“Dan, aku mau ngajak May pergi sebentar. Ada sesuatu yang pengen aku beli. Nanti aku antar dia pulang, kok. Nggak apa-apa, ‘kan?” ucap Ariadna. Dia meminta izin kepada Daniel–suami May sekaligus koki di restorannya.
Sang koki tengah duduk di salah satu meja restoran yang kosong. Hampir semuanya kosong. Tak ada pembeli.“Eh, mau ke mana, Ar?” May nampak bingung. Dia pun tidak tahu dengan rencana Ariadna yang mendadak.“Nanti kamu tahu sendiri. Aku lagi malas pergi sendirian,” jawab Ariadna.Daniel tidak keberatan. Kepalanya mengangguk beberapa kali. “Oke. May, nanti kabarin aku, ya!” pesannya pada sang istri.“Iya, Mas. Pasti.”“Kita tutup restorannya dua jam lagi. Waktu jam istirahat. Aku yakin nggak akan ada pembeli setelah lewat jam dua belas. Sama kayak kemarin-kemarin. Nggak usah buka lama-lama. Cuma buang waktu," pinta Ariadna sambil mengulurkan kunci utama restoran kepada koki kepercayaannya.Wanita itu mengambil tas dan jaketnya di kantor dan menunggu di depan restoran. May masih ganti pakaian."Hari ini cuma ada lima pembeli. Keuntungan sedikit. Padahal banner diskonku masih ada," ucap Ariadna sedih.Perempuan itu duduk di tangga depan restorannya sambil mengamati spanduk diskon 20% yang ia pasang di atas jendela.Tidak ada pengaruhnya."Kenapa tiba-tiba bisa begini, ya."Usaha Ariadna untuk mengembangkan restorannya bukan hal yang mudah. Apalagi, tempat itu peninggalan kakek-neneknya."Kalau sampai bangkrut, pasti kakek dan nenek kecewa," ucapnya lirih.Tak terasa, air mata Ariadna timbul dan meluncur di atas pipinya yang mulus. Pedih hatinya melihat kesuksesan milik orang lain yang ada di seberang mata.Laki-laki tampan tadi masih di sana dan mengatur antrean. Sambil menangis, Ariadna bangkit dan berjalan ke tepi jalan. Amarahnya mulai memuncak. Kesal."Goblooook! Rumah Makan Padang goblok!" teriaknya kencang.Suaranya menarik perhatian orang-orang di seberang. Antrean pembeli berbisik-bisik keheranan."Budak setaaan! Rumah makan pakai pesugihan!" teriak Ariadna lagi.Karena sudah kalap, satu tangan Ariadna meraih batu kerikil yang ada di samping kakinya.Tak!Dilemparnya hingga mengenai kaca bertuliskan RM. Padang Jaya."Rumah makan curang! Mana bosmu! Suruh ke sini! Suruh bosmu keluar!" teriak Ariadna untuk ketiga kalinya. Sudah seperti orang stres.Si pria tampan bernama William itu memandang lawannya dengan penuh kebencian, bersama dengan kawannya Tami."Itu siapa, Will?" tanya Tami penasaran.William menggeleng. "Nggak tahu. Mungkin pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Biarin aja," jawabnya."Nggak bisa, dong! Sampai lempar-lempar begitu! Aku telepon polisi, ya?" pinta Tami jengkel.William membalas, "Jangan dulu. Mending kita fokus ngatur antrean biar nggak terpengaruh sama orang stres itu. Kapan-kapan aku bakal balas kelakuannya!"Tak membantah, Tami pun mengiyakan dan memantau barisan bersama William.Keduanya pun nimbrung dengan para pembeli yang sibuk menggosip tentang kebrutalan Ariadna.Tangisan Ariadna semakin tak terkendali. Ia tersedu sambil terus melempari kerikil. Benci rasanya. Serasa dikhianati hanya karena kalah bersaing."Satpam goblok! Mana bosmu! Panggil ke sini! Panggil!" pekik Ariadna terus menerus."Pergi atau kami panggil polisi!" balas William sama lantangnya.Sebelum si wanita melempar kerikil untuk yang ke sekian kalinya, May sudah muncul dari belakang."Ar! Stop! Jangan lempar-lempar! Kamu bisa dilaporin!" teriak May sembari menarik pundak temannya agar menjauh dari tepi jalan.Sejenak Ariadna menangis sambil digandeng May. Keduanya beralih dan duduk di dekat parkiran sepeda motor."Udah, May. Jangan terlalu dipikirin. Kalau kamu gegabah, bisa-bisa kamu yang kena masalah," tegur May.Ariadna belum mau berbicara. Sambil terisak, sosok manis itu beranjak dan menghampiri sepeda motornya. Tak lupa dengan tujuannya bersama May."Kita pergi sekarang aja," ucap Ariadna sambil tergugu."Kamu nggak apa-apa nyetir di depan? Apa aku aja yang bawa motornya?" tawar si pelayan."Nggak usah. Ayo naik."Mereka melaju kencang menuju tempat yang Ariadna inginkan. Selama perjalanan, si bos cantik masih menangis. May pun tidak berani mengajak bicara.Sepeda motor Ariadna melaju selama setengah jam dan berhenti di depan bangunan besar yang sudah tidak asing lagi.Sebuah gedung berwarna putih besar yang penuh dengan manusia-manusia bahagia.May mengamati sekeliling saat tubuhnya sudah turun dari sepeda motor. Sedangkan sahabatnya itu, masih sibuk mengatur kendaraannya agar terparkir dengan rapi sesuai pembatas yang dipasang.“Super Mall?” May keheranan.“Iya."“Kamu mau beli apa di supermarket?” tanya May memastikan.“Aku … mau ke arena bermain anak-anak! Mau mandi bola! Mau main perosotan! Mau lompat-lompat!” ujar Ariadna dengan suara lantang."Ha?" May kebingungan.Tiba-tiba, dua pelupuk mata gadis berambut ikal itu diisi oleh air mata lagi.“Aku stres, May! Rasanya udah mau gila mikirin restoranku!” sedu Ariadna. Tangisannya semakin dalam dan pilu. Sebelah tangannya mengusap wajah dengan maksud menghapus air mata. Namun, tangisannya justru semakin deras.“Udah, udah, Ar. Kamu nggak sendirian, kok. Ada aku, ada Mas Daniel. Kita semua berjuang bersama-sama. Oke? Udah, udah. Yuk, kita main di arena bermain. Kita main capit boneka sampai sore. Gimana kalau nyanyi aja? Di Game Zone kan ada bilik karaoke, tuh. Mau?” tawar May. Dia peluk teman baiknya. Dielusnya punggung dan bahu Ariadna hingga perempuan itu sedikit tenang.Di saat yang tak tepat seperti ini, tak sengaja pandangan mata Ariadna memandang ke arah jalan raya dan melihat mobil pick-up berisi stok bahan makanan yang melimpah.Di bagian kursi depan, rupanya William yang menyetir dan Tami duduk di sampingnya."Huaaaaa! Mereka belanja banyak! Mereka bisa punya stok! Usaha mereka laris!" teriak
May menuruti permintaan Ariadna. Dia mendekati orang-orang berpakaian hitam untuk ikut mendengarkan promosi mereka.Ariadna berjalan perlahan di belakang May sambil menguping omongan orang-orang sok tahu itu.“Mas, saya minta brosurnya satu, dong,” pinta May.Salah satu orang yang didekati May langsung menyambut dengan sapaan manis. “Hai, kakak cantik. Jangan lupa datang ke rumah makan kami, ya! Awas, jangan sampai salah alamat. Jangan sampai kakak masuk ke restoran seberang yang serakah itu. Harganya selangit! Padahal bahannya ngambil sisa di pedagang sayur. Parah banget, ‘kan?!” tawar promotor bersuara nyaring.“Maaf. Tapi, kalian sadar nggak kalau strategi pemasaran kalian ini menyimpang? Kalian nggak berhak menjatuhkan restoran orang lain demi menarik pembeli,” tegur May.Tapi, orang misterius itu mengelaknya, "Persaingan bisnis jaman sekarang nggak ada yang sehat, Kak. Kalau nggak begini, kami bisa gulung tikar! Kita harus lebih galak dan nekat. Segala macam cara harus kita coba,
Ariadna menarik tangan May dan membawanya menyeberang jalan raya di depan. Mumpung sedang lampu merah. Aman. Daniel memandang dua wanita itu berlari di tengah jalan.Dari jauh saja, sudah terlihat jika antrean RM. Padang Jaya semakin ramai hingga banyak yang duduk di trotoar."Goblok! Orang-orang mau makan di tempat laknat begini? Ih," gerutu Ariadna.Langkah dua wanita cantik itu terhenti di bagian depan warung makan yang sibuknya bukan main.“Pak, saya rendangnya dipisah, ya. Tambah nasi padang ayam gorengnya dua, dibungkus,” pesan si pembeli yang tengah dilayani oleh seorang pria tua.Ariadna menerobos antrean itu dan masuk ke bagian dalam rumah makan hingga berada di tempat Pak Waluyo—pria tua yang sedang melayani pembeli—berdiri.Di depan mereka, tersusun aneka lauk pauk dan sayur khas masakan padang yang berlimpah dan beraneka ragam.Semuanya memang nampak menggiurkan dengan aroma, rasa, dan warna yang memikat mata. Namun, bukan itu tujuan Ariadna dan May datang ke tempat rivalny
“Ada apa ini, Gus?” Lelaki itu bertanya lagi.“Mas William, saya nggak tahu bagaimana caranya menghentikan dia. Dari tadi wanita itu marah-marah sampai mukul-mukul pintu,” jawab Agus ketakutan.Sesosok lelaki muda berkaca mata tengah menjatuhkan pandangan penuh amarah pada Ariadna. Lelaki dengan rambut cokelat gelap yang sempat dituduh sebagai satpam pagi ini.Padahal, dia bos. Pemegang cabang RM. Padang Jaya di kota ini!Dia adalah William Pratama. Lelaki muda berusia dua puluh tujuh tahun.Di samping William, berdiri seorang wanita cantik bermata sipit berdarah Tionghoa. Namanya Tami, bos kedua setelah William. Tangan wanita itu dilipat di depan tubuhnya dengan wajah galak dan ketus.“Perempuan nggak tahu diri! Sembarangan masuk ke lapak orang dan bikin keributan!” bentak Tami.Ariadna langsung berjalan mendekati dua orang itu dengan May yang mengikuti dari belakang. Dia berdiri tegak di depan tubuh William dan Tami.Kedua biji mata Ariadna melotot tajam hingga urat merah nampak di t
William justru bingung mendengar penjelasan itu. “Maksudnya? Siapa yang menyewa promotor?”“Ya kamu, lah! Masa aku? Kamu sama si perempuan babi ini kan pengelola tempat ini. Mana mungkin kamu nggak tahu tentang orang-orang berpakaian serta hitam di depan Super Mall. Mereka mempromosikan rumah makan padang ini. Tapi, kenapa harus menjatuhkan restoranku? Kenapa harus nyebarin isu palsu dan hinaan rendahan ke restoranku? Kalau emang mau bersaing, ya udah! Kita bisa bersaing secara sehat. Toh, makanan yang kita jual beda jauh. Persaingan kita nggak seketat itu! Kenapa masih main kotor, sih?" Ariadna semakin memprotes.“Kamu jangan asal nuduh, dong. Kamu punya bukti, nggak? Bisa aja kamu salah dengar,” sahut Tami.“Hah? Salah dengar? May, apa menurutmu aku salah dengar? Telingaku ini belum tuli, lho!” tanya Ariadna pada May yang berdiri diam di sisi kirinya.“Nggak, Ar. Kita sama sekali nggak salah dengar. Aku juga dengar hal yang sama. Justru aku berdiri tepat di depan muka orang licik itu
Tiga hari berlalu begitu saja. The Filantropi sama sekali tidak menampakkan kemajuan. Sejak melabrak RM. Padang Jaya, keseharian Ariadna hanya diisi amarah dan kebencian."Awas aja! Aku nggak akan tinggal diam. Aku bakal cari bukti kuat," gerutu wanita yang kini mengenakan setelan biru santai tanpa make-up di wajah.Hubungannya dengan restoran seberang sudah resmi berperang. Sialnya, mereka tak bisa menjauh karena lokasi yang berdekatan."Andai The Filantropi bukan peninggalan nenek dan kakek, pasti aku udah pindah dari sana. Males banget tiap hari liat bos aneh itu ngatur-ngatur antrean. Emang pantesnya jadi satpam, bukan bos."Kini, Ariadna tengah duduk di bangku bus kota yang sepi. Seperti biasa, The Filantropi tutup lebih awal. Dia juga sengaja tak membawa sepeda motor agar bisa keliling kota naik bus.Pemandangan luar sedikit menghibur hati gundah wanita itu. Jendela bus yang sedikit terbuka, menyapa angin memainkan rambut Ariadna."Kayaknya aku harus pergi ke pasar. Lihat orang-o
Si wanita kehilangan selera bercanda setelah mendengar suara yang membuatnya muak. Bibirnya mengatup."Lagian bos restoran kok nongkrongnya di sini. Pergi dong ke mall-mall. Belanja bahan premium yang harganya selangit," lanjut William, masih jutek.Sosok cantik dengan setelan biru itu akhirnya ikut buka suara. "Nggak usah banyak bacot. Kamu yang datang-datang ganggu obrolanku sama Abang daging. Dasar perusak suasana.""Aku? Perusak suasana? Siapa namamu?" tanya si pria.Si wanita balik bertanya, "Ngapain tanya nama?""Jawab dulu.""Ariadna," ujar si pemilik nama dengan nada enggan, datar."Nah! Dengar omonganku ya Nona Ariadna yang hobinya ngomel dan nuduh nggak jelas! Siapa yang perusak suasana? Siapa yang datang ke tempat orang sambil marah-marah? Merusak suasana indah pelangganku yang lagi makan. Siapa? Aku? Bukan! Kamu? Iya!" balas William sama kerasnya."Siapa suruh main kotor. Kayak nggak punya ide lain aja. Emang kalau dasarnya bego, mau usaha apa-apa juga cara mainnya bego," b
"Aku yakin Rumah Makan Padang di seberang itu pakai hantu penglaris! Pakai pesugihan setan!" pekik Ariadna dengan nada menggebu-gebu.Dari balik jendela kaca restoran The Filantropi yang menyuguhkan aneka sajian khas Eropa, nampak dua wanita sebaya sedang dirundung rasa penasaran.Ariadna—sang pemilik restoran sekaligus manager umum restoran—dibuat gusar dengan berdirinya sebuah rumah makan sederhana yang menyajikan masakan lokal.Di samping Ariadna, May—sahabatnya sekaligus pelayan restoran—menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.“Aku nggak berani nuduh mereka. Tapi, kenapa bisa kebetulan banget, ya? Satu minggu lalu, rumah makan itu resmi dibuka. Sejak hari itu pula, pengunjung restoran kita menurun drastis,” keluh May cemas.Pandangan keduanya lurus menatap rumah makan dengan tulisan “RM. Padang Jaya” di bagian kaca depannya. Antrean orang-orang nampak hampir menyentuh tepi jalan raya karena saking ramainya.Beberapa ojek online pun ikut mengantre untuk memenuhi pesanan customer