"Aku minta ganti rugi, Mbak!"
Aku menengadahkan tangan di depan Mbak Risma. Istri kakak iparku itu menautkan dua alis, dia kebingungan dengan perkataanku."Rp. 25.000,- Mbak?""Untuk apa kamu minta uang, Li?""Buat ganti uang batagor. Niko beli tidak bawa uang, jadi aku yang harus bayar.""Cuman uang receh aja, Li. Lagi pula Niko itu keponakanmu. Harusnya kamu manjain dia. Bukan justru pelit begini. Pantas saja sampai saat ini kamu gak hamil. Sama anak kecil saja gak deket, gimana Tuhan mau kasih."Aku diam, mulut ini mendadak membisu. Perkataan Mbak Risma tak ubahnya tombak yang ditancapkan tepat di jantungku. Sakit, teramat sakit.Perempuan mana yang tak sakit hati mendengar ucapannya. Aku bukannya pelit, aku hanya tak suka dengan cara Niko meminta uang. Dia seperti tak pernah diajari tata krama dan sopan santun kepada orang yang lebih tua. Apa salah aku memberinya pelajaran?"Lain kali sayang sama keponakan biar cepet hamil, Li."Perempuan itu kembali menyayat hati sebelum akhirnya berlalu dari pandangan mataku. Apa hubungannya bersikap tegas dengan rejeki yang Tuhan berikan? Noting, tidak ada sangkut pautnya sama sekali.Aku melangkah gontai menuju kamar. Pintu aku kunci sebelum tubuh ini luruh di lantai. Terisak, aku menangis kala kalimat Mbak Risma kembali terngiang di telinga.Hamil adalah rejeki yang Tuhan beri pada setiap hambanya. Namun jika dalam waktu dua tahun Tuhan belum juga menitipkan seorang bayi. Apa pantas seorang kakak ipar mengatakan hal menyakitkan itu padaku?Cukup lama aku tenggelam dalam luka yang tak nampak oleh mata. Rasa sakit yang jauh lebih pedih dari pada goresan pisau yang tertinggal di jari. Aku sakit mengingat perkataan kakak iparku.Sebuah notifikasi pesan masuk mengalihkan perhatianku. Aku beranjak, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Lengkungan di bibir muncul tanpa diminta.[Gamis 2 pcs, warna hitam dan sage. Dikirim ke alamat biasa.]Pesanan gamis mengalihkan rasa sedih yang sempat hadir. Kembali aku fokus memposting model pakaian terbaru, bukan hanya di story, namun juga di beberapa aplikasi online.Menjadi reseller membuat ponselku tak pernah sepi. Entah ada yang membeli atau hanya sekedar bertanya lalu hilang di telan bumi. Namun dari pekerjaan ini aku dapat mewujudkan mimpi kami berdua, membangun sebuah rumah minimalis di kampung halaman suamiku.Sesak kembali memenuhi rongga dada manakala aku ingat ucapan Mas Reza kala itu. Kemudian kejutan indah datang, kedatangan benalu bergelar saudara ipar. Ah, entah bagaimana alur cerita yang akan kuhadapi nanti.Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Rasa lelah membuatku terlelap ke alam mimpi.Suara azan berkumandang membangunkanku dari tidur lelap. Aku mengejapkan mata beberapa kali. Cahaya yang masuk ke retina diterjemahkan oleh otak, menciptakan lukisan kamar dengan beraneka ragam pernak-perniknya."Mama kenapa gak enak, sih?""Keasinan.""Dah makan aja gak usah protes! Atau kalian saja yang masak!"Aku diam sejenak, samar-samar kudengar perdebatan yang terjadi di antara mereka. Refleks sudut bibirku tertarik ke atas. Sebuah kepuasan saat mendengar mereka bertengkar.Aku segera beranjak dari ranjang, melangkah perlahan menuju sumber suara. Tiga orang itu itu duduk di kursi dengan meja sebagai pembatas. Nasi dan lauk terletak di atas meja, tepat di hadapan mereka. Rasa ingin tahu membuatku melangkah kian mendekat."Kamu gak boleh makan, Li. Aku yang sudah capek masak. Kalau kamu lapar masak sendiri sana!"Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Sebenarnya siapa orang yang membayar kontrakan ini, aku atau Mbak Risma?"Mbak Risma gak salah ngomong, kan? Ini rumah Mbak atau rumahku, ya?"Perempuan yang hendak memasukkan nasi diam sesaat. Makanan yang ada di dalam sendok kembali ia letakkan di piring. Nampaknya nafsu makannya telah hilang. Syukurlah, itu tandanya ia paham siapa yang lebih berkuasa, aku atau dia?"Ini memang yang membeli kamu, Li. Tapi tetap saja aku yang masak. Jadi kamu gak boleh makan secuil pun."Aku hanya tersenyum saat melihat sayur sop di atas meja dan tempe goreng yang dimasak terlalu matang hingga berwarna coklat kehitaman. Dibayar pun aku tak mau memakannya, apalagi gratis. Masakan Mbak Risma membuatku tak nafsu makan."Aku juga gak mau makan masakan Mbak Risma. Nanti disuruh bayar lagi," ucapku seraya beranjak dari kursi."Gak enak, Ma.""Jangan protes, makan aja apa yang ada!" Mas Risma menatap tajam putra semata wayangnya. Niko pun memilih bungkam tanpa bersuara.Sebuah ide terlintas di kepala ini. Segera aku mengambil sebuah mie instan rasa soto dan memasaknya. Aroma lezat mie instan rasa soto menyeruak memenuhi ruangan. Aroma itu kian menciptakan rasa lapar terutama bagi Niko. Beberapa kali anak itu menghirup dalam, seolah menikmati kuah soto tersebut."Tante, Niko mau mienya," pintanya dengan wajah mengiba.Aku tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun. Aku justru makan mie tepat di hadapan mereka. Kata siapa aku akan kelaparan di rumahku sendiri?"Ma, Niko mau mie itu."Anak lelaki itu menggoyang-goyangkan lengan ibunya. Tingkah Niko membuat Mbak Risma kesal."Mau ke mana, Mbak?" tanyaku saat Mbak Risma beranjak dari kursi."Mau buat mie."Perempuan yang mengenakan daster berwarna kuning itu segera menuju dapur. Dia nyalakan kompor dengan panci berisi air di atasnya. Aku memperhatikan gerak-geriknya seraya menikmati mie instan."Kenapa gak bisa dibuka, Li?" tanya sambil berusaha membuka lemari kecil yang berisi berbagai bahan makanan."Satu mie 5000,Mbak," jawabku sambil memamerkan kunci dalam genggaman."Lili!"Aku tersenyum kemudian kembali menikmati makan siang yang kesorean ini. Tidak aku hiraukan suara melengking kakak iparku.***Aku dan Mas Reza duduk di depan televisi yang menyala. Sebuah stasiun televisi menayangkan berita viral yang ada di dunia maya. Kami sampai tertawa saat seorang lelaki jatuh ke got karena asyik bermain ponsel."Ya Allah, Mas. Kok bisa sampai jatuh?" tanyaku sambil tertawa terpingkal-pingkal."Bisalah, orang matanya gak lihat depan.""Reza."Sontak aku dan Mas Reza menoleh ke samping. Mas Reno dan Mbak Risma segera duduk di kasur lantai tepat di sebelah suamiku."Mas mau bicara sama kalian berdua."Aku melirik sekilas, mendadak perasaanku tak enak. Jangan bilang pinjam dulu lima ratus agar silaturahmi tidak terputus. Itu motif baru dalam meminjam uang lalu lupa dikembalikan."Ada apa, Mas?""Kami mau pinjam rumah kamu di Salatiga. Toh rumah itu belum kalian pakai, kan? Dari pada rusak mending Mas yang pakai.""Boleh, Mas. Harga sewanya 10juta pertahun.""Bayar maksud kamu, Li? Jadi kami harus sewa?" Mas Reno menatapku tajam, nada bicaranya pun naik satu oktaf. Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus pada acara televisi. "Za, gak bisa kayak gini dong! Aku ini Masmu lho. Sama saudara sendiri kok hitung-hitungan. Kalau keluarga susah itu dibantu. Kamu gak inget dulu aku yang bayar uang spp kamu?"Aku lirik Mas Reza yang hanya diam membisu. Aku paham, sebagai adik dia tak berdaya dengan ucapan Mas Reno. Namun sebagai suami dia tak tega padaku. Mas Reza tengah berada di satu titik, maju salah mundur apalagi. "Reza, ngomong! Jangan diem aja! Kamu hargai aku apa enggak? Aku ini masmu!"Aku menghembuskan napas kasar. Tanpa sadar tangan kanan mengepal dengan sendirinya. Namun sekuat tenaga kutahan amarah yang nyaris meledak. Aku masih ingat siapa lelaki itu, meski tak bisa kupungkiri jika hati memekik ingin menghajarnya. "Keputusan berada di tangan Lili, Mas.". "Kamu itu kepala keluarga, Reza! Jangan lembek sama perempuan! Kamu ma
"Kamu gak anter mereka, Mas?" "Emang muat motor satu dipakai berempat? Porsi jumbo lagi."Seketika aku tertawa lepas. Bahkan perutku sampai sakit gara-gara tak dapat berhenti tertawa. Satu yang menjadi pertanyaanku, kenapa tidak dari kemarin Mas Reza menolak permintaan kakaknya? "Udah ah, ketawa terus. Mas mau berangkat ya. Jangan ke mana-mana!""Siap komandan!" jawabku seraya menggerakkan tangan kanan ke kening, persis seperti saat ucapara bendera. Aku masih berdiri, menatap punggung Mas Reza hingga hilang di balik pagar. Puas mengantar Mas Reza aku pun masuk kembali ke rumah. Senyum merekah saat melihat rumah sepi, penuh kedamaian. Lega luar biasa. Aku duduk di kasur lantai seraya menonton televisi. Acara kartun menjadi pilihan terbaik dibanding berita politik yang membuat pusing tujuh keliling. Beginilah hidup yang kunikmati dua tahun ini. Ponsel milikku menjerit berulang kali. Nama Mbak Nida tertera jelas di layar benda pipih tersebut. Dia adalah salah satu supplier pakaian m
Aku sudah duduk di teras rumah. Berkali-kali aku melirik jam yang menempel di dinding ruang tamu. Hingga pundak terasa pegal karena terus menoleh ke dalam. Namun hingga pukul 16.30 Mas reza belum menampakkan batang hidungnya.Mas Reza bekerja di salah satu pabrik farmasi yang berada di kota ini sebagai supervisor. Lokasinya pun lumayan jauh dari rumah, 15 sampai 20 menit untuk bisa sampai ke sana. Tentu semua tergantung padat tidaknya lalu lintas.Tidak lama suara motor metik terdengar mendekat. Sontak aku mengalihkan pandangan ke arah halaman, benar saja itu Mas Reza, suamiku."Assalamualaikum," ucap Mas Reza seraya berjalan mendekat. Sebuah kantung plastik berwarna putih susu menempel di tangan kanannya.Aku menjawab salamnya kemudian melangkah mendekat. Seperti yang sudah-sudah, mencium punggung tangan suami setelah ia selesai bekerja menjadi suatu keharusan. Bahkan tertanam akhirnya menjadi kebiasaan.Aku masih menengadahkan tangan setelah selesai mencium punggung tangannya. Mas
"Za, ibu tunggu kirimannya!"Sambungan telepon dimatikan sepihak sebelum satu kata keluar dari mulutku. Aku terpaku sejenak dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Entah kenapa aku menjadi linglung, tak tahu harus berbuat apa."Ibu bilang apa, Li?"Mas Reza menyentuh pundak, menghilangkan siluet ibu mertua dari anganku. Kemudian berganti dengan ruangan gelap dan tampilan film yang diputar di layar besar."Ibu minta uang, Mas.""Astagfirullah, Mas lupa belum kirim uang ke ibu."Mas Reza dengan cepat mengambil ponsel dari tanganku. Dengan lihai jemarinya menari di atas layar benda pipih tersebut. Dia mengirim sejumlah uang untuk ibunya."Kamu kirim berapa, Mas?" tanyaku sedikit hati-hati."Rp. 1.500.000,00 Li. Kata ibu bulan ini banyak keperluan."Aku diam, kembali fokus menatap layar besar itu. Adegan hantu muncul tiba-tiba kini tak berarti lagi. Dalam kepalaku hanya dipenuhi rasa penasaran dengan nominal yang masuk ke rekening ibu mertua.Bukan ... Bukan aku melarang Mas Reza memb
"Kita berkemas sekarang, Li. Besok pagi kita berangkat ke Salatiga.""Salatiga ... mau ngapain, Mas? Bukannya besok kamu kerja?"Aku masih tak mengerti kenapa Mas Reza tiba-tiba mengajakku pulang kampung. Apa mungkin ada sesuatu yang darurat, tapi apa? Jangan bilang ada kabar duka. Mas Reza menghela napas beberapa kali. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Apa jangan-jangan dugaanku benar, ada keluarganya yang meninggal? Bapak atau ibu? Astagfirullah ... kenapa aku jadi berpikiran yang tidak-tidak? "Bapak gak kenapa-kenapa, kan, Mas?" Sontak ingatan tertuju pada bapak mertua. Beliau sering kali mengeluh kecapekan di usianya yang sudah kepala enam. "Bukan bapak, Li. Rara hamil."Aku melotot dengan mulut terbuka lebar. Rara hamil, gadis itu hamil? Kenapa bisa seperti ini? Tunggu ... aku tidak salah dengar, kan? "Perempuan yang datang tadi pasti Rara, Li. Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Kenapa Rara bisa hamil. Kenapa dia tega mencoreng nama baik keluarga?"Aku mem
“Apa Ibu bilang?”“Kamu gimana sih, Li? Kalau orang tua ngomong didengerin! Capek ibu ngulang berkali-kali. Denger,ya ... rumah kamu dipakai Reno sementara, setidaknya sampai Masmu dapat kerja dan bisa ngontrak rumah sendiri.”Allahu Akbar!Setidaknya sampai Masmu punya kerja? Lalu kapan? Kenapa mereka memakai tanpa izin dariku? Kunci duplikat memang dibawa oleh bapak karena kami jarang pulang kemari. Kami berniat tinggal di sini satu bulan lagi, setidaknya sampai rumah itu selesai 100 %. Namun apa yang aku dapatkan, rumah baruku justru dipakai kakak ipar.“Kenapa ibu tidak bicara sama kami dulu? Harusnya ibu meminta izin pada kami sebelum kunci itu ibu berikan kepada orang lain.”“Orang lain kamu bilang, Za? Reno itu kakak kandungmu. Saat ini dia sedang kesusahan, sudah sepantasnya kamu dan Lili membantunya, bukan justru mengusirnya.” Ibu meletakkan cangkir teh dengan kasar. “Ingat ya, Za kamu berhutang budi pada Reno,” pekik ibu kemudian masuk kamar.Aku terduduk lemas di kursi ka
"Rara kabur, Za!""Kabur, Bu? Kenapa bisa?""Reza mana? Kasih teleponnya ke Reza!" serunya. Aku menghela napas. Sabar ... Sabar, ini ujian pernikahan. Aku mengelus dada kemudian membangunkan Mas Reza dari alam mimpi. "Apa, Li? Nanti Mas cuci piringnya. Mas ngantuk ini.""Ini ibu telepon, katanya Rara kabur.""Kabur?"Mas Reza terperanjat, seketika dia sambar ponsel yang ada di tangan kananku. Aku hanya memperhatikan wajah panik dari lelakiku. Beberapa kali dia mengusap wajah kasar. Dia bingung dan khawatir dengan adik perempuannya. "Reza ke sana sekarang, Bu!"Mas Reza meletakkan ponsel di atas kasur lantai. Dengan cepat ia berlari menuju kamar. Aku pun mengikuti ke mana langkah kakinya. Namun entah kenapa aku tak bersiap, ada perasaan ragu yang membuatku memilih diam terpaku. "Kamu di rumah saja, Li. Aku tahu kamu masih kecewa dengan ibu.""Tapi, Mas.""Nanti aku bilang ada kepentingan lain."Mas Reza segera pergi meninggalkan rumah. Setelah kepergiannya, ada perasaan tak nyaman
"Benar ini kediaman saudara Reza?""Iya, Pak. Suami saya tidak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku cemas, aku tidak bisa membayangkan hal buruk terjadi pada Mas Reza. "Suami ibu?""Bapak ke sini ingin mengatakan jika suami saya kecelakaan, begitu?"Aku perjelas perasaan khawatir yang menyelimuti diri ini. Bukankah kedatangan polisi selalu berkaitan dengan kasus dan kecelakaan. Mas Reza tidak mungkin mengalami sebuah kasus, sehingga kecelakaan seketika terlintas di kepalaku. "Saya tidak tahu menahu tentang Pak Reza, Bu. Kedatangan saya kemari untuk menyampaikan jika adik Pak Reza berada di rumah sakit.""Rara maksud Bapak?""Iya, saudari Rara pingsan di jalan tak jauh dari kantor kami. Tidak ada KTP atau pun ponsel, setelah saudari Rara sadar kami baru bisa mencari informasi."Aku bernapas lega, ternyata bukan kecelakaan yang terjadi pada Mas Reza. Polisi itu justru menemukan orang yang kami cari-cari. "Di mana rumah sakitnya, Pak? Saya akan segera ke sana."Lelaki bertubuh tegap dengan ku
20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku
5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu
Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang
Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke
"Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena
"Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri
"Bapak sudah memberikan tanah itu pada Reza, Bu. Bukankah rumah dan kebun bisa dibagi dua untuk Mas Raka dan Mas Reno. Apa masih kurang juga?" "Maksud kamu ibu harus terlunta-lunta di jalan karena sudah tidak memiliki rumah. Begitu mau kamu?"Allahu Akbar ... Aku mengelus dada sambil terus beristighfar. Perkataan ibu tidak hanya melukai hatiku tapi menghancurkan hati Mas Reza. Apa setelah harta warisan dibagi ibu akan terlunta-lunta? Kami tidak sejahat itu. Kami masih memiliki hati meski kadang ibu melukai berulang kali. "Reza ingat perkataan bapak dulu. Bukankah ibu juga tahu?""Bapak sudah gak ada, jangan bawa-bawa bapak. Semua keputusan di tangan ibu, bukan bapak.""Terserah Ibu mau apakan tanah itu. Tapi aku mau uang 200 juta untuk membangun rumah harus kalian kembalikan padaku.""Gak bisa gitu dong, Za. Itu namanya gak adil. Siapa suruh buat rumah dengan sertifikat orang tua!"Entah ingin aku apakan lelaki di hadapanku itu. Andai dia berada di posisi kami, apa kalimat itu jug
"Boleh kan, Za?"Aku menggeleng pelan dengan tingkah kakak iparku. Ini mobil siapa ... tapi pinjamnya ke siapa? Mereka seolah tak menganggap keberadaanku. Padahal mobil itu milik Mas Cahyo, kakak kandungku."Maaf, Mas. Itu bukan mobil saya. Saya tidak berhak meminjamkan pada siapa pun, termasuk kepada Mas Reno dan Mbak Risma.""Itu mobil kamu yang bawa, kan?""Iya, tapi itu bukan milikku, Mas. Mobil itu milik kakak kandung Lili. Kalau pun pengen pinjam seharusnya kalian pinjam ke Lili. Bukan kepadaku.""Apa bedanya kamu dan Lili. Bukankah kalian suami istri, apa yang Lili punya berarti punya kamu juga, Za. Jadi aku pinjam ke kamu gak masalah, yang penting izin untuk pinjam, kan?"Aku mengelus dada, menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam sana. Aku benar-benar tidak mengerti dengan teori yang Mas Reno pelajari. Hal yang benar adalah harta milik suami ada hak istri di dalamnya. Namun jika harta atau penghasilan istri, itu murni milik istri."Gimana, Za boleh gak? Risma pengen jal
"Kamu gak ngelarang ibu pulang, Za?""Lha, katanya Ibu yang gak betah tinggal di sini? Kalau gak betah buat apa Reza larang, Bu. Reza pengen ibu nyaman saja."Aku lihat ibu menelan ludah, mendadak ia kebingungan. Namun malu untuk mengatakan tidak, apalagi membatalkan perkataan yang baru saja ia ucapkan. Mana mungkin ibu menjilat ludahnya sendiri."Sarapan dulu sebelum berangkat, Bu.""Ibu gak lapar. Pesankan taksi online sekarang, Za! Ibu gak mau naik bis," ucapnya kesal."Yakin pulang, Bu?" tanyaku memastikan."Kalau ibu bilang pulang ya puang! Ngerti gak to!"Aku memilih diam, lalu melanjutkan sarapan pagi. Mas Reza pun menyudahi sarapan, dia beranjak mengikuti ibu yang sudah berjalan menuju teras. Sementara aku masih terdiam di depan televisi. Ada rasa enggan mengantar ibu meskipun hanya sampai di teras.Fitnah yang ibu katakan pada Mas Reza membuat aku kehilangan respect padanya. Aku memang sudah memaafkan, tapi jujur saja aku tak mampu melupakan setiap luka yang ibu torehkan.