"Bagaimana liburanmu, Athena? Pasti menyenangkan." Athena terkejut saat ia berpapasan dengan Thanos pagi ini. Lelaki itu tampaknya datang lebih awal dari biasanya. "Maaf, apakah Cal tidak memberitahu anda kalau saya tidak berlibur di sana?" Athena menatap punggung Thanos yang seketika berhenti saat wanita itu menjawabnya.Lelaki itu berbalik, menatap Athena dengan menyipitkan mata. "Cal? Dia tidak mengatakan apa-apa padaku. Cal dan timnya kembali, tapi aku tidak melihatmu di sana. Jadi, aku hanya berpikir kau terlalu menikmati tempat itu. Bahkan sampai meninggalkan pekerjaanmu di sini. Kau harus ingat, tidak mudah untuk bergabung dengan De Aluna." Tatapan Thanos begitu tajam, rahang lelaki itu mengeras menunjukkan betapa ia marah saat mengatakan itu kepada Athena."Tapi, saya memang tidak berlibur. Saya di sana untuk proyek hotel itu.""Proyek hotel?" Thanos menautkan alisnya. "Cal mengatakan proyek itu masih sangat alot, Athena. Lantas kau di sana untuk itu? Lalu bagaimana apakah ad
"Kau yakin kalau mereka adalah orang yang sama, Athena?" Carol seakan tak percaya saat Athena mengatakan tentang peristiwa yang menimpanya di Malvarrosa. "Aku juga bingung, tapi mereka memiliki wajah dan bentuk tubuh yang sama, Carol. Mungkinkah ada dua orang yang berasal dari tempat berbeda memiliki kemiripan seperti itu?""Tapi kalau itu benar apa tujuannya? Kenapa Thanos harus melakukan itu. Terdengar aneh, sih, apalagi dia sendiri yang menginginkan lahan di sana, bukan?"Athena mengangguk, "Ya, karena itulah aku sangat bingung dan tidak bisa berpikir. Hanya pikiran negatif yang masuk ke dalam kepalaku, Carol. Thanos membenciku. Dia butuh alasan untuk bisa membuatku dipecat dari perusahaan itu!" Athena mengatakan itu dengan mata membulat, merasa sangat yakin dengan alibinya sendiri."Ehm, itu sedikit aneh. Tapi masih bisa diterima. Memang perusahaan tidak bisa memecat pegawainya tanpa alasan yang jelas, apalagi perusahaan besar sekelas De Aluna. Namun, kalau dia memang ingin memec
"Itu siapa, Wilson? Sejak tadi ponselmu terus berbunyi." Reya bertanya kesal karena terlihat Wilson mengabaikan suara itu. "Carol. Itu Carol," jawab Wilson yang seolah tak ingin membahas soal Carol di depan kekasihnya. Mengingat kondisi kehamilan Reya yang semakin membesar."Kenapa kau tak menjawabnya?""Nanti saja, aku terus memikirkan bagaimana saat kau melahirkan nanti. Apakah kau sudah mencoba menghubungi ibumu?" Wilson bertanya cemas."Wilson, dia bahkan tak mau menerima teleponku. Ibuku sudah membuangku, Wilson." Kata Reya sedih. Wilson menoleh, meraih Reya ke dalam pelukannya. "Tidak apa-apa. Aku nanti yang akan bicara dengannya.""Aku tidak tahu kenapa dia begitu membencimu, Wilson. Padahal kau lebih memilihku ketimbang Carol. Seharusnya dia tahu kalau cinta kita begitu kuat,kan?""Suatu saat nanti, dia akan mengerti, Reya. Apakah dia tidak akan jatuh hati kepada cucunya sendiri? Itu keterlaluan." Wilson mengecup puncak kepala Reya, rambut wanita itu masih basah dan menguark
"Apa katamu! Kau ingin memberikan dia padaku?"Suara wanita di seberang telepon terdengar. Ia terlihat marah dengan ucapan Wilson. "Bukan memberikan, hanya untuk sementara sampai Reya melahirkan bayinya. Setelah itu aku akan membawanya lagi. Aku mohon padamu, Ibu." Pinta Wilson kepada wanita yang telah melahirkan Reya. "Kenapa? Kau tidak sanggup merawat putriku sampai ia melahirkan? Haruskah aku menerima dia yang sudah melukai hati ibunya dengan menjadi simpanan lelaki, hah?! Kau ini tidak tahu malu, Wilson! Aku tidak pernah mengakui dia sebagai putriku lagi semenjak memilih untuk hidup di jalan yang salah!""Aku minta maaf, Ibu. Tapi hubungan anak dan ibunya tidak akan terputus sampai mati. Reya, aku sangat mencintai dia. Dan, semua itu salahku." Kata Wilson. "Menjijikkan! Kau membawa putriku, menjadikannya simpanan dan sekarang kau membuatnya mengandung. Masih berani kau minta maaf padaku! Wilson, aku tidak akan pernah menerima Reya kembali selama dia masih bersamamu!""Bu, aku mo
"Kau sudah pulang, Wilson? Bagaimana pekerjaanmu, pasti sangat melelahkan, bukan? Kau pasti lapar, aku sudah memesan tempat di sebuah restoran yang bagus. Mereka akan memasak hidangan yang kupesan dengan cepat. Bagaimana kalau kau mandi lebih dulu?" Carol mengeluarkan semua kalimatnya begitu melihat Wilson di muka pintu. Wanita itu tersenyum, menatap suaminya dengan lembut. "Baiklah, aku akan bersiap-siap lalu kita berangkat." Kata Wilson yang lantas masuk dan melewati Carol tanpa memeluknya sama sekali. "Wilson." Carol memanggil, membuat lelaki itu kembali menoleh."Ya?""Kau tidak rindu padaku?" Pertanyaan itu membuat Wilson terhenyak. Ia menatap Carol lebih lama. Tanpa Wilson sadari, Carol berdandan lebih cantik dari biasanya. Wanita itu merias wajah dan menata rambut tak seperti biasanya. Ia juga memakai gaun satin maroon yang membalut tubuh rampingnya itu. Wilson kini berjalan mendekati Carol, dan mengecup pipi istrinya itu. "Kau cantik sekali malam ini, Carol. Maafkan aku kar
"Hai, Carol? Oh, dia suamimu?" Wanita berparas elegan itu menatap Wilson, tatapannya terlihat tak menyenangkan."Ya, ini Wilson, suamiku." Kata Carol yang tak menduga akan bertemu rekan kerjanya di restoran ini."Oh, jadi dia lelaki yang pernah menceraikanmu itu dan kalian rujuk kembali. Aku tak menyangka kau bisa rujuk lagi setelah apa yang terjadi." Wanita itu tersenyum sinis, kembali menatap Wilson yang duduk di depan Carol. Wilson seketika meletakkan garpunya, selera makannya hilang begitu saja. Lelaki itu berdiri, tepat di depan wanita tersebut."Wilson, jangan dengarkan dia," kata Carol yang memilih untuk mendekati suaminya itu dan memegang lengannya."Tidak, Carol. Dia begitu merendahkan aku. Memangnya apa urusanmu? Kita bahkan tak pernah saling mengenal." Wilson mengatakan itu sambil menatap dengan penuh kemarahan. Wanita itu tersenyum kecil, ia tak membalas tatapan Wilson sama sekali."Carol, aku harus pergi. Temanku sudah menunggu di sana. Sampai jumpa di kantor, oke?" Setel
Megan menggebrak meja di hadapannya, lelaki itu terlihat marah ketika Cal datang dengan tangan hampa. Sesuatu yang ia harapkan sejak lama, sampai saat ini belum terjadi juga. "Memangnya apa yang kau dan Thanos lakukan, heh? Membebaskan tanah saja tidak bisa. Haruskah aku turun tangan sendiri, Cal?"Cal menunduk, lelaki itu bahkan tak berani menatap Megan. "Memangnya apa yang terjadi, Cal?" Megan merendahkan suaranya berusaha untuk tenang."Mereka tidak berniat menjual lahannya, meskipun kita sudah memberikan harga yang pantas." Jawab Cal."Mereka bersikeras?""Ya, Tuan. Tempat itu memang sangat indah dan selalu ramai dengan wisatawan, itulah mengapa orang - orang di sana memilih untuk bertahan. Saya sendiri tidak tahu lagi bagaimana cara untuk membuat mereka mau melepaskan tanahnya.""Baiklah, bagaimana kalau kita naikkan menjadi dua kali lipat?""Apa?" Cal terkejut saat mendengar itu dari Megan. "Tapi, bagaimana dengan Thanos? Uang sebanyak itu akan mengurangi anggaran perusahaan te
Thanos menatap Athena dengan alis terangkat, wanita itu sudah berada di hadapannya tanpa dipanggil sekalipun. Bibir lelaki itu tersenyum tipis, dan bola matanya terlihat mengikuti lekuk tubuh Athena yang ramping."Kau datang menemuiku, Athena? Tak seperti biasanya." Ucap Thanos. "Apakah Anda memiliki waktu, Tuan? Ada hal yang ingin saya sampaikan." "Duduklah, aku memiliki banyak waktu untukmu." Athena mendekat, meskipun ada rasa canggung tapi ia harus mengatakan ini kepada Thanos. "Saya bertemu dengan pemilik kedai kopi di Malvarossa." Athena menatap Thanos, ingin tahu reaksi lelaki itu.Thanos menautkan alisnya, "Lalu? Bukankah Cal juga bertemu dengan pemiliknya?""Apa? Cal bertemu dengannya?" Athena terkejut."Ada apa ini? Aku hanya berpikir begitu, tapi kau terkejut dengan hal sepele seperti ini. Cal pergi ke sana untuk bertemu dengan para pemilik lahan, bukan?" Thanos meluruskan kalimatnya itu."Oh, saya pikir Cal sudah bertemu dengan pemiliknya langsung. Tapi, apakah Anda sen
BAB 51 THANOS“Kau sudah mencari tahu siapa wanita itu, Cal?” Thanos menatap Cal lekat, jemarinya tak henti memutar – mutar ponsel di tangannya.Cal menghela napas panjang, sepertinya ia sedikit menyesal karenanya. “Wanita itu bukan perempuan sembarangan, dia berasal dari keluarga kaya dan memiliki cukup pengaruh.”“Dia mengancamku!” Thanos mengatakan itu dengan kesal.Cal tersenyum tipis, sebelah alisnya terangkat ke atas, “Perempuan itu mengancammu? Memangnya, apa yang terjadi? Sampai dia bisa melakukan ini padamu?”Thanos meletakkan ponselnya, lelaki itu berdiri dan menuang segelas wine untuk dirinya sendiri, “Dia kekasih laki – laki yang bersama Erica hari itu. Bagaimana caramu membereskan ini? Kenapa dia memiliki videonya? Kau benar – benar menghapusnya?” Thanos menatap Cal dengan pandangan marah, bagaimana lelaki itu bisa begitu teledor.“Kau tidak percaya padaku, Thanos? Untuk apa aku berbohong padamu. Aku benar – benar sudah menghapusnya,” kata Cal yang juga tak terima dengan
“Aku sudah berusaha. Dia terlihat gugup saat aku membicarakan tentang Erica.” Fine kembali menemui Brian di sebuah restoran berkelas, tak semua orang bisa masuk ke tempat itu.“Memang dia pelakunya. Aku tak rela lelaki itu masih bisa menikmati kemewahan, sementara Erica tewas dengan cara seperti itu,” sahut Brian dengan matanya yang memerah.“Tapi, apa yang bisa kita lakukan sekarang?” tanya Fine.Brian menggeleng, “Setidaknya, hari-hari ini dia tidak akan tenang karena kau sudah mengatakan itu padanya. Kau harus berhati-hati mulai sekarang, Fine. Dia bisa melakukan apa saja.”“Dia tahu di mana aku tinggal, tapi apartemenku memiliki sistem keamanan yang kuat. Tak semua orang bisa masuk dengan mudah. Jadi, jangan cemaskan itu.” Fine tersenyum, menatap Brian yang terlihat sedikit kecewa di sana.“Ya, tapi tetap saja. Di luar kau tak memiliki seseorang yang menjagamu. Aku hanya takut kalau Thanos akan melakukan hal yang buruk padamu,Fine.”Fine tersenyum tipis, matanya lekat tertuju kepa
“Aku senang kau menemuiku lagi, Thanos.” Wanita itu menyilangkan kakinya, membuat rok pendeknya terangkat ke atas.“Kau tinggal di sini?” Thanos melayangkan matanya ke seluruh ruangan. Apartemen bergaya eropa memang selalu terlihat menarik.“Ya, seperti yang kau lihat. Apakah aku terkesan seperti wanita yang membutuhkan uang?” Wanita itu tersenyum, kilau di bibirnya menarik perhatian Thanos.“Fine, namamu sangat unik.” Thanos kembali menatap wanita bernama Fine itu, nama yang baru ia ketahui sehari sebelum pertemuan mereka malam ini.Fine mengangguk, matanya lurus menatap Thanos seakan sedang berjaga-jaga terhadap sesuatu yang akan menyerangnya.“Kalau bukan karena uang, lantas karena apa? Semua wanita yang datang padaku, hanya membutuhkan uangku,” ucap Thanos menyeringai.Fine menatap lelaki itu sedalam mungkin, hanya dengan mendengar perkataannya, Fine bisa menduga orang seperti apa Thanos ini.“Kau pasti seseorang yang sangat kesepian dan terluka, Thanos.”Perkataan Fine membuat le
BAB 48“Thanos bukanlah seseorang yang mudah untuk ditaklukkan. Dia selalu menghindar untuk membicarakan adikmu itu.” Wanita bertubuh sintal itu menatap Brian, bibirnya lantas menyunggingkan senyum tipis.“Lalu, kau ingin menyerah begitu saja?” Brian membalas tatapan wanita itu, sesekali terlihat mengusap dagunya yang kasar.“Aku tidak mengatakan itu,” sahutnya dingin. Wanita itu meletakkan wine di tangannya, lalu berjalan ke arah jendela besar yang ada di apartemen itu. Ditatapnya dari sana keindahan kota dengan lampunya yang berkelap-kelip. Jalanan masih begitu ramai di tengah malam seperti ini.Brian berdiri, menghampiri wanita itu di sana. Menatap tubuh rampingnya yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. “Kau tidak boleh melepaskan dia begitu saja,” bisik Brian di sisi leher wanita itu.“Jangan memerintahku, aku juga tak menyukai adikmu itu.” Wanita itu menolehkan sedikit kepalanya, menatap Brian dari sudut matanya yang tajam.Brian tertawa kecil, sedikit menjauhkan tubuhnya dari
Thanos menyeka sudut bibirnya yang terluka dengan air hangat, ditatapnya wajah itu dari pantulan cermin. Sesaat ia tak terima, kenapa dirinya begitu mirip dengan Megan? Guratan wajah serta rahang yang tegas...semua itu milik Megan. Lelaki itu mengepalkan tinjunya, dihantamnya cermin yang memantulkan bayangan dirinya itu. Sesuatu yang tak pernah ia harapkan.Thanos menatap ponselnya, sebuah pesan yang berasal dari seorang wanita. Wanita yang belum lama ia kenal dari sebuah klub malam. Ingin bertemu lagi malam ini? Thanos hanya tersenyum kecut membaca pesan itu. Wanita ini terlihat begitu berani. Dia memang cantik, juga sangat seksi tapi lagi - lagi Thanos tak pernah ingin menjalin hubungan yang serius. Tantangannya saat ini adalah Athena, wanita yang cukup sulit untuk ia dapatkan. Sementara wanita - wanita lain hanyalah pelampiasan akan rasa marahnya itu. Kau begitu berani mengirim pesan padaku. Kau tidak tahu siapa aku? Balas Thanos angkuh.Tentu saja aku tahu, Thanos. Kau putra D
"Apa yang kau lakukan, Ayah? Semua itu karenamu?" Thanos mendatangi Megan, lelaki itu terlihat berdiri di taman rumahnya yang luas. Megan berbalik begitu mendengar suara putranya itu."Melakukan apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu, Thanos. Apa yang kau lakukan kepada wanita itu?"Thanos menautkan alisnya, menatap lelaki paruh baya itu dengan terkejut. "Kau mengawasi aku, Ayah?""Salahkah? Kau adalah pewaris perusahaan besar, Thanos. Aku mendirikan perusahaan itu dengan susah payah, dan kau mau menghancurkannya begitu saja? Kau ingin perusahaanku jatuh karena perbuatan burukmu itu?""Perbuatan burukku? Lalu bagaimana denganmu, Ayah? Bukankah kau memiliki wanita lain selain ibuku?""Thanos!" Megan membentak Thanos, mata lelaki itu terbuka lebar. Tubuhnya goyang namun ia segera menahannya dengan tongkat yang selalu berada di tangannya itu."Kenapa? Ayah pikir selama ini aku tidak tahu apa - apa? Wanita - wanita itu, membuat ibuku menderita.""Kau tidak tahu apa - apa, Thanos! Semua
Brian memukul meja itu dengan marah, ditatapnya Zen yang duduk di sana dengan tak percaya. "Kasusnya ditutup? Bagaimana mungkin?""Sepertinya pelakunya memang tak bisa ditemukan, Brian. Lelaki itu bukan pelakunya.""Tapi kau lihat sendiri, kan? Ada luka di tubuh Erica! Polisi juga mengatakan itu pembunuhan!" tukas Brian tak terima."Kau benar, tapi ini sudah lewat dari delapan bulan semenjak kematian Erica. Dan mereka tak memiliki petunjuk. Lelaki itu sudah dibebaskan. Karena memang tak ada bukti yang memberatkan dia.""Sudah kubilang sejak awal, bukan dia pelakunya. Tapi Thanos!"Zen menatap Brian seksama, "Tak ada bukti yang merujuk padanya. Wartawan bahkan mendatangi dia karena foto yang beredar itu, tapi Thanos mengatakan pertemuan mereka di tempat itu hanya semata hubungan bisnis, ia tidak tahu menahu soal Erica. Thanos...lelaki sekelas dia? Mana mungkin, Brian. Untuk apa ia melakukan itu? Tidak ada untungnya bagi Thanos, kan?""Sekarang kau membela dia?""Aku tidak membela dia,
Sean duduk di sana, menunggu Ansel meracik kopi untuk mereka. Tak butuh waktu lama bagi Ansel, lelaki itu kini kembali dengan dua gelas kopi di tangannya. Memberikan satu kepada Sean.Sean tersenyum saat aroma kopi yang terlihat nikmat berpindah ke hidungnya, aroma yang memang tak biasa. "Aku ingin mencobanya," ucap Sean yang mencicipi kopi itu dengan sebuah sendok kecil."Kau menyukainya?""Ini nikmat, tak seperti kopi yang pernah kuminum. Kau hebat, ya? Ehm, tapi kau bilang ingin mengatakan sesuatu tentang Ciara. Tentang apa itu?"Ansel menatap Sean yang terlihat tak sabar dengan ucapannya tadi, lelaki itu tersenyum kecil. "Ciara adalah gadis yang manja, dan aku adalah salah satu orang yang memanjakan dia. Yah, dia satu - satunya adikku. Mungkin karena ini sikapnya terkadang sedikit menjengkelkan. Dia memang tidak suka basa - basi. Sebenarnya itu cukup bagus, dia tegas dan tahu apa yang dikatakannya. Hanya saja, dia lupa kalau kata - katanya terkadang melukai orang lain. Tapi, Sean,
Ciara menatap pemuda yang duduk berhadapan dengan dirinya itu, sementara Ansel memilih untuk duduk di sisi adiknya. Wanita paruh baya itu tersenyum, ia tak menyangka kalau bocah lelaki yang dulu dilihatnya tumbuh menjadi lelaki tampan nan mapan. Kabarnya lelaki itu seorang dokter muda di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal. "Apa kabarmu, Amira? Sudah lama kita tak bertemu." Kata wanita paruh baya itu kepada sahabat kecilnya dulu. Amira meraih tangan Kane, menyentuhnya lembut. "Aku sangat gembira mendengar kau mengundang kami ke rumah ini, Kane. Setelah sekian tahun lamanya, kau membesarkan Ciara dengan baik." Senyumnya mengembang dan menatap Ciara dengan mata teduhnya itu. Kane tertawa, membalas tangan Amira di yang berada di punggung tangannya itu. "Kau juga, Sean terlihat begitu gagah dengan kemeja itu."Amira tersenyum, "Ciara pasti menyukai Sean, kan?"Ciara seketika menatap Ansel, ia tak tahu menahu soal pertemuan ini. Ibunya hanya mengatakan akan ada tamu dari jauh