Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad. Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang
Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya. Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan
Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari. Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mende
Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali.“Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?”Elara memandangnya dengan seny
Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga."Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri.Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat.Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada
Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir. Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. “Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?” Darre
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Di kejauhan, sepasang mata besar dari seekor naga raksasa bercahaya suram, memancarkan aura kegelapan yang menyesakkan udara. Nytheris, naga hitam yang telah menjadi undead, terbang di atas langit dengan tatapan dingin, mengamati medan perang yang bergejolak di bawah kakinya."Hmph, Bartos telah gagal. Bahkan dia tak mampu mengalahkan seorang manusia lemah." suara Nytheris bergemuruh rendah, penuh rasa muak. Ia memalingkan wajahnya, memperhatikan gelombang pasukan undead yang terus menggempur para ksatria manusia. Namun, perhatiannya terpecah saat merasakan aura kuat mendekat.Aura yang tidak asing baginya."Nytheris!" terdengar raungan lantang dari kejauhan. Seekor naga perak dengan sisik yang memantulkan cahaya keemasan melesat cepat dari arah depannya. "Aku tak akan membiarkanmu terus menciptakan kehancuran di atas dunia ini!"Nytheris mengerutkan wajahnya. "Balroth..." gumamnya sambil tersenyum dingin. "Sudah lama, teman lamaku. Sayangnya sekarang, kita tidak lagi berada di piha
Gejolak kekuatan kegelapan menyelimuti medan perang seperti badai hitam. Aura kehancuran yang terpancar darinya terasa menusuk tulang, membuat para prajurit dan ksatria menggigil meski mereka tetap memegang senjata. Pasukan undead Drakonik yang mengikuti Nytheris berdiri gagah, meraung dengan semangat liar, menunjukkan kesetiaan abadi kepada jenderal mereka.Duke Davin Van Bertrand mengerutkan alisnya, menatap Nytheris yang berdiri jauh di tengah gelombang para monster. Ia tahu, kekuatan itu bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh."Monster-monster ini lebih dari cukup untuk memusnahkan seluruh negeri dalam satu malam," gumam Duke Davin, suaranya rendah namun penuh ketegangan.Di tengah pikirannya, sosok orc undead besar menerobos barisan monster, meluncur ke arahnya. Makhluk itu mengangkat kapak besar berduri, mengarahkannya langsung ke kepala sang Duke.Dengan kelincahan luar biasa, Duke Davin melompat ke samping, menghindari serangan maut itu. Dalam sekejap, ia sudah melayang di ud
Di atas benteng, suasana tegang menyelimuti udara. Para prajurit menguatkan tekad masing-masing, tangan mereka erat menggenggam senjata. Dari sudut pandang mereka, gelombang monster undead dan monster sihir yang mendekat tampak seperti banjir hitam pekat yang siap menelan segalanya. "Semuanya! Jangan biarkan satupun monster-monster itu melewati benteng pertahanan kita!" seru Lorkan, suaranya memecah kebisuan dan membangkitkan semangat prajurit. Tanpa ragu, ia melompat dari ketinggian tembok kayu, mendarat dengan mantap di atas tanah yang bergetar karena langkah ribuan monster. Dengan keberanian yang membara, Lorkan mengangkat pedangnya tinggi, mengarahkan pasukannya untuk turun dan bergabung dalam medan perang. "Ikuti aku! Ini saatnya kita melindungi tanah air kita!" teriaknya. Para prajurit lainnya bergegas menuruni tembok, langkah-langkah mereka teratur meski dipenuhi kecemasan. Dari atas, para penyihir dan pemanah tetap memberikan perlindungan, mengirimkan sihir dan panah b
Monster-monster sihir itu terus melangkah maju, langkah-langkah mereka menggetarkan tanah dan udara di sekitarnya. Aura bengis yang menyelimuti tubuh-tubuh undead Drakonik itu membuat semua orang merasa mencekam, seakan-akan akhir dunia semakin dekat. Salah satu undead naga, tubuhnya besar dan menghitam dengan sayap yang terkoyak, membuka mulutnya lebar-lebar. Taring tajam mencuat seperti tombak-tombak baja yang kokoh. Dari mulutnya, sebuah bola energi ungu kehitaman mulai menggumpal, memancarkan kilatan liar sebelum melesat dengan kecepatan luar biasa ke arah benteng. “S-serangan datang!” teriak seorang prajurit di atas benteng. Para penyihir yang berada di atas benteng bereaksi cepat, merapalkan mantra perlindungan. Sebuah kubah energi biru samar muncul, membungkus benteng dalam perlindungan. Namun, begitu bola energi ungu menghantam kubah tersebut, benturan dahsyat mengguncang udara. Suara ledakan menggelegar membuat para prajurit yang berada di dekatnya terpental ke belak
Malam itu, sinar bulan tampak redup, seolah-olah tertutupi awan gelap yang menandakan sebuah bencana besar. Di dalam benteng kamp pengungsian, obor-obor yang menyala tak mampu mengusir rasa takut yang merayap di hati semua orang. Ketegangan menggantung di udara.Seorang prajurit dengan wajah penuh ketakutan tiba-tiba berlari dari arah hutan, napasnya tersengal-sengal. Ia berteriak, memecah keheningan.“G-gawat! Monster-monster itu mulai bergerak! Mereka datang ke arah sini dalam jumlah besar!”Prajurit yang berjaga di pos terdepan langsung bereaksi, memukul gong peringatan. Suara gong yang berdentang menggema ke seluruh penjuru kamp, membangunkan setiap prajurit dan pengungsi.“Cepat laporkan ini pada Duke Davin! Kita harus bersiap!” salah satu penjaga berteriak panik.Tak butuh waktu lama bagi para petinggi di kamp untuk berkumpul di tenda utama Duke Davin Van Bertrand. Di dalamnya, suasana dipenuhi kecemasan dan ketegangan.Duke Davin berdiri tegak di depan meja taktis, di mana pet
Setelah kontrak jiwa selesai, Balroth masih berlutut, keringat membasahi tubuhnya. Lingkaran sihir keemasan yang terbentuk di bawah pijakannya perlahan memudar, seolah tidak pernah ada. Ia menundukkan kepala, membenturkan dahinya ke tanah, menunjukkan penghormatan penuh kepada Darrel."Vanguard ini memberi hormat pada Yang Mulia," ucapnya dengan suara yang bergetar oleh emosi dan tekad.Darrel, berdiri dengan anggun di depannya, menatap penuh pengamatan. Dia terdiam sejenak, merasakan hubungan antara dirinya dengan Balroth yang kini semakin terikat setelah melalui kontrak jiwa antara majikan dan bawahan. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya, sebuah keyakinan baru yang terbentuk."Kau bisa berdiri sekarang," ucap Darrel singkat namun tegas."Terima kasih, Tuanku," jawab Balroth sambil berdiri. Tatapannya penuh hormat, auranya semakin kuat setelah menyelesaikan kontrak jiwa dengan Darrel, sang pewaris kekuatan Drakonis.Darrel mengamati sosok Balroth sejenak sebelum akhirnya mena
Darrel tidak menjawab, tapi pandangannya sedikit melunak, menunggu kelanjutan kata-kata Balroth.Balroth berdiri dan memandang ke arah cahaya lilin yang berkobar, menatap nyala api itu seolah menemukan pengingat dari masa lalu yang pahit. "Ribuan tahun lalu," ia memulai, suaranya berubah menjadi lebih berat, "Drakonis adalah penguasa yang tak tertandingi. Bukan hanya karena kekuatannya, tapi juga karena kebijaksanaannya yang membuat dunia tunduk pada kehendaknya. Tapi bahkan penguasa sekuat dia memiliki kelemahan..."Balroth menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Drakonis memiliki kepercayaan mutlak pada orang-orang di sekitarnya. Ia menganggap bahwa kesetiaan adalah hal yang tidak perlu diragukan. Namun, kepercayaan itu menjadi kehancurannya. Salah satu pelayannya, seorang Jendral hebat bernama Arkanis, diam-diam mengkhianatinya. Ia bekerja sama dengan musuh tersembunyi Drakonis dan melemahkannya dengan sebuah Artefak yang menyegel sebagian kekuatannya. Pengkhianatan itu men
Beberapa jam perjalanan melelahkan akhirnya membawa rombongan pasukan Duke Van Bertrand ke sebuah kamp perlindungan sementara. Kamp ini berjarak ratusan kilometer dari Greycastle, tersembunyi di balik tebing-tebing tinggi dan dikelilingi hutan lebat. Udara malam dingin menusuk kulit, sementara rembulan bersinar redup di balik awan hitam. Di tengah keheningan malam, Darrel duduk sendirian di dalam sebuah tenda besar yang sederhana. Sebuah meja kayu tua berdiri di hadapannya, dengan benda bulat bersisik emas tergeletak di atasnya—telur naga yang ia temukan beberapa bulan lalu saat kompetisi akademi Ravencroft berlangsung. Darrel memandangi telur itu dengan ekspresi serius. Jari-jarinya menyentuh permukaan sisiknya yang dingin. "Aku baru ingat soal telur ini... setelah semua kekacauan yang terjadi," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin malam. Ia menghela napas panjang, matanya menatap telur itu dengan penuh tekad. "Mungkin waktunya sudah tiba. Aku harus menc
Vindel melangkah perlahan, menunduk untuk memungut lentera emas yang tergeletak di atas tanah. Ia pun memandangi lentera emas yang kini berada di tangannya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Permukaannya retak, bercahaya redup seolah kehabisan energi setelah beberapa kali penggunaan dalam pertarungan sebelumnya. Ia memutar lentera itu perlahan, memeriksa setiap detilnya.“Jadi, ini yang disebut Artefak Suci?” tanyanya, suaranya sarat dengan skeptisisme.Darrel membersihkan debu dari bajunya dan tersenyum tipis. “Bukan. Itu hanya replika. Sebuah tiruan dari Luminous of Radiance.”Cilera yang berdiri tak jauh darinya membelalakkan mata. “Replika? Tapi kekuatannya tadi luar biasa! Hampir membuat kita semua tak berdaya!” serunya penuh ketidakpercayaan.Darrel menghela napas panjang, menatap lentera itu sejenak sebelum melanjutkan, “Itu karena lentera itu dibuat oleh Pak Tua Olmund. Ia menggunakan bahan-bahan tertentu dan menambahkan sedikit energiku. Itu cukup untuk meniru sebagian k