Marissa hampir saja menendang lelaki tua itu dengan kakinya. Pikiran buruk lebih mendominasi ketika dirinya melihat pria itu tiba-tiba menghambur padanya seolah ingin memeluk.“Nyonya, bolehkan saya meminta tolong pada Anda berdua.”Marissa yang masih curiga dengan sosok lelaki ini, menatap penuh selidik. Dalam hati dia bertanya mengapa wajah laki-laki seperti pernah dia temui, tetapi di mana, tanya Marissa dalam hati.“Apa itu?” akhirnya Marissa membuka mulut juga.“Anak saya baru saja melahirkan, namun sayang dia meninggal setelah anaknya lahir. Saya tidak mampu dan tidak bisa merawat cucu saya ini karena keadaan. Bisakah kalian merawat anak ini.”“Hah!” seketika Marissa terbelalak, tidak percaya dengan yang dia dengar.“Tolonglah kami, Nyonya,” pinta lelaki itu seraya menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar.Semakin bingung Marissa dibuatnya, matanya menatap keluar berharap Barra cepat datang.Sementara itu di sudut tersembunyi, tepatnya di area luar yang letaknya berdekat
“Bagaimana bisa Anda di sini,” ucap Barra bingung, mengenali siapa yang datang.Ramses dan Mella datang dan berada di rumah sakit, hal yang seharusnya bukan karena faktor kebetulan.“Nak Barra kenapa hal seperti ini disembunyikan dari kami,” tegur Mella sedikit protes.Wanita itu sudah duduk di sisi pembaringan Marissa.“Maaf Bu. Semua terjadi begitu cepat, kami juga tidak menyangka hal ini terjadi. Tetapi bagaimana Bapak dan Ibu bisa tahu kami di sini?”Ramses tertawa, “Apa kamu lupa dengan feeling seorang wanita yang tajam. Ibumu bermimpi sesuatu yang buruk menimpa Icha, dan seperti biasa aku tidak bisa berbuat apapun ketika Ibumu minta ke kota ini.”“Dan terbukti benar kan! Jangan remehkan kekuatan batin seorang ibu.”Terlihat sekali Mella sedih melihat kondisi anak angkatnya ini, tidak henti tangan wanita itu mengusap wajah dan juga tangan Marissa.“Pulang ikut Ibu ya Nak,” ucap Mella lembut.Rambut Marissa yang kini terurai sedikit berantakan diusap dan dirapikan oleh tanga
Semua mata kini tertuju pada Marissa dan buku yang ada dalam genggamannya. Rona merah menghiasi kedua pipinya yang putih halus.“Apa itu?” tanya Barra hendak mengambil namun tangan Marissa bergerak cepat menyembunyikannya. Mella yang melihat hal tersebut kembali dibuat senang.“Lihat Ayah Bundamu lucu sekali,” bisik Mella pada sosok mungil dalam pelukannya.“Icha selalu membawa buku nikah kemanapun dia pergi. Sebab selama kamu tidak sadar diri, dia selalu mendapatkan pelecehan secara verbal maupun tindakan. Itulah cara dia melindungi dirinya.” Ramses menghentikan Barra yang berusaha ingin tahu.“Oh. Anakku, betapa kuatnya kamu menghadapi ujian hidup,” tutur Ningsih menatap haru.“Eh- sebentar, siapa anak kecil ini?” Ningsih tersadar sesuatu.“Anak kami, Bu,” jawab Barra cepat.“Hah? Baru kemarin periksa kehamilan mengapa sudah ada bayinya?” pekik Ningsih polos.Tawapun terdengar dari bibir Ramses maupun Mella. Banyak sekali kejadian yang tidak bisa disaksikan oleh mereka.
Ternyata bukan sekedar kegilaan ucapan saja, esok harinya Barra menghadap Ramses dan juga Mella mengemukakan keinginannya untuk menikah secara resmi.Alasan yang digunakan oleh lelaki itu, untuk melindungi Marissa secara penuh dan juga keberadaan bayi yang diadopsi oleh mereka.“Memang benar sekali kabar tentangmu yang pandai negosiasi, berdebat dan juga melumpuhkan lawan.”Ramses tertawa, sementara Mella sudah heboh sendiri bersama si kecil.“Oma sih Yes!” serunya.“Bukankah secara administrasi sudah kalian lakukan jauh hari,” balas Barra sedikit sarkas membuat Ramses semakin tertawa lepas.“Aku bangga dengan satria muda seperti ini, kuharap setelah rencana awalmu kupenuhi segera selesaikan misi kita sebelum pesta demokrasi tahun depan.”“Yes Sir!”“Ya sudah kapan kalian akan melangsung-““Hari ini.” Barra memotong kalimat Mella.Wanita itu terkejut nyaris melupakan ada manusia kecil dalam gendongannya.“Lihat kan dia sudah tergila-gila pada anak perempuanmu,” goda Ramses.Barra
“Apa maksudnya?” Ramses yang mengikuti langkah Barra terhenyak dengan tuduhan menantunya.Ya Barra sudah resmi sekarang sebagai suami Marissa sesugguhnya. Ketika semua sudah pergi, sepertinya Barra menepati janjinya. Mulai menyerang lawannya, tetapi Ramses heran mengapa dalam rumahnya ada penyusup. Dan orang itu mengapa harus Rangga.Barra tidak langsung menjawab. Dengan gayanya yang elegan, lelaki itu berbalik badan menghadap Ramses dan kemudian kepalanya menoleh ke arah Rangga.“Itu yang sedang aku tanyakan padanya. Pada hari Icha masuk dalam mobil yang salah, sebenarnya dia sudah tahu. Aku sudah memeriksa CCTV dari sekitar tempat dimana mobilku dan mobil target parkir bersebelahan.”Ramses, Danu, Mella, bahkan Marissa terkejut mendengar penjelasan Barra. Terlebih Marissa, dalam benaknya ingin menyangkal pendapat lelaki tersebut, namun ketika Barra mengatakan berdasarkan bukti rekaman CCTV dia jadi dilema.“Apa benar itu Rang?” tanya Marissa.Matanya masih terlihat sayu, me
Brak.Pintu tiba-tiba terbuka, Marissa berdiri di depannya seraya menatap ke dalam. Tepatnya pada Rangga, wajah wanita yang mempunyai hubungan personal sangat dekat itu memancarkan sorot kekecewaan. Langkah kaki perlahan mendekat, tanpa bicara Marissa berdiri tepat berjarak satu jengkal lengannya.Plak!Tamparan keras tak pelak mendarat di wajah Rangga. Lelaki itu terkejut, demikian juga Barra.“Icha –““Salah apa aku padamu, Rang? Tega kamu mau mencelakakanku. Kalau aku naik mobil yang salah seharusnya kamu datangi aku, bukan kau biarkan saja.” Marissa tidak menghiraukan ucapan Barra, serentetan kalimat terlontar dengan emosi jiwa.Ruangan kerja Ramses yang mempunyai dua pendingin udara sepertinya tidak mampu mendinginkan suasana hati Marissa. Tangannya masih mengepal dan bibirnya sedikit terbuka, hingga barisan gigi yang terkatup rapat terlihat.“Mbak, maafkan aku. Aku terpaksa!”“Kita selalu bahas rencana ini berdua, apa kau ceritakan semua rencanaku pada mereka!” ucap Mar
Pertanyaan Marissa hanya ditanggapi dengan tatapan Barra. Lelaki itu mengerutkan dahinya seraya mengeraskan rahang, terlihat jelas jika dirinya sedang memikirkan sesuatu.Drrt, drrt.Getaran ponsel yang ada di atas nakas mengalihkan perhatian Barra. Dengan satu jangkauan tangannya yang panjang, benda pipih tersebut sudah berpindah tempat. Sebuah pesan masuk dan terbaca sepintas oleh mata Marissa.‘Rencana berhasil’ demikian sepotong penggalan pesan.Barra membaca dan kemudian menghapus pesan tersebut.“Mengapa dihapus? Rencana apa?” tanya Marissa.Barra terdiam, dan kembali pada posisi sebelumnya memandang Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan oleh wanita itu.“Ada apa?”“Adik sudah siap?” akhirnya Barra bersuara.“Si – siap apa, Bang?” suara Marissa tergagap. Tatapannya sontak kebawah kemudian menatap Barra lalu beralih lagi ke arah tidak menentu.“Dik? Ada apa? Sudah siap kah?” ulang Barra bingung.“Eh – eh,” gumam Marissa lirih. Tidak tahu bagaimana wajahnya sek
Dua pekan berlalu. Sepanjang waktu yang seakan landai digunakan oleh Barra untuk berunding dengan tim kuasa hukum militernya. Sebab target dari pembunuhan suami pertama Marissa adalah keluarga atau kerabat dari anggota Militer Darlan.Berbeda dengan sang suami, Marissa tetap menjalankan tugasnya sebagai pengawal pribadi Mella dan saat ini akan menghadiri acara istri petinggi militer Darlan.“Ada acara kemana?” tanya Barra saat melihat istrinya sudah mengenakan baju dinas safarinya.Marissa merapikan sedikit anak rambut yang keluar dari sanggulnya, kemudian merapikan riasan yang natural pada wajah cantiknya.“Iya, Ibu ada acara pertemuan arisan di wisma anyelir.”“Wisma anyelir?”“Gedung pertemuan di sebelah kantor Panglima Tertinggi.”“Hati-hati,” pesan Barra seraya membetulkan kerah baju Marissa.Rutinitas yang mulai disukai oleh Barra, sebagai pasangan sah Marissa. Kebahagiannya adalah dapat memberikan perhatian disela kesibukkannya sebagai anggota militer yang penuh dengan ris
“Apa yang sedang kamu lakukan?”Rangga terperanjat ketika tiba-tiba suara bariton khas milik Barra terdengar dari belakang tubuhnya. Lelaki muda itu masih mengawasi kepergian Mella dan Marissa, bersamaan dengan Suster yang sedang menggendong bayi mungil melambaikan tangan seperti hal yang sering dilakukan oleh anak kecil melepas ibu dan neneknya pergi.“Siap tidak ada, Kapt,” ujar Rangga sedikit canggung. Raut wajahnya melukiskan kesan tidak nyaman bertemu dengan pria yang selalu berwajah masam padanya.“Jika kamu berpikiran jahat padanya, enyahkan jauh-jauh sebelum kamu lakukan!”Tatapan yang tajam terasa seperti mengiris iris mata Rangga. Barra memang sedang mengancamnya. Rangga hanya bisa menelan air liurnya saja.“Jenderal Ramses masih memberikan kesempatan padamu, tetapi aku tidak. Aku akan percaya jika kamu membuktikan dengan perbuatan dan bukan rekayasa. Ingat feelingku akan mengetahui kamu sedang memainkan trik konyol atau memang tulus membela kebenaran!”Angin yang bere
Dua pekan berlalu. Sepanjang waktu yang seakan landai digunakan oleh Barra untuk berunding dengan tim kuasa hukum militernya. Sebab target dari pembunuhan suami pertama Marissa adalah keluarga atau kerabat dari anggota Militer Darlan.Berbeda dengan sang suami, Marissa tetap menjalankan tugasnya sebagai pengawal pribadi Mella dan saat ini akan menghadiri acara istri petinggi militer Darlan.“Ada acara kemana?” tanya Barra saat melihat istrinya sudah mengenakan baju dinas safarinya.Marissa merapikan sedikit anak rambut yang keluar dari sanggulnya, kemudian merapikan riasan yang natural pada wajah cantiknya.“Iya, Ibu ada acara pertemuan arisan di wisma anyelir.”“Wisma anyelir?”“Gedung pertemuan di sebelah kantor Panglima Tertinggi.”“Hati-hati,” pesan Barra seraya membetulkan kerah baju Marissa.Rutinitas yang mulai disukai oleh Barra, sebagai pasangan sah Marissa. Kebahagiannya adalah dapat memberikan perhatian disela kesibukkannya sebagai anggota militer yang penuh dengan ris
Pertanyaan Marissa hanya ditanggapi dengan tatapan Barra. Lelaki itu mengerutkan dahinya seraya mengeraskan rahang, terlihat jelas jika dirinya sedang memikirkan sesuatu.Drrt, drrt.Getaran ponsel yang ada di atas nakas mengalihkan perhatian Barra. Dengan satu jangkauan tangannya yang panjang, benda pipih tersebut sudah berpindah tempat. Sebuah pesan masuk dan terbaca sepintas oleh mata Marissa.‘Rencana berhasil’ demikian sepotong penggalan pesan.Barra membaca dan kemudian menghapus pesan tersebut.“Mengapa dihapus? Rencana apa?” tanya Marissa.Barra terdiam, dan kembali pada posisi sebelumnya memandang Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan oleh wanita itu.“Ada apa?”“Adik sudah siap?” akhirnya Barra bersuara.“Si – siap apa, Bang?” suara Marissa tergagap. Tatapannya sontak kebawah kemudian menatap Barra lalu beralih lagi ke arah tidak menentu.“Dik? Ada apa? Sudah siap kah?” ulang Barra bingung.“Eh – eh,” gumam Marissa lirih. Tidak tahu bagaimana wajahnya sek
Brak.Pintu tiba-tiba terbuka, Marissa berdiri di depannya seraya menatap ke dalam. Tepatnya pada Rangga, wajah wanita yang mempunyai hubungan personal sangat dekat itu memancarkan sorot kekecewaan. Langkah kaki perlahan mendekat, tanpa bicara Marissa berdiri tepat berjarak satu jengkal lengannya.Plak!Tamparan keras tak pelak mendarat di wajah Rangga. Lelaki itu terkejut, demikian juga Barra.“Icha –““Salah apa aku padamu, Rang? Tega kamu mau mencelakakanku. Kalau aku naik mobil yang salah seharusnya kamu datangi aku, bukan kau biarkan saja.” Marissa tidak menghiraukan ucapan Barra, serentetan kalimat terlontar dengan emosi jiwa.Ruangan kerja Ramses yang mempunyai dua pendingin udara sepertinya tidak mampu mendinginkan suasana hati Marissa. Tangannya masih mengepal dan bibirnya sedikit terbuka, hingga barisan gigi yang terkatup rapat terlihat.“Mbak, maafkan aku. Aku terpaksa!”“Kita selalu bahas rencana ini berdua, apa kau ceritakan semua rencanaku pada mereka!” ucap Mar
“Apa maksudnya?” Ramses yang mengikuti langkah Barra terhenyak dengan tuduhan menantunya.Ya Barra sudah resmi sekarang sebagai suami Marissa sesugguhnya. Ketika semua sudah pergi, sepertinya Barra menepati janjinya. Mulai menyerang lawannya, tetapi Ramses heran mengapa dalam rumahnya ada penyusup. Dan orang itu mengapa harus Rangga.Barra tidak langsung menjawab. Dengan gayanya yang elegan, lelaki itu berbalik badan menghadap Ramses dan kemudian kepalanya menoleh ke arah Rangga.“Itu yang sedang aku tanyakan padanya. Pada hari Icha masuk dalam mobil yang salah, sebenarnya dia sudah tahu. Aku sudah memeriksa CCTV dari sekitar tempat dimana mobilku dan mobil target parkir bersebelahan.”Ramses, Danu, Mella, bahkan Marissa terkejut mendengar penjelasan Barra. Terlebih Marissa, dalam benaknya ingin menyangkal pendapat lelaki tersebut, namun ketika Barra mengatakan berdasarkan bukti rekaman CCTV dia jadi dilema.“Apa benar itu Rang?” tanya Marissa.Matanya masih terlihat sayu, me
Ternyata bukan sekedar kegilaan ucapan saja, esok harinya Barra menghadap Ramses dan juga Mella mengemukakan keinginannya untuk menikah secara resmi.Alasan yang digunakan oleh lelaki itu, untuk melindungi Marissa secara penuh dan juga keberadaan bayi yang diadopsi oleh mereka.“Memang benar sekali kabar tentangmu yang pandai negosiasi, berdebat dan juga melumpuhkan lawan.”Ramses tertawa, sementara Mella sudah heboh sendiri bersama si kecil.“Oma sih Yes!” serunya.“Bukankah secara administrasi sudah kalian lakukan jauh hari,” balas Barra sedikit sarkas membuat Ramses semakin tertawa lepas.“Aku bangga dengan satria muda seperti ini, kuharap setelah rencana awalmu kupenuhi segera selesaikan misi kita sebelum pesta demokrasi tahun depan.”“Yes Sir!”“Ya sudah kapan kalian akan melangsung-““Hari ini.” Barra memotong kalimat Mella.Wanita itu terkejut nyaris melupakan ada manusia kecil dalam gendongannya.“Lihat kan dia sudah tergila-gila pada anak perempuanmu,” goda Ramses.Barra
Semua mata kini tertuju pada Marissa dan buku yang ada dalam genggamannya. Rona merah menghiasi kedua pipinya yang putih halus.“Apa itu?” tanya Barra hendak mengambil namun tangan Marissa bergerak cepat menyembunyikannya. Mella yang melihat hal tersebut kembali dibuat senang.“Lihat Ayah Bundamu lucu sekali,” bisik Mella pada sosok mungil dalam pelukannya.“Icha selalu membawa buku nikah kemanapun dia pergi. Sebab selama kamu tidak sadar diri, dia selalu mendapatkan pelecehan secara verbal maupun tindakan. Itulah cara dia melindungi dirinya.” Ramses menghentikan Barra yang berusaha ingin tahu.“Oh. Anakku, betapa kuatnya kamu menghadapi ujian hidup,” tutur Ningsih menatap haru.“Eh- sebentar, siapa anak kecil ini?” Ningsih tersadar sesuatu.“Anak kami, Bu,” jawab Barra cepat.“Hah? Baru kemarin periksa kehamilan mengapa sudah ada bayinya?” pekik Ningsih polos.Tawapun terdengar dari bibir Ramses maupun Mella. Banyak sekali kejadian yang tidak bisa disaksikan oleh mereka.
“Bagaimana bisa Anda di sini,” ucap Barra bingung, mengenali siapa yang datang.Ramses dan Mella datang dan berada di rumah sakit, hal yang seharusnya bukan karena faktor kebetulan.“Nak Barra kenapa hal seperti ini disembunyikan dari kami,” tegur Mella sedikit protes.Wanita itu sudah duduk di sisi pembaringan Marissa.“Maaf Bu. Semua terjadi begitu cepat, kami juga tidak menyangka hal ini terjadi. Tetapi bagaimana Bapak dan Ibu bisa tahu kami di sini?”Ramses tertawa, “Apa kamu lupa dengan feeling seorang wanita yang tajam. Ibumu bermimpi sesuatu yang buruk menimpa Icha, dan seperti biasa aku tidak bisa berbuat apapun ketika Ibumu minta ke kota ini.”“Dan terbukti benar kan! Jangan remehkan kekuatan batin seorang ibu.”Terlihat sekali Mella sedih melihat kondisi anak angkatnya ini, tidak henti tangan wanita itu mengusap wajah dan juga tangan Marissa.“Pulang ikut Ibu ya Nak,” ucap Mella lembut.Rambut Marissa yang kini terurai sedikit berantakan diusap dan dirapikan oleh tanga
Marissa hampir saja menendang lelaki tua itu dengan kakinya. Pikiran buruk lebih mendominasi ketika dirinya melihat pria itu tiba-tiba menghambur padanya seolah ingin memeluk.“Nyonya, bolehkan saya meminta tolong pada Anda berdua.”Marissa yang masih curiga dengan sosok lelaki ini, menatap penuh selidik. Dalam hati dia bertanya mengapa wajah laki-laki seperti pernah dia temui, tetapi di mana, tanya Marissa dalam hati.“Apa itu?” akhirnya Marissa membuka mulut juga.“Anak saya baru saja melahirkan, namun sayang dia meninggal setelah anaknya lahir. Saya tidak mampu dan tidak bisa merawat cucu saya ini karena keadaan. Bisakah kalian merawat anak ini.”“Hah!” seketika Marissa terbelalak, tidak percaya dengan yang dia dengar.“Tolonglah kami, Nyonya,” pinta lelaki itu seraya menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar.Semakin bingung Marissa dibuatnya, matanya menatap keluar berharap Barra cepat datang.Sementara itu di sudut tersembunyi, tepatnya di area luar yang letaknya berdekat