"Keras kepala," ujar Indrayana lirih dengan sorot mata yang dingin. "Kamu selalu memaksaku melakukan hal ini." Indrayana memeluk pinggang gadis itu dengan erat lalu mengambil tali pengengkang kuda. Dia berbalik arah dan memacu kudanya kembali ke rumah Wirata. Saat Indrayana memasuki rumah dengan membawa tubuh Candramaya yang pingsan dengan gaya bridal style. Suasana hati Indrayana benar-benar buruk, dia mendorong pintu kamarnya dengan kakinya. Kleek!! Untungnya Danumaya menemani Adhinatha pulang ke istana karena akan menghadiri pertemuan para petinggi kerajaan Harsa Loka. "Tuan .." panggil Kumala. Gadis itu berdiri di ambang pintu kamarnya. Langkah Indrayana terhenti lalu menoleh dengan tatapan dingin dan bibir yang merapat. Dia benar-benar muak dengan gadis itu. "Ada yang ingin aku katakan," ujar Kumala. Wajah gadis itu menunduk dan meremas kedua tangannya yang gemetar. Dia cukup kaget karena melihat Indrayana membawa Candramaya yang sedang pingsan. Dia kira Candramaya telah p
Candramaya terus memberontak dan berteriak, "Apa yang kamu lakukan!"Indrayana menyeringai, "Meredamkan amarahku!"Candramaya langsung melotot dan terus berteriak, "Aku tidak mau!"Indrayana benar-benar kehilangann akal dan berkata, "Aku butuh tubuhmu bukan persetujuanmu!" Pemuda itu benar-benar tidak peduli, dia terus saja merobek semua kain yang membalut tubuh indah Candramaya hingga polos. Sedangkan dirinya bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana.Indrayana meremas buah dada gadis itu, jangkunnya naik turun seiring dengan tubuhnya yang bergelora. Matanya yang merah penuh nafsu seperti singa yang kelaparan.Air mata Candramaya terus mengalir saat Indrayana mengungkungi tubuhnya. Pemuda itu dengan rakus menghirup ceruk leher jenjang Candramaya tanpa memperdulikan tangisannya.Di perlakukan sekasar itu Candramaya merasa sedih dan sakit hati. Sebagai wanita dia merasa tidak punya harga diri. "Kenapa kamu memperlakukanku seperti pelacur? Apakah aku adalah alat pelampiasan hasra
Indrayana menaruh jari telunjuknya di bibirnya dan memberi isyarat, "Sssstttt!" Indrayana menatap mata hitam gadis itu yang dalam dan menyelaminya. Terdengar deru nafas Candramaya yang mulai tidak beraturan. Dia bahkan mampu mendengar detak jantungnya yang berdebar kencang.Candramaya mengalungkan kedua tangannya di leher Indrayana. Tatapan gadis itu terlihat sayu dan lembut. Bibir keduanya saling bertautan. Saling memberi cinta dan kasih sayang. Dua sejoli itu terbuai dalam mimpi yang indah. Mereka terbakar oleh api cinta yang membara di hati keduanya.Kini yang terdengar hanya suara erangan yang saling bersautan dari keduanya.Kumala terduduk karena kakinya terasa lemas saat mendengar suara rintihan Candramaya. Tatapannya kosong dan hatinya terasa panas dan perih. Dia hanya bisa menelan ludahnya.Setelah selesai, Candramaya berada dalam pelukan pemuda itu. Gadis itu mendongak dan menatap wajah Indrayana yang terlihat begitu tenang saat terpejam. Dia terlihat polos dan menawan."Hmmm
Adi Wijaya terbatuk, "Ohok ..ohok! Mawar hitam sudah sangat meresahkan. Mereka telah terang-terangan menabuh genderang perang kepada kita," ujarnya dengan lemah. Adi Wijaya berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang mulai sesak. Puspita Sari cukup khawatir, melihat tubuh suaminya yang semakin hari semakin melemah. Damayanti Citra tersenyum penuh arti, "Sebentar lagi tua bangka itu akan berakhir," batinnya. Adi Wijaya kembali meneruskan ucapannya sambil menunjuk ke sudut ruangan. Wajahnya mengeras dengan tatapan yang tajam, "Kalian liat algojo itu?" Semua orang mengangguk dan pandangan mereka tertuju pada sosok tinggi kekar dengan wajah dingin, tampak seperti malaikat maut. "Dia akan memenggal siapapun orang yang terdapat bekas telapak tangan Mahapatih Danadyaksa di dadanya," ujar Adi Wijaya. Suasana mulai ramai mereka saling berbicara satu sama lain dan saling melempar tatapan mencurigai. Adi Wijaya melirik Danadyaksa. Orang itu mengangguk dan berdiri lalu berteriak, "
"Jadi rumor itu benar," ujar salah satu punggawa. Mereka saling berbisik dan saling beramsumsi. Setelah melihat orang-orang mulai terpengaruh, Wismaya mengambil kesempatan untuk melancarkan rencananya. Pria itu bersujud, wajahnya mendongak seraya berkata, "Hamba mengharapkan titah untuk mengusut kasus ini kembali, Gusti Prabu!" Deg! Adi Wijaya menelan ludahnya dan jantungnya bergemuruh hebat. Dia tidak menyangka hal yang membuatnya hampir gila kini terulang lagi. Bagaimana bisa Adi Wijaya menurunkan titah yang akan mengancam tahtanya? Itu tidak mungkin. Saat Adi Wijaya hendak mengelak, satu persatu para punggawa ikut bersujud di belakang Wismaya termasuk Aji Suteja dan lainnya. Tentu membuat Adi Wijaya tidak bisa berkutik. Sedangkan Narendra, dia meremas tangan istrinya dengan kuat. Pria pengecut itu mulai kehilangan kendali. Namun Damayanti Citra tetap bersikap tenang. Puspita Sari rasanya ingin pingsan. Dia menyesal melahirkan anak yang tidak berguna sepertinya.
Wismaya menggenggam surat perintah itu dengan erat dan matanya penuh dengan tekad. "Inilah awal pembalasanku yang sesungguhnya. Aku akan membalaskan kematian adikku yang sangat berharga. Dan kalian harus membayar gelar yatim piatu yang kalian berikan pada keponakanku," batin Wismaya. Wismaya mengangkat surat perintah itu dengan kedua tangannya seraya berkata dengan lantang, "Hamba bersumpah tidak akan mengecewakan titah dan harapan Gusti Prabu!" Semua orang berberkata serempak, "Hidup Gusti Prabu Adi Wijaya! Hidup!" Adi Wijaya berbalik badan, dia berjalan menuju singgasananya dengan wajah yang suram. Setiap langkah terasa berat, lantai marmer yang bergitu halus dan kokoh kini seperti hamparan kaca yang tipis. Seakan-akan ketika terinjak, kaca itu akan pecah dan membuatnya jatuh ke dalam jurang. Seruan para punggawanya juga terdengar seperti kutukan baginya. Tenggorokannya terasa tercekik namun saat dia kembali duduk expresinya harus berubah. Adhinatha mengingat nasehat nenekny
"Haha ... " kelakar Adi Wijaya memenuhi ruangan itu. Dia tertawa seperti kesetanan dan matanya bahkan sampai berair. Hingga tawa itu mulai melirih dan meredup, sorot mata Adi Wijaya terlihat dingin. Tangannya meremas gulungan sketsa gambar Arya Balaaditya dan melemparnya ke wajah Wismaya.Bug!!Wismaya tersenyum tipis lalu memungut gulungan itu. Melihat seringai dari orang yang kastanya lebih rendah darinya, membuat mata Adi Wijaya terasa sakit. Darahnya mendidih dan rahangnya mengatup, dia bangkit dari duduknya dan berteriak, "Kalian benar-benar lancang! Rupanya menantuku itu telah mencuci otak kalian hingga berani menentangku sekarang!" Wismaya tertawa lirih, "Kami hanya membawa gambar Arya Balaaditya bukan orangnya."Adi Wijaya berkata dengan gigi bergertak, "Apa mau Kalian?"Wismaya mengangkat pandangannya, ada api yang menyala di matanya. Di sudah tidak peduli dengan hal buruk yang akan mengejarnya nanti, "Hamba harap, Gusti Prabu berhenti ikut campur. Dan bersikaplah selayakny
"Saka ... " panggil Adi Wijaya. Dia kembali menutup pintu lemari dengan tenang. Adi Wijaya berjalan mendekati seorang pria yang hanya berdiri di depan pintu lalu menepuk pundaknya. Saka hanya mendongak, tatapannya datar dan bibirnya terus saja merapat. Dia tidak berekspresi apapun. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Tatapannya yang datar tertuju ada satu buah mata yang terlihat dari celah jendela."Apa kamu sudah menemukan tabibnya?" tanya Adi Wijaya.Sebenarnya di istana ada tabib kerajaan, hanya saja dia ingin menyembunyikan pengobatannya. Sudah beberapa hari dia tidak meminum teh yang selalu di hidangkan. Saat dia tidk sengaja menumpahkannya dan ada seekor kucing peliharaan salah satu selirnya mati karena menjilati bekas tumpahan teh ini. Hingga dia menyadari bahwa ada orang yang selama ini meracuninya.Dia ingin pelaku itu berpikir Adi Wijaya tidak tahu. Jadi dia ingin berobat sembunyi-sembunyi.Saka sadar dari lamunanannya lalu mengangguk.Adi Wijaya tersenyum tipis, "Baiklah,
Seketika Arya Baladitya berhenti, lalu menoleh ke sumber suara. Nafasnya memburu namun tatapannya terlihat liar dan dingin. Ketua bandit itu menelan salivanya dengan kasar, tenggorokannya terasa kering. Bahkan seumur hidupnya dia baru merasakan apa itu rasa takut. Semua anak buahnya tersungkur dengan keadaan babak belur.Dia sekarang berpikir, lebih baik di kejar wanita gila itu sampai ke ujung dunia. Dari pada berhadapan dengan malaikat maut yang menyamar menjadi manusia sederhana.Sungguh para bandit itu merasa merinding saat menatap sepasang mata dingin dan aura hitam yang menyelimuti pemuda berpenampilan sederhana itu.Mereka seketika tobat dan merasa kapok. Apalagi Baladewa tiba-tiba teringat putrinya yang usianya sama dengan Indrayana. Gadis kecil itu dia titipkan pada bibinya. Mata Baladewa mengembun, dia menghawatirkan putri semata wayangnya. Bagaimana jika bibinya meninggal karena sudah tua. Dan sekarang bagaimana dengan nasibnya sekarang."Kami menyerah Tuan!" Semua bandit
"Kami hanya menjalankan perintah Tuan!" jawab salah satu bandit bertubuh tinggi besar dan gagah itu. Penampilannnya berantakan jangkut dan kumisnya panjang membuat wajahnya terlihat menyeramkan. Sedangkan rambutnya di gulung secara asal-asalan. Dia adalah ketua dari kelompok ini. Dan yang lainnya tersenyum remeh melihat dari bawah ke atas. Memperhatikan penampilan pemuda dengan pakaian lusuh dan sederhana. Tubuhnya tinggi dan cukup berisi, namun terlihat lemah. Walaupun terlihat lemah, aura kebangsawanan tetap terlihat.Arya Baladitya menyeringai dengan tatapan datar. "Siapa?" tanya Arya Balaaditya dengan suara rendah."Bukan urusanmu! Lagian kalian akan mati!" Sarkas pria yang berada di sisi sang ketua. Pria itu cukup berani dan angkuh."Humm! Sebaiknya kamu turun ya Nak?" ujar Indrayana sambil membuka kain yang mengikat putranya. "Baik Romo," ujar Indrayana lirih. Anak itu turun dari punggung ayahnya.Arya Balaaditya memeluk anak itu dan berbisik, "Indrayana ... tolong temani hita
"Jangan buang waktu, Tuan. Ayo kita pergi ke tempat itu," ujar Ki Sentot. Pria itu sangat antusias.Sedangkan Ranu Baya terlihat bimbang. Pria itu duduk bersandar dengan dahi mengerut. Dia memang ingin memastikan perkiraannya benar atau tidak. Tapi mengingat keadaan Cempaka. Ranu Baya merasa sangat egois jika meninggalkan gadis yang sudah dia anggap sebagai putrinya.Apalagi gadis itu sudah sangat banyak berkorban untuknya. Selama hampir lima tahun Cempaka masuk ke dalam istana dan menyamar menjadi pelayan agar bisa mendapatkan info tentang Istrinya. Jadi dia tidak bisa pergi meninggalkan Cempaka yang pingsan dan terluka. Apalagi di saat ayahnya sedang menjalankan perintah darinya. "Tuan ... " panggil Ki Sentot membuyarkan lamunan Ranu Baya."Bagaimana dengan keadaan Cempaka? Baladewa tidak di sini," ujar Ranu Baya. Ada kilatan kecemasan yang terlintas di matanya yang teduh.Darma menyadari kegelisahan Ranu Baya. Dia tahu karakter pria itu, dia sangat bertanggung jawab dan hatinya be
Saka tertegun sejenak, dia menjatuhkan pedangnya dan menghampiri gadis itu dengan langkah yang berat. Reflek Cempaka menyeret tubuhnya ke belakang dengan wajah pucat. Dia benar-benar ketakutan namun seketika berhenti saat mata dingin pria itu meneteskan air mata. Saka berjongkok dan membuka penutup wajah gadis itu dengan hati-hati. Saka terperangah, dia terduduk di tanah dengan lemas. Hampir saja dia membunuh gadis yang dia cintai. Hanya gadis ini yang menatapnya dengan lembut dan hangat. Wajah gadis itu mendongak, "Tuan ... " panggil Cempaka dengan lirih dan ragu. Tatapan dingin Saka melembut, dia menatap lengan Cempaka yang berdarah. Ada sebuah penyesalan di matanya. Hati Cempaka terenyuh dan berdebar kencang saat pria itu memeluknya dengan erat. Tanpa sadar air matanya menetes. Tangannya tergantung di udara, dia ingin membalas pelukan itu namun dia urungkan. Hingga tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berjalan mendekat. Cahaya obor itu samar-samar terlihat dari arah i
"Saka ... " panggil Adi Wijaya. Dia kembali menutup pintu lemari dengan tenang. Adi Wijaya berjalan mendekati seorang pria yang hanya berdiri di depan pintu lalu menepuk pundaknya. Saka hanya mendongak, tatapannya datar dan bibirnya terus saja merapat. Dia tidak berekspresi apapun. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Tatapannya yang datar tertuju ada satu buah mata yang terlihat dari celah jendela."Apa kamu sudah menemukan tabibnya?" tanya Adi Wijaya.Sebenarnya di istana ada tabib kerajaan, hanya saja dia ingin menyembunyikan pengobatannya. Sudah beberapa hari dia tidak meminum teh yang selalu di hidangkan. Saat dia tidk sengaja menumpahkannya dan ada seekor kucing peliharaan salah satu selirnya mati karena menjilati bekas tumpahan teh ini. Hingga dia menyadari bahwa ada orang yang selama ini meracuninya.Dia ingin pelaku itu berpikir Adi Wijaya tidak tahu. Jadi dia ingin berobat sembunyi-sembunyi.Saka sadar dari lamunanannya lalu mengangguk.Adi Wijaya tersenyum tipis, "Baiklah,
"Haha ... " kelakar Adi Wijaya memenuhi ruangan itu. Dia tertawa seperti kesetanan dan matanya bahkan sampai berair. Hingga tawa itu mulai melirih dan meredup, sorot mata Adi Wijaya terlihat dingin. Tangannya meremas gulungan sketsa gambar Arya Balaaditya dan melemparnya ke wajah Wismaya.Bug!!Wismaya tersenyum tipis lalu memungut gulungan itu. Melihat seringai dari orang yang kastanya lebih rendah darinya, membuat mata Adi Wijaya terasa sakit. Darahnya mendidih dan rahangnya mengatup, dia bangkit dari duduknya dan berteriak, "Kalian benar-benar lancang! Rupanya menantuku itu telah mencuci otak kalian hingga berani menentangku sekarang!" Wismaya tertawa lirih, "Kami hanya membawa gambar Arya Balaaditya bukan orangnya."Adi Wijaya berkata dengan gigi bergertak, "Apa mau Kalian?"Wismaya mengangkat pandangannya, ada api yang menyala di matanya. Di sudah tidak peduli dengan hal buruk yang akan mengejarnya nanti, "Hamba harap, Gusti Prabu berhenti ikut campur. Dan bersikaplah selayakny
Wismaya menggenggam surat perintah itu dengan erat dan matanya penuh dengan tekad. "Inilah awal pembalasanku yang sesungguhnya. Aku akan membalaskan kematian adikku yang sangat berharga. Dan kalian harus membayar gelar yatim piatu yang kalian berikan pada keponakanku," batin Wismaya. Wismaya mengangkat surat perintah itu dengan kedua tangannya seraya berkata dengan lantang, "Hamba bersumpah tidak akan mengecewakan titah dan harapan Gusti Prabu!" Semua orang berberkata serempak, "Hidup Gusti Prabu Adi Wijaya! Hidup!" Adi Wijaya berbalik badan, dia berjalan menuju singgasananya dengan wajah yang suram. Setiap langkah terasa berat, lantai marmer yang bergitu halus dan kokoh kini seperti hamparan kaca yang tipis. Seakan-akan ketika terinjak, kaca itu akan pecah dan membuatnya jatuh ke dalam jurang. Seruan para punggawanya juga terdengar seperti kutukan baginya. Tenggorokannya terasa tercekik namun saat dia kembali duduk expresinya harus berubah. Adhinatha mengingat nasehat nenekny
"Jadi rumor itu benar," ujar salah satu punggawa. Mereka saling berbisik dan saling beramsumsi. Setelah melihat orang-orang mulai terpengaruh, Wismaya mengambil kesempatan untuk melancarkan rencananya. Pria itu bersujud, wajahnya mendongak seraya berkata, "Hamba mengharapkan titah untuk mengusut kasus ini kembali, Gusti Prabu!" Deg! Adi Wijaya menelan ludahnya dan jantungnya bergemuruh hebat. Dia tidak menyangka hal yang membuatnya hampir gila kini terulang lagi. Bagaimana bisa Adi Wijaya menurunkan titah yang akan mengancam tahtanya? Itu tidak mungkin. Saat Adi Wijaya hendak mengelak, satu persatu para punggawa ikut bersujud di belakang Wismaya termasuk Aji Suteja dan lainnya. Tentu membuat Adi Wijaya tidak bisa berkutik. Sedangkan Narendra, dia meremas tangan istrinya dengan kuat. Pria pengecut itu mulai kehilangan kendali. Namun Damayanti Citra tetap bersikap tenang. Puspita Sari rasanya ingin pingsan. Dia menyesal melahirkan anak yang tidak berguna sepertinya.
Adi Wijaya terbatuk, "Ohok ..ohok! Mawar hitam sudah sangat meresahkan. Mereka telah terang-terangan menabuh genderang perang kepada kita," ujarnya dengan lemah. Adi Wijaya berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang mulai sesak. Puspita Sari cukup khawatir, melihat tubuh suaminya yang semakin hari semakin melemah. Damayanti Citra tersenyum penuh arti, "Sebentar lagi tua bangka itu akan berakhir," batinnya. Adi Wijaya kembali meneruskan ucapannya sambil menunjuk ke sudut ruangan. Wajahnya mengeras dengan tatapan yang tajam, "Kalian liat algojo itu?" Semua orang mengangguk dan pandangan mereka tertuju pada sosok tinggi kekar dengan wajah dingin, tampak seperti malaikat maut. "Dia akan memenggal siapapun orang yang terdapat bekas telapak tangan Mahapatih Danadyaksa di dadanya," ujar Adi Wijaya. Suasana mulai ramai mereka saling berbicara satu sama lain dan saling melempar tatapan mencurigai. Adi Wijaya melirik Danadyaksa. Orang itu mengangguk dan berdiri lalu berteriak, "