Beberapa kebutuhan perlengkapan bayi, serta barang-barang yang lucu dan menarik perhatiannya hampir sebagian besar Ina sudah membeli. Ia juga berpesan, untuk barang belanjaannya dikirim ke alamat rumahnya. Saat sudah selesai melakukan transaksi dan berniat akan pulang ke rumah, pandangan matanya tidak sengaja menangkap sepasang sepatu berbulu mungil yang lucu dengan muka kucing di bagian ujung. Tangan Ina terulur berniat untuk mengambilnya, bersamaan dengan itu seseorang juga mengambil barang yang sama. “Eh.” Ina segera melepaskan tangannya dan beralih menatap seseorang di sampingnya. “Ambil sa—” ujarnya menggantung karena melihat sosok di sampingnya itu. “Eh ... hai, Na?” ujar orang itu menyapa Ina, menampilkan senyumannya. Ina mengerjap, tersenyum paksa. “Oh, hai.” Setelah mengatakan itu, Ina membalikkan badannya, melihat orang ini meskipun tidak sengaja membuat moodnya buruk. “Loh, Na. Mau ke mana?” tanyanya meraih pergelangan tangan Ina dan membuat langkahnya terhenti.Ina men
Amir merasakan ada perbedaan pada diri Ina. Sudah hampir 7 tahun dirinya hidup bersama istrinya, tidak mungkin Amir salah menilai dan merasakan ada yang beda. Bahkan sikapnya juga sedikit sensitif. Apa hormon ibu hamil masih berlaku? Amir bermonolog dalam hati. Mungkin saja, ya."Mau ke mana, ai?" tanya Amir melihat istrinya sedang bersiap-siap dengan pakaiannya yang sudah rapi. "Ketemu sama temen-temen," balas Ina tanpa menatap ke arah Amir, masih fokus merapikan rambutnya. Amir menghembuskan napasnya pelan, mengangguk mengerti. Ini kedua kalinya, Ina pergi tanpa berbicara dulu padanya jika dia memiliki janji atau ingin pergi sekedar berjalan-jalan. Karena pasti Ina selalu izin dulu pada Amir dan mengatakan padanya ingin pergi, juga memberitahukan ke mana tujuannya. Awalnya Amir pikir Ina lupa, tapi kali ini Amir lagi yang harus bertanya terlebih dulu barulah istrinya itu akan memberitahukan. "Hati-hati, pulangnya jangan kemaleman," ujar Amir."Yaudah, aku pergi dulu," pamit Ina l
Amir menunggu Ina dari dalam kamar, ia duduk di kursi roda menghadap jendela. Seharian ini Ina masih berada di luar. Hujan juga turun sangat deras sejak sore hingga malam ini pun belum berhenti. Tentu saja membuatnya khawatir, apalagi istrinya itu juga tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati. Ina hanya bilang padanya jika dia ingin pergi untuk mencari kebutuhan debay, itu saja. Selebihnya, Amir tidak tau. Hingga suara deru mobil membuat Amir melihat dari jendela. Ada mobil yang terparkir di depan rumahnya, tidak berselang lama seorang pria keluar dengan membawa sebuah payung, lalu disusul seorang wanita keluar dari mobil. Meskipun hanya terlihat samar, Amir tau betul jika wanita itu adalah Ina, istrinya. Hanya saja, siapa pria itu? Lalu di mana Pak Tomo dan kenapa Ina keluar bukan dari mobilnya? Pertanyaan itu muncul di benaknya.Begitu mereka sampai di depan rumah, terlihat keduanya sedang berbincang. Ina tertawa, entah lelucon apa yang dilontarkan pria di depannya sehingga membuat is
Ah, Hilmi merasa bahagia. Haruskah ia merayakan keberhasilannya? Langkah demi langkah untuk menaklukkan hati dan mendapatkannya kembali, berhasil ia lalui. Sedikit lagi, dirinya mampu meluluhkan hati mantan kekasihnya itu. Hilmi tau betul jika semalam suami Ina melihat semuanya dari balik jendela. Maka dari itu, dirinya dengan sengaja mencium sekilas Ina. Wanita itu juga tidak mengelak karena saking terkejutnya. Bahkan sampai saat Hilmi berpamitan untuk pulang, Ina masih mematung di tempatnya. Katakan dirinya brengsek, karena memang begitulah dirinya sejak dulu. Bahkan Hilmi mengakui jika masih menyimpan perasaan untuk mantan kekasihnya itu. Karena dulu, saat berakhirnya hubungan mereka, semua terjadi karena terpaksa. Meskipun kesalahan awalnya adalah berasal dari dirinya sendiri melakukan hubungan yang lebih dalam bersama Mutiara, mantan istrinya. “Lo jadi, kan, mau buat gaun di Ina?” Hilmi bertanya pada Laras, adiknya. Laras mengalihkan pandangannya menatap kakaknya. “Lo kenapa
Hari ini, Ina akan pergi ke butik. Bertemu dengan klien dan kliennya itu adalah adik Hilmi. Meskipun sebetulnya Ina tidak ingin memiliki hubungan dengan Hilmi dalam hal apa pun atau yang berhubungan dengan pria itu, tapi mau tidak mau Ina harus bersikap profesional. Apalagi sejak malam itu, berani-beraninya dia melakukan hal tidak senonoh. Mencium dirinya lalu pergi begitu saja di saat Ina masih diam membeku karena terkejut. Saat itu memang Ina mencoba untuk memaafkan semua hal yang sudah terjadi di masa lalu, tetapi bukan berarti pria itu berhak melakukan hal sesuka hati. Lagipula, se-keras apa pun Ina mencoba untuk menghindar dan mengusir pria itu dengan cara kasar sekalipun, nyatanya dia tetap pada pendiriannya untuk mengganggu. "Aku pergi dulu," ujar Ina berpamitan pada Amir. "Ke mana, ai?""Butik. Ada jadwal mau ketemu klien," balas Ina. "Oh, yaudah. Hati-hati, pulang jangan kemaleman.""Rencananya abis selese ketemu klien langsung pulang." Amir mengangguk mengerti, setelah b
Sebuah hubungan akan bertahan jika ada kepercayaan di dalamnya. Namun, jika salah satu di antara keduanya mengingkari kepercayaan itu. Apakah hubungan akan tetap bertahan atau justru kandas di tengah jalan?- author.*****Tawa Ina berderai mendengar lelucon dari pria di hadapannya, Hilmi. Ina tertawa karena pria dari masa lalu yang telah menyakitinya. Hanya dalam 1 jam, saat Ina memberikan kesempatan beberapa saat lalu, ia mampu memaafkannya. Ini memang tentang waktu dan sekeras usaha yang dilakukan. Namun, bukan berarti kita mampu membenarkan usaha Hilmi dalam merebut Ina kembali. Tentu saja itu sudah sangat jelas jika salah. Entah apa yang membuat Ina menjadi sedikit goyah dan tidak lagi membatasi jarak dengan Hilmi. Padahal awalnya, Ina sudah melakukan hal yang benar dengan menghindari pria itu. "Shella suka banget sama kado pilihan lo," ujar Hilmi. "Makasih ya, Na."Ina mengangguk tersenyum. "Sama-sama."Siang ini mereka sedang berada di kafe yang berada tidak jauh dari rumah In
Semalam, begitu istrinya pulang dan untuk pertama kalinya Amir berhadapan langsung dengan pria itu. Melihat dengan jelas bagaimana wajahnya. Tadi malam juga pertama kali, istrinya itu membawa pria selain keluarga masuk ke dalam rumah. Sebenarnya tidak masalah, hanya saja Amir merasakan ada hal janggal. Saat ditanya pun siapa pria itu, Ina hanya menjawab temannya. Namun, Amir merasa ada hal yang tidak biasa dari hubungan mereka meskipun masih bersifat abu. Mendengar sekilas juga Ina memanggil nama pria itu, nama yang sama seperti orang dari masa lalu istrinya. Cara mereka berinteraksi juga sudah seperti teman lama, sangat akrab. Saking akrabnya Amir sampai bingung bagaimana harus menilai dan membuatnya semakin memiliki pikiran yang tidak-tidak tentang istrinya. Apalagi pagi-pagi sekali, Amir sudah tidak mendapati Ina di rumah. Entah ke mana istrinya itu pergi, ia tidak tau. Saat Amir menanyakan keberadaan Ina pada art-nya pun, beliau juga tidak tau."Mas, ada tamu. Nyariin Mas Amir ka
Ina mengendarai mobilnya sendiri tanpa sopir. Entah apa yang terjadi pada dirinya juga, pergi begitu saja meninggalkan Amir sendiri di rumah. Ina hanya merasa, ada yang salah dengan dirinya. Niatnya ia akan pergi ke rumah ibunya. Sudah lama juga dirinya tidak berkunjung. Namun, sebelum itu ia akan terlebih dulu bertemu dengan Hilmi di tempat biasa mereka bertemu. Ia turun dari mobil, saat masuk ke kafe pandangannya menangkap sosok Hilmi yang ternyata sudah datang. "Maaf nunggu lama," ujar Ina saat sudah duduk di hadapan Hilmi."Santai aja, gue juga baru nyampe.""Lo keliatan nggak baik-baik aja. Kenapa?" Lanjut Hilmi bertanya, saat melihat raut Ina yang memang terlihat tidak baik-baik saja. "Gue mau nyeraiin Amir," gumam Ina menjawab sedikit tidak yakin. Hilmi yang mendengar itu tentu terkejut. Sangat mendadak baginya, meskipun di sisi lain ia merasa senang. Karena dengan begitu, kesempatan untuk mendapatkan Ina sangat besar. "Mendadak banget, Na. Lo sama dia kenapa?" Ina menggele