Jantung Yunita berdetak tak karuan. Pikiranya mendadak kacau. Ia menerka-nerka apa yang baru saja Viola dan anak-anaknya bicarakan.
“Apa yang kalian katakan pada Viola?” tanya Yunita pada kedua anaknya. Terlihat sekali jika wanita paruh baya itu gugup.“Melihat reaksi tante, sepertinya memang ada hal yang harus tante jelaskan padaku,” desak Viola.“Ah, apa. Ten-tang a-apa, Viola?” tanya Yunita tergagap.Noah menyuruh ibunya dan Viola masuk ke dalam kamar rawatnya agar lebih leluasa untuk saling bicara. Sedangkan dia dan Ellen akan menunggu di luar.“Kira-kira mama akan tersadar tidak ya kalau selama ini dia salah?” tanya Ellen pada Noah.“Entahlah, aku tidak bisa memperkirakan hal itu. Aku hanya berharap mama akan berubah.” jawab Noah.Yunita pada akhirnya menceritakan kebenaran itu pada Viola. Tapi entah mengapa hatinya justru merasa lega.“Tante! Tante sudah membuatku seperti orang bodoh dengan mengejar-ngejar Diaz. Bahkan aku sampai harusDi sudut lain di rumah sakit itu, Yunita baru saja mengetahuo jika Diaz tidak lagi berada di kamar rawatnya. “Jadi di mana kakakmu Len? Ke mana wanita itu membawa anakku?” tanya Yunita yang kalang kabut mencari anaknya. “Tenanglah ma, bang Diaz di tempat yang aman,” jawab Ellen. “Tenang! Bagaimana mama bisa tenang, anak mama pindah kamar? Pasti wanita itu telah menghasut Diaz,” ucap Yunita penuh emosi. “Bang Diaz sendiri yang meminta dipindahkan ke ruang yang lebih tenang. Lagi pula Karen tak akan mungkin berbuat jahat pada suaminya sendiri, mama tak perlu khawatir,” jujur Ellan. Yunita terus saja mengomel dan memaki Karen. Ellen dan Noah hanya bisa menghela nafas. Sebagai seorang ibu, Yunita merasa kecewa, sebab anak sulungnya lebih memilih menghindarinya. Dalam diam Yunita merenung. Merenungi kehidupannya beberapa waktu ini. Mengingat kata-kata Karen yang menantang dirinya dan juga ucapan Viola yang kasar padanya. Bagi Yunita, kehidupannya tak sesuai dengan keinginannya. Wani
Saat ini Karen sedang melihat isi lemari milik suaminya, memilih setelan yang pas untuk dipakai. Karen mencari kaos yang lingkar kepalanya lebar, agar perban tidak kesenggol saat memakai kaos tersebut.Samar-samar Karen mendengar Diaz memanggil namanya. Karen berlari menuju kamar mandi—panik.“Ada apa mas?” tanya Karen.Terlihat Diaz sudah duduk bersandar pada bathtub. Sembari memegang kepalanya dengan sebelah tanganya.“Astaga!”“Kamu bisa berdiri, mas?” Diaz menggeleng.Karen mencoba membantu Diaz untuk berdiri. Namun, postur tubuh Diaz yang jauh lebih besar dari istrinya, terlebih dengan kondisi suaminya yang lemah, membuat Karen sedikit kesulitan.“Aku akan panggil Arashi untuk membantuku,” ucap Karen. Ia segera berdiri, namun tangannya dicekal oleh suaminya. Karena tak ada persiapan, Karen kehilangan keseimbangan.Wanita itu terjatuh tepat di atas tubuh Diaz. Suaminya itu mengaduh kesakitan.“Kamu ingin membunuhku, hah?” hardik
Mendengar pertanyaan suaminya, membuat Karen menatap tajam pria bermulut menyebalkan itu. “Kenapa menatapku seperti itu? Aku hanya bertanya. Bukannya wajar jika aku bertanya! Katanya kamu akan membantuku mengingat kenangan kita,” ujar Diaz acuh.Karen memilih untuk tidak menanggapi suaminya itu dan mengambil peralatan makan.“Kenapa diam saja? Diammu berarti kamu mengakui bahwa kamu suka merajuk,” ucap Diaz seenaknya.Tiga orang dewasa lainnya di rumah itu pura-pura tidak mendengar percakapan sejoli itu.Tak berselang lama, Rain dan Adinata datang. Tak lupa dua orang pria itu membawa buah tangan untuk dinikmati bersama. Ada buah, makanan ringan, kue, sampai softdrink.Ken menyambut gembira kakek dan pamannya. Lalu berceloteh tentang apa saja yang baru saja mereka lakukan.“Bagaimana keadaanmu, bang? Maaf aku dan papi tidak datang ke rumah sakit setelah kamu tersadar. Kami hanya tidak ingin memperkeruh suasana. Kondisimu lebih penting. Karena sekarang kamu tidak hanya bertanggung
Seminggu telah berlalu sejak kepulangan Diaz ke rumah. Hari ini adalah jadwal Diaz untuk melakukan kontrol. Sejak pagi tadi Ken sudah dijemput oleh Arashi dan Rain. Anak itu dibawa ke kediaman Wijaya.Selain rumah sakit melarang anak kecil untuk berkunjung ke rumah sakit. Karen ingin mengantar suaminya ke rumah sakit hanya berdua saja. Wanita itu memang ingin lebih mendekatkan diri dengan suaminya. Diaz masih ketara sekali menjaga jarak dengannya, walau terkadang bersikap normal seperti sepasang suami istri.“Yakin kamu akan menyetir?” tanya Diaz yang nampak ragu. Setahunya, selama di Jepang Karen tak pernah menyetir.“Tentu saja yakin. Kamu keragukanku?” Diaz menggeleng.“Aku hanya masih sayang dengan nyawaku, aku belum mau mati,” ketus Diaz.“Aku akan hubungi Glen untuk memanggilkan sopir atau kita bareng Noah,” ucap Diaz.Karen langsung menolak, “Aku yang setir atau tidak berangkat sama sekali,” katanya.Diaz menghela nafas kasar. Ia bukan meragukan istrinya. Jika menggunak
Diaz mengerutkan dahi, bingung dan penasaran mau kemana sebenarnya mereka. Tapi ia tak ingin bertanya lebih jauh, menyimpan rasa penasaran itu, agar saat nanti menemukan jawabanya akan terasa lebih luar biasa. Setelah perjalanan kurang lebih setengah jam, akhirnya mereka telah sampai di kawasan Kota Tua. Diaz menyerengit, mengingat momen apa yang spesial hingga Karen mengajaknya datang ke kawasan ini. “Ayo turun, mas!” ajak Karen. Karen langsung menggenggam tangan Diaz setelah mereka turun dari mobil. “Aku ingin berkeliling sebentar sebelum kita menikmati senja,” ujar Karen. Sedangkan Diaz hanya menurut saja, ia masih mencari kepingan memori di dalam otaknya. Siapa tahu, ia akan menemukan jawaban dari pertanyaan yang berputar-putar di otaknya sejak tadi—kenapa Karen mengajakknya ke sana. Mereka terus berkeliling, tak lupa Karen membeli jajanan yang di jajakan oleh pedagang di pinggir jalan. Karen terus berceloteh bercerita ini itu saat dalam perjalanan. Tujuan akhir mereka adala
Sapaan seseorang itu menghentikan dua sejoli yang hendak pergi dari cafe.Diaz mengerutkan dahi, menunjukkan kebingungan. Walau sebenarnya ia tahu siapa orang yang sedang menyapanya.“Oh, hai?” balas Diaz dengan raut wajah bingung, ia melihat ke arah istrinya, berharap wanita itu mau membantunya. Karen hanya menggeleng, wanita itu juga tak tahu orang yang ada di depan mereka itu siapa.“Aku dengar kamu dan adikmu kecelakaan, syukurlah kamu sudah baik-baik saja,” ujar orang itu.“Maaf pak, ada sedikit masalah dengan ingatan mas Diaz akibat kecelakaan, boleh tolong perkenalkan diri Anda,” ucap Karen menjelaskan.“Oh, astaga. Separah itu. Mari kita duduk terlebih dulu, kalian tidak buru-buru, ‘kan?” ucap pria itu sembari mempersilakan keduanya untuk duduk kembali.Karen melihat ke arah suaminya yang tak juga merespon.“Sebelumnya kami minta maaf, pak. Mas Diaz sepertinya sudah terlalu lelah karena hari ini ia melakukan kontrol paska kecelakaan. Jadi sepertinya kami tidak bisa mene
Tak ada protes sama sekali, diam-diam Diaz menikmati momen itu. Diaz menghirup aroma sampo yang menguar dari rambut Karen.“Apa kamu mengkhawatirkanku?” tanya Diaz.“Tentu saja aku khawatir,” jawab Karen manja. Wanita itu memindah posisi tubuhnya lalu memeluk suaminya tanpa rasa canggung sedikit pun.“Lanjutkan saja pekerjaanmu, aku mau seperti ini sebentar,” ucap Karen dengan nada manja.Membuat Diaz kehilangan konsentrasi, namun tetap melanjutkan kegiatannya. “Karen, ini bahaya. Kamu sungguh berbahaya,” jerit hati Diaz.Terlihat bibi masuk ke dapur. Membuat Diaz tersenyum kaku, sedangkan Karen tetap santai dengan mata terpejam.“Mau makan siang apa, den?” tanya bibi.“Aku mau sayur bayam pakai oyong tapi jangan pakai kunci, lalu lauknya ayam goreng. Sama ini bi, aku mau sambal tempe, tapi tempenya dibakar ya jangan digoreng,” ucap Karen.Sedangkan Diaz hanya menambahkan lauk saja. Karen masih bergelayut manja, di tubuhnya.“Mas aku ingin makan rujak,” rengek Karen.“Ak
Sebelum memulai makan malam Adinata mengajak menantunya untuk berbicara empat mata di ruang kerjanya.Dalam hati Diaz bertanya-tanya ada apa gerangan, apa ia melakukan kesalahan atau berbuat sesuatu yang mencurigakan. Semua kemungkinan-kemungkinan itu silih berganti di kepala Diaz, mengingat seperti apa ayah mertuanya itu.Adinata pun menyuruh Diaz untuk duduk di hadapannya. Matanya menatap tajam sang menantu.“Berapa persen kamu sudah bisa mengingat? Jawab dan tak perlu berpura-pura,” ucap Adinata penuh penekanan.Terkejut itu sudah pasti, tapi Diaz berusaha untuk bersikap tenang. Wajar jika ayah mertuanya tahu, sebab rumah sakit itu miliknya. Informasi akan dengan mudah Adinata dapatkan, bukankah itu tujuannya mememindahkan Diaz ke rumah sakit Royal Wijaya.“Aku memang sudah mengingat beberapa hal tentang Karen dan hubungan kami. Tapi masih banyak kepingan yang terlewatkan,” jujur Diaz.“Aku kira kamu akan menyangkalnya, mengingat arogansimu yang tinggi,” sindir Adinata.Diaz
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,