Puspa tidak berani meneruskan menguping. Ia memilih masuk ke kamar dengan berjuta tanya di kepala. Ada apa dengam Dini? Apa adiknya melakukan ...ah, ya ampun, Puspa. Ayolah, Dini sudah besar. Kamu gak boleh mencampuri urusan pribadinya.Sepanjang malam ia terjaga karena memikirkan Dini. Dia saja tidak berani melakukan masturbasi, ini Dini masih single dan perawan pula. Tidak, jangan sampai ia terobsesi pada Rian, sehingga ia menyentuh tubuhnya sendiri sambil memikirkan Rian yang menyentuhnya. Puspa merasa kepalanya semakin sakit. Lekas ia mengambil obat sakit kepala di laci lemari, lalu ia minum cepat. Ia harus seger tidur agar besok pagi tidak kesiangan lagi.Keesokan paginya, Dini tengah berbincang ramai dengan Bu Suci, menceritakan teman kampusnya yang gagal meneruskan kuliah karena belum bayaran. Sesekali suara tawa gadis itu terdengar sampai ke kamar Puspa, begitu juga dengan suara tawa Bu Suci.Tumben Dini belum berangkat. Pikir Puspa yang kebetulan baru juga keluar kamar. "La
"Apa, Ramon kecelakaan? Kamu yakin dia tidak sedang drama?""Mas, aku rasa kecelakaan tidak mungkin bisa dimasukkan kategori drama. Terlalu banyak uang yang dikeluarkan Ramon jika dia benar bersandiwara. Mas, tolong mengerti, aku hanya ingin menjenguk Ramon, itu pun karena Robi yang terus merengek." "Ya sudah, terserah kamu saja. Aku larang juga kamu tetap pergi.""Tentu saja, karena ini sifatnya aku memberitahu, bukan meminta ijin. Kita belum menikah dan aku tidak mau lebay meminta ijin untuk urusan yang berkaitan dengan Robi. Aku pergi besok pagi."Puspa menutup panggilannya. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di atas kasur, lalu meraih tas ransel yang ada di atas lemari. Ia memasukkan beberapa potong pakaian Robi dan juga stel pakaian untuk pulang, dan juga daster terusan satu buah, tidak lupa juga dalaman. Jika kondisi Ramon tidak begitu payah, ia akan menginap satu malam saja di sana.Azan magrib pun tiba. Suara motor Dini terdengar nyaring saat kendaraan roda dua itu sudah ber
Pukul satu siang, Puspa sudah berada di rumah sakit tempat Ramon dirawat. Ia menanyakan pada salah satu perawat di sana, dimana kamar perawatan pasien atas nama Ramon yang dua hari lalu kecelakaan. VIP? Waw? Bukankah mantan suaminya itu orang yang termasuk perhitungan juga dalam mengeluarkan uang, tapi kenapa sekarang berubah? Apa baru saja mendapat warisan? Batin Puspa. Jemari mungil nan montok milik Robi menggenggam erat jemarinya. Tangan kanannya membawa aneka buah sebagai oleh-oleh. Walau ia sudah tidak lagi bersama, tidak mungkin juga ia melenggang santai menjenguk orang sakit. Ibu dan anak itu masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai empat. Jika kamu dirawat di ruang VIP maka jam berapa saja tamu berkunjung akan dibebaskan, kecuali dalam jumlah yang banyak. "Permisi, Sus, mau ke kamar 412," sapa Puspa sambil tersenyum. "Silakan, paling ujung. Wah, anaknya Pak Ramon ya, mirip sekali," ujar perawat itu sambil memperhatikan Puspa dan Robi bergantian. Puspa hanya mengangguk ti
Gadis berusia dua puluh tahun itu sudah dibutakan oleh cinta. Ia rela melakukan apapun untuk mendapatkan perhatian dari Rian. Apalagi tetehnya sedang tidak ada di Bandung, maka kesempatan baginya semakin luas. Rian memang sedang keluar kota, tapi tawaran memikat Rian dari jarak jauh tentu sangat menggiurkan baginya. Dini pun semakin semangat menuntaskan pekerjaannya hari ini, sambil bolak-balik menatap jam di tangannya yang terus bergerak maju. Saat jam istirahat, Dini makan dengan banyak. Ia membeli makan di kantin kantor dan juga memesan satu gelas jus mangga. Ia harus kuat untuk menuntaskan pekerjaannya hari ini, disambung pekerjaan nanti malam memikat Rian. Sebelum naik kembali ke atas, Dini menyempatkan mencetak foto Rian kembali. Tentu saja ia tidak mencetaknya di dekat kantor, karena bisa saja menjadi bahan gosip jika ada yang menyadari wajah Rian. DestiJam berapa lo balik kerja? Dini tersenyum senang membaca pesan dari temannya. Jam lima, Des. Doakan gue gak dapat tugas
Dini sampai di rumahnya pukul setengah satu malam. Bu Suci sampai menunggu di depan teras dengan begitu cemas. Ia mencoba menghubungi nomor ponsel Dini, tetapi tidak juga tersambung. Syukurlah sinar motor di depan pagar membuat Bu Suci bisa bernapas lega. Ia berlari untuk membukakan pagar. "Ya Allah, Nak, kamu darimana saja? Ini sudah jam setengah satu," tanya Bu Suci penuh kekhawatiran. Dini memasukkan motornya ke dalam rumah, lalu mematikan mesin motor itu. Bu Suci pun bergegas mengunci pagar kembali, kemudian menyusul Dini ke dalam rumah. "Hari ini hari paling rempong, MaUntunglah tidak ada begal di jalan tadi. Mama, Dini langsung mandi dulu ya. Badan Dini lengket." Bu Suci mengangguk kaku. Ia menutup pintu, lalu menguncinya. Memandang punggung Dini yang perlahan menghilang di balik pintu kamar mandi. Ponsel putrinya terus saja berdering. Tentu Bu Suci penasaran, siapa yang sibuk menelepon putrinya tengah malam seperti ini? Namun, jika ia mengangkat panggilan itu, putrinya bisa
"Loh, Ma, mana Pak Rian?" tanya Dini yang sudah tampil sangat cantik pagi ini. Ia sengaja buru-buru berdandan agar bisa melihat Rian pagi hari. Namun, kini bosnya itu sudah melesat pergi, tidak ada lagi wujudnya di rumah. "Dini, Ria sepertinya salah paham dan wajar sih jika salah paham." Bu Suci duduk tanpa semangat di kursi ruang tamu. "Ada apa emangnya, Ma?""Tadi Mama diminta Rian untuk menelepon Puspa. Ia khawatir karena Puspa ponselnya gak aktif. Chargernya ketinggalan di kamar. Jadi Mama diminta untuk video call.""Terus, apa yang jadi masalahnya?" Dini masih tidak mengerti. Bu Suci hanya menghela napas berat karena ada rasa kecewa juga dengan Puspa. Jika ia memberitahu Dini, apakah akan baik-baik saja? "Eh, itulah, intinya Rian kecewa karena teteh kamu gak buru-buru pulang.""Oh, gitu, mau balikan kali," timpal Dini. "Ya gak bisa, udah tinggal nunggu surat cerai. Udah sah ditalak juga kemarin itu. Kalau mau nikah lagi, salah satunya harus menikah dengan orang lain dulu. Adu
Rian mengantarkan Dini pulang ke rumah dengan mobilnya. Tentu saja hal itu membuat Bu Suci mereka heran karena sebelumnya Rian begitu anti dengan putri bungsunya. Sayang sekali, wanita paruh baya itu tidak memperhatikan jalan Dini yang sedikit mengangkang. Ia hanya heran kenapa wajah Dini amat pucat begitu turun dari mobil. "Ada apa ini, Rian? Kenapa Dini pulang sama kamu? Apa Dini bikin ulah lagi?" cecar Bu Suci dengan wajah penasaran. "Bukan, Ma, Dini hanya kurang sehat saja tadi di kantor. Kalau saya paksa pulang pakai motor, nanti pingsan di jalan bagaimana? Jadi saya yang antar," jawab Rian santai tanpa terkesan sedang membual. Dini melepas tangannya yang ada di pinggang Rian dengan malas. Sebenarnya ia masih ingin bermesraan dengan pria dewasa yang sekarang menjadi kekasihnya, tetapi ia juga harus sadar diri bahwa ia tidak bisa berjalan lama karena masih begitu sakit di bagian intimnya. "Ya sudah, kamu istirahat, saya mau pulang dulu. Mari, Ma, saya pamit." Bu Suci sekali la
Puspa pulang dengan bus siang hari menuju menuju Bandung. Robi ia tinggal sebentar dan ia titipkan pada adik suaminya. Untunglah wanita itu mau dititipin Robi sampai lusa. Sampai Ramon keluar dari rumah sakit. Lusa, ia akan kembali menjemput Robi jika Ramon belum bisa mengantar putra mereka kembali ke Bandung. Ia harus segera bertemu Rian untuk menjelaskan semuanya. Terserah lelaki itu mau mendengar atau tidak, ia akan tetap menjelaskan kejadian sebenarnya pada Rian. Bu Suci bernapas lega saat melihat Puspa berada di depan pagar rumah dengan wajah jelas tidak baik-baik saja. "Akhirnya kamu pulang juga, Puspa," seru Bu Suci saat Puspa masuk ke pekarangan rumah. Wanita itu mencium punggung tangan mamanya tanpa semangat. "Robi masih saya tinggal di sana, Ma, karena Ramon mungkin baru lusa keluar rumah sakit," kata Puspa. "Kalau dituruti maunya Robi, mungkin saya kudu selamanya di dekat papanya, tapi saya gak bisa dan sudah gak minat juga. Saya gak mau merasa bersalah pada Rian. Ma,
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal