Pov Ramon
"Jadi, apakah pesan dari mama Ayu yang membuat Abang banyak diam beberapa hari ini? Kenapa Abang tidak jawab? Mereka pasti khawatir. Paling tidak Abang sekalian menegaskan bahwa Abang dan Ayu sudah tidak memiliki hubungan apapun. Mama dari Ayu pasti mengerti. Begini saja, kalau Abang tidak berani mengatakan yang sebenarnya, biar Puspa yang menelepon mama Ayu."
"Jangan!" Kutahan tangan Puspa yang hendak merebut ponsel dari tanganku.
"Please, Sayang, masalah ini biar Abang yang selesaikan. Mau kamu sudah kesampaian'kan? Sekarang biar Abang yang mengurus masalah Ayu. Abang akan cari Ayu dan memulangkannya ke rumah orang tuanya. Abang menikahinya baik-baik, Abang juga akan memulangkannya dengan cara baik. Tolong pahami ini dan jangan cemburu. Jangan bikin Abang tambah semakin bersalah ya, kamu paham'kan, Puspa?" istriku tidak menjawab. Ia hanya membuang pandangan dengan raut wajah kesal.
"Ayu, ayo!""Lepas! Gak mau! Pergi! Jangan ganggu saya! Bang Aldi, tolong.... " Terpaksa kubekap mulut Ayu saat gadis itu mencoba berteriak meminta pertolongan."Aku gak akan kasar kalau kamu nurut! Aku akan buat keributan di sini kalau kamu berani pergi!" Ancamku pada Ayu. Gadis itu terdiam. Ia membuang muka dengan marah ke arah Jerry."Kalian selesaikan dulu masalah kalian ya, gue mau ke depan sebentar." Jerry bangun dari duduknya, lalu pergi meninggalkan aku dan Ayu. Gadis itu masih membuang muka dengan tangan yang melipat di dada. Pahanya yang putih diumbar. Aku tidak suka dan sangat sedih melihat Ayu seperti ini.Kubuka baju kaus sweater yang aku pinjam dari Jerry, lalu segera aku tutupi kedua paha Ayu.Hap!Hampir saja kain itu dilemparkan oleh Ayu, untunglah aku dapat menahannya, lalu menutupkannya kembali ke paha Ayu.
Pov PuspaAlarm ponselku berbunyi tepat pukul satu dini hari. Hal itu sengaja aku lakukan agar aku terbangun dan mengecek keberadaan Bang Ramon. Pukul delapan tadi aku sangat mengantuk, maka dari itu aku putuskan untuk tidur dan memasang alarm jam satu.Aku berbalik badan, berharap suamiku sudah pulang dan tengah tertidur di sampingku, ternyata aku salah, Bang Ramon belum pulang. Lekas kuraih kembali ponsel dan mencoba menelepon suamiku. Namun ponsel itu tidak juga diangkat, padahal nadanya tersambung.Tidak hanya satu dua kali, tetapi ratusan kali aku menelepon suamiku. Besok bukannya ia masuk, kenapa pulangnya terlalu malam? Pikirku kesal.Sebuah pesan kukirimkan pada Nadia, teman kerja suamiku untuk menanyakan nomor ponsel Jerry, karena aku memang tidak tahu nomor ponsel lelaki itu. Ingin sekali aku langsung menelepon, tetapi sungkan karena ini sudah sangat larut.
"Saya tidak hamil dan saya tidak perlu di-test pack. Mantri di sini pasti salah. Saya mau pulang saja." Ayu menghempaskan tangan Bang Ramon yang memegang alat uji kehamilan itu."Ayu, tolonglah, test dulu!" Bang Ramon masih memohon dengan wajahnya yang pias."Kalau tidak mau jangan dipaksa, Bang, Ayu lebih tahu kondisi badannya sendiri. Jangan terlalu lebay. Abang menikah denganku saja setahun lebih aku baru bisa punya anak, masa Ayu yang baru beberapa kali sudah bisa hamil, mustahil!" Potongku cepat dengan tidak terima.Ayu yang memiliki riwayat sakit Leukimia tentu saja ia paling tahun keadaannya. Bisa saja pingsannya Ayu memang bukan karena hamil, tetapi karena penyakitnya."Jangan keluar dari rumah ini selangkah pun!" Suara Bang Ramon menggelegar di dalam rumah. Ayu yang sudah di depan pintu mengurungkan niatnya, lalu berkacak pinggang sambil menatap Bang Ramon dengan tidak suk
Dua hari menginap di rumah mama, tidak pernah Bang Ramon absen meneleponku ataupun mengirimkan pesan. Ia selalu menanyakan kabarku, mama, dan juga janin di dalam perutku. Minggu depan adalah jadwal kontrol ke dokter kandungan, sehingga aku memang harus pulang.Dengan naik mobil travel, aku pun pulang ke rumah. Bang Ramon nampaknya sudah baik-baik saja dan tidak pernah lagi membicarakan Ayu. Mungkin ia juga sudah sadar bahwa yang benar itu adalah aku sebagai istri sahnya."Baru pulang, Neng?" sapa Bu Nur sambil tersenyum."Iya, Bu." Aku pun membalas senyumnya dengan ramah."Udah berbaikan?" tanya Bu Nur lagi dengan santai. Aku hanya menyeringai, lalu memutar anak kunci sebanyak dua kali. Masuk ke dalam rumah lebih cepat adalah pilihan yang benar saat ini, karena jika semakin lama aku bersama Bu Nur, maka semakin banyak yang ditanyai olehnya.Pertengkaran ku dengan Bang Ramon dan juga Ayu waktu itu memang sudah jadi kons
Tiga tahun kemudian."Puspa, kunci mobil ditaruh di mana?""Di atas meja, Bang, sebentar, Puspa lagi pakaikan Robi pampers." Bang Ramon pasti seperti ini bila ingin pergi. Selalu saja memintaku buru-buru, padahal anaknya yang sedari tadi membuat terlambat. Adegan menumpahkan susu tepat di baju yang baru saja dipakaikan. Sekarang malah buang air, hingga aku harus mengganti pampersnya dengan cepat. Belum lagi adegan dandan yang tidak boleh lebih dari lima belas menit.Oleh karena itu aku tidak mahir bersolek karena Bang Ramon, suami yang tidak sabaran menunggu istrinya dandan. Tak apalah, asalkan alat dandanku selalu ia penuhi. Tidak pernah ada komplain selagi biaya yang aku minta itu tidak berlebihan.Tin! Tin!"Iya, tunggu sebentar! Ish, gak sabar banget!" Gerutuku sambil mengunci pintu rumah. Robi sudah berlari menghampiri mobil sedan yang baru setahun ini selalu menemani kami bepergian. Bang Ramon membukakan pintu mo
Pov RamonAku berharap pemandangan di depanku ini salah. Wajah itu yang selalu melekat di hatiku padahal sudah sekian tahun berlalu. Benar jika segumpal daging yang bernama hati tidak akan mungkin mencintai lebih dari satu wanita, tetapi untuk Ayu, entah apa yang harus kusebut. Cinta? Entahlah! Iba? Mungkin saja!Aku kembali memperhatikan dua anak kecil yang menggandeng Ayu dengan sangat lucunya. Keduanya perempuan yang sangat menggemaskan dengan rambut keriting mereka. Mereka pasti anakku!"Pak, maaf, itu pengantin wanita janda anak dua. Itu putri kecilnya calon istri Rahmat?" tanyaku dengan berbisik pada seorang bapak yang duduk persis di sampingku."Oh, iya, itu anak Mbak Ayu. Tidak paham juga janda meninggal atau cerai, tetapi setahu saya si Kembar itu memang anak Mbak Ayu. Rumana dan Ramona namanya. Yang satu dipanggil Ana yang satunya lagi dipanggil Mona." Mulutku terkunci, tidak salah lagi bahwa mereka ada putriku. Berarti saat ia pingsan waktu itu, Ayu tengah hamil."Baik, Pak
Pov PuspaMengetahui Bang Ramon ternyata selama ini masih dalam bayang-bayang Ayu, membuatku mengambil sikap. Pergi darinya adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Bukan hanya satu kali, tetapi ini sudah yang keberapa kalinya Bang Ramon selalu saja goyah dengan kehadiran Ayu. Itu semua pasti karena perasaan cintanya. Lalu apakah aku siap menjalani rumah tangga seperti ini? Aku rasa tidak."Apa kamu yakin, Puspa?" Aku tersentak dari lamunanku saat suara tua itu menegur, seraya menyentuh rambutku."Puspa yakin, Ma, mungkin ini adalah jalan terbaik bagi kami berdua." Aku tersenyum pada mama."Bukannya Ayu sudah menikah, tidak akan mungkin Ramon berani menganggunya. Apalagi suami dari Ayu masih sepupu Ramon. Saran Mama, lebih baik berikan Ramon kesempatan sekali lagi. Mama yakin kalian bisa hidup de-""Ma, anak dari Ayu kembar, perempuan. Bang Ramon begitu menginginkan anak kembar. Saya gak mau hal ini nantinya menjadi masalah terus menerus dalam rumah tangga kami. Mama jangan khawatir,
Aku sampai di rumah tepat pukul dua siang. Rian yang tadinya ingin mengantar pulang ke rumah, menjadi urung karena ada Ramon di rumah mamaku. Ia tidak ingin membuat masalah baru bagiku yang saat ini tengah tidak baik-baik saja dengan Ramon. Lelaki yang saat ini masih sah menjadi suamiku itu sudah duduk di teras sendirian. Mama sepertinya tidak mengijinkannya masuk. Baguslah, Ramon harus diberi pelajaran karena telah menyia-nyiakan perasaanku. "Halo, apa kabar?" sapanya menyambutku dengan berdiri. Aku hanya tersenyum tipis, lalu ikut duduk di depannya. "Kata mama kamu melamar pekerjaan, memangnya kenapa? Kamu kekurangan uang? Bukannya selama ini aku selalu memberikan yang kamu butuhkan?" Aku tersenyum remeh, lalu dengan malas menatap wajahnya sekilas. "Aku harus mempunyai pekerjaan saat nanti aku sudah tidak bersuami lagi." Bang Ramon nampak terkejut. Mulutnya setengah terbuka ingin mengatakan sesuatu, tetapi sulit. "Maksud kamu apa, Puspa? Aku masih sah suami kamu.""Ya, untuk sa
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal