Arashi memandang Karen, dengan penuh tanya.
“Kalau untuk urusan kakek, aku tidak bisa mencegahnya untuk tidak tahu,” ujar Arashi seakan tahu kegelisahan sang adik.Karen mengigit bibir bawahnya, cemas.“Kau tak perlu cemas, aku akan jelaskan pada kakek,” Arashi menenangkan adiknya.“Terima kasih kak, maafkan aku selalu menyulitkanmu,” ucap Karen penuh penyesalan.“Bukankah itu fungsi saudara, Ren. Kita harus saling membantu. Kelak jika aku membutuhkanmu, kamu harus bisa membantuku,” ucap Arashi diiringi dengan kekehan.Dokter dan perawat memasuki ruangan untuk memeriksa kondisi Karen.“Sepertinya tidak ada keluhan yang berlebih, kita akan jadwalkan pemeriksaan secara keseluruhan besok pagi,” terang sang dokter.“Baik dokter, terima kasih.”Arashi berpamitan pada Karen untuk melihat kondisi Rain.Di sebelah Rain terbaring lemah, kondisinya cukup mengenaskan. Arashi meringis melihat wajah tampan adiknya penuh lebam.Perawat dengan“Dimana anak kurang ajar itu?” Seorang laki-laki tua berumur kisaran 70 tahuan tiba-tiba muncul di lantai 5 gedung rumah sakit—Tokyo Takahashi Hospital.Pria itu nampak marah dengan wajah menahan emosi. Suaranya lantang, matanya tak luput memindai sekeliling mencari dimana kira-kira orang yang dia cari berada.Hari itu masih pagi, matahari bahkan baru saja menampakkan sinarnya.“Kakek!” seru Arashi.Pria sepuh itu memasuki ruang rawat inap si cucu buyut tanpa permisi. Penghuni di kamar tersebut jelas saja terkejut.“Kakek buyut!” seru Ken.“Halo buyut. Hari ini kamu sudah boleh pulang?” tanya sang kakek buyut—Yamato Takahashi.“Iya kek,” jawab Ken.“Lantas dimana paman kurang ajarmu itu, nak?” tanya Yamato pada Ken.Ken menatap Arashi bingung. Dengan sigap Arashi membawa sang Kakek untuk segera meninggalkan kamar Ken dan meminta asisten pribadi Yamato untuk menemani Ken.“Kakek, tenangkan dirimu, ini masih pagi. Terlebih kakek harus menjaga kesehatan,” ujar Arashi menenang
Dari mana kamu belajar seperti itu, sayang?” tanya Diaz yang telah tersadar dari kelumpuhan otaknya.Karen terkekeh, “Apa kamu kaget?” “Tentu saja, aku tidak menyangka, Karen Esme ternyata cukup nakal.” Diaz mengejek sang istri.“Aaaa.”Satu cubitan mendarat mulus di pinggang Diaz. Pria itu mengusap bekas cubitan yang terasa perih dan panas.“Kamu masih menyimpan cubitan maut itu!” seru Diaz. Dulu ia sering mendapat cubitan itu saat berhasil membuat istrinya jengkel.“Tentu saja, jadi jangan coba macam-macam denganku,” ucap Karen, lalu terkekeh.“Siapa yang akan berani macam-macam dengan Karen Esme? Hanya orang nekat yang melakukan itu,” beo Diaz.Karen mencebik kesal. Diaz terkekeh melihat istrinya yang masih kesal.Diaz duduk bersandar di kursi, ia tersenyum hambar.Pikirannya menerawang, hubungannya dengan Karen tidak akan mudah. Banyak luka yang harus diobati terlebih dulu.Walau mereka saling memaafkan, tidak serta merta s
“Kalian memang tidak bisa dipercaya, ck!” maki Rain yang baru saja masuk ke ruang rawat inap Karen.Ken belum bangun saat ia berangkat, oleh sebab itu Rain meninggalkannya bersama nanny.Betapa kesalnya dia saat mendapati sang kakak dan iparnya masih tertidur nyenyak di posisi masing-masing.Entah pukul berapa mereka tertidur setelah bersitegang semalaman tanpa kata. Wajar jika Rain datang mereka masib tertidur.“Dimana Karen?” tanya Rain setengah berteriak.Pertanyaan itu sontak membuat dua orang itu terkesiap, lalu memindai seluruh ruangan. Tak mereka temukan keberadaan Karen di ruangan ituRain berdecak kesal, “Kalian benar-benar tidak tahu saudariku kemana?” tanya Rain memastikan.Diaz hanyq menggeleng, dirinya masih mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang belum terkumpul.“Aku sungguh tidak tau, Rai. Padahal aku baru saja terlelap dan Karen masih belum bangun,” jujur Arashi.Rain mencari ke toilet tapi hasilnya nihil kembarannya itu tak
Meski tidak mengakuinya secara gamblang, tak dapat dipungkiri bahwa Diaz merasa bahagia. Ia berharap ini akan menjadi awal untuk kehidupan barunya dengan Karen.Panggilan masuk melalui aplikasi hijau membuatnya tersadar.“Halo, bos,” sapa orang di sebrang sana. Glen.“Ada apa Glen? Kau nampak panik,” tanya Diaz.“Nyonya Yunita, Yaz…”“Ada apa dengan mama, cepat katakan,” potong Diaz.“Beliau terjatuh di kamar mandi, sekarang sedang di larikan ke rumah sakit. Bisa kah kau kembali ke Jakarta secepatnya?” Tanya Glen lebih pada perintah.“Booking tiket tercepat, Glen. Aku akan bersiap-siap.”“Paling cepat dua jam lagi, apaakan terkejar? Ada lagi 4 jam lagi.”“Opsi kedua saja, Glen. Aku akan menemui anak dan istriku terlebih dulu.”“Baiklah,” balas Glen.Panggilan telepon terputus. Diaz memacu kendaraannya menuju mansionnya terlebih dulu untuk mengambil barang-barangnya, sebelum ke tempat Karen.Suara bel berbunyi. Karen nampak bingung siap yang datang.“Lhoh mas!” Seru Karen
Suara dering telepon memekan telinga. Namun tak mampu membuat empunya terbangun dari mimpi indahnya.Sinar matahari telah mengintip melalui cela-cela gorden, hingga suara dering itu berhenti tak ada tanda-tanda pergerakan sama sekali. Sraakk! Sraak! Suara gorden dibuka menggema disetiap sudut ruangan.“Bangun! Sepertinya suamimu menelepon sedari tadi,” ujar si sulung.“Kakak, kenapa kamu baru membangunkanku! Jam berapa ini?” protes si adik yang masih setengah sadar.Tak ada jawaban, laki-laki itu sudah pergi dari kamar adiknya. Enggan mendengar rengekannua.Karen berdecak, lalu mengambil gawaynya di atas nakas.Matanya membelalak mendapati 8 kali panggilan tak terjawab dari sang suami.“Apa mas Diaz sudah sampai di Jakarta?” gumam Karen.Dering telepon kembali berbunyi, mengagetkan Karen yang mulai kembali terlelap.“Halo!” sapa Karen dengan suara khas bangun tidur.“Kamu baru bangun?” tanya orang di sebrang sana. Karen m
“Halo, dad!” sapa Ken pada Diaz melalui sambungan video call. Anak itu heboh sembari melambaikan tangan. “Halo anak daddy? Sudah makan?” tanya Diaz. “Belum, dad. Mom sedang membuat nasi goreng.” Ken mengarahkan kamera ponselnya ke arah Karen yang sedang sibuk memasak di dapur. Karen pura-pura tidak tahu, tetap pada aktivitasnya. Diaz memandang Karen dari kejauhan. Rindu. Kata itu yang dapat mewakili perasaannya saat ini. Ken kembali mengarahkan kamera pada dirinya. “Nasi goreng!” seru Diaz antusias, “Sayangnya dad tak bisa ikut menikmati.” “Jangan sedih, dad. Kalau kamu kembali, mom pasti dengan senang hati membuatkannya untukmu.” “Iya kan, mom?” tanya Ken, memastikan. Karen melirik sekilas pada sang anak, lalu mengangguk. Ken berlari ke arah Karen, “Dad, katakanlah pada mom, kalau kamu ingin makan nasi goreng buatannya.” Bocah cilik itu langsung mengarahkan kameranya pada Karen. Ken berhasil membuat sang ayah mati kutu dengan ucapannya. Karen yang sedari cuek, langsung ber
Diaz menatap Noah penuh tanya, adiknya itu selalu menjadi garda terdepan untuk membela istrinya. Ia juga orang pertama yang tahu Elok meninggal bahkan sampai menghajar dirinya.Dulu ia berpikir karena Noah dan Rain cukup dekat, maka wajar jika Noah jauh lebih mengenal istrinya ketimbang dia sendiri.Tapi kini ia menaruh curiga, apa ada sesuatu diantara mereka. Lebih tepatnya pada Noah, mungkin saja Noah menyimpan rasa pada Elok. Bahkan saat ini adiknya itu menatap tajam padanya.Bisa jadi Noah juga tahu jika Elok masih hidup. Diaz menghela nafas pelan.“Aku harus mencari tahu,” batin Diaz.Suara Yunita kembali menyadarkan Diaz dari pikirannya.“Apa ma?” tanya Diaz yang tidak fokus dengan omongan sang ibu.“Mama bicara sampai berbusa, kamu malah melamun,” kesal sang ibu. Diaz meminta maaf, entah mengapa wajah kedua adiknya sudah berubah aneh.“Besok pulanglah lebih cepat Yaz. Ada teman mama yang akan menjenguk mama di rumah,” ujar Yunita.“Lalu hubungannya dengan Diaz apa
Usai menyantap makan malam, para orang tua mempersilakan anak-anaknya untuk berbincang dan saling mengenal satu sama lain.Diaz mengajak dokter Vio ke gazebo yang berada di samping rumah. Di dekat gazebi ada taman dan kolam renang.“Kita belum sempat berbincang setelah kepulanganku dari Jepang dokter Vio,” beo Diaz mengurai kecanggungan.“Panggil aku Vio saja Diaz saat kita bertemu di luar rumah sakit. Lagian kita ini seumuran,” usul Vio.“Baiklah kalau seperti itu maumu.”“Bagaimana keadaanmu Yaz? Sudah lebih dari dua bulan kamu tak konsul ataupun meminta resep obat dariku.”Vio sangat penasaran dengan hal tersebut, terlebih setelah pulang dari Jepang wajah Diaz tampak berbeda bukan karena babak belur, melainkan raut wajahnya yang nampak lebih bersahabat.“Aku cukup baik Vio, aku sudah mulai bisa tidur di malam hari tanpa obat,” jawab Diaz.“Perkembangan yang luar biasa, Yaz. Selamat. Apa kamu melakukan konsultasi dengan dokter hebat di sana
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,