Pukul 10 malam, suasana terasa sangat sepi, hening. Ken sudah tertidur di brankarnya, Ratna sudah pulang, sedangkan Rain entah kemana rimbanya. Karen mencoba untuk memejamkan mata, hatinya masih gelisah memikirkan suaminya yang hingga larut tak juga nampak batang hidungnya. Nomor teleponnya juga tak bisa dihubungi.“Kenapa mas Diaz tak juga datang. Tidak mungkin kan dia pulang lebih dulu,” monolog Karen sembari menatap langit-langit yang berwarna putih–monoton.Saat Karen hampir terlelap, sayup-sayup dia mendengar suara pintu dibuka, pelan-pelan. ‘Apa itu Rain? Kenapa dia seperti maling? Bukankah di depan ada penjaga.’ Pikiran Karen berpikir yang tidak-tidak. Dia merasakan orang yang masuk ke dalam ruangan itu mengendap-endap seperti maling. Meski matanya terpejam, dia bersikap sangat waspada.Perlahan orang itu semakin mendekati brankarnya.Hap! Karen mencekal tangan yang hendak menyentuhnya."Aaa…mmmm." Diaz membungkam mulut Karen, khawatir istrinya itu akan berteriak dan membangu
Karen terjaga dari tidurnya, dia tak mendapati Ken di brankarnya. Sontak Karen terbangun dan memindai setiap sudut ruangan. Karen lega melihat anaknya tidur di atas bed bersama ayahnya."Kenapa?" tanya Rain yang tiba-tiba ikut terjaga.Karen hanya menunjuk dengan dagunya ke arah ayah dan anak yang tidur dalam satu kasur. Rain hanya manggut-manggut, lantas melihat ke arah jam tangannya.Rain kembali menekuri laptop yang sempat ikut beristirahat. Saat Ken terbangun Ratna sudah berada di sana, sedangkan Rain sudah pulang. Diaz sendiri nampak kelelahan dan masih tertidur."Nenek kapan datang?" Ken duduk sembari mengusap-usap matanya agar bisa melihat dengan jelas.Ratna meletakkan jari telunjuk di mulutnya, memberi tanda agar Ken tidak berisik, sebab bisa membangunkan ayahnya. Seketika Ken langsung menutup mulutnya dan terkikik.Diaz sedikit terusik dengan gerakan Ken, pada akhirnya ikut membuka mata. Ratna tersenyum."Apa mami membangunkanmu? Maafkan ma
"Baiklah, mari kita lihat siapa yang akan kehilangan nyawa di sini, Ramon," ucap Diaz.Ramon tersenyum miring, ketegangan mulai terjadi di ruangan tersebut, hawa dingin mendominasi, masing-masing orang fokus untuk mengamankan posisi.Ramon mulai menarik pelatuknya. Melihat hal itu, Diaz melakukan pergerakan dengan memegang pergelangan tangan temannya Ramon.Dooorr!!Praankk!!Jendela kaca di ruangan tersebut pecah terkena tembakan dari Ramon. Diaz berhasil menggagalkan tembakan Ramon melesat ke kepalanya.Masing-masing anak buah mereka semakin siaga mengamankan tuannya."Pisauku memang tak secepat pistolmu Ramon, tapi jika kamu bergerak sedikit saja, benda ini akan mengoyak isi perutmu," bisik Diaz.Diaz sudah sedikit menancapkan pisau di perut Ramon, kulit Ramon sudah tergores, darah segar mulai merembes keluar."Pilihannya hanya dua, kita selesaikan ini dengan damai lalu aku akan membayarmu untuk menangkap orang itu dan kita tetap berteman atau kita selesaikan sampai diantara kita m
Udara sore itu sangat sejuk, terkadang angin menerpa lembut bersama dedaunan yang gugur.Karen menghirup udara dalam-dalam lalu melepaskannya perlahan. Dipandanginya Ken yang sedang asik bermain di pinggir air mancur, nampak dia turun dari kursi rodanya dan melempar batu ke dalam air mancur."Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Kamu hampir diculik? Hampir dibunuh?" Pertanyaan Ellen membuyarkan pandangan Karen pada Ken. Ellen memberondong Karen dengan beberapa pertanyaan sekaligus.Karen melirik Ellen dengan malas, sebenarnya dia enggan menceritakan hal itu, tapi melihat iparnya yang penuh harap dia menyerah dengan egonya dan mulai menceritakan kejadian yang membuat anaknya syok berat."Apa-apa orang itu, kenapa dia ingin menculikmu? Jadi dia juga yang menyebabkan aku harus selalu bersama bodyguard?" Karen mengangguk.Ellen menggerutu kesal, Karen tersenyum tipis, iparnya memang cerewet."Karen Esme!" panggilan itu mengalihkan keseriusan Karen d
Diaz sengaja pulang lebih awal dan membuang rencananya untuk lembur, karena kepalanya yang berdenyut tak karuan. Di sisi lain Diaz masih rindu pada istri dan anaknya.Siapa sangka Diaz malah melihat istrinya sedang bercengkrama dengan seorang laki-laki yang dia tahu adalah asisten pribadi Julian Anggara."Siapa dia, sepertinya tidak asing?" tanya Glen pada Diaz. Diaz hanya diam tak menjawab dengan tatapan lurus ke depan hampir tak berkedip menatap keduanya."Dasar tukang cemburu!" seru Glen. Diaz menatap tajam pada asisten pribadinya itu."Sepertinya mereka serius sekali," oceh Glen lagi.Semakin lama, gemuruh dalam hati Diaz semakin menjadi, terlebih melihat Willian yang menatap Karen memuja. Tentu saja itu hanya perspektif Diaz saja, kenyataannya jauh berbeda. Tak ingin membiarkan dua insan itu terus bercengkrama, Diaz akhirnya menunjukkan diri dan berjalan menuju ke arah keduanya. "Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka dulu, Bang." Ellen menceg
Seminggu kemudian.Karen dan Ken sudah diperbolehkan pulang sejak dua hari yang lalu. Rumah besar itu kembali ramai karena celotehan Ken yang menggema hampir keseluruh sudut ruangan.Kondisi psikis Ken sudah jauh lebih baik karena banyak dukungan dari orang-orang terdekat, Ken hanya perlu terapi beberapa kali dalam sebulan. Tapi anehnya, semenjak kepulangan mereka berdua, Karen sama sekali tak melihat batang hidung saudara kembarnya–Rain. Entah ke mana pemuda itu, tak ada kabarnya.Bertanya pada ibunya, tak tahu pasti apa yang dilakukan oleh Rain. Sedangkan ayahnya malah menjawab "Urusan laki-laki," tidak mungkin kan kembarannya itu sedang mencari calon istri, hatinya tak merasakan hal itu."Mas, kamu tahu ke mana bocah tengil itu pergi?" tanya Karen pada suaminya."Entahlah, bukannya kalian punya radar sendiri untuk bisa saling mengetahui satu sama lain!" jawab Diaz santai."Yyyeee, Mas pikir kami ini robot GPS," ucap Karen lalu mendesis sebal.Keti
Diaz memanggil tuan Anggara untuk mendekat dan memintanya untuk melihat ke arah laptop. "Sebentar, Bang!" Rain melihat ada pergerakan yang mencurigakan."Shit!""Ramon, awas!" teriak Rain.Terlambat!Ramon berteriak!Dia terkena jaring listrik yang Julian pasang di beberapa titik di balik plafon. Julian tertawa renyah."Bagaimana jika kamu saja yang menyerah?" ujar Julian.Ramon meringis, jika memberontak sedikit Julian akan menyalakan listriknya.Di balik layar tuan Anggara mengepalkan tangan, kemarahan sungguh memuncak, dia hendak melangkah menuju rumah itu, tapi Diaz mencegahnya."Jangan gegabah, Tuan," ucap Diaz."Dia akan berhenti jika melihatku."Rain dan Diaz menggeleng, begitu juga dengan Willian. Tuan Anggara membulatkan mata tak percaya."Ayah, sepertinya kamu belum mengerti seberapa bahaya Julian," ucap Willian pada ayahnya."Shit!"Makian Rain membuat yang lainnya kembali fokus ke layar.Terlihat di sa
Ratna menyambut kepulangan Rain dengan senyum dan pelukan hangat. Wanita paruh baya itu memindai seluruh tubuh anaknya."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ratna, sembari memegang tangan anaknya.Rain menggeleng, "Aku tidak baik-baik saja, Mi." Bruuukk!!!Tubuh tinggi Rain terjatuh lemah ke lantai bersama dengan Ratna yang tak kuat menopang berat tubuhnya."Rain!" Ratna tanpa sadar berseru cukup keras. Suaranya terdengar hingga luar. Ratna coba memindahkan bobot tubuhnya yang tertindih oleh anaknya."Mami, ada a-pa…?" suara Karen terjeda, "astaga, Rain!"Karen memeriksa suhu tubuh saudara kembarnya, panas."Demam!" gumam Karen."Pantas dia seperti ular hibernasi," ucap Diaz. Dalam keadaan seperti itu dia masih bisa bercanda.Diaz membantu Karen untuk memindahkan tubuh Rain, beruntung Jun dan dua orang lainnya segera datang, hingga mereka bisa membantu Diaz membawa Rain ke kamarnya.Karen segera menyiapkan air untuk mengompres tubuh Rain, sed
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,