Hari ini, Dini kembali menunggu kehadiran Rian. Kata kekasihnya, pria itu akan datang untuk memberikan tanda tangan pada surat pernyataan bahwa hari ini, dirinya sudah selesai PKL. Pria itu juga mengatakan bahwa dirinya rindu dan akan mengajaknya nonton bioskop dan juga menginap di hotel. Ini adalah hari jumat, sehingga ada alasan tepat jika Dini meminta ijin menginap satu malam di rumah temannya. Namun, hingga jam empat sore, Rian belum juga muncul. Dini masih terus bersabar hingga selesai azan magrib. Ponsel Rian tidak bisa dihubungi dan ia pun mulai cemas. Apa sesuatu yang buruk terjadi pada Rian? Pasrah karena langit semakin malam, Dini pun meminta tanda tangan HRD yang kebetulan malam ini sedang lembur. Ia tidak jadi menunggu Rian sampai lebih malam lagi karena dapat dipastikan, kekasihnya itu tidak akan datang. "Terima kasih atas bantuannya selama PKL di sini, Mbak Dini. Salam untuk Puspa ya," ujar Bu Galuh, kepala HRD yang memang ramah pada Dini dan semua karyawan Rian. Dini
Bukan main terkejutnya Dini dan Miko, saat mengetahui ada wanita yang sudah berada di depan kaca mobil dan mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan kuat. Ia juga mengintip dari luar dengan menempelkan wajahnya ke jendela, berusaha melihat siapa yang ada di dalam sana. Dini melotot takut saat mengetahui mamanya-lah yang ada di sana dan ia takut mamanya melihat apa yang baru saja ia lakukan dengan Om Miko. Ia tidak bisa lari karena sudah kepergok. "Buka!" Suara teriakan itu terdengar jauh, seperti kedap suara, tetapi tetap saja membuat nyali pria dewasa seperti Miko menciut. Ia tidak tahu kalau urusannya akan sampai repot seperti ini. "Om, gimana, itu mama saya," ujar Dini ketakutan. "Iya, saya tahu, terus bagaimana? Apa kita lari saja?" "Jangan, Om, nanti kalau mama jatuh gimana? Ini pasti mama berteriak karena ia mengenali motor saya yang ada di belakang," bisik Dini sambil menunduk di kolong. Ada untungnya mempunyai badan kecil, sehingga ia bisa bersembunyi, tetapi tetap saja jantungn
Puspa terbelalak saat melihat Dini seorang pria tengah menggotong mamanya masuk ke dalam mobil pick up. Segera ia menekan gas untuk mengetahui apa yang terjadi. "Dini, ada apa ini?""Ya ampun, Teh, syukurlah Teteh pulang. Mama serangan jantung, Teh. Saya bawa ke rumah sakit biasa ya. Teteh susul pakai motor. Bawakan juga pakaian Mama, Teh. Om, ayo!" Miko lekas masuk ke dalam mobil untuk mengemudikan mobilnya. Puspa mengerjap beberapa kali, sebelum ia tersadar bahwa harus segera mengurus mamanya. Puspa berlari masuk ke dalam rumah untuk mengemas beberapa helai pakaian mamanya dan juga mengambil dompet panjang dari dalam laci. Di dalam dompet panjang itu ada berbagai kartu rumah sakit termasuk BPJS. Semoga kali ini penyakit mamanya yang kambuh kembali di-cover BPJS. Puspa segera menyusul Dini ke rumah sakit tempat biasa mamanya berobat. Perihal lelaki yang bersama adiknya tadi, akan ia tanyakan setelah ia mengetahui kondisi mamanya. "Bagaimana, Ni?" tanya Puspa pada Dini yang sedang
Dini kembali ke rumah sakit dengan hati yang patah. Air matanya sampai mengering dan tidak bisa dikeluarkan lagi setelah ia puas menangisi diri setelah dilabrak oleh calon istri Rian. Pada siapa ia meminta keadilan? Bagaimana kalau ia hamil? Ketakutan itu semakin menjadi saat ia melihat mamanya masih terbaring lemah di bed kamar perawatan. Untunglah mamanya tidur, karena jika tidak, pasti mamanya mengetahui bahwa ia baru saja menangis. Dini masuk ke kamar mandi dan langsung mencuci muka. Dengan gerakan amat pelan, ia ikut merebahkan kepalanya di ujung kaki mamanya. Ia harus segera bertemu dengan Rian, bagaimanapun caranya. Namun, untuk saat ini sepertinya tidak mungkin karena mamanya dirawat. DrtTeh Puspa. Bagaimana kabar mama, Din? Apa sudah lebih segar? Sudah, Teh, dan sudah banyak bicara. Semoga kondisinya terus semakin baik, minimal stabil agar tidak menginap di rumah sakit terlalu lama.SendSetelah membalas pesan dari Puspa, ia tidak berniat membuka pesan yang lain. Gadis
Jika saja tidak memikirkan betapa susahnya mencari pekerjaan, maka seorang Puspa lebih memilih berhenti daripada harus tetap bekerja pada bos mesumnya. Pantas saja bosnya membuat ruangan khusus VIP di restoran, karena memang ia pun rajin melakukan hal yang sama. Bercumbu dengan wanita mana saja di ruangan VIP. Berkali-kali wanita itu menarik napas panjang, lalu membuangnya cepat, seolah-olah begitu gerah dan kesal dengan hari ini. "Meja lima belas yang pojok," kata Chef Rudi sambil memberikan pesanan nasi goreng ikan asin pada dirinya. Chef Rudi juga mengulurkan satu gela orange float untuk meja nomor lima belas. "Masih ada lagi?" tanya Puspa. Chef Rudi menggeleng yakin. Puspa pun mengangkat nampan itu ke meja nomor lima belas dengan hati-hati. Ia mencoba kembali profesional dalam pekerjaan. Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Saat ini ia tengah mengais rejeki di restoran sedikit aneh, maka ia pun harus sabar untuk beradaptasi dengan aturan di sini. "Ya Tuhan, aku b
"Heh, ternyata ada yang mengikuti jejak saya dikursi itu, naik turun seperti pecun! Cantik sih, tapi dapat lelaki bekas bocil!" Blam! Dini membanting pintu dengan kuat. Ia tersenyum puas saat berhasil meledek Sonya dan juga Rian. Asal mereka tahu saja, aku memang masih kecil, tapi aku gak terima kalau dipermainkan. Batin Dini sambil berlari turun dengan tangga manual. Ia tidak mau naik lift, agar tidak dihadang oleh security kantor. Pintu belakang yang menjadi tempat berkumpul OB dan juga karyawan yang merokok adalah pintu keluar yang paling aman saat ini. Apalagi motornya sengaja ia parkir di ruko depan. Dini sempat menoleh ke lantai tiga; tepat di jendela ruangan Rian. Pria itu telah mempermainkannya dengan sangat tega. Maka ia pun tidak bisa terus berharap. Apalagi jika dibandingkan Sonya, ia tidak punya apa-apa. Oke, Dini, lupakan Rian. Dini pun melajukan motornya untuk pulang ke rumah. Sebelum sampai di rumah, Dini membeli seblak, karena makan makanan pedas biasanya dapat sed
Sonya dan Rian menghentikan aktivitas mereka setelah mendapat gangguan dari Dini. Lebih tepatnya, Sonya yang meminta berhenti, padahal keduanya belum sampai. Nafsu itu terjun bebas ke jurang setelah Dini melontarkan kalimat merendahkan dirinya. Wajah wanita cantik itu terus saja cemberut, padahal sudah hampir satu jam Dini tidak ada di sana. Rian pun menjadi salah tingkah dan juga serba salah. Jika dirayu, maka Sonya tidak akan percaya, jika ia biarkan saja, Sonya pasti akan semakin sebal padanya. "Sayang, aku lapar, mau nyobain kuliner di restoran baru gak?" kata Rian sambil membelai rambut Sonya yang setengah basah oleh keringat. "Aku gak lapar." Sonya menjawab tanpa menoleh sama sekali pada Rian. Tatapannya fokus pada layar ponsel pintar miliknya yang seharga dua puluh juta itu. "Ya sudah kalau kamu gak lapar, tapi aku lapar sayang, kita makan yuk! Kayanya ngobrol dengan perut kenyang lebih baik daripada bicara dengan keadaan perut kosong," bujuk Rian lagi pada sangat Calon ist
Puspa merasa dirinya tidak pernah benar-benar menyukai Rian, tapi ternyata ia salah. Sakit hati dan air mata yang saat ini ia tumpahkan di kamar mandi restoran, adalah karena ia sudah menyukai lelaki itu. Mungkin juga ia sudah mencintainya. Melihat Rian bercumbu mesra dengan kekasihnya yang cantiknya seperti model yang sering ia lihat di TV, dirinya merasa sangat rendah diri. Ia tidak ada apa-apanya dibanding wanita di dalam sana. Bisa dibilang, jika mereka bersanding, maka akan terlihat seperti majikan dan pembantu. Puspa, ayolah, jika Rian mendapatkan yang lebih baik dari kamu, maka kamu juga bisa. Puspa menyemangati dirinya sendiri sebelum keluar dari kamar mandi. Cukup sepuluh menit ia menumpahkan kesedihan, di luar sedang ramai dan ia tidak boleh santai. Ingat, ia masih dalam masa percobaan. Puspa buru-buru mencuci muka, lalu merapikan sedikit riasannya setelah ia mengeringkan wajah itu dengan handuk. Sanggul di kepalanya juga ia rapikan seperti tadi. Wanita itu keluar dari ka
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal