Hari masih sangat pagi, namun suasana di kediaman Pramono sudah mulai ramai. Laras sibuk kesana kemari menyiapkan makanan bersama para maid. Raut kelelahan tergambar jelas di wajah nyonya muda Pramono itu.
Entah pantas disebut nyonya muda atau tidak. Karena posisinya, tidak lebih tinggi dari asisten rumah tangga disini. Satu hal yang Laras syukuri sampai saat ini, meskipun mereka bersikap sinis padanya, tetapi keluarga Andi memperlakukan putrinya Laura dengan baik.
Hal itu lebih dari cukup untuk Laras. Tidak masalah mereka menghina, atau memperlakukannya seperti bukan manusia, yang penting bagi Laras hanya kebahagiaan putrinya saja.
Setelah sarapan pagi siap, satu persatu anggota keluarga Pramono, termasuk Friska, Rani dan Shaka, serta Kinan dan kedua orang tuanya mulai mengisi kursi kosong di meja makan. Laras dan Laura pun ikut mengambil tempat.
“Sudah ada kabar dari Andi, Ras?” tanya Friska tiba-tiba.
Laras menggeleng pelan. “B
“Selamat pagi....”Agni yang tengah menyiapkan sarapan pagi, dikejutkan dengan sepasang lengan kekar melingkar di pinggangnya.“Pagi, sayang,” jawab Agni dengan senyuman.“Mandi, kak. Abis itu bantu aku bangunin Aska,” ucap Agni lagi pada Suaminya yang tengah memberikan ciuman ciuman kecil pada lehernya.“Hmmm....” Samudera bergumam pelan. Setelah memberikan satu kecupan di bibir Agni, pria itu melepaskan rangkulannya dan kembali ke kamar....Bunyi denting sendok mengiring sarapan pagi mereka, beberapa kali obrolan obrolan kecil turut juga terselip dalam sarapan keluarga kecil itu.Dua bulan sudah terlewat, sejak peristiwa nahas yang merenggut nyawa mbok Inem. Setelah kejadian itu, Agni menjadi lebih protektif pada putranya. Agni bahkan samapi menyerahkan operasional Kafe pada seorang manager profesional, yang direkrut sendiri oleh Samudera. Hal itu ia lakukan agar bisa menemani Aska ke
“Kekasih masa kecil, sekaligus orang yang dijodohkan dengan Samudera....” Mawar memotong ucapan Mayang. Bella tersenyum mendengar ucapan Ibunya, lalu menatap Agni dengan sinis. Mayang terlihat serba salah. Dia sudah tahu seperti apa sifat Mawar. Arogan dan suka pamer, juga provokatif. Mayang hanya bisa meminta maaf pada Agni lewat tatapannya. Sementara Ratna, wanita senja itu menatap Mawar dengan geram. Namun, berbeda dengan Ibu mertua dan neneknya, Agni justru menatap mereka dengan tatapan mengejek. Agni mengangkat sebelah alisnya, sambil menyeringai. “Ekhm... Sepertinya saya belum memperkenalkan diri dengan benar,” ucap Agni sembari mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Agni. ISTRI SAHNYA SAMUDERA ADITAMA. Saya adalah, Nyonya Muda keluarga Aditama. Salam kenal!” Agni menekan setiap kata yang diucapkan. Sembari menatap mereka dengan tajam. Ratna menatap cucu menantunya dengan senyum. Rasa bangga tergambar jelas di wajahnya. ‘Ini baru cucu
“Apa aku keterlaluan, tadi?” Suara Agni memecah keheningan dalam mobil kala itu.“Hmm, maksud kamu?” Tanya Samudera dengan kening mengerut.Agni membuang nafas berat, “Aku tahu, tadi kamu dengar semuanya. Omonganku pada Bella dan Tante Mawar,” jelas Agni.“Oh, itu...” Samudera memperlambat laju mobilnya, lalu mengusap kepala Agni dengan sebelah tangan. “Kamu sudah melakukan hal yang benar.”“Tapi, aku sudah menyinggung mereka. Apa tidak masalah? Maksudku, mereka kan saudaranya Mama....”Samudera tersenyum tipis. “Kamu bebas menyinggung siapapun. Jangan khawatir tentang hal lainnya,” ucap Samudera, lalu menoleh pada Agni. “Ada aku.”Agni terkekeh kecil mendengar ucapan suaminya. “Ya, ya... Suamiku yang terbaik,” ucap Agni, lalu mereka berdua tertawa bersama.....Agni melangkahkan kakinya, masuk dalam lobby Aditama Corp. H
“APA YANG KALIAN LAKUKAN??!!”Suara Samudera membuat lobby kantor, yang tadinya ramai menjadi hening. Suasana menjadi tegang seketika. Seumur-umur, baru kali ini mereka mendengar atasan mereka berteriak seperti itu.Samudera merupakan pemimpin yang tegas, tetapi tidak banyak omong. Ia hanya berbicara seperlunya saja. Bahkan mereka yang berada di posisi bawah, hampir tidak pernah mendengar suara Samudera.Semua karyawan menoleh kearah dua Security, keduanya terlihat pucat pasih. Keringat mengucur deras dari dahi mereka. Seperti karyawan yang lain, mereka berdua juga terkejut mendengar suara Samudera. Apalagi, teriakan itu memang ditujukan untuk mereka.Jangan ditanya bagaimana wajah dua gadis resepsionis itu, wajah mereka putih bagai kertas. Tidak ada jejak darah sedikitpun disana.Samudera mengambil langkah maju, kearah dua Security itu, kemudian melepas paksa cengkraman mereka pada tangan istrinya.“Kamu, baik-baik saja? B
Seorang gadis kecil bergaun putih, berlari kesana-kemari mengejar kupu-kupu. Ia tidak berniat menangkap, hanya ingin mengagumi keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu saja.“Sammy lihat, dia sangat cantik.” Sesekali gadis kecil itu akan menoleh kebelakang, dan berbicara pada anak laki-laki yang tengah duduk membaca buku di bangku taman.Bocah berusia awal 10 tahunan dengan wajah datar itu, dengan sabar menjawab pertanyaan si gadis kecil. “Kamu lebih cantik, peri kecil,” jawabnya dengan mata yang fokus pada buku ditangannya.Tapi sepertinya, jawaban itu tidak disukai oleh gadis kecil berkuncir dua itu. Terbukti dari bibirnya yang perlahan mengerucut, juga alisnya yang menyatu. Ia kemudian berkacak pinggang, dan menatap bocah laki-laki itu dengan tajam. “Tidak. Kupu-kupu ini lebih cantik,” sanggah gadis itu tidak mau kalah.Anak laki-laki itu hanya bisa menarik nafas dalam, kemudian menutup bukunya, dan menatap gadis itu.
“Tata sudah meninggal sejak aku masih kecil, sayang.” Samudera menatap Agni lekat.Agni terkejut dengan penuturan Samudera, “T-tapi... Aku Tata, Sam. A-aku ingat momen pas kita ngambil foto itu, sama bunda Peri.” Agni mencoba menjelaskan.Bagaimana mungkin dia bisa meninggal? Dia tidak mungkin salah. Agni memang tidak tahu, kenapa ia bisa lupa kenangan masa kecilnya, tapi kalau dibilang meninggal, sangat keterlaluan.Samudera mengernyit heran. ‘Tidak mungkin!’ batinnya.“Kamu percaya aku kan, Sam? A-aku beneran Tata....” Mata Agni sampai berkaca-kaca melihat Samudera yang terlihat tidak mempercayainya.Samudera mengumpat dalam hati saat melihat istrinya akan menangis. “Hei, hei... Tenang oke, aku percaya sama kamu,” Samudera mengusap kedua pipi Agni penuh sayang, merasa bersalah karena sempat meragukan wanitanya. “Aku percaya kamu itu Tata. Tata-nya Aku. Jangan menangis.” Samud
Hari sudah malam, ketika Agni perlahan membuka matanya. Ia mendapati Samudera tengah duduk di samping ranjang, sembari menatapnya dengan wajah khawatir.“Sam...,” Lirih Agni.Suara lirih Agni, berhasil menyadarkan Samudera dari lamunannya.“Kamu sudah, bangun? Ada yang sakit?” Samudera memindai keadaan Agni. Ia lalu mengusap pipi istrinya itu, kemudian mengecek suhu badan Agni, memastikan apakah istrinya sudah baik-baik saja atau belum.Agni tersenyum tipis, kemudian menggeleng. “Aku baik... Em, air....” Agni terbatuk kecil, tenggorokannya terasa sangat kering.“Oh... Sebentar.” Samudera mengambil air yang ada di nakas, lalu membantu Agni minum.Setelah itu, ia kembali memperhatikan istrinya. Jujur saja, Samudera masih khawatir dengan keadaan Agni. Ia takut, kalau-kalau munculnya memori itu, bisa mempengaruhi mental wanitanya.Setelah cukup tenang, Agni baru mengedarkan pandangannya ke s
Dengan terkekeh kecil, Bima menatap Samudera. “Jadi kamu sudah tahu? Baguslah.”Mereka semua terkejut mendengar tanggapan Bima. Terlebih Samudera, pria itu terlihat marah mendengar nada santai dan sedikit mengejek dari sang kakek.Suara gemeletuk gigi terdengar, membuat suasana semakin mencekam. Tangan Samudera terkepal kuat dan rahangnya terlihat mengeras, tetapi sang sumber masalah justru terlihat sangat santai. Seperti tidak terjadi apa-apa.Melihat ketegangan yang diakibatkan oleh dua gunung Es keluarga Aditama itu, tidak ada yang berani angkat bicara. Bahkan Ratna yang biasanya cerewet pun, memilih untuk tutup mulut. Jika itu adalah Lautan, mungkin Ratna akan memarahi putranya itu. Akan tetapi, karena yang berdiri dihadapannya saat ini adalah cucu tersayangnya, Orang yang ia dan Bima besarkan sendiri... Ratna lebih memilih cosplay menjadi arca saja.Lebih baik cari aman.“Duduklah.” Setelah lama terdiam Bimasakti akhirn