"Kenapa ga gabung ke sana aja?" Ia adalah pemuda yang semalam juga ada di lokasi balapan. Suaranya mendadak mengagetkanku hingga membuat sebagian cokelat dalam mulut tersembur ke luar. Entah kapan dia tiba-tiba sudah ada di belakangku. Belum sempat aku menjawab, dia sudah berteriak. "Frans, ada yang mau gabung, ni," pekiknya sambil menunjukku. Pemuda yang bernama Frans mendadak bangkit dan berjalan ke arahku. Dia memindaiku dengan sorot mata dinginnya. "Cantik juga, lo nemu di mana?""Dia dari tadi ngeliatin ke arah lo mulu."Aku berusaha tersenyum seraya meredam degup jantung yang semakin bertalu. "Ha-hai," ucapku sambil melambaikan tangan ke arah Frans. Dia langsung duduk di depanku, masih sambil menatapku lekat. "Kayaknya gue pernah ngeliat lo, tapi di mana, ya?""Alah, Frans. Basi, tau! Setiap baru ketemu cewek kalimat lo begitu mulu."Frans tertawa. "Heh, kenapa jam segini lo baru dateng? Abis ngapain, lo?" tanya Frans pada temannya yang masih berdiri di belakangku. "Biasa lah
Setelah keluar dari rumah Mas Daffi hari itu, aku segera menemui Om Sahid di kantornya. Tentu saja sebelum menuju ke sana, aku memastikan lebih dulu kalau Om Sahid sedang berada di sana. Maklum, dia, kan orang sibuk. "Jadi, akhirnya kau menyerah juga, Ri?" tanya Om Sahid lalu menyesap pelan kopi hitam favoritnya. Aroma moccanya yang tajam seketika mampu menenangkan pikiranku yang saat itu sedang kalut."Riana sudah berusaha, Om. Maaf." Kepalaku tertunduk semakin dalam sambil berusaha menyembunyikan air mata yang kembali menyeruak ke luar. Ah, sangat menyebalkan sekali kalau sampai Om Sahid melihatku cengeng seperti ini.Om Sahid mendengkus kasar. "Keterlaluan memang si Daffi dan Juwita itu, apalagi sejak Asmoro sudah tidak ada. Kalau bukan karena Asmoro yang memohon-mohon pada Om dulu, tidak mungkin Om mengizinkan kau menikah dengan anaknya. Asmoro itu terlalu berharap kalau anaknya itu bisa berubah setelah menikahi kamu. Bukannya berubah, dia malah semakin parah. Kau juga sih, Ri, se
Nomor ini kan tidak ada yang tahu selain Om Sahid? Dan ternyata benar, tampak di layar nama Om Sahid. "Riana, Liana sakit, Run. Kondisinya memburuk. Tadi Om ke rumahnya dan ternyata mereka semua sedang ke rumah sakit mengantar Liana.""Ya Allah, rumah sakit mana, Om?" Mataku memanas lagi. "Medika Permata."Tanpa menutup panggilan dari Om Sahid, aku langsung bergegas ke rumah sakit malam itu juga. ***Transportasi online yang kunaiki melaju cepat membelah suasana malam jakarta. Beruntung saat itu kondisi jalanan sedang sepi. Hanya dalam waktu kurang dari satu jam aku sudah tiba di tempat Liana dirawat. Gedung berlantai tiga dengan dinding didominasi warna hijau tosca itu berdiri angkuh menyambut kedatanganku. Aroma cairan antiseptik seketika merasuk ke penciuman. Suasana yang sepi semakin menambah riak perasaanku semakin bergejolak. Kuhirup napas dalam beberapa kali lalu menghembuskanya perlahan. Tenanglah Riana. Liana pasti baik-baik saja. ***"Maaf, Sus. Boleh saya tanya mengena
Selamat membaca. Semoga suka, ya. ***Tak ada lagi sebutan mama padanya seperti yang selama ini kulakukan. Rasa seganku padanya tiba-tiba saja hilang tanpa bekas. "Ingat Nyonya, suatu hari nanti, saya akan kembali untuk merebut Liana dan Mas Daffi lagi. Saya akan membuat anda menyesal karena telah memperlakukan saya seperti ini!" ucapku tajam tepat di depan wajah Mama Juwita. Mama Juwita terus mengeluarkan sumpah serapah sambil terus berteriak."Friska, cepat usir wanita monster ini dari sini! Dan jangan biarkan ia datang lagi!""Sudah cepat sana pergi Riana! Jangan sampai kau membuat Liana terbangun! Untung saja tadi suster baru memberikan dia obat tidur karena dia mengeluh tidak bisa tidur seharian ini." Friska menarik kasar tanganku sambil mendorongku keluar. "Iya, Fris, kau tidak perlu mengusirku. Ini aku juga udah mau pergi!"Kusempatkan untuk memandangi wajah Liana yang masih tertidur. Liana, ibu janji, suatu saat nanti, ibu akan merebutmu dari tangan mereka! ***"Kau sudah
"Trus nanti kalau dia lihat Riana di sini gimana, Om? Riana masih belum siap ketemu dia." Om Sahid seketika mematikan panggilan. Ia lalu menyandarkan tubuh di atas kursi kerja dengan kepala beralas tangan. "Kamu itu harus berani menghadapi dia, dong, Ri. Jangan sembunyi terus kayak gini." Iya Om, Riana tau. Riana cuma masih butuh waktu, entah sampai kapan. ***"Hebat lo, Ri. Jarang, lho, ada siswa yang bisa dapat nilai sempurna dari pengacara Sahid Anwar. Dia itu kan terkenal susah kalau ngasih nilai." Ginting, sesama siswa PKPA menghampiri. Aku tersenyum kecil menanggapi kalimat Ginting barusan. Fakta tersebut memang sudah lama kuketahui. Hal yang malah membuatku merasa tertantang untuk bisa menaklukkan soal yang akan Om Sahid keluarkan. "Biasa aja, kok, Gin. Banyak yang lebih hebat."Tak lama kemudian, Om Sahid tiba-tiba menghampiri aku dan Ginting yang saat itu sedang berada di lobby hotel tempat diselenggarakannya PKPA. "Ri, yuk! Om nanti masih ada sidang lagi," ajak Om Sahid
"Ri, kau sudah mau pulang? Kalau iya, pulang saja duluan, Om masih ada meeting sama Mentri KumHam.""Iya, Om, sebentar lagi. Masih ada kasus yang harus dipelajari untuk sidang besok."Sejak lulus dari PKPA dan memperoleh sertifikasi sebagai pengacara aku kembali diminta Om Sahid untuk masuk menjadi salah satu timnya. Awalnya aku menolak, ingin bekerja di tempat yang lain saja. Karena kalau terlalu sering berada di kantor Om Sahid, kan, kemungkinan untuk bertemu Mas Daffi jadi semakin besar. Yah, sampai sekarang aku masih belum siap jika suatu hari nanti aku bertemu dengannya, padahal urusan perceraian kami juga belum selesai. Hatiku masih terluka karena perlakuannya dulu. Selama ini aku hanya bisa diam-diam mengamati Liana dari jauh saja tanpa sepengetahuan dari Mas Daffi. "Kasus apa? Ada yang perlu Om bantu?" keryitnya. "Biasa, Om. Kasus perceraian selebriti.""Oh, kalau itu, bisa lah kau tangani sendiri. Ya sudah, om duluan ya.""Iya, Om."Tak lama setelahnya, terdengar suara seseo
"Eh, Ri, jadinya si Daffi udah nanda tangani surat cerai? Kapan kalian mulai sidang?""Belum, Fif. Ga tau tuh, padahal udah lewat setahun, trus katanya si, dia juga udah nikah lagi sama Friska.""Hah, kok bisa?" Rafif mengalihkan pandangan ke arahku. Aku mengendikkan bahu. "Om Sahid bilang, nunggu surat itu ditandatangani Mas Daffi dulu, baru daftar ke pengadilan agama. Kayaknya si dia memang sengaja nunda prosesnya, biar gue sama Mas Daffi ga jadi cerai."Rafif mengangguk paham. "Tapi kalau elo-nya sendiri gimana? Memangnya beneran lo mau cerai sama Daffi? Nanti anak lo gimana?""Ga tau, ah, Fif. Udah ya, kita ga usah bahas itu terus," ucapku lalu mengerucutkan mulut. Jujur, membicarakan Mas Daffi dan Liana membuat perasaanku gerimis lagi. Aku tidak ingin kalau Rafif sampai melihatku menangis. "Lagian katanya tadi elo mau konsultasi, kok malah gue sih yang diinterogasi."Rafif tertawa lagi. Kelihatannya dia sedang bahagia. Kuperhatikan sejak tadi, ia sering sekali tersenyum. ***Kam
Selamat membaca. Ditunggu vote dan komennya ya Sahabat. Terima kasih. ***"Apa? Jadi dulu aku bebas, karena bantuan kamu, Ri? Dan karena aku juga, wajahmu jadi seperti itu!" seru Mas Daffi yang tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan Om Sahid. "Daffi? Kenapa tiba-tiba bisa ada di sini? Katamu nanti sore baru kau bisa datang?" tanya Om Sahid yang juga tampak sangat terkejut akan kehadiran Mas Daffi di ruangannya. "Iya, Om. Rapat pagi ini dibatalkan. Jadi kuputuskan untuk langsung ke sini. Yah, niatnya sih memberi sedikit kejutan pada, Om. Eh, malah aku yang mendapat kejutan." Sambil bicara, manik mata Mas Daffi terus menatap tajam ke arahku. Baru kusadari bahwa selama tujuh tahun kami menikah, baru kali ini ia sudi untuk menatap wajahku lebih dari lima menit. "Sebelumnya maaf, Om. Aku, ga, kasih kabar dulu. Aku yakin sih, Om pasti belum ada acara sepagi ini, makanya aku PD pasti ketemu sama, om."Om Sahid menghela napasnya. "Sini, Kau! Duduk sini! Ri, tolong kau sediakan minum untuk
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal