Menginjak semester 2, Alina disibukkan dengan kegiatan perekrutan BEM. Dirinya memutuskan untuk gabung di organisasi tersebut untuk memperluas relasinya. Kalau-kalau rencana pelarian Alina berhasil, dirinya tidak akan kesusahan untuk menemukan kolega.
“Oke, tahapan seleksi akan berjalan selama satu bulan penuh. Kalian akan melalui proses wawancara, magang divisi, dan evaluasi. Semua ketentuan dan syarat sudah tertera di juknis,” Ronald menatap satu persatu mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut.
Setelah semua rangkaian pertemuan selesai, ketua rekrutmen BEM tersebut menghampiri Alina. “Hai Al. Akhirnya lo gabung BEM ya, gue apresiasi kemauan lo untuk mengubah masa depan,”.
Alina malas menanggapi Ronald. Entah mengapa, dirinya merasa Ronald punya maksud lain ketika menghampirinya. “Eh, hehehe. Iya kak, makasih yaa,” jawab Alina segan.
Sebelum Alina sempat menghindar, datang seorang laki-laki di belakangnya dan menggenggam tangan Alina. “Udah selesai?” tanyanya pada Alina.
Alina mengangguk ragu dan tak percaya. Sementara laki-laki itu mengangguk pada Ronald “Kita duluan ya, kak,”kemudian menaik tangan Alina untuk menjauh dari Ronald.
Setelah berjalan agak jauh, dirinya tidak melepaskan tangan Alina. Alina merasa tidak nyaman dan berhenti, “Berhenti, Allen. Lo kenapa, dah?” tanyanya pada laki-laki yang berhidung mancung itu.
“Jangan deket-deket dia. Dia bisa bahayain lo!” tukas Allen datar, menatap kedua mata Alina yang hitam mengkilat bak biji buah kenari.
“Trus, gue harus deket-deket lo? yang ternyata bantuin gue karena mau ngelindungin sahabat tercinta lo itu?” sentak Alina dengan wajah yang memerah marah.
Allen terkejut, ternyata Alina mendengarkan perkataan dirinya dan Seline tempo hari. Memang Allen melindungi Seline, tapi ketika membantu Alina, ia merasa tulus. Tapi, dirinya tidak bisa berkata lebih, kalau dia bicara sekarang, bisa-bisa ada kejadian yang diluar dugaannya.
Alina melihat bibir seseorang di hadapannya yang terkatup rapat. Tidak berbicara, bahkan tidak berniat menjelaskan apapun. Alina sedikit kecewa dan melangkah pergi dari hadapan Allen. Meski sebenarnya ia tahu, tidak seharusnya menyalahkan Allen. Karena Alina juga memanfaatkan Allen untuk mencapai tujuannya. Tapi, tetap saja terasa sakit. Mengapa semua orang di sekitarnya tidak ada yang dapat dipercaya.
***
now playing, La Campanella piano ver.
Jari-jari panjang nan lentik itu sedang menekan tuts-tuts piano dengan penuh penghayatan. Selama satu jam penuh ia berkonsentrasi mengulang-ulang lagu tersebut. Bukan karena harus sempurna, tetapi untuk menghilangkan beban pikirannya.
Lizt sungguh jenius menciptakan nada-nada cepat seperti ini. Siapapun yang memainkannya akan konsentrasi agar tidak melakukan kesalahan. Dan itu sungguh membuat para pianis melupakan sejenak beban pikirannya.
Jemari yang menekan tuts akhirnya berhenti setelah lagunya usai. Menenggak sebotol penuh minuman dan menghembuskan nafas berat yang seperti telah ditahan sejak satu jam lalu.
“Gue takut sama lu,” ujar perempuan yang duduk di sofa panjang sebelah jendela besar. Rambutnya tergerai memakai jepit pita kecil yang lucu. Perempuan itu sudah masuk ke ruangan sejak sepuluh menit yang lalu, kemudian berjalan menuju sang pianis.
“Lo serem banget, Alina. Lo pinter di akademik, lo juga jenius di bidang seni. Mulai sekarang jangan jadi temen gue, takut nyokap gue bandingin gue sama elo,” ujar perempuan itu sambil mempraktekkan gaya ngeri dan merinding.
“Hahahha bisa aja lo, Namira. Gue bisa piano karena gue emang suka. Dari kecil, gue uda difasilitasi hobi gue ini,” Alina tersenyum sambil sibuk membersihkan pianonya.
“Sebelum lo tanya, gue emang hobi bersihin piano sendiri. Gue ga nyuruh orang karena takut mereka salah, sabotase, atau ngelakuin kesalahan lain. Gua ga bisa, ini kesayangan gue,” tambahnya sembari mengelap piano custom warna peach-nya itu.
Bibir namira yang semula terbuka mengatup kembali, perkataan Alina barusan sangat tepat sasaran. Beralih menanyakan pertanyaan lain “Tadi sebelum gue masuk ruangan ini, bibi yang lewat bilang kalau lo udah main piano sejam. Dengan permainan kayak tadi, apa ga copot jari lo?” Namira keheranan dengan tingkah sahabatnya ini.
“Hahaha, itu memang cara gue untuk refreshing. Kalau neken tuts yang cepet kaya tadi, pikiran gue langsung fokus. Jadi melupakan sejenak masalah-masalah gue,” sahut Alina jujur.
Melihat hal itu, namira bertambah bingung, “Yah, refreshingnya anak Jenius seperti itu ternyata. Kalo gue sih pasti makan atau shopping. Yuk temenin gue belanja di Senala City, sekarang! Gue tungguin, gue maksa!”.
Alina tersenyum dan memberikan gestur hormat “Aye aye Captain Namira!”
***
“Hampir setengah tahun saya tidak mendengar nama Ranum Rampani, apa dia sudah membalas?” kacamata yang sejak tadi bertengger di wajahnya dilepas. Menampakkan mata merah yang sudah kelelahan bekerja.
“Belum, Bu Trisia. Sampai saat ini, Ranum Rampani sama sekali tidak memberikan tanda-tanda apapun,” asisten itu menunduk sopan. Ia tidak akan beresiko mengatakan apapun, karena melihat pemilik Trisia Art Gallery saat ini sedang tidak dalam suasana hati yang bagus.
Tiba-tiba pintu diketuk dengan sangat cepat dari luar. Sang asisten segera membukanya. Tampak seorang kurator galeri tergesa-gesa masuk. Dirinya terengah-engah sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar pintu. “Bu Trisia, Ranum Rampani…”
Sebelum pria itu melanjutkan perkataannya, Trisia cepat melangkah keluar. Melihat ada apa gerangan, apakah Ranum Rampani tiba-tiba muncul?
Trisia setengah berlari menuju Aula utama yang berjudul “Intangible Art” di dalamnya, terdapat karya-karya pelukis terkenal yang tidak untuk dijual dan dijaga dengan sangat amat ketat. Namun, entah mengapa ada satu lukisan di tengah-tengah aula itu yang keberadaannya tidak dikenali olehnya, maupun staf lainnya.
Lukisan itu memuat sosok seorang wanita yang wajahnya abstrak dengan guratan-guratan kasar. Wanita itu membawa timbangan di tangan kanannya, dan pedang di tangan kirinya. Tubuh jenjangnya dibalut kain putih bersimbah darah dengan latar sebuah bangunan. Trisia mematung, dilihatnya tulisan di samping kanan bawah lukisan tersebut.
Ranum Rampani _ “Nemesis at The Trisia Art Gallery”
Drrt.. drt.. Ponsel Alina bergetar singkat, menampakkan pesan dari nomor tak dikenal. Sang pemilik sedang enggan membukanya. Dirinya sedang serius menorehkan cat ke kanvas. Menggambar lukisan abstrak, dengan gabungan warna-warna neon yang cerah. Saat melihat torehan cat itu, Alina membayangkan bentuk abstrak dari mimpi. Ketika seseorang berkata bahwa mereka memiliki mimpi, seperti apakah mimpi itu? Apakah berwarna cerah, atau pastel, bahkan abu-abu? Mungkin akan langsung tergambar situasi dan kondisi yang manusia itu harapkan. Alina tentu juga punya, mimpi yang diinginkannya. Warnanya cerah seperti tone cat yang berada di hadapannya sekarang. Setelah menjual beberapa lukisan kemarin, perasaan hatinya mulai ringa. Karena, berarti karyanya dapat dinikmati oleh orang lain. Kemudian, Alina teringat dengan salah satu lukisan yang menurutnya cukup kontroversial. Ada seorang anonim yang sengaja membeli lukisan itu darinya. Mungkinkah mereka berdua memiliki musuh yang sama? Atau malah, ka
“Papa dengar kalian berdua diminta untuk tampil di Law School Graduation, ya?” tanya Lesmana sembari mengunyah makanan kepada kedua putrinya. Alina dan Seline mengangguk. Pihak kemahasiswaan menghubungi mereka berdua untuk tampil solo dengan memainkan alat musik. Memang, kelulusan di Law School selalu memamerkan bakat para mahasiswanya secara besar-besaran. Karena, di sana hadir berbagai macam orang dengan berbagai macam latar profesi. Tentu, jika salah satu dari mereka tertarik, maka mahasiswa tersebut sudah pasti dapat menapaki masa depan yang gemilang. “Papa pasti nonton kan, ini perdana Seline bawain piano loh!” Seline menampilkan senyum termanisnya di depan sang ayah. Alina hanya dapat memutar kedua bola matanya, terganggu dengan Seline yang sangat bermuka dua. “Lo, Seline, bukannya kamu lebih ahli main biola, ya?” Lesmana sangat penasaran kepada kemampuan berpiano Seline. Bukankah anak ini baru belajar piano selama lima bulan? “Seline udah bisa main lagu yang rumit, kok p
“Gue benci banget sama Ronald!” Alina menggebrakkan tangannya ke meja kelas. Namira yang duduk di sebelahnya berjingkat kaget. “Lo apa-apaan sih, Al. Baru masuk kelas udah jelek aja mood lo!” Namira heran dengan kelakuan Alina. Biasanya Alina bersikap tanpa emosi dan cenderung datar. Entah setan mana yang merasuki dirinya hari ini. Alina menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Ronald membuat perasaannya seperti di roller coaster. Setelah memberinya kehangatan yang nyaman, Ronald membawa hatinya pada puncak paling tinggi di lintasan. Namun layaknya roller coaster, perasaan tersebut cepat sekali terjun ke lintasan paling dasar. “Al? Lo gapapa kan? Emangnya Ronald ngapain lo lagi?” Namira memang mengetahui banyak hal tentang Alina. Karena saat ini, Alina sangat yakin Namira adalah satu-satunya orang yang berada di pihaknya. Namira tidak butuh keuntungan maupun pertolongan apapun dari Alina dan keluarganya. Keluarga Namira sudah cukup terpandang dan berpengaruh di negeri in
Setelah berlangsung beberapa lama, upacara kelulusan telah usai. MC kemudian memandu acara selanjutnya, yakni pertunjukkan dari mahasiswa aktif di Law School. Penampilan pertama dibuka oleh Seline dengan piano cantiknya. Seline memasuki panggung dan menunduk khidmat, tersenyum cerah kepada seluruh pasang mata yang menontonnya hari ini. Seline sangat percaya diri berjalan ke arah piano, kemudian duduk dengan anggun. Jari-jari lentiknya mulai menekan tuts dengan tempo yang cepat. Semua orang yang hadir adalah orang yang berada, mereka sering mendengarkan orkestra dan musik klasik lainnya. Mereka mengetahui lagu-lagu yang dibuat oleh pemusik profesional. Salah satunya adalah lagu yang dibawakan oleh Seline. Ketika sang piano mengeluarkan nada-nada yang mereka kenal, penonton terkejut bukan main. Mereka menganga takjub dengan kemampuan permainan Seline. Permainan piano tersebut adalah lagu yang terkenal, yakni La Campanella oleh Liszt. Permainan piano yang membutuhkan konsentrasi ekstr
Brak brak brak brak Pintu kamar Seline digebrak dengan sangat kuat. Seline terjingkat kaget, siapa yang menggebrak kamarnya. Seline hanya diam, dirinya sangat takut ada suatu hal terjadi padanya. Kemudian listrik tiba-tiba padam, sinyal pada ponselnya diblokir, Seline tidak bisa menelpon siapapun. Dirinya juga tidak bisa keluar dari kamar. Seline meringkuk takut. Brak brak brak Pintu digebrak sekali lagi, menambah rasa takut pada diri Seline. Beberapa detik kemudian, pintu didobrak oleh dua laki-laki bertubuh tinggi besar. Dua laki-laki itu masuk, Seline mulai menangis mengeluarkan air matanya. Dua pria yang mendobrak kamarnya kini telah berdiri di hadapan Seline. Mereka hanya diam memandangi Seline. Saking takutnya, Seline tidak berkata apa-apa, dirinya hanya menangis sambil menutupi kedua telinganya. Lalu masuk seorang wanita, yang kemudian berkata “Pegang dia!”. Kedua laki-laki itu menyeret Seline ke tembok dan memegangi tangan serta kakinya. Seline sama sekali tidak bisa b
Pagi itu, di ruang makan, Alina bersama Ali dan Gregor sesekali bersenda gurau. Mereka juga sering melemparkan interaksi kepada Lesmana. Gelak tawa dari Alina memenuhi ruangan. Ah, bahagia sekali saat ini. Apa tidak bisa begini saja setiap hari? Berbeda dengan Alina, Seline tidak berani menatap mereka. Kepalanya menunduk, bayangan perbuatan mereka tadi malam masih terpatri dalam diri Seline. Melihat hal itu, Alina sedikit merasa iba. Dalam hati kecilnya, sungguh ia ingin sedikit lebih akrab dengan Seline. Atau setidaknya, mereka tidak berusaha saling membunuh. Saat ini Alina merasa tenang karena ada Ali dan Gregor yang siap membela dirinya. Namun, mereka berdua juga harus pergi untuk mengurus hal lainnya. Tentu, Alina tidak bisa menahan mereka. Namuns etidaknya, Seline tidak akan bertindak gegabah sekarang, karena Alina juga tidak bodoh untuk mengetahui trik licik Seline. Setelah mengantar kepergian Ali dan Gregor, Alina menuju kamarnya lagi. Mengeluarkan alat-alat yang cukup lama
Mobil Ronald melaju dengan hening. Pengemudinya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara penumpang di sebelahnya, sibuk mengatur perasaannya. Kejadian beberapa saat lalu sangat tidak biasa dalam hidupnya. Alina tidak pernah sama sekali merasakan cinta terhadap lawan jenis, maupun berpacaran. Pun tidak ada yang mengajarkan Alina untuk merasakan semua itu. Alina kebingungan memproses rasa-rasa yang menurutnya asing.Deru nafas dari keduanya menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Mobil Ronald melaju pelan dan terhenti karena macet. Justri, ini menambah kecanggungan diantara mereka berdua. Sebenarnya, Alina tidak mengira keadaan akan sehening ini, mengingat Ronald mungkin pernah beberapa kali merasakan jatuh cinta dan berpacaran. Kejadian di Villa keluarga Ronald membuat Alina berpikiran yang tidak-tidak. Untung saja dirinya cepat-cepat berdiri dan mengalihkan pembicaraan, karena kalau tidak, mereka akan melakukan sesuatu. Lamunannya terjeda ketika mobil Ronald memasuki area
Ronald mengantarkan Alina pulang ke rumahnya. Sesampainya di depan gerbang, mereka diam beberapa saat, hening. Sampai Alina yang mengeluarkan suara, “Ronald, I had so much fun today, thank you!”. Ronald mengangguk dan tersenyum, “With Pleasure, my favorite Lady,” sembari mencium punggung tangan Alina. Setelah diam sebentar, Alina pamit dan membuka pintu mobil Ronald. Tiba-tiba tangannya ditarik kembali, secepat kilat Ronald menyatukan bibir mereka lagi. Ronald mengulum lembut bibir Alina, menarik pinggangnya mendekat ke tubuh Ronald. Ia sangat pandai memainkan bibir Alina, sehingga Alina tidak dapat menolaknya. Jika boleh jujur, ciuman ini sangat candu dan memabukkan. Ronald melepaskan bibirnya, dan membelai wajah Alina yang saat ini sedang cemberut karena ciumannya terhenti. Ronald terkekeh kecil, dan meminta Alina untuk segera masuk ke rumahnya. Alina menurut, dan masuk ke dalam rumahnya. Sungguh hari ini merupakan salah satu hari yang mengubah Alina. Ternyata, perasaan cinta bisa
Alina berdiri di depan pintu apartemen dengan hati yang berdebar. Dia mengambil napas dalam-dalam, menguatkan dirinya sebelum akhirnya membuka pintu dan masuk. Di dalam, pemandangan yang mengejutkan menantinya: Marco, setengah sadar dan terikat di kursi, dengan wajah penuh kebingungan dan ketakutan. Cahaya lampu yang redup membuat bayangan tubuhnya tampak suram, menambah kesan dramatis di dalam ruangan itu.Alina mendekati Marco dengan langkah tenang, tatapannya dingin. "lo bodoh banget, Marco," katanya dengan nada sinis, "Lo ga inget gimana gue bisa lolos dari gudang itu? Gue tau, lo yang bawa gue ke sana! "Marco tersentak, ia tak menyangka Alina akan mengetahui itu. Marco tidak dapat mengelak, ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Lo mau apa sekarang?" tanyanya dengan suara serak.Alina tertawa kecil, memperlihatkan senyum puas. "Lo dan Jade udah menyabotase gue selama ini. Dan gue punya bukti kuat untuk itu," katanya sambil mengeluarkan pons
Felix berhasil memotret mereka berdua, tidak lupa dengan penyadap suara tingkat tinggi. Fellix bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka rencanakan dan siapa dalang di balik semua ini. Laki-laki itu segera menemui Alina dan memberitahu semuanya.Alina merasa semakin aneh, apa yang ia lakukan sampai Seline dan Trisia membencinya sampai seperti ini. Selama ini Alina belum menemukan jawabannya. Tapi Alina yakin, dirinya akan bisa mengatasi ini semua. Ia dan Felix mulai bekerja di tempatnya masing-masing. Felix harus kembali ke Santanu sesegera mungkin untuk mempersiapkan rencana mereka dengan matang. Selama persiapan, Marco dan Alina sama-sama saling mendekatkan diri. Keduanya memiliki rencana. Setiap hari dan setiap detik, Marco selalu melaporkan apapun yang terjadi kepada Jade. Di lain sisi, Jade juga melatih nyanyiannya. Ia tidak sadar, bahwa pianist yang sedang berlatih bersamanya adalah suruhan Felix untuk memata-matai Jade.Jade juga orang yang dianggap berada di sekolah ini. Dir
FLASHBACKAlina berpikir keras, ia dan felix harus tahu siapa dalang dibalik penculikan Alina kali ini, serta cara apa yang mungkin membuat mereka semua kapok untuk menyakiti Alina. Alina dan Felix mulai satu persatu menyebut kemungkinan-kemungkinan nama yang muncul berdasarkan kebencian, atau musuh keluarga Santanu. Mereka juga menambahkan Seline dan Trisia.“Felix, gue inget badan orang yang nyulik gue! Dia tinggi, besar, otot tangannya kuat banget dan kasar!” Alina mencoba mengingat-ingat.“Hmm, kalau begitu gak mungkin dia cewe. Berarti kita harus nyari dia di kelas musik klasik bass dan tenor, atau seni musik. Nanti kita bagi ke orang-orang yang berkemungkinan punya postur tubuh sama seperti yang lo bilang,”Alina dan Felix bergegas menilik foto penerimaan siswa baru di The Castle. Mereka memilah orang-orang yang berpostur tubuh tinggi dan besar. Setelah menemukan lima kandidat, Alina dan Felix cepat-cepat mencari tahu latar belakang orang-orang tersebut. Kemudian mereka menemuka
Alina terhuyung sedikit ke belakang. Betapa semua kejadian ini bercampur menjadi satu. Memang salah Alina apa, sampai mereka berbuat setega ini dengan Alina. Pewara meminta mereka kembali ke ruangan belakang panggung. Kemudian panitia meminta para peserta untuk menonton di kursi penonton. Felix, Alina jadi teringat pada laki-laki itu. Ia adalah satu-satunya orang yang dapat menenangkannya saat ini. tangan Alina bergetar, wajahnya menahan tangis. Saat giliran Jade maju, Alina semakin menganga. Penampilan, dan aransemen Jade sama persis dengan miliknya. Jade menyanyikan Mi chiamano mimì karya Puccini dengan baik. Alina menggelengkan kepalanya. Sungguh dunia ini penuh dengan hal yang tidak disangka-sangka. Setelah Jade Selesai, Alina dipanggil menuju panggung. Marco duduk di depan pianonya, bersiap. Alina menundukkan kepalanya, sedikit membungkuk memberi hormat. Matanya lurus menatap tajam ke arah Seline, dan Ronald. Seline tersenyum kearahnya, senyum yang palsu. Alina mengangguk pada
Mulai sekarang, Alina dan Marco terlihat sering bersama. Bahkan, Marco sampai menjemput Alina di gerbang asrama putri. Keduanya berlatih siang malam. Dengan begitu, Marco akhirnya tahu, mengapa Alina bisa lebih baik dibandingkan penyanyi lainnya. Alina sangat pandai mengatur tubuhnya. Waktu berlatih, waktu istirahat, dan waktu untuk bersantai. Alina juga menjaga makanan dan minuman, serta berolahraga. Ketika berlatih, Alina sama sekali tidak membuat celah, ia ingin tampil sempurna meski pada saat latihan. Hal ini membuat Marco sangat kagum.Dari empat hari yang tersisa, mereka hanya memiliki dua hari untuk latihan sebelum berangkat ke medan perang. Alina mengatur strategi, agar mereka bisa tampil semaksimal mungkin. Alina dan Marco sama-sama anak yang ambisius. Walaupun tidak memenangkan kompetisi, target mereka adalah mengambil hati para juri dan tamu. Alina sangat fokus mendengarkan suaranya sendiri yang direkam, teliti memperhatikan apa yang kurang dari nyanyian tersebut. Marco me
etelah acara itu selesai, Alina mulai didekati oleh anak-anak dengan ekonomi menengah dan bawah. Mereka senang sekali dengan kekuatan Alina yang digunakan untuk membantu orang lain. Alina juga sangat senang apabila sedikit demi sedikit keadilan bisa ditegakkan. “Lo keren Al,” seorang wanita duduk di kursi yang sama dengan Alina. Sejenak, suara desingan angin melewati mereka berdua, gemeretak ranting yang menaungi ikut memecah kesunyian. Saat ini Alina sangat waspada dengan wanita yang ada di sampingnya ini. “Bukan gue,” kata-kata singkat itu seperti jawaban atas pertanyaan yang berputar-putar di kepala Alina. Delancy kemudian beranjak dan pergi meninggalkan Alina. Alina tertegun, apakah memang kejadian yang menimpa Alina banyak yang mengetahui, tapi mereka menutup mana soal ini? Atau bahkan, para penjahat itu menggunakan kekuasaan mereka untuk menutupi kejadian ini? Alina tidak boleh percaya begitu saja pada Delancy. Kini Alina lebih awas dengan sekitarnya. Ia tak mau lagi bersika
Tiit tiit tiitMendengar bunyi itu, Alina langsung menyingkir. Ia menunduk di pojok ruangan dan melindungi kepalanya dengan kursi. Beberapa detik kemudian suara alat berat mulai mendekati ruangan itu.BrakkkAlina melihat excavator itu menghancurkan ruangan kecil ini. Alina cepat berlari ke hadapan excavator tersebut dan melihat Felix mengendarainya. Felix juga melihat Alina, sontak turun dari excavator tersebut dan berlari ke arah Alina.Alina berlinang air mata, ia selalu tau Felix akan datang dan menjaganya. Alina akan meminta maaf pada Felix karena telah sombong. Setibanya Felix di hadapannya, Alina siap menerima pelukan Felix.Getokk“Aww, Felix. Apa-apaan sih lu ga jelas, tiba-tiba getok kepala gue!” Alina mendengus kesal dengan sikap Felix.“Udah tau, sekarang akibatnya kalo lo sok kuat?” wajah Felix memerah, matanya membelalak. “Setidaknya lo harus bisa lari kenceng buat ngelindungin diri lo sendiri!” nada Felix makin naik, membuat Alina menunduk, matanya berkaca-kaca.Felix m
Setelah selesai berlatih, Felix dan Alina diminta menuju ruang pertunjukkan untuk melakukan gladi. Waktu yang digunakan untuk bersiap sangat sebentar, sebagai siswa The Castle, mereka dipercaya dapat tampil dalam acara besar dengan persiapan kurang dari setengah jam. Ternyata selain mereka, banyak siswa baru yang akan tampil juga. Diantaranya adalah anak-anak yang sudah terkenal sebagai seniman muda di televisi, anak seorang pejabat dan pengusaha terkenal, dan juga anak artis.Felix dan Alina dipasangkan sebagai solo sopran yang diiringi oleh pianis. Di sana juga terdapat Delancy yang tampil bersama dua orang lainnya untuk vokal soprano grup. Yakni Gauri Parwati yang merupakan keturunan salah satu orang terkaya di India, dan Son Seung-Wan penyanyi asal Korea Selatan yang terkenal. Alina mengalihkan pandangannya ke tempat duduk, terdapat beberapa anak seperti Muhammad Hamzah yang akan mengiringi permainan biola oleh Latisha Julieta. Serta vokal grup dengan Gaius Jade sebagai Soprano,
“Allen?” Alina diam menatap laki-laki itu. Allen adalah orang yang tidak pernah terbayangkan olehnya bertemu di sini, tempat ini, dan waktu ini. Alina sangat tidak suka dengan Allen, ia berteman dengan ular licik itu.Allen melangkah maju, ingin meraih tangan Alina. Namun ditahan oleh Felix, “mau ngapain lo?”.Allen menepis tangan Felix, “Bukan urusan lo, gue mau bicara empat mata sama Alina!”“Tapi Alina gak mau ngomong sama lo!” Felix mencengkram tangan Allen, menyuruhnya menjauh dari mereka berdua. “Alina please, kasih kesempatan gue ngomong sebentar. Setelah gue ngomong, gue janji akan pergi dan gak ganggu hidup lo lagi,” Allen berkata tulus pada Alina.Alina mengangguk, ia mau berbicara pada Allen. Setelah di tempat yang cukup sepi Alina meminta Allen untuk cepat mengatakan apa maksud dari kedatangannya saat ini. Alina muak harus melihat wajah Allen.“Lo baik-baik aja?” ujar Allen dengan nada khawatir. Alina mengernyit, apa maksud dari perkataan Allen? Apakah ia tahu tentang in