudah gak ada, jangan bawa-bawa bapak. Semua keputusan di tangan ibu, bukan bapak.""Terserah Ibu mau apakan tanah itu. Tapi aku mau uang 200 juta untuk membangun rumah harus kalian kembalikan padaku.""Gak bisa gitu dong, Za. Itu namanya gak adil. Siapa suruh buat rumah dengan sertifikat orang tua!"Entah ingin aku apakan lelaki di hadapanku itu. Andai dia berada di posisi kami, apa kalimat itu jug
"Boleh kan, Za?"Aku menggeleng pelan dengan tingkah kakak iparku. Ini mobil siapa ... tapi pinjamnya ke siapa? Mereka seolah tak menganggap keberadaanku. Padahal mobil itu milik Mas Cahyo, kakak kandungku."Maaf, Mas. Itu bukan mobil saya. Saya tidak berhak meminjamkan pada siapa pun, termasuk kepada Mas Reno dan Mbak Risma.""Itu mobil kamu yang bawa, kan?""Iya, tapi itu bukan milikku, Mas. Mobil itu milik kakak kandung Lili. Kalau pun pengen pinjam seharusnya kalian pinjam ke Lili. Bukan kepadaku.""Apa bedanya kamu dan Lili. Bukankah kalian suami istri, apa yang Lili punya berarti punya kamu juga, Za. Jadi aku pinjam ke kamu gak masalah, yang penting izin untuk pinjam, kan?"Aku mengelus dada, menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam sana. Aku benar-benar tidak mengerti dengan teori yang Mas Reno pelajari. Hal yang benar adalah harta milik suami ada hak istri di dalamnya. Namun jika harta atau penghasilan istri, itu murni milik istri."Gimana, Za boleh gak? Risma pengen jal
"Kamu gak ngelarang ibu pulang, Za?""Lha, katanya Ibu yang gak betah tinggal di sini? Kalau gak betah buat apa Reza larang, Bu. Reza pengen ibu nyaman saja."Aku lihat ibu menelan ludah, mendadak ia kebingungan. Namun malu untuk mengatakan tidak, apalagi membatalkan perkataan yang baru saja ia ucapkan. Mana mungkin ibu menjilat ludahnya sendiri."Sarapan dulu sebelum berangkat, Bu.""Ibu gak lapar. Pesankan taksi online sekarang, Za! Ibu gak mau naik bis," ucapnya kesal."Yakin pulang, Bu?" tanyaku memastikan."Kalau ibu bilang pulang ya puang! Ngerti gak to!"Aku memilih diam, lalu melanjutkan sarapan pagi. Mas Reza pun menyudahi sarapan, dia beranjak mengikuti ibu yang sudah berjalan menuju teras. Sementara aku masih terdiam di depan televisi. Ada rasa enggan mengantar ibu meskipun hanya sampai di teras.Fitnah yang ibu katakan pada Mas Reza membuat aku kehilangan respect padanya. Aku memang sudah memaafkan, tapi jujur saja aku tak mampu melupakan setiap luka yang ibu torehkan.