Belasan hidangan diletakkan di meja makan, sehingga mejanya penuh.“Ivone, turun dan beli bir,” kata Rashel sambil menghela napas.“Kenapa aku harus membelinya? Kamu saja.” Ivone sudah kelaparan dan tidak sabar untuk mulai makan.“Kamu yang mau minum, bukan aku.” Rashel melirik wanita itu dan berkata, “Lagi pula, aku yang memesan makan malam. Jadi, seharusnya aku nggak keterlaluan kalau memintamu membeli bir, ‘kan?”Ivone tidak bisa mengangkal, jadi dia tidak punya pilihan selain mengenakan jaketnya dan pergi membeli bir.Sekotak bir diletakkan di atas meja makan dan keduanya pun mulai makan malam.Ivone mengambil bir dan meneguk setengah botol. Setelah itu, air matanya langsung mengalir turun seperti air keran.“Rashel, kamu bisa melihatku mempermalukan diriku dengan puas sekarang.” Dia menangis keras sambil makan lobster, “Zico itu bajing*n. Dia datang ke hidupku, lalu meninggalkanku. Apa aku semudah itu ditindas?”Rashel mengerutkan kening dan berkata, “Apa yang Pak Zico perbuat pad
Rashel berkata, “Aku baru seminggu bergabung dengan Tanjaya Group, jadi nggak perlu terburu-buru.”Ivone mempererat cengkeramannya pada benda-benda di tangannya.Zico memutuskan kontak dengannya tanpa alasan apa pun. Bagaimana dia bisa terima?Dia harus tahu siapa wanita yang sebenarnya disukai Zico, sehingga pria itu bisa melepaskannya sepenuhnya.Setelah berberes, Rashel langsung pergi ke kantor yang berada di kawasan bisnis pusat kota.Dia berencana memindahkan perusahaannya secara perlahan ke Suwanda. Sebelum itu, dia harus membeli satu lantai untuk dijadikan kantor.Setelah tiga tahun berdiri, perusahaannya tidak bisa dibilang besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Dia memiliki lebih dari 200 karyawan, dan luas kantornya setidaknya ada 2.000 meter persegi.“Bu Rashel, akhirnya Ibu datang juga.” Pelayan yang bertanggung jawab untuk menyambut kedatangan tamu bersikap sangat hormat padanya.Rashel mengernyit.Saat berbicara di telepon sebelumnya, pelayan toko yang ini sepertinya tid
Rashel berjalan mendekat.Keempat anak itu tahu tidak ada gunanya bersembunyi, jadi mereka menundukkan kepala dan berjalan keluar.Ketiga anak laki-laki itu mengenakan pakaian kasual berwarna abu-abu, serta topi yang menutupi sebagian besar wajah mereka.Sementara yang anak perempuan mengenakan terusan, dengan sepasang mata berbinar cerah di bawah poninya.“Kenapa kalian ada di sini?” Rashel menunduk dan bertanya kepada mereka.Ketiga anak laki-laki itu sangat tinggi, mungkin hampir 1,5 meter, yang bisa dibilang sangat tinggi untuk anak berusia sembilan tahun.Sedangkan yang perempuan agak lebih pendek, tapi setidaknya masih 1,4 meter.Keempat anak itu berdiri rapi di depannya, yang sangat menarik perhatian.“Kami....” Eddy tidak ingin berbohong, tetapi tidak dapat menemukan alasan yang masuk akal. Dia ragu-ragu untuk waktu yang lama dan akhirnya tidak mengatakan apa-apa.Rashel langsung bertanya ke intinya, “Gedung perkantoran ini tiba-tiba didiskon 50%. Apa kalian yang ada di balikny
Ronald berjalan dengan perlahan dan seketika dia masuk ke dalam, seluruh divisi penjualan sudah kosong melompong, bahkan tidak ada satu pun pelayan toko yang terlihat di sana. Jantung Rashel pun kembali berdetak kencang. Dia punya alasan untuk curiga mungkinkah dia menderita penyakit jantung. Detak jantungnya selalu saja melompat-lompat tak terkendali.“Ini properti milik Tanjaya Group,” kata Ronald. “Aku bisa kasih satu bangunan ini buat kamu.”Rashel sungguh tidak mengira seorang pria yang dingin dan pendiam seperti Ronald rupanya bisa juga mengucapkan kata-kata yang begitu impulsif.Satu lantai dari gedung ini saja harganya sudah sekitar 120 miliar. Dengan total 30 lantai yang ada, kurang lebih keseluruhan harganya sudah mencapai 3,6 triliun. Kalau diberikan secara cuma-cuma ….Ronald menjentikkan jarinya, dan dalam sekejap seorang manajer dari divisi penjualan datang menghampirinya.“Peralihan hak milik gedung sudah diurus?” tanya Ronald.“Sudah, Pak Ronald. Sekarang cuma butuh tan
Ronald menggendong Rashel dan menurunkannya di sofa yang ada di lounge. Lalu dia berlutut di depan Rashel dan melepaskan sepatunya, “Bagian tumit kamu kulitnya mengelupas.”Sepatu hak tinggi yang Rashel kenalan baru saja dia beli dan baru digunakan sekali ini. Setiap kali mengenakan sepatu baru pasti akan terasa sakit, tapi Rashel sudah terbiasa dengan itu.“Iya, agak sakit, nih.kamu bisa tolong beliin aku plester?”Seketika itu sorot mata Ronald langsung dipenuhi dengan perasaan senang. Rashel yang selama ini selalu menolak bantuan darinya tiba-tiba meminta dibelikan sesuatu. Apakah itu berarti bahwa jarak antara dia dengan Rashel sudah mulai mendekat?“Oke, kamu tunggu saja di sini. Aku beliin sebentar.”Rashel langsung menghela napas lega begitu Ronald pergi. Dia mengenakan sepatunya kembali dan mengambil tasnya. Ya, dia berniat untuk melarikan diri, karena apabila dia tidak pergi di saat itu juga, kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya.Ronald bagaikan sebuah racun yang m
Selama perjalanan di taksi, kedua mata Rashel terus memandangi apa yang ada di balik jendela. Mendadak ponselnya bergetar. Dia pun mengeceknya yang ternyata adalah panggilan masuk dari Ronald. Awalnya Rashel sudah tidak ingin mengangkatnya, tapi dia juga yang pergi tanpa pamit, jadi dia merasa sedikit tidak enak hati.“Pak Ronald, tadi kakakku tiba-tiba telepon, katanya ada masalah di rumah, jadi aku harus pulang duluan. Kamu nggak usah cari aku, aku lagi sibuk.”Esok hari Rashel sudah harus kembali ke Kota Abrha, jadi hari ini dia sudah harus mengemas barang dan tidak punya tenaga untuk menghadapi Ronald lagi.“Oke, hati-hati di jalan.”Ronald pun tak lagi memikirkan hal itu dan mengakhiri percakapan dengan terhormat. Rashel kembali menyandarkan kepalanya ke jendela taksi dan melepaskan napas yang panjang. Tak lama taksi yang dia naiki berhenti di depan pintu masuk sebuah apartemen. Rashel membayar ongkos perjalanan dan turun dari mobil dan langsung mengurung dirinya di kamar.Rashel
Rashel membuka laptopnya dan mengetikkan sesuatu dengan cepat di keyboard. Kemampuannya dalam meretas sudah makin terlatih selama beberapa tahun terakhir, jadi hanya masalah kecil tidak menjadi gangguan baginya. Asalkan ada petunjuk sedikit saja yang masih tersisa di internet, dia bisa melacaknya kembali.Tak sampai lima menit berlalu, foto wanita yang dinobatkan sebagai wanita tercantik di satu Suwanda, yang juga adalah istrinya Ronald berhasil ditemukan.“Gila, tampangnya sama persis kayak aku!” gumam Rashel seolah tak percaya dengan apa yang dia saksikan.Wanita yang ada di foto itu terlihat tidak hanya serupa secara penampilan, tapi bahkan perangainya yang serius juga sama persis …. Tiba-tiba Rashel jadi mengerti kenapa keempat anak itu bersikeras memanggilnya “Mama”, karena tampang Rashel memang sama seperti ibu mereka. Dan Rashel juga paham mengapa Ronald langsung jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.Ternyata Rashel sama saja seperti Ivone, mereka hanya dianggap sebagai pe
Rachel ….Sedangkan dia adalah Rashel … sungguh kebetulan yang lucu.Rashel menutup ponselnya dan kembali membereskan barang-barangnya, tapi mendadak Ivone menjerit, “Astaga, Zico juga datang!”Di bawah sana datang lagi sebuah mobil putih, dan dari mobil itu Zico turun mengenakan jas berwarna silver. Dia langsung mendatangi Ronald dan menyapanya dengan panggilan “kakak ipar”. Dua kata yang terkesan sangat sederhana itu mengandung makna yang sangat beragam.Ronald menepuk bahunya dan berkata, “Lagi-lagi Rachel nggak mau ketemu aku. Kamu ada solusi apa, nih?”Zico mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Ivone. Bibir di wajah Ivone menaik tinggi melihat nomor Zico tampil di layar ponselnya. Dia sudah tahu Zico pasti tidak akan mengabaikannya. Dia sengaja menunggu agak lama sebelum mengangkat teleponnya. Lalu dengan nada bicara yang dingin tersirat sedikit kesenangan, Ivone berkata, “Halo, ini siapa?”“Ini aku, Zico,” jawabnya dengan nada yang ramah seperti biasa.“Kayaknya salah samb