Beberapa waktu berlalu. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi pepohonan tinggi khas negeri Elf, para anggota suku sibuk dengan persiapan. Ada yang mengasah pedang, memeriksa busur, dan memasang pelana pada kuda-kuda mereka. Angin dingin bertiup, membawa aroma kayu basah dan daun segar. Namun, suasana hati para prajurit tetap tegang. Darrel memandangi sekeliling, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana asing ini. Sementara itu, Cilera berdiri di sampingnya, memperhatikan kesibukan dengan ekspresi tenang. "Kau terlihat diam," kata Cilera tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka. Darrel menghela napas pelan. "Aku hanya memikirkan sesuatu. Apakah semua ini cukup untuk menghadapi pasukan iblis?" Cilera memegang dagunya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Belum tentu. Tapi, jika kita tidak mencoba, apa lagi yang bisa kita lakukan? Setidaknya, kita harus bertarung sampai titik darah penghabisan." Darrel menatapnya dengan mata serius. "Apa Lord Aron memerintahkan semua suku
Jauh di tengah kegelapan kastil yang megah namun menyeramkan, seorang pria bersiluet hitam duduk di atas singgasana besar, diselimuti bayang-bayang yang hampir sepenuhnya menyembunyikan sosoknya. Matanya yang berkilau ungu gelap menembus kegelapan, memancarkan aura dingin yang mencekam."Jadi, mereka akhirnya bergerak, ya?" ucapnya, suara beratnya bergema, memecah keheningan.Di hadapannya, seorang pria bertudung hitam berlutut dengan sikap hormat. "Benar, Tuan. Pasukan iblis telah bergerak, setengah dari mereka kini bergerak di perbatasan negeri Elf. Dari informasi terakhir kami, Raja Iblis kemungkinan akan menunjukkan dirinya dalam waktu dekat."Sosok di singgasana menyandarkan kepalanya dengan santai, seolah menikmati laporan itu. Sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya. "Bagus. Itu berarti saat kita untuk bergerak sudah hampir tiba. Pastikan tidak ada informasi yang bocor ke negeri manusia. Semua jalur komunikasi harus diputuskan. Aku ingin kekacauan ini tetap terisolasi di tanah E
Bab 85: Bayang-Bayang di Ujung JurangDi sisi lain Negeri Elf, Vindel terus memacu rusa seukuran kuda yang ditungganginya melewati hutan yang semakin gelap. Bayang-bayang pepohonan raksasa diiringi suara lolongan serigala mengiringi setiap langkahnya. Vindel menghela napas panjang, satu tangannya menggenggam busur, sementara tangan lainnya bersiap dengan anak panah yang membidik ke arah serigala hitam."Binatang sihir ini seperti tidak ada habisnya!" gerutunya sambil memutar tubuh, memanah kawanan serigala hitam yang mengejarnya.Anak panahnya melesat, menancap di tubuh beberapa serigala. Tubuh mereka meledak menjadi debu hitam, tetapi kawanan di belakangnya tampak tidak gentar sedikit pun."Brengsek, jumlah mereka lebih banyak dari yang kuduga!" Vindel berdecak kesal. Wajahnya yang biasanya santai kini semakin serius, matanya memantulkan tekad kuat untuk bertahan hidup.Ia mengerahkan ennerginya pada anak panah yang mulai berkilau, melesat dengan kecepatan luar biasa hingga menimbu
Butiran kerikil dan debu beterbangan dari ledakan itu, menciptakan kepulan asap pekat di atas tanah yang porak-prannda."Ugh..." Vindel terhuyung keluar dari asap, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir deras dari bahu kirinya. Ledakan tadi memang tidak langsung membunuhnya, tetapi cukup untuk membuatnya kehilangan banyak tenaga."Oh? Keras kepala sekali kau, Nak," sosok berjubah hitam berkata dengan senyum mengejek. Matanya yang bersinar dingin menyipit, menunjukkan penghinaan yang mendalam.Vindel, meskipun terluka parah, tetap berusaha tegak. Tangannya gemetar ketika ia meraih busurnya lagi. Namun, ia tahu serangan berikutnya tidak akan memberinya kesempatan untuk bertahan. Pikiran Vindel berpacu, mencoba mencari jalan keluar.‘Aku belum boleh mati di sini,’ pikirnya. Vindel mengingat kembali tugasnya untuk menyampaikan permintaan bala bantuan ke suku pedalaman Great Forest belum selesai. Jika ia gagal, Kerajaan Moondale akan kehilangan sekutunya dalam perang melawan ras iblis.Sos
Hamparan tanah tandus di hutan Redthorn kini berubah menjadi medan perang yang mencekam. Tanah retak, langit kelabu, dan udara berat oleh aroma busuk iblis yang bercampur dengan debu. Kabut hitam pekat mengambang, seolah menjadi tirai yang menutupi kekacauan di tempat itu.Di kejauhan, pasukan Kerajaan Moondale yang baru tiba melangkah dengan megah. Pancaran cahaya perak dari armor mereka memantulkan sinar matahari yang samar, menciptakan kilauan di tengah kegelapan. Bendera kerajaan berkibar di tengah angin, simbol dari sebuah pohon raksasa yang persis mencerminkan Tree Of Wisdom, mengingatkan setiap prajurit pada tekad dan harapan untuk bangkit meskipun menghadapi kehancuran.Seorang prajurit elf muda, wajahnya penuh luka dan darah, mendekati Jenderal Leonor. "Jenderal, pasukan utama telah tiba," katanya dengan nada lega, tetapi suaranya gemetar oleh kelelahan.Jenderal Leonor, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, memandangnya sekilas. "Bagaimana situasi di si
Medan perang itu bergetar hebat saat golem raksasa hendak mengangkat tangannya yang besar dan dipenuhi bebatuan keras, mencoba menghantam barisan prajurit elf yang ketakutan. Sebuah dentuman keras terdengar, seakan seluruh tanah itu akan terbelah. Namun, saat tangan golem yang besar hendak mendaratkan pukulan, tiba-tiba tangan itu terpotong menjadi dua bagian."Sssrreeettttt!"Sebuah suara tajam terdengar, dan gumpalan batu besar yang mengelilingi lengan golem terjatuh berantakan ke tanah, menciptakan percikan batu yang menyebar di sekitar medan perang.Para prajurit elf dan penyihir yang sebelumnya tampak terkejut dan takut, kini terdiam, kebingungan dan tak percaya. "Apa yang terjadi? Tangan golem itu... terputus?!" teriak salah satu prajurit dengan nada penuh keheranan.Di tengah kebingungannya, mereka melihat seorang pemuda muncul entah dari mana, melompat tinggi di udara, langsung menerjang golem itu dengan keberanian yang luar biasa. Pedangnya yang terhunus bersinar dingin, mem
"Sial! Bedebah itu berhasil kabur," gerutu Delphira dengan napas terengah-engah, memandangi sosok berjubah hitam yang berlari menghilang ke kedalaman hutan lebat.Angin malam menyapu wajahnya yang sedikit di aliri keringat. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya hutan, memastikan lawannya benar-benar pergi. Tubuhnya terasa agak letih, tenaga dalamnya terkuras setelah bertarung melawan sosok misterius itu. Ia menoleh ke arah luka kecil di lengannya, darah masih menetes perlahan."Kalau dia benar-benar bertarung sampai mati, aku mungkin harus siap kehilangan satu lemgan atau luka besar," gumamnya seraya mengusap keringat di dahinya. Meski berhasil memaksa lawannya mundur, ia tahu bahwa pertempuran tadi hampir berakhir buruk baginya.Delphira menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum melangkah mundur menuju tepi jurang. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke udara. Seketika seekor elang raksasa dengan bulu keemasan menyambarnya, membawa tubuhnya melesat tinggi ke langit....S
Medan perang adalah neraka. Jeritan prajurit dan raungan iblis terus menggema, sementara darah mengalir seperti sungai di atas tanah, menghiasi tanah tandus itu, sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan, menjadi saksi bisu betapa brutalnya pertarungan yang berlangsung.Di tengah kekacauan, Jenderal Leonor berdiri dengan pedang yang meneteskan darah. Napasnya memburu, tapi matanya tetap memancarkan determinasi. Armor peraknya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang memudar di balik awan gelap. Ia baru saja berhasil menumbangkan golem iblis raksasa dengan bantuan para penyihir elf dan Darrel. Namun, senyum kepuasan tak sempat menghiasi wajahnya."Sial! Mereka tidak kenal lelah!" seru Leonor seraya menebaskan pedangnya ke arah iblis yang mendekat. "Seolah mereka tak peduli dengan nyawa mereka sendiri!"Seorang penyihir elf, Mariel, mengangguk dengan wajah pucat. "Pasukan iblis ini seperti dipacu oleh sesuatu yang lebih besar, Jenderal. Ada kekuatan yang tidak biasa mempenga
Di aula megah Istana Moodale, suasana berubah menjadi hening ketika Darrel, Vindel, dan Cilera berlutut dengan penuh penghormatan di hadapan Lord Aron, penguasa negeri Elf yang dihormati. Lord Aron duduk di atas singgasananya yang terbuat dari kayu kuno dengan ukiran unik, dihiasi dengan kilauan kristal yang memancarkan cahaya lembut. Ia memandangi mereka bertiga dengan tatapan lega sekaligus senang."Sudahlah, anak muda," ujar Lord Aron sambil melangkah maju. Suaranya tegas namun penuh kehangatan. "Kalian tak perlu berlutut terlalu lama, terutama bagi seorang Pembawa Takdir sepertimu, Darrel... Berdirilah."Vindel, dengan rasa gugup yang jelas terlihat dari raut wajahnya, segera menjawab, "Sudah tugas kami memberikan penghormatan padamu, Yang Mulia. Anda tidak perlu merasa sungkan." Suaranya terdengar penuh hormat, tetapi sedikit gugup.Lord Aron tertawa ringan, menunjukkan kebijaksanaan dan wibawanya. "Tak ada yang lebih patut dihargai selain orang yang gagah berani menyelamatkan n
Sosok berjubah hitam itu menatap Darrel dengan waspada. Ada sesuatu yang begitu kuat dalam diri pemuda itu—sesuatu yang bahkan ia sendiri tak bisa mengukur batasnya. Dalam kekosongan ruang gua di bawah jurang yang sunyi, sosok itu tahu, dia sedang menghadapi lawan yang jauh lebih kuat dari yang ia bayangkan.Namun, kebanggaan dan keberaniannya tak memudar. "Siapapun dirimu, aku tak peduli," teriaknya, suaranya penuh kebencian. "Yang jelas, kau harus bertanggung jawab karena merusak benda itu!" Ia mengangkat kedua tangannya, bola energi hitam besar terbentuk di telapak tangannya. Dalam sekejap, bola itu melesat ke arah Darrel, mengguncang udara di sekitarnya dengan energi gelap yang mengerikan.Serangan itu terbang dengan kecepatan luar biasa, seakan-akan tak ada yang bisa menghalanginya. Tapi Darrel, yang hanya berdiri diam, menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Sebelum bola energi hitam itu mencapai sasaran, sebuah cahaya keemasan melesat begitu cepat, membelah bola itu dengan
Setelah kekacauan di medan perang perlahan mereda, keheningan yang ganjil menyelimuti tanah yang sebelumnya menjadi saksi bisu pertarungan dahsyat. Darrel berdiri tegap di tengah reruntuhan dan darah yang membasahi tanah, napasnya berhembus halus, tapi matanya masih memancarkan kilatan emas yang mengintimidasi. Tubuhnya telanjang dada, otot-ototnya yang tegas kini terlihat jelas, namun pakaian dari sisik naga melindungi setengah bagian bawah tubuhnya, menciptakan aura seorang kesatria legendaris.Di sekelilingnya, pasukan elf yang tersisa bersorak-sorai. Sorakan kemenangan bergema, memenuhi udara yang sebelumnya dihiasi teriakan perang dan dentingan senjata. Pasukan iblis yang kehilangan pemimpin mereka, Luciferos, menjadi kacau dan bingung. Mereka yang tersisa mencoba melarikan diri, tapi suku elf dengan mudah memburu mereka, membabat habis sisa-sisa kegelapan tanpa ampun.Cilera, yang masih berdiri tak jauh dari medan perang, perlahan mendekati Darrel. Wajahnya menunjukkan campur
Di bawah langit mendung yang tampak berat, rintikan hujan kecil jatuh ke bumi dengan lembut, membasahi dedaunan dan tanah hutan yang gelap. Kabut hitam pekat menyelimuti seluruh wilayah, menciptakan suasana yang suram dan penuh misteri. Di tengah keheningan ini, sebuah kastil yang tampak suram dan angker berdiri tegak, dikelilingi oleh bayang-bayang kegelapan.Di dalam kastil tersebut, sebuah siluet hitam berdiri tegak, merasakan gelombang energi yang datang dari kejauhan. Mata sosok tersebut memancarkan kilatan tajam, dan tubuhnya seolah menegang, tak dapat bergerak. Kejutan yang luar biasa mengguncang dirinya, disertai perasaan gairah dan hasrat yang terpendam lama."Energi ini! Dia... apakah dia kembali?" bisiknya dengan suara serak, matanya terbelalak, penuh ketegangan dan kebingungan. Ada semacam kebencian yang terpendam dalam dirinya, bercampur dengan keinginan untuk memiliki kekuatan yang luar biasa tersebut. "Tidak mungkin... tidak bisa!" gumamnya, merasakan kegelisahan yang
Tubuh Darrel bergetar hebat, pancaran cahaya keemasan keluar dari setiap retakan di kulitnya. Rasa sakit yang luar biasa menghantamnya, membuat tubuhnya seolah tak mampu menahan energi besar yang terus meluap."Aah!" Darrel meraung keras, mencoba menahan ledakan kekuatan di dalam tubuhnya. Kulitnya mengembang seperti balon besar, terasa elastis namun menyakitkan. Energi itu begitu mengerikan, hingga seluruh dimensi tampak bergetar karena keberadaannya.Cahaya keemasan memancar dari mata dan mulut Darrel, raungan kerasnya menggema, seolah ingin menghancurkan dimensi yang ia tempati.Namun, seketika, tubuhnya yang mengembang kembali ke bentuk semula, seolah tak pernah terjadi apa-apa.Matanya yang terpejam perlahan terbuka, memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan. Pupilnya, yang sebelumnya biru langit dan biasa, kini berkilauan dengan warna emas membara, seperti mata naga yang menyimpan kebijaksanaan dan kekuatan abadi.Darrel menarik napas panjang, ruang di sekitarnya bergetar heb
Di suatu dimensi yang dipenuhi bintang-bintang dan langit biru gelap, terlihat seperti sebuah alam semesta yang tak terbatas. Sosok Darrel terbaring di atas permukaan air dangkal yang berkilauan, bak cermin yang memantulkan segalanya. Ia merasakan keheningan yang mendalam, namun juga ada perasaan asing yang mengganggu.Perlahan, Darrel membuka matanya. Matanya terasa berat, namun ia terkejut mengetahui bahwa dirinya masih hidup. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa lemah. Dan matanya menyapu sekitar tempat yang ia tempati begitu terasa asing baginya."Apa... ini? Dimana aku?" gumam Darrel, kebingungannya semakin memuncak.Suara yang berat dan penuh wibawa terdengar dari arah yang tidak jauh. "Kau sudah bangun, nak?" tanya sosok raksasa itu dengan suara dalam dan penuh kehormatan.Darrel mendongak dan melihat sosok besar yang memancarkan kekuatan agung, sebuah makhluk yang tak bisa disangkal lagi—sebuah naga raksasa. Sayap lebar yang berkilauan dan mata emas yang penuh kebijaksana
Cilera berdiri terpaku, tangan yang memegang busur gemetar hebat. Air matanya tak lagi dapat ditahan, mengalir deras melewati pipinya. la memandangi Darrel yang masih tertusuk oleh tulang tajam, tubuhnya lemas tak bergerak. Sejenak, bayangan masa lalu mereka melintas di benaknya-senyuman hangat Darrel, keberanian yang ia tunjukkan, dan janji untuk melindungi dunia. Suara Luciferos yang penuh ejekan terus menggema di telinganya, tetapi tidak ada yang mampu menenangkan ketakutan dalam hatinya. Ia meremas busurnya dengan kedua tangan, tetapi lututnya melemas, seolah kekuatan untuk berdiri pun menghilang.“Darrel…” lirihnya, air mata mengalir semakin deras. “Kau… ini semua salahku. Aku harusnya tak membiarkanmu pergi sendiri.”Di sampingnya, Vindel mengeratkan genggamannya pada pedang yang ia pegang. Rahangnya mengatup kuat, menahan gejolak emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Darrel, ia tahu bahwa pemuda itu adalah sosok yang lebih dari sekadar sekutu ia adalah harapan yang mampu me
Darrel berdiri dengan napas memburu, tubuhnya penuh luka. Setiap gerakan terasa seperti menahan beban gunung, tetapi matanya masih bersinar tajam dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di hadapannya, ketiga jenderal iblis—Mordor dengan kapak raksasanya, Kroel dengan tombak tajam mematikannya, dan Isengard dengan pedang-pedang melengkung yang berkilauan oleh energi merah darah—melangkah maju, aura mematikan mereka semakin menekan atmosfer.“Aku sudah cukup bersenang-senang,” Isengard berkata dingin sambil menyeringai. “Saatnya kau mati, manusia kecil.”Darrel memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melanda seluruh tubuhnya. Dalam pikirannya, bayangan naga emas raksasa, Drakonis, muncul, memandangnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan wibawa."Drakonis, aku butuh kekuatanmu.""Tubuhmu tidak cukup kuat untuk menanggung semuanya, nak," balas suara berat Drakonis. "Jika aku memberimu lebih, kau mungkin tidak akan bertahan.""Aku tidak peduli! Bahkan jika nyawaku harus me
Bab 93 – Tekanan Tiga JenderalKapak besar Jendral iblis Mordor mengayun dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Udara di sekitarnya berdesing tajam, menyiratkan kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan gunung dalam sekali tebasan. Namun, Darrel dengan refleks luar biasa menghindar, tubuhnya bergerak cepat meninggalkan bayangan hitam.Mata keemasan Darrel bersinar tajam, memindai tiga jenderal iblis yang mengepungnya. Mordor berdiri dengan kapak raksasanya, sosok merah darah itu adalah simbol kekuatan mentah. Di sisi lain, Isengard yang lebih ramping namun menyeramkan dengan dua pedang melengkung di tangannya, menebarkan aura haus darah. Terakhir adalah Kroel, tubuhnya dilapisi armor hitam pekat yang membuatnya tampak seperti benteng hidup, dengan tombak panjang berujung runcing yang sesekali menyala dengan energi gelap."Kau manusia keras kepala!" raung Mordor, taring tajamnya tampak saat ia membuka mulutnya lebar. "Menghindar terus? Apa itu cara para kalian manusia bertarung?