Malam itu, Bayantika menginstruksikan pasukannya untuk pindah ke bagian hutan di sebelah selatan dari posisi perkemahan prajurit Danadyaksa. Prajurit khusus itu berpencar dalam dua kelompok untuk mengamankan area tersebut, baik dari kemungkinan mata-mata musuh, maupun dari kedatangan para dedemit.Angin yang berhembus dari arah selatan membawa terbang suara riuh dan keributan dari para dedemit yang mereka bantai. Danadyaksa yang sudah kadung ngeri dengan keberadaan mereka menjadi semakin ketakutan.“Ada apa, Panglima? Sepertinya Panglima terlihat gelisah,” tanya Danuwendra, satu orang Senopati yang masih menemaninya di depan tenda.“Aku hanya sedikit kedinginan,” jawab Danadyaksa, sedikit mengusap-usap bahunya.Setelah itu dia pergi mendekat ke arah api unggun dan bergabung dengan sebagian prajurit yang berkumpul di sana. Setidaknya, gelak tawa dari candaan prajurit itu bisa menyamarkan suara kegaduhan para dedemit yang masih terdengar oleh Danadyaksa.Para prajurit itu nampak abai, k
Bayantika memeriksa kondisi satu mayat dengan seksama. Dia memperhatikan kondisi leher mayat yang terpenggal. Leher itu hancur begitu kasar, tak terlihat seperti dipenggal dengan bilah pedang. Namun dia cukup ragu, mengingat mayat tersebut sudah berumur beberapa hari yang lewat.Mereka terus berjalan pelan memasuki benteng tersebut. Benar-benar tak ada seorang pun di sana. Hanya ada beberapa burung gagak nampak abai mematuk bangkai dari mayat-mayat yang berserakan. Ramainya buruk gagak itu menandakan kalau tempat itu benar-benar sudah ditelantarkan beberapa hari.Hampir di seluruh sudut benteng, ada mayat bergelimpangan. Kondisi mereka semua sama tanpa kepala. Sudah cukup jauh mereka memeriksa tempat itu, mereka masih tak menemukan satu pun kepala dari prajurit-prajurit tersebut.Bayantika pun membagi pasukan itu dengan berpasang-pasangan, untuk memeriksa seluruh bagian benteng.“Segera periksa semua ruangan!” serunya.Mereka pun langsung berpencar memeriksa seluruh ruangan di lantai
Terlalu banyak hal yang sulit dicerna oleh Bayantika saat ini. Bendera Kerajaan Telunggung yang berkibar, mayat-mayat bergelimpangan tanpa kepala, serta keberadaan lusinan Genderuwo. Dia menjadi bingung, siapa sebenarnya yang menyerang benteng itu lebih dulu, dan siapa sebenarnya yang membantai para prajurit itu. “Hal yang paling mungkin untuk aku cerna saat ini, kemungkinan benteng ini diserang lebih dulu oleh prajurit dari Telunggung. Baru kemudian para genderuwo itu mendatangi tempat ini dan memakan kepala para prajurit yang telah mati,” jelas Bayantika mencoba merasionalisasi keadaan tempat itu. “Masalahnya, sejauh ini kita hanya menemukan prajurit Kerajaan Majaya saja yang tewas,” sanggah Arifin. “Mungkin saja mereka sudah lebih dulu menelantarkan benteng ini sebelum kedatangan para genderuwo ini,” balas Rangkahasa. Bayantika ke
Bayantika bergegas menghampirinya, berharap dia bisa menggali informasi yang lebih banyak dari satu orang prajurit itu.Hanya saja kondisi prajurit itu begitu lemah setengah sadar, karena sudah cukup lama terkurung di dalam penjara. Tak ada yang tahu pasti sudah berapa lama dia terkurung sendirian di dalam sana.“Hey, sadarlah!” seru Diandra, prajurit pertama yang membantunya keluar dari penjara tersebut.Dia terus menepuk-nepuk pipi prajurit itu pelan. Meski prajurit itu terlihat memberikan reaksi, dia nampak begitu tak berdaya hanya untuk berbicara. Bibirnya begitu kering dan tatapanya juga sayu. Nyaris tak ada hasrat hidup terpancar dari matanya.“Gen, genderuwo...” sahutnya lirih, berusaha memberitahu mereka soal apa yang terjadi pada benteng tersebut.Tentu Bayantika tak juga terlalu kaget dengan
Pikir mereka, dedemit seperti genderuwo hanya akan keluar di saat gelap saja. Namun sekarang benteng itu sudah diserbu oleh lusinan genderuwo ketika hari baru beranjak sore.Memang cuaca saat itu tak juga begitu terik, dengan awan cukup tebal walau belum ada juga hujan yang turun. Seakan hari berjalan terasa begitu cepat, padahal malam belum akan datang dalam waktu dekat.Namun suasana di Benteng Kalaweji sudah begitu suram dengan kedatangan mereka.“Itu pasti dedemit yang tadi membawa temannya datang ke sini,” gumam Ekawira dengan ekspresi wajahnya yang masih pucat dan jari-jari tangan yang menggigil memegangi kepalanya.Saat perhatiannya teralihkan oleh barisan para genderuwo yang bertengger di pagar benteng, satu dari tiga genderuwo yang menyibukkan Rangkahsa di koridor lantai dua itu merangkak menyerang Ekawira.Rangkahasa mengayunkan p
Para genderuwo terus mendekati mereka seperti mengintimidasi Bayantika dan para Prajurit Khusus Kalongrolas yang dipimpinnya. Nahas mereka bergemetaran dengan bibir yang ternganga karena ukuran taring mereka yang panjang dan besar. Mereka terus mendekat sedikit membungkuk dengan aura yang mencekam, dengan tatap mata merah yang seakan menyala-nyala. Semua prajurit itu bergerak mundur menyeret kaki mereka, nampak begitu waspada dengan kedua tangan memegangi pedang yang terhunus ke depan. Bayantika yang berada paling depan, mulai mengkhawatirkan para prajurit di belakangnya. “Bagaimana sekarang, Tuan Senopati?” tanya Arifin berbisik yang saat ini berada paling dekat denganya. Namun Bayantika diam saja, belum bisa memberikan solusi karena masih memikirkan semua peluang dan resiko yang ada saat ini. Lagi pula, dia sadar dua orang prajuritnya tidak dalam kondisi bisa ikut bertarung karena sedang memapah satu prajurit yang baru mereka selamatkan. Sementara dia juga masih meragukan kondis
Beberapa saat kemudian, dia berhasil menyayat lengan dua genderuwo itu beberapa kali, membuat mereka sedikit menjauh. Bayantika pun menoleh ke arah Arifin, dan langsung datang membantunya menghadapi satu genderuwo yang menyibukkannya. Bayantika menebas kepalanya dari belakang. Sejurus kemudian Arifin melancarkan serangan kombinasi yang begitu cepat, menyayat tendon otot di bawah lutut dan paha di kedua kaki dari genderuwo itu dengan dua kerambitnya. Baru kemudian Bayantika menikamkan pedangnya beberapa kali pada bagian pundak genderuwo itu dari belakang sembari bergelantungan di punggungnya. Sementara itu, Arifin masih terus menusukkan dua kerambitnya ke tubuh Genderuwo itu bertubi-tubi dari depan. “Senopati, awas!” teriak Arifin mengingatkan. Bayantika menoleh ke kirinya, dan satu mulut genderuwo menganga begitu lebar hendak menerkam kepalanya dari arah samping. Bayantika segera mencabut pedangnya dan menahan terkaman itu dengan pedang tersebut. Dia terdorong jatuh dan genderuwo
Tak ada lagi yang menahan, Daiva pun ikut bergabung dengan yang lainnya menghadapi para genderuwo itu. Ketika dia memiliki kesempatan untuk mendekati Senopati Bayantika, Daiva segera memberitahukan soal nasib dari prajurit yang hendak mereka selamatkan itu. Bayantika menoleh sesaat ke belakang dan mendapati prajurit itu sudah tergeletak tak lagi bernyawa, dengan perut basah bersimbah darah. “Aku akan mencoba memancing perhatian mereka. Segera ajak yang lainnya untuk pergi lewat pagar benteng,” seru Bayantika berbisik memberikan instruksi pada Daiva. Sejurus kemudian, mereka kembali berpencar. Daiva pergi mendekati rekan-rekannya yan lain. Sementara itu, Bayantika datang membantu Rangkahasa untuk menghadapi para genderuwo di dekat gerbang benteng. Setelah mendapatkan sedikit kesempatan, dia pun berbisik meminta bantuan Rangkahasa untuk memancing perhatian para genderuwo itu keluar dari benteng. “Kita harus mengalihkan perhatian mereka agar yang lain bisa pergi,” terang Bayantika.
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann