Melviano
Sejak berada di dalam mobil menuju bandara, hingga kami tiba di pulau Rangali, Maldives, Sasi tidak lagi menyinggung tentang Kalila dan Vidya. Aku hanya ingin fokus dengan liburan untuk pertama kalinya setelah Kalila meninggal. Ya pasca istriku dipanggil Tuhan, menyibukkan diri dengan pekerjaan adalah pilihan terbaik agar bisa mengalihkan pikiran.
Maafkan jika aku mulai egois sekarang, Kal. Aku hanya ingin mencoba bahagia dengan gadis itu, batinku berusaha menghalau rasa bersalah.
Sekarang Sasi berdiri di balkon resort yang dipilihkan oleh Mama. Ternyata beliau benar-benar menyiapkan semua untuk bulan madu kami.
“Udah lama banget nggak lihat laut biru jernih kayak gini. Setiap kali melihat laut, pikiran jadi lebih tenang,” cetusnya
SasikiranaHari ini, aku melihat sisi berbeda dari Bang Vian. Menjelang matahari terbenam, dia begitu manis. Diri ini bisa merasakan kalau sebenarnya pria yang dikenal dingin dan kejam oleh karyawan, ternyata memiliki sifat penyayang dan hangat.Begitu matahari menenggelamkan diri seutuhnya, kami kembali masuk ke kamar. Setelah membersihkan diri, aku dan Bang Vian bersiap makan malam. Bu Fani benar-benar mempersiapkan semuanya. Coba kalian bayangkan kamar yang kami tempati benar-benar private. Nggak seorangpun yang bisa melihat apa yang kami lakukan di balkon.Emangnya mau ngapain sih? bisik hatiku.Berenang pake bikini dong,
Melviano Seperti janji yang telah diucapkan tadi malam, selesai sarapan aku mewujudkan keinginan Sasi yang lain yaitu berjalan di pinggir pantai. Istriku tampak bahagia ketika berlarian di atas pasir putih yang begitu bersih. Tawa riang menghiasi parasnya, sehingga tampak begitu ceria dan … cantik. Ya, aku harus mengakuinya. Setiap hari, Sasi terlihat semakin cantik dan menarik. Itu membuatku sulit untuk mengendalikan diri. Contohnya tadi malam. Susana kamar dengan penerangan seadanya, ditambah lagi dengan adegan film dewasa membuatku nyaris kehilangan kontrol. Keinginan untuk menyentuh istriku terbesit begitu saja. Terkadang berpikir, persetan dengan perjanjian itu. Tapi sebagai pria yang memegang teguh komitmen, aku tidak akan mengingkarinya kecuali jika Sasi mengizinkan. Sebisa mungkin harus berusaha mengendalikan diri.
SasikiranaJantung ini berdegup dengan kencang. Ya ampun, apakah ini mimpi? Aku baru saja berciuman penuh hasrat dengan seorang Melviano Stanley, pria yang diidam-idamkan banyak wanita. Masih terasa manis bibirnya di lidahku dan aroma segar napasnya di hidungku.Kalian jangan berpikiran kalau aku mulai jatuh cinta kepadanya. Diriku hanya terhipnotis dengan pesona dan kharisma Bang Vian saja. Apalagi kami jatuh berguling-guling di atas pasir, seperti film romantis yang pernah ditonton. Terbawa suasana, ya, lebih tepatnya begitu. Mungkin dia juga demikian. Kami sama-sama terbawa suasana romantis yang disuguhkan oleh pantai salah satu pulau di Maldives ini.Aku kemudian pasrah ketika Bang Vian menggendong tubuh ini. Mungkin akan membiarkan apapun yang dilakukannya setelah berciuman tadi.Ketika
MelvianoSasi terkejut bukan main ketika sadar aku berdiri di belakangnya. Dia baru saja meletakkan gagang telepon. Entah siapa yang dihubunginya, sehingga istriku mengucapkan sesuatu yang membuat keningku berkerut.“Kamu tadi telepon siapa?” tanyaku lagi ketika tidak mendapatkan jawaban darinya.Aku tahu persis dia tidak kenal siapa pun di sini. Mengenai perkataannya tentang ikan nemo tadi, tidak bisa dipercaya begitu saja. Sasi seperti menyimpan sesuatu. Ketika didesak, dia selalu berkilah kalau aku tidak akan percaya dengan perkataannya.Rentetan kejadian mulai dari Sasi pingsan saat malam pertama membawanya ke rumah, ketakutannya di dalam lift, hingga perkataan yang baru saja didengar membuatku yakin bahwa dia menyimpan sesuatu dari diri ini.
SasikiranaMalam ini tidurku nyenyak lagi. Bukan berarti nggak ada makhluk halus di sini, tapi karena Bang Vian. Setelah dipikir-pikir, aku mulai bisa tidur lelap semenjak dia ada di sampingku. Senyum mengambang di wajah ketika melihat Bang Vian sedang menatapku.“Pagi, Bang. Maaf saya selalu telat bangun,” gumamku sambil mengerjapkan mata.“Nggak pa-pa. Saya nggak tega bangunkan kamu karena nyenyak banget.”“Padahal sebelumnya saya nggak begini loh. Baru belakangan bisa tidur dengan nyaman sampai nggak bangun sebelum pagi,” ungkapku jujur.Dia menganggukkan kepala, kemudian bangkit ke posisi duduk.“Saya mau mandi dulu, setelah itu giliran kamu yang mandi. Sel
MelvianoAku semakin tidak bisa mengendalikan diri setiap kali berdekatan dengan Sasi. Kenapa bisa berubah dalam waktu singkat? Bahkan selama menduda lima tahun, tak pernah terbesit di pikiran untuk bermain wanita. Diri ini masih bisa meredam hasrat yang tumbuh.Selama tiga hari ini, aku jarang sekali memikirkan Kalila. Apakah itu artinya Sasi sudah mulai masuk ke hatiku? Apakah diriku mulai move on dari Kalila? Entahlah.Mengenai telepon resepsionis tadi pagi, masih menjadi tanda tanya bagiku. Bagaimana Sasi bisa tahu informasi seakurat itu? Satu-satunya penjelasan yang menurutku masuk akal adalah dia bisa berkomunikasi dengan ikan. Mungkin saja karena ia tinggal di pinggir pantai, sehingga sering mengajak ikan berbicara. Ada banyak juga pawang binata
SasikiranaSedih banget lihat Ibu tadi. Dia sampai menangis waktu diberi tahu tentang roh putrinya yang menemuiku kemarin. Untungnya dia percaya dengan apa yang kuceritakan. Ibu itu juga pengin lihat roh anaknya, tapi sayang nggak bisa.“Bang,” panggilku kepada Bang Vian yang diam saja sejak tiba di resort.“Ya?” sahutnya.“Saya sedih banget.” Tangisku pecah kembali teringat raut wajah gadis cilik dan juga ibunya tadi.“Ssttt … udah, Dek.” Bang Vian menarikku ke dalam pelukan. “Sekarang jangan sedih lagi. Mereka selamat dan sebentar lagi jasad anak itu juga akan ditemukan.”Ya ampun, ini dada kok nyaman banget ya buat bersandar. Rasanya
MelvianoKetika mata mulai terbuka, aku bisa merasakan Sasi menggeliat di dalam pelukan. Setiap malam ia selalu memelukku seperti ini. Kalian jangan berpikir kami telah melakukannya. Hingga kembali ke Jakarta setelah bulan madu selama tujuh hari, kami selalu gagal merealisasikan niat untuk menyatukan diri.Keanehan selalu terjadi ketika aku ingin mencumbunya. Sasi menguap, kemudian tertidur lelap. Dia tidak berpura-pura, karena deru napas khas orang tidur meluncur begitu saja dari sela hidungnya. Mungkin aku memang harus bersabar.Meski terlalu banyak tanda tanya di kepala ini mengenai kejadian saat di Maldives, tapi aku mengurungkan niat untuk bertanya lebih detail kepadanya. Paling tidak, sifat sosialnya yang tinggi membuatku mulai kagum dengan istri yang baru dinikahi hampir sepuluh hari yang lalu. Selain cantik, dia juga rendah hati.
MelvianoSatu bulan kemudianRentetan kejadian bulan lalu membuatku tidak bisa bernapas lega. Bayangkan apa yang dihadapi tidaklah mudah. Mulai dari kenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus, Tante Diana yang ternyata ibu kandung Sasi, hingga Kalila yang disuruh oleh Om Reino menjadi mata-mata. Belum lagi kematian Papa yang tidak wajar. Mungkin karena itulah roh beliau masih berada di rumah ini.“Kayaknya kita masih punya PR deh, Sayang,” kataku kepada Sasi ketika kami bersiap untuk tidur.“Apa, Bang?” Sasi membuka mata yang sempat terpejam sebentar.“Bantu Papa pergi ke tempat yang seharusnya.”Sasi tampak semringah, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Be
Sasikirana “Aku membesarkanmu agar bisa bermanfaat suatu hari nanti, Kalila.” Terdengar suara serak seorang pria. Siapa itu? Pandanganku beralih melihat dua orang yang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana aku sekarang berada? Rumah ini begitu asing bagiku. Mata menyipit ketika ingin fokus melihat pria dan wanita yang sedang berbicara di ruangan itu. Kalau nggak salah dengar tadi, pria tersebut menyebut nama Kalila. Seketika diri ini terkesiap saat melihat almarhumah istri suamiku duduk berhadapan dengan pria paruh baya, tapi masih tampak gagah. “Maaf, Pa. Kalila nggak bisa lagi meneruskan rencana Papa. Apalagi sekarang sedang hamil,” lirih Kalila dengan kepala tertunduk melihat perut sendiri. “Sudah berapa kali kuperingatkan. Janga
Melviano Tak pernah kubayangkan akan berjumpa lagi dengan Kalila meski melalui perantara Sasi. Mendengar bagaimana cara bicaranya saat ini, sudah jelas almarhumah istriku yang berbicara sekarang. Terutama dari cara Sasi memanggilku ‘Vi’. Rasa rindu terhadap Kalila menjadi terobati meski tidak bisa melihat wajahnya. “Vidya … vidya.” Kalila yang berada di dalam tubuh Sasi berdecak berkali-kali. “Gue heran kenapa sih harus pendam cinta sekian lama, tanpa mengutarakannya?” “Bayangin lo jatuh cinta sama suami gue selama belasan tahun, tapi nggak berani mengatakannya.” Kalila menggigit bibir bawah Sasi. Dia sering begini semasa hidup, menggigit bibir sendiri sebelum meneruskan perkataan. Apa? Vidya sudah lama jatuh cinta denganku? Bahkan dua belas tahun memendamnya dalam hati?
Sasikirana“Sasi gawat!!” Terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga beberapa hari belakangan. Siapa lagi jika bukan roh Kalila.Dia datang tiba-tiba ketika aku mempersiapkan diri untuk menerima materi yang diberikan oleh instruktur. Sesuai dengan perkataan Bang Vian, aku disuruh ikut pelatihan manajemen sebelum diberikan jabatan strategis di Liburan.com.“Kenapa sih Mbak? Ngagetin aja,” protesku mengelus dada. Beruntung instruktur sedang keluar sebentar, sehingga bisa berbicara dengan Kalila.Paras Kalila tampak begitu panik. Dadanya naik turun bukan karena bernapas (roh nggak ada yang napas hahaha), tapi seperti menahan marah.“Vidya coba godain Vian. Buruan naik ke lantai lima belas,” suruhnya nggak ten
MelvianoFakta demi fakta tentang Kalila yang belum diketahui membuatku terkejut bukan main. Tak hanya itu, rasa bersalah muncul seketika di dalam hati, menyadari diri ini lengah sampai tidak mengetahui dirinya sedang hamil sebelum kecelakaan terjadi.Belum hilang syok yang dirasakan saat mendengar Kalila hamil, sekarang ada hal lain lagi yang tak kalah mengejutkan. Menurut cerita Sasi, almarhumah istriku itu meninggal secara tidak wajar. Bukan karena kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya, melainkan dibunuh.“Detailnya, Abang bisa tanyakan langsung sama Mbak Kalila nanti. Nanti Abang nggak percaya dengan apa yang saya katakan,” ujar Sasi tadi malam.Sasi menolak untuk menceritakan penyebab pecahnya hubungan persahabatan Kalila dan Vidya. Dia khawatir jika aku tidak percaya de
SasikiranaPagi ini aku dibikin kaget dengan dua fakta. Pertama, Bang Vian yang masih berada di luar flat sejak kemarin siang. Kedua, pernyataan cintanya.Dia mencintaiku? Astaga! Apa aku sedang bermimpi? Jika pun benar, semoga nggak pernah terbangun lagi dari tidur ini.Nggak hanya itu, Bang Vian sampai mengemis agar aku nggak meninggalkannya. Sumpah demi apa, seorang Melviano mengiba dan memohon kepadaku? Sampai mengatakan rela kehilangan harta kekayaan, asal aku tetap bersama dengannya. Seberharga itukah diriku?Setelah melihat kesungguhan suamiku, akhirnya hati ini luluh juga. Kalian tahu kalau aku lemah jika ada yang memelas, ‘kan?Bang Vian melangkah
MelvianoBagai orang bodoh, aku menunggu Sasi di depan flat yang dulu ditempati oleh Kalila. Ternyata istriku ada di sini. Sudah pasti roh almarhumah istriku yang membawanya ke sini, karena Sasi tidak kenal dengan keluarga Kalila.Jujur, situasi seperti ini membuat canggung sekaligus bingung. Bagaimana tidak?! Roh almarhumah istriku dan istriku yang sekarang pasti sedang berada di dalam flat. Aku yakin Kalila juga yang bersama dengan Sasi di restoran itu. Kemungkinan dia tahu tentang Vidya dari Kalila. Apakah aku menjadi penyebab persahabatan mereka rusak?Sejak tadi malam, aku berusaha untuk terjaga. Meski terasa lapar dan haus, tetap saja diri ini enggan beranjak d
SasikiranaApaan sih? Bang Vian mau mengancamku? Jika benar, maka itu nggak akan pernah bisa membuatku kembali ke rumah keluarga Stanley.“Turuti aja kemauan Vian, Sasi,” saran Kalila sebelum aku merespons.Aku menggeleng tegas. “Aku udah bilang sama Mbak, ‘kan?”Kening Bang Vian berkerut bingung ketika aku menjawab perkataan Kalila.“Kamu ngomong sama siapa, Dek?” tanyanya heran.“Bukan urusan Abang,” sahutku ketus seraya berlalu pergi dari hadapannya.Sekarang akan kutunjukkan siapa Sasikirana sebenarnya. Seorang wanita yang berasal dari keluarga miskin, tapi memiliki harga diri yang tinggi. Jika sebel
MelvianoSejak mendapatkan pesan misterius dari nomor tidak dikenal, perasaanku mendadak gelisah. Apa maksudnya orang itu mengatakan Sasi berselingkuh? Benarkah? Rasanya tidak mungkin.Setelah perang batin berjam-jam, akhirnya kuputuskan pergi ke restoran yang dimaksud oleh si pengirim. Bermodalkan jaket hoodie yang kupinjam dari Michael, aku pergi ke tempat tersebut.Begitu tiba di restoran, aku langsung melihat Sasi duduk di kursi paling ujung merapat ke dinding. Ternyata pesan yang kuterima benar, istriku berada di sana. Namun sepertinya dia tidak sendirian, dia tampak sedang berbicara entah dengan siapa. Apakah dia bersama dengan roh sekarang? Mungkinkah Kalila? Aku menjadi penasaran.Beruntung aku meng