"Apakah ini benar makam nenekku?'Luca menunjuk sebuah makam pada si penjaga makam yang mengangtarnya ke sana. Laki-laki tua yang rambutnya telah beruban semua itu mengangguk pelan. Luca berdiri terpaku menatap batu nisan yang bertuliskan nama neneknya yang telah memudar."Alesandra Masimo. Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Luca penasaran. Menurutnya, mungkin dia bisa memperoleh banyak informasi terkait neneknya atau keluarganya."Tidak .... Aku hanya melihatnya saat dia dimakamkan. Kenapa kau bertanya?""Aku hanya ingin tahu, mungkin kau mengenal keluarganya atau siapa pun itu yang berhubungan dengannya," balas Luca dengan sorot mata yang penuh harap.Dua hari kemudian Luca menyusuri jalan sempit sambil membaca alamat yang tertulis di secarik kertas pemberian penjaga tadi. Si penjaga berkata hanya alamat itu yang masih dia ingat hingga sekarang. Selebihnya dia tidak tahu apa-apa.Rumah-rumah berjejer rapat dengan cat berwana gading menarik perhatian Luca. Melihat itu, memb
"Kenapa kau datang ke sini?"Dante datang ke rumah Lizzy beberapa hari setelah kejadian malam itu. Tapi saat sampai di sini, dia mendapat sambutan yang kurang menyenangkan. Wajah Lizzy terlipat, dan dia terlihat tidak senang dengan kehadiran Dante."Aku hanya ingin tahu keadaanmu. Kau tidak pernah menghubungiku sejak kita bertemu terakhir kalinya pada malam itu." Dante mengamati Lizzy lebih dalam. Wajah wanita terlihat sangat pucat, dan bibirnya sedikit membiru.Bibir Lizzy menyunggingkan senyum sinis. Lizzy menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Lalu dia menggeleng cepat. "Kau bersikap seolah sangat peduli padaku. Aku hampir tidak mengenalimu," sindir Lizzy pedas. Mendengar ucapan Lizzy yang kurang menyenangkan, membuat Dante menghela napas panjang. Siapa yang menyangka Lizzy akan menanggapi kadatangannya dengan sikap sinis dan dingin? Dia hanya ingin mengetahui keadaan Lizzy setelah mereka tidak bertemu cukup sekian lama. "Dengar.... Sangat mengherankan melihat sikapm
"Berhenti di sini." Dante meminta sopirnya untuk menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia dalam perjalanan menuju kantornya saat matanya tanpa sengaja menangkap sekelebat bayangan yang menarik perhatiannya. Itu Emily. Tidak salah lagi, itu memang Emily dengan pakaian sederhana dan celemek tengah membersihkan kaca di depan restoran itu. "Sedang apa Emily di sana?" gumam Dante, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia bekerja di restoran itu sejak dua bulan lalu," jawab si sopir mengikuti arah pandang Dante. "Dari mana kau tahu itu?" Dante semakin penasaran. "Beberapa kali aku makan di sana bersama seorang kenalan. Tanpa sengaja dia lah yang mengantar makanan pesananku." Dante tidak bertanya lagi. Dia meminta sopirnya untuk melanjutkan perjalanan mereka. Samar-samar bibirnya terbuka sedikit, menyunggingkan senyum tipis sekaligus mengejek. Sama sekali dia tidak menyangka Emily berakhir seperti itu. Seorang model terkenal dalam waktu sekejap berubah menjadi pelayan restoran. "
"Kau bisa meninggalkan kami berdua, Kathryn." Dante menatap lurus pada Kathryn, dan memberi isyarat agar asistennya itu segera pergi dari ruangan ini. Tangannya meraih handuk di gantungan, lalu dia mengeringkan tubuh atasnya yang basah oleh keringat. Sesekali dia melirik ke arah Lizzy yang masih berdiri mematung di depan pintu. Hari ini Lizzy terlihat berbeda dengan penampilannya yang sederhana dan tanpa riasan. Seperti bukan Lizzy yang dia kenal."Ada perlu apa kau mencariku?" tanya Dante tanpa berusaha menatap Lizzy. Dia mengambil kemejanya, dan buru-buru memakainya."Aku ...."Lizzy mengalami kesulitan saat ingin melanjutkan ucapannya. Dia menelan ludahnya yang pahit, dan membasahi tenggorokannya yang kering. Bertemu Dante dalam suasana canggung seperti ini, membuat otaknya sedikit terganggu. Dia tidak mampu berpikir dengan jernih."Ya, kau." Dante menununjuk Lizzy dengan mengangkat dagunya tinggi."Aku membutuhkan bantuanmu," ucap Lizzy disertai dengan helaan napas lega."Bukank
"Tunggulah di sini, dia akan segera menemuimu."Lizzy duduk di sofa di ruang tamu rumah Dante. Pandangan matanya mengarah ke seluruh penjuru ruangan. Melihat dekorasi interior rumah ini, membuat Lizzy menelan ludahnya beberapa kali. Selama ini dia telah salah menilai Dante. Dante bukan seorang pengawal biasa, melainkan seorang pemilik perusahaan fashion terkenal yang mendunia. Betapa bodohnya dirinya."Lizzy ...." Lizzy tersadar dari lamunannya saat mendengar Dante menyebut namanya dengan nada malas-malasan. Dia memandang nanar pada sosok laki-laki asing yang tidak pernah dia jumpai. Lizzy langsung memutar kepalanya, memandang ke arah lain."Kenapa kau berkeras menemuiku?"Dante berdiri tepat di depan Lizzy. Tubuhnya menjulang tinggi, dan menatap angkuh pada wanita itu. Lalu dia duduk di sofa di samping Lizzy.Kepala Lizzy terasa berputuar-putar. Matanya berkunang-kunang. Dia harus mengerjapkan matanya beberapa kali agar bisa melihat Dante dengan jelas."Aku mem-butuhkan bantuanmu."
"Aku tidak ingin terlibat lebih dalam dengan masalah orang lain." Dante menggoyang-goyangkan gelasnya yang berisi wine berwarna kuning keemasan dengan santai. Matanya menatap Lizzy dari balik bibir gelas. Wanita itu terlihat kecewa atas penolakannya. "Tapi, bukankah kau sebelumnya juga terlibat dalam masalahku? Tidak hanya satu kali, bahkan lebih dari itu," kilah Lizzy. Lizzy memberanikan diri membalas tatapan Dante yang sinis, lalu dia memutar kepalanya, tidak sanggup bersiatatap dengan Dante dalam waktu yang lama.Malas-malasan Dante meletakkan gelasnya yang telah kosong di atas meja. Mata cerahnya memperhatikan wajah Lizzy, lalu berhenti di dada wanita itu dalam hitungan detik. Setelah itu dia kembali memandang wajah Lizzy yang tidak lagi pucat."Tentunya ada harga yang harus aku bayar untuk terlibat dalam masalahmu. Dan pastinya itu sangat mahal," ucap Dante terus terang."Apa maksudmu sebenarnya?""Bayangkan saja, selama ini aku tidak pernah memiliki musuh. Bila aku membantumu,
Satu jam yang lalu. Dante baru saja keluar dari sebuah restoran setelah melakukan pertemuan dengan salah satu investor perusahaannya. Saat hendak masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tanpa sengaja dia melihat Emily lagi. Jarak mereka sekitar sepuluh meter, jadi cukup jelas saat mendengar pertengkaran Emily dengan seorang wanita tua. "Aku yang menghentikan taksi ini lebih dulu," ucap Emily kasar dengan raut wajah bersungut-sungut. Dia mendorong tubuh wanita renta itu dan hampir terjatuh ke tanah. Wanita tua itu meringis kesakitan, lalu memilih untuk mengalah karena tubuhnya sangat lemah dan tidak mampu melawan. Dia hanya bisa menatap nanar pada taksi itu yang berjalan meninggalkannya. Sambil menelan kekecewaannya dia berjalan tertatih menyusuri trotoar dengan punggung yang bungkuk. Dante sempat tersentuh dan merasa kasihan pada wanita itu. Tapi dia tidak bisa menolongnya karena dirinya masih memiliki urusan lain yang lebih penting. Dalam gerakan cepaat, Dant
"Kau seharusnya tetap tinggal di rumah."Dante mengomel saat menuntun Lizzy masuk ke dalam sebuah minimart. Dia melirik lengan gaun Lizzy yang sedikit koyak, dan meninggalkan bekas goresan di kulit putih wanita itu. Meskipun tidak mengeluh secaara terang-terangan, dia sempat mendengar Lizzy meringis menahan sakit."Aku mencarimu setelah mendengar suara motormu keluar halaman," balas Lizzy sambil mengikuti Dante yang tengah mencari sesuatu dengan berjalan di setiap lorong minimarket itu. "Kau bahkan tidak menikmati makan malam yang dibuat oleh Sofia. Dia pasti kecewa."Sepertinya Dante tidak mendengar kata-kata Lizzy karena matanya terpaku pada sebotol obat antiseptik. Tangannya segera mengambil benda itu, lalu matanya mencari-cari yang lainnya. Tidak jauh dari itu, dia menemukan setumpuk bungkusan kapas yang tersusun rapi di rak. Lalu buru-buru dia meraih sekotak plester."Bisa-bisanya kau pergi tanpa peduli terhadap bahaya yang tengah mengincarmu," ucap Dante beberapa menit kemudian.
"Bagaimana keadaan Lizzy sekarang?"Dante menghampiri Fabio yang tengah duduk di sofa dengan raut wajah serius. Pertemuannya dengan Luca baru selesai satu jam lalu. Dia buru-buru datang ke pondok ini setelah mendapatkan kabar dari Fabio mengenai kecelakaan yang menimpa laki-laki itu dan Lizzy."Tidak ada luka serius. Kepalanya mengalami benturan keras tapi tidak terlalu parah. Dokter telah merawatnya dengan baik ," jawab Fabio. "Sekarang dia tengah tidur di kamarnya."Dante menghela napas lega. Pikirannya sempat berkecamuk saat di perjalanan tadi. Dia sangat mengkhawatirkan Lizzy."Aku tidak menyangka anak buah Marco Hernandez bisa menemukan keberadaan Lizzy di sana. Apa jangan-jangan pengacara itu bersekongkol dengan Marco?" Dante menduga-duga.Fabio terdiam selama beberapa saat. Bisa saja dugaan Dante memang benar adanya. Sebelum mengatur pertemuan itu, Dante dan dirinya telah menyusun rencana sematang mungkin agar tidak terjadi hal-hal buruk yang akan menimpa Lizzy.Sejak awal mere
"Aku harap pertemuanmu dengan pengacara itu bisa berjalan lancar."Dante memulai pembicaraan keesokan harinya saat akan meninggalkan pondok itu. Sebelumnya dia telah menghubungi si pengacara, dan membuat janji temu di suatu tempat yang berlokasi sangat jauh dari kota London. Tentu saja dia melakukannya demi menjaga keselamatan Lizzy. "Aku juga memiliki keinginan yang sama denganmu," balas Lizzy dengan sorot mata sendu. "Aku sangat yakin akan hal itu karena ada dirimu di dekatku.""Sepertinya kau salah paham," tukas Dante cepat.Alis Lizzy terangkat. "Apa maksudmu sebenarnya?" Kata-kata Dante tadi benar-benar membuat dia merasa bingung."Aku akan pergi setelah menurunkanmu di tempat pertemuan," jawab Dante sambil memutar roda kemudi saat membelokkan mobilnya menuju jalan besar yang ramai oleh kendaraan. "Tapi jangan khawatir. Ada beberapa orang yang menyamar dan berjaga di sekitarmu. Bila terjadi apa-apa, mereka bertanggung jawab menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sana segera."
"Jam berapa sekarang?"Lizzy menggumam. Dia mengucek matanya, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Tubuhnya langsung membeku. Dia tidak sendirian di kamar ini.Perlahan ingatan Lizzy kembali. Semalam dia sempat meminum segelas wine sambil menikmati pemandangan langit malam. Bersama Dante. Setelah itu Dante membawanya masuk ke kamar ini. Dan bodohnya dia mengikuti permainan Dante hingga berakhir seperti ini. "Kau sudah bangun?" tanya Dante saat menyadari pergerakan tubuh Lizzy di sampingnya.Lizzy kehilangan kata-kata. Suaranya tercekat di tenggorokan. Perasaannya sekarang campur aduk. Kemudian Dante menaarik tubuh Lizzy hingga menghadap padanya. Dia menyunggingkan senyum tipis saat melihat Lizzy memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Dante semakin merapatkan pelukannya."Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah tahu kau sudah bangun sedari tadi," bisik Dante di telinga Lizzy. Dia sengaja melakukannya untuk menggoda wanita itu.Pelan-pelan Lizzy membuka matanya. Kepalanya m
"Kau tidak perlu melakukan itu."Lizzy mendorong Dante menjauh. Mendadak dia merasa canggung saat berhadapan dengan Dante. Hal itu terjadi karena kejadian malam sebelumnya."Aku sama sekali tidak keberatan," balas Dante berusaha bersikap sesantai mungkin. Dia mundur beberapa langkah, lalu memandang Lizzy lurus. "Lagi pula aku sudah berjanji padamu untuk menyingkirkan orang gila itu dari hidupmu. Apa kau sudah melupakannya?" Dante mengingatkan.Lizzy menatap ragu pada Dante. Tenggorokannya terasa kering sehingga dia mengalami kesulitan untuk berbicara.Tentu saja ingatan itu masih tercetak dengan jelas di kepalanya. Terlebih dia sudah melakukan keinginan Dante sebagai ganti dirinya yang berpura-pura menjadi kekasih laki-laki itu."Tapi kau tidak harus berada di sini. Kau bisa melakukannya dari rumahmu sementara aku bersembunyi di sini," ucap Lizzy akhirnya setelah mampu berpikir jernih.Mendengar kata-kata Lizzy barusan, membuat Dante sedikit tersinggung. Raut wajahnya mendadak keruh. S
"Kau melihat Lizzy?" Dante bertanya pada Sofia saat akan menyantap saraapannya. Pagi tadi dia mendapati sisi tempat tidurnya yang lain telah kosong, Tidak ada Lizzy di sampingnya. Entah sejak kapan wanita itu meninggalkan kamarnya, dia tidak menyadarinya. "Dia bilang ingin pergi ke makam orang tuanya. Fabio mengantar dia ke sana," jawab Sofia lalu segera meninggalkan tuannya. Samar-samar Dante mengingat ucapan Lizzy semalam saat dia setengah mabuk. Lizzy membicarakan tentang kunjungan ke makam orang tuanya. Lalu setelah itu terjadilah sesuatu yang berada di luar kendalinya. Lizzy pasti sangat membencinya, dan marah padanya. tidak bisa dipungkiri lagi. Karena dia telah merenggut kesucian Lizzy secara paksa. Dante benar-benar gila. Seharusnya dia melindungi Lizzy. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang selera makannya mendadak hilang. Sepertinya pagi ini dia tidak akan pergi bekerja. Dia akan menunggu sampai Lizzy pulang. Sementara itu, di tempat lain. Lizzy tidak segera
"Selamat, Dante. Sekarang kau menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan ini." Alberto mengulurkan tangannya, mengajak Dante bersalaman setelah mereka menandatangani surat perjanjian alih kepemilikian saham. Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum lebar. Kali ini dia terlihat sangat ramah dan bersahabat pada Dante. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Alberto selalu menunjukkan sikap permusuhan pada Dante, juga mendiang kakeknya. "Terima kasih, Signor Alberto," balas Dante lalu menjabat tangan Alberto erat selama beberapa detik. Dia segera melepas tangan yang telah keriput itu. "Tentu saja semua berkat Anda," lanjut Dante basa-basi. Semua orang yang berada di ruangan itu, yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut bertepuk tangan dengan keras. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi perusahaan House of Corradeo sebagai tanda berakhirnya pengaruh Alberto di sana. Hal itu patut dirayakan, mengingat bahwa selama ini beberapa di antara mereka memendam kebencian pada laki-laki tua itu.
"Tinggalkan kami berdua."Dante memberi isyarat pada Fabio dan beberapa laki-laki yang berdiri di sana untuk keluar dari gudang itu. Dia ingin berbicara dengan Ben secara pribadi tanpa ada gangguan dari yang lain. Laki-laki itu masih duduk di kursi kemarin dan menatapnya dengan sorot mengejek. Dante berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terpancing lalu melakukan tindakan yang bodoh."Dalam setelan jas yang kau kenakan sekarang, dirimu benar-benar terlihat berbeda," ucap Ben setelah Dante berada di depannya."Terima kasih atas pujianmu. Sayangnya aku tidak membutuhkannya," balas Dante sinis.Ben tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Dante. Kelihatannya dia salah memilih lawan. Dari penampilannya, Ben menyadari bahwa Dante bukan orang sembarangan.Tawa itu seketika berhenti setelah Dante melayangkan sebuah pukulan tepat mengenai rahang Ben. Darah segar langsung keluar dari mulut Ben. Dia meringis kesakitan, dan matanya nyalang menatap Dante."Kau ....""Jangan pernah terta
"Kathryn .... Atur pertemuan dengan pengacaraku."Dante berdiri di depan meja asisten pribadinya itu dan terlihat sedikit gusar. Pertemuannya dengan Alberto beberapa menit yang lalu berhasil membuat darahnya mendidih. Tapi dia memilih untuk menahan amarahnya karena tidak ingin membuat laki-laki itu senang dengan ancamannya."Apa yang terjadi?"Kathryn menatap bingung padanya. Sebelum bertemu Alberto, suasana hati Dante terlihat biasa saja. Sekarang yang tampak justru sebaliknya. Bosnya seperti memendam amarah yang besar, dan akan tumpah keluar."Alberto ingin menjual sahamnya padaku. Kalau aku tidak menerima tawarannya, maka dia ...." Dante mengepalkan tangannya dan menggeretakkan giginya. "Dia akan menjualnya pada Luca," pungkasnya."Dan kau menerima tawaran Alberto?" Kathryn menajamkan matanya, lalu menggeleng perlahan. Sama sekali dia tidak habis pikir dengan sikap Dante. Dia sangat mengenal atasannya itu cukup baik. Dante tidak akan mudah menyerah, atau berlari ketakutan karena ge
"Siapa yang menelpon?" Dante bertanya meskipun dia sudah tahu identitas si penelpon. Mantan kekasih Lizzy benar-benar orang yang tidak tahu diri. Laki-laki itu masih saja terus mengganggu padahal hubungannya dengan Lizzy sudah berakhir. "Ben ...." Lizzy menggigit bibirnya, lalu menundukkan kepalanya. Dia tidak mungkin memberi tahu Dante tentang ancaman yang diberikan Ben padanya. "Apa yang dia katakan?" tuntut Dante setelah melihat perubahan di wajah Lizzy. Laki-laki itu pasti mengatakan sesuatu yang buruk sehingga Lizzy tertunduk lesu. Lizzy menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang penting," jawab Lizzy tanpa berani menatap Dante. Dante mendengus kesal. "Kau bukan pembohong yang ulung. Jadi, sebaiknya katakan yang sebenarnya padaku," gertak Dante dengan suara keras. Lizzy memegang pinggiran meja, lalu dia mengangkat kepalanya. "Ben meminta uang satu juta dollar padaku," bisik Lizzy tanpa berani menatap wajah Dante. "Dia mengancam akan melaporkan tempat persembunyianku pada Mar