"Jawab Pa! Pakai loud speaker," kataku pada Mas Fandi. Aku sudah sangat kesal.
Karena takut dimarahi Mas Hendra. akhirnya Mas Fandi mengangkat panggilan itu.
"Halo," sapa Mas Fandi.
"Halo Mas sayang! Lagi ngapain?" tanya Winda.
"Santai."
"Kenapa Mas kok jawabnya kayak gitu? Takut sama nenek lampir ya?"
"Enggak kok! Ada apa?" jawab Mas Fandi.
"Nggak apa-apa, kangen sama Mas Fandi. Nggak usah pedulikan omongan Pak Burhan tadi. Kalau memang kita dimutasikan, kita cari tempat yang sama. Aku nggak mau pisah dengan Mas Fandi."
"Halo Winda, belum kapok juga ya ganggu suami orang," kataku dengan sedikit emosi.
"Hei nenek lampir, inget ya, aku akan mendapatkan Mas Fandi, apapun caranya. Aku pastikan kamu akan bercerai dengan Mas Fandi dan Mas Fandi jadi milikku seutuhnya."
"Oh silahkan
Mas Fandi disidang lagi oleh keluarganya."Apa maksud kedatangan mereka Fandi?" tanya Mas Hendra dengan emosi. Aku yakin semua anggota keluarga Mas Fandi pasti kecewa dengan kelakuan Mas Fandi."Meminta Anis mengklarifikasi video itu!" jawab Mas Fandi dengan pelan."Klarifikasi apa? Yang salah siapa? Yang unggah video siapa? Bisa-bisanya Anis dibilang mantan istri Mas Fandi. Terus meminta apalagi, Pa? Meminta Papa menikahi Winda?" tanyaku sambil menatap tajam pada Mas FandiMas Fandi diam."Jawab!" Aku membentak Mas Fandi."Iya, mereka meminta Papa menikahi Winda.""Astaghfirullahaladzim, Pa! Sudah Mama bilang jangan dekat-dekat dengan Winda masih saja Papa tidak mau mendengarkan Mama. Terus papa menyetujuinya?""Papa belum menjawab, Ma!""Jujur, Pa? Papa mau menikahi dia?"
Pagi ini aku langsung ke kantor Mas Fandi, sudah janjian dengan Pak Burhan. Aku memarkir mobil di tempat lain, supaya Mas Fandi tidak tahu kalau aku ke kantornya. Suasana kantor belum begitu ramai. Aku pun segera menuju ke ruang Pak Burhan. Pasti Pak Burhan sudah ada di ruangannya, sesuai dengan janjinya akan menemuiku jam delapan pagi."Silahkan duduk Bu Anis! Ada perlu apa ya? Kok sepertinya penting sekali," kata Pak Burhan."Terima kasih Pak. Begini Pak, ini ada imbas dari video viral kemarin. Prosedurnya bagaimana ya, Pak? Saya mau melaporkan Mas Fandi dan Winda, karena mereka sudah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Terutama Winda Pak! Ini ada video yang mungkin bisa dijadikan bukti perbuatan Winda," kataku sambil memperlihatkan video pemukulan yang dilakukan oleh Winda.
Beberapa hari ini aku sibuk berburu rumah, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah mencari informasi dari berbagai sumber, akhirnya aku mendapatkan rumah di sebuah perumahan yang cukup ketat keamanannya. Anggi juga senang dengan rumah itu. Aku izin dua hari tidak masuk kerja karena persiapan pindah rumah.Pakaian dan barang Mas Fandi sudah aku antar ke rumah Ibu melalui kurir. Mau aku antar sendiri, aku belum sanggup bertemu dengan Ibu dan Zaki. Jujur saja, aku sangat menyayangi Zaki. Andai saja Mas Fandi tidak bertingkah lagi, pasti Zaki tetap bersamaku.Aku beres-beres rumah dibantu oleh Bude Nur, pengasuh Angga dan Anggi dulu. Barang-barang yang tidak aku inginkan, sebagian aku berikan pada Bu Nur dan sebagian lagi ada yang aku jual. Uangnya lumayan untuk membeli perabotan yang baru.
"Perkenalkan Mbak, saya Rosmiati. Panggil saja uti Ros. Di depan itu rumah anak saya," kata perempuan itu, sambil menunjukkan rumah yang dimaksud."Saya Anis Bu eh Uti Ros. Mari masuk. Silahkan duduk, maaf hanya ada karpet saja," kataku sambil mempersilahkan Uti Ros masuk."Nggak apa-apa kok Mbak Anis. O ya, ini saya bawakan makanan buatan saya sendiri," kata Uti Ros sambil menyodorkan makanan di dalam kotak kue."Wah kok repot-repot Uti. Terima kasih banyak. Maaf saya yang muda yang seharusnya datang mengenalkan diri," kataku dengan perasaan yang tidak enak."Mbak Anis kan sibuk, jadi bisa dimaklumi."Aku beranjak ke belakang untuk membuatkan minum."Mbak Anis, nggak usah repot-repot bikinin minuman. Air putih saja," cegah Uti Ros."O iya Uti, saya ambilkan air putih," kataku."Silahkan diminum uti," kataku sam
[Ma, gara-gara Mama melaporkan video itu. Papa sekarang jadi non job!]Sebuah pesan dari Mas Fandi. Ternyata dia tadi menelponku, tapi tidak terdengar olehku.[Bukan urusanku!] Aku balas pesannya.Mas Fandi memang memiliki jabatan di kantornya dan posisinya sangat basah karena sering memegang proyek. Kalau sekarang non job berarti hanya staf biasa yang hanya mengandalkan gaji bulanan tanpa ada tunjangan yang lainnya.[Bagaimana papa bisa memenuhi kebutuhan Zaki?] Pesan dari Mas Fandi.[Salah sendiri. Makanya kalau mau berbuat sesuatu yang melanggar aturan, dipikirkan dulu. Masih mending tidak dipecat!] balasku lagi. Aku sudah sangat kesal dengan Mas F
"Ibu kenapa? Apa yang Ibu rasakan?" tanyaku pada Ibu mertua.Tadi Mbak Sisi menelpon ku memberitahu kalau Ibu sedang sakit, tapi tidak mau dirawat dirumah sakit. Aku pun segera meluncur ke rumah Ibu."Ibu nggak apa-apa kok Nis, hanya capek saja," jawab Ibu dengan pelan."Maafkan Anis, Bu, sudah lama tidak menemui Ibu." Mataku berkaca-kaca menatap Ibu."Ibu maklum kok, Nis.""Bagaimana kabarnya Zaki?" tanyaku."Zaki sama Mbak Yuni, Nis. Biar Ibu bisa istirahat. Mungkin benar Ibu kecapekan. Capek badan dan pikiran," kata Mbak Sisi."Ibu ke rumah Anis saja, Bu, mau?" tanyaku pada Ibu."Ibu nggak mau merepotkan kamu, Nis, kalau memang Ibu mau dipanggil Gusti Allah, Ibu mau di rumah ini. Rumah kenangan Ayah dan Ibu, sekarang Ibu sudah siap menghadapNya. Ibu ingin bertemu dengan Ayah." Suara Ibu sangat pelan.
Minggu-minggu ini aku disibukkan dengan urusan perceraian. Mulai dari dipanggil atasan, mediasi sampai ke BKD. Semua aku jalani dengan senang karena aku ingin segera bercerai dengan Mas Fandi. Ingin memulai hidup sendiri dan mendampingi anak-anak sampai mereka mandiri.Tapi memang proses ini memakan waktu yang sangat lama. Harus siap mental. Pada saat mediasi, Mas Fandi tidak mau bercerai. Jadi berjalan lumayan alot. Tapi aku sodorkan bukti-bukti perbuatannya, Mas Fandi tidak berkutik sama sekali.Sudah dua hari aku tidak ke rumah Ibu. Ibu masih tergolek lemah di rumah. Beliau tetap tidak mau di bawa ke rumah sakit. Tiba-tiba aku kangen dengan Ibu. Besok pagi sebelum ke kantor aku mau ke rumah ibu, sambil membawakan makanan kesukaan Ibu. Tiba-tiba rasa kantuk menyerangku.Drtt...drtt hpku berbunyi, kulihat jam menunjukkan angka sebelas. Perasaan aku sudah lama tidurnya tapi kok masih jam sebelas juga. Wajar saja, s
Pagi ini rumah Ibu tampak sangat ramai, tetangga, saudara dan handai taulan berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Ibu dikenal sebagai orang yang baik dan ramah pada tetangga. Tetangga ikut membantu segala sesuatu disini. Tetangga adalah saudara terdekat kita.Beberapa tetangga menceritakan kepadaku kebaikan-kebaikan yang sering Ibu lakukan. Aku menjadi sangat terharu, betapa Ibu sangat baik dengan semua orang. Ibu, aku akan selalu mengenang kebaikan Ibu.Drtt… ponselku berbunyi."Mbak, aku sudah diluar bersama Bapak dan Ibu," Terdengar suara Resti di telpon.Aku berjalan keluar untuk menemui mereka dan mengajak mereka masuk ke rumah untuk bertemu dengan Mas Hendra dan yang lainnya."Turut berduka cita ya, Nak Hendra. Ibumu orang baik, insyaallah mendapatkan surga," kata ibuku."Iya Bu, mohon dimaafkan segala salah dan khilaf Ibu saya," jaw
Suara azan subuh membangunkanku dari tidur dan mimpi. Mimpi yang sangat indah, eh mimpi atau kenyataan ya? Sebuah tangan masih melingkar di tubuhku, ah tentu saja tangannya Mas Rayhan, suamiku tercinta. Perlahan aku singkirkan tangannya, ternyata dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Badanku terasa sangat remuk redam, karena permainan panas kami berdua tadi malam. Benar-benar luar biasa. Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi masih ditahan tangan Mas Rayhan."Nanti saja bangunnya," kata Mas Rayhan sambil mengeratkan pelukannya."Aku mau mandi, Mas. Salat subuh.""Sebentar lagi. Mas masih mau memelukmu. Sekali lagi ya?" pinta Mas Rayhan dengan tangan mulai bergerilya.Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mas Rayhan masih bersemangat melakukannya. Permainannya luar biasa, aku dibuatnya tidak berdaya."Aah..aah." Aku terus mendesah, menikmati surga dunia.
Rumah terasa sangat sepi hanya kami berdua saja. Aku membereskan barang-barang yang masih berantakan. Dibantu Mas Rayhan, semua sudah tampak bersih lagi. Malam ini aku berencana akan tidur di rumah Mas Rayhan. Beberapa pakaian dan keperluanku sudah aku bawa kemarin. Tentu saja tidak semua barang aku bawa, hanya keperluan pribadi saja.Tak terasa sudah azan magrib, kebetulan aku sudah selesai mandi. Segera aku dan Mas Rayhan meninggalkan rumah ini.Setelah mengunci pintu rumahku, akhirnya aku dan Mas Rayhan pindah tempat tinggal.Mas Rayhan sedang mandi ketika aku selesai salat magrib. Ia tidak mandi di rumahku karena memang tidak pakaian ganti. Mas Rayhan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tampak tubuh kekarnya yang belum pernah aku lihat. Dadaku menjadi berdebar-debar. Aku tetap memperhatikan Mas Rayhan, kemudian ia melepaskan handuknya dan memakai celana dalam. Aku merasa sangat malu, kemudian ia menoleh padaku,
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul empat pagi. Kulihat Anggi masih pulas terbuai mimpi. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur karena merasa sangat haus. Kulihat Indra, suami Resti, dan Angga masih tertidur di depan televisi. Keluargaku memang sedang menginap di rumahku.Sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak air."Bu, kok sudah bangun?" tanyaku, sambil mengambil air putih."Ibu memang terbiasa bangun jam segini.""Apa Ibu nggak nyenyak tidurnya?""Kalau sudah setua Ibu, tidur nyenyak itu nggak lama. Paling hanya beberapa jam saja."Aku pun duduk bersama Ibu."Kamu sendiri nyenyak nggak tidurnya? Atau malah nggak bisa tidur membayangkan hari ini?" tanya Ibu menggodaku."Alhamdulillah, Bu, nyenyak sekali.""Kamu bahagia, Nis?""Bahagia, Bu."&nbs
Aku sedang berada di rumah Mas Rayhan, asyik ngobrol dengan Uti Ros. Tadi aku mengantarkan makanan buatan Ibu, malah diajak ngobrol sama Uti Ros."Ibu sudah nggak sabar melihat Rayhan menikah. Dia sudah lama sendiri, setiap Ibu tanya kapan mau menikah, ia selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi ketika Ibu dan Key menjodohkan denganmu, Rayhan tampak bersemangat. Dan yang membuat Ibu berbahagia, waktu Rayhan mengatakan mau menikah denganmu. Ibu yakin, kamu itu memang pantas mendampinginya. Akhirnya Rayhan menemukan jodohnya." Uti Ros berkata dengan mata berkaca-kaca."Saya juga sangat berbahagia, Uti. Saya tidak menyangka kalau mau menikah lagi dalam waktu dekat ini. Tapi yang namanya jodoh, tidak ada yang tahu. Ternyata jodoh saya lima langkah dari rumah, kayak lagi dangdut," kataku sambil tertawa. Uti Ros juga ikut tertawa."Ibu yakin, kalian berdua bisa menjaga keutuhan rumah tangga kalian nantinya. Pengalaman hidup
"Ayo sekarang kita cari Mas kawinnya," kata Mas Rayhan setelah kami selesai mendaftarkan pernikahan kami ke KUA. Semua persyaratan sudah selesai kami urus dan semuanya sudah beres. Tinggal menunggu akad nikahnya.Mobil melaju ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Kami langsung menuju ke toko perhiasan. Aku memilih perhiasan yang aku suka, yaitu cincin."Kenapa nggak yang ini?" kata Mas Rayhan sambil menunjuk satu set perhiasan, berupa cincin, gelang dan kalung.Aku ragu memilihnya, karena aku tahu pasti mahal harganya."Nggak usah mikir harga. Uang bisa dicari," bisiknya padaku.Aku mengangguk tanda setuju dengan pilihannya.Selesai membeli mas kawin, kami jalan-jalan mencari pakaian. Ternyata Mas Rayhan orangnya ribet kalau mencari pakaian, hobinya yang model slim fit. Pantesan ia selalu terlihat modis dan macho, nggak kayak aku. Aku kalau mencari pakaian yang
Pagi ini aku dikagetkan dengan kedatangan keluarga besarku. Bapak, Ibu, Resti dan keluarganya datang ke rumah. Ada apa ya, kok begitu mendadak? Apakah ada sesuatu yang begitu penting? Aku jadi penasaran."Kok nggak ada yang ngasih kabar kalau mau kesini," kataku masih tidak percaya dengan kehadiran mereka."Kejutan, Mbak!" kata Resti sambil tertawa.Aku ke dapur untuk membuatkan minuman, kulihat Anggi sedang membuatkan teh sambil ngobrol dengan Nadia, anak pertama Resti."Kamu tahu kalau Akung dan Uti mau kesini?" tanyaku pada Anggi."Tahu, Ma," jawab Anggi dengan santai."Kok nggak bilang sama Mama.""Nggak boleh kata Tante Resti." Anggi melangkah ke ruang keluarga dengan membawa minuman. Kami duduk diatas karpet sambil ngobrol-ngobrol."Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Ibu."Siap apa, Bu?" jawabku
Sepertinya aku sudah dimabuk cinta, cinta pada Mas Rayhan. Kami sering berangkat kerja bareng. Tapi tentu saja kami masih tahu batasan tidak menabrak norma yang ada. Tidak ada kontak fisik yang berlebihan.Hari ini pulang dari kantor, aku dan Mas Rayhan berencana pergi ke sebuah supermarket. Ada beberapa keperluan rumah tangga yang akan aku beli.Aku sudah membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di mejaku. Ruanganku sudah sepi, aku pun keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Sekitar lima menit aku menunggu, Mas Rayhan belum juga keluar dari ruangannya.Akhirnya aku mengirim pesan.[Mas, jadi kan nemenin aku ke supermarket?][Mas jadi nggak?]Belum juga ada jawaban. Aku jadi serba salah, kalau aku tinggal, nanti Mas Rayhan marah. Aku pun mencoba untuk menelpon Mas Rayhan."Mas, masih lama nggak pulangnya? Atau aku pulang d
"Pantas saja nggak mau makan di kantin, ternyata mau makan berdua disini," kata Sandra mengagetkan kami.Aku dan Mas Rayhan hanya tertawa."Aku keluar ah, nggak enak nanti mengganggu.""Disini saja, San. Kalau hanya berdua saja nggak enak.""Betul itu." Mas Rayhan menimpali."Terus aku ngeliatin kamu makan, gitu, Nis?" tanya Sandra."Ayo kalau mau makan bersama," ajakku."Sudah kenyang.""Kamu sudah selesai makannya?" tanya Mas Rayhan."Sudah. Mas habisin saja.""Bener?""Iya, Mas.""Mas?" tanya Sandra heran. Aku kaget keceplosan memanggil Mas pada Mas Ray."Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Apakah benar dugaanku?" tanya Sandra dengan penasaran."Iya, jangan cerita dengan orang lain." Ma
Sampai dirumah, ternyata Anggi sudah pulang."Mama, nggak bawa mobil ya?" tanya Anggi yang baru keluar dari kamarnya."Enggak, naik ojek.""Ooo.""Tolong dibereskan yang ada di meja makan. Tadi Mama beli makanan."Anggi berjalan menuju ruang makan, aku segera mandi untuk menyegarkan hati dan pikiran.Selesai mandi aku segera makan. Dari pagi perut belum terisi. Gara-gara emosi yang menguras hati dan pikiran. Kenapa aku jadi seperti ini ya?Badanku benar-benar lelah sangat lelah. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, aku sengaja tidak memegang ponselku. Pasti akan ada panggilan dan pesan dari Mas Rayhan. Aku biarkan saja. Aku ingin istirahat.Tapi pikiran tidak bisa diajak kompromi. Memikirkan tadi siang. Aku baru melihat Nadya hari ini. Memang Minggu lalu katanya ada pelantikan beberapa pejabat. Ada yang