Terima kasih yang sudah baca sampai di bab ini. Aku sebenarnya rada deg-degan nulis ini.
Doorr!Mendengar suara tembakan, tubuh Karen semakin melemas dan mulai bergetar. Pikiran sudah tak karuan. Sedangkan Ken sudah berteriak histeris dan meronta. Anak itu sangat ketakutan. Karen tak lagi memikirkan keselamatannya, yang ada dalam pikirannya hanya Ken, dia langsung berlari ke arah Ken."Ken!"Dalam keadaan berlari, Karen hanya bisa berharap, tak akan terjadi apa-apa pada Jun dan juga Joan."Mom! Help me!" Ken berteriak sembari menangis, entah apa yang terjadi tiba-tiba saja orang yang menyandra Ken tumbang. Merasakan tubuhnya tak lagi dicengkram, Ken berlari ke arah ibunya, tangisnya pecah. Karen memeluk erat tubuh Ken."It's ok, Ken. Ini mom!" Karen tak sempat lagi memindai sekeliling, perutnya terasa nyeri dan kaku.Sembari memeluk Ken dan berusaha menggendong anak itu, Karen berbisik dalam hati.'Kamu kuat nak, kamu kuat seperti kakakmu, ayo kita bertahan sedikit lagi.' Tiba-tiba saja sepasang tangan menyentuh kedua bahunya, seketika Karen menegang. Dia sudah bersiap
"Apa yang dirasakan nyonya Karen?" tanya dokter Lidya sembari memeriksa dengan stetoskop.Karen menceritakan apa yang dia rasakan dan juga sempat mengalami pendarahan."Mari kira periksa dulu kemudian USG."Dokter Lidya menutup tirai pemeriksaan, kemudian memeriksa jalan lahir. Aman."Apa ada rasa mual?" Keren menggeleng."Saya tekan seperti ini, sakit?" Karen meringis. "Nyeri dok." Dokter Lidya mengangguk.Tirai kembali dibuka, perawat mulai memberi gel USG dibagian bawah perut Karen. Dokter Lidya memeriksa dengan seksama. Ekspresi yang ditunjukkan dokter Lidya membuat Rain kesal."Bagaimana kondisi keponakanku, dok?" tanya Rain yang sudah tidak sabar.Dokter Lidya memberi tahu satu persatu gambar yang ditangkap di layar datar tersebut, terakhir memberi tahu detak jantung si janin."Semuanya normal ya, hanya saja keadaan kandungannya sedikit lemah. Saya akan resepkan vitamin dan penguat." Dokter Lidya menuliskan resep di kertas resepnya.
Setelah melihat email dari Rain, Diaz menyalakan walkie talkie, sepertinya dia lupa bahwa jaraknya terlalu jauh dari Jonathan."Shit!"Diaz mengambil telepon genggamnya lalu memberi perintah melalui chat aplikasi berwarna hijau untuk mengantisipasi susah signal.Diaz kembali membaca email tersebut dengan seksama, barangkali ada yang terlewat. Email yang berisikan informasi tentang sindikat yang dimiliki oleh Julian Anggara, yaitu pembunuh bayaran dan narkoba. Diaz menggelengkan kepala tak habis pikir dengan bisnis gelap yang Julian Anggara miliki. Pemimpin keluarga Anggara memang terkenal hebat di Surabaya, tapi tak pernah memiliki jejak hitam seperti Julian. Diaz menyeringai setelah membaca setiap informasi yang ada dalam laman PDF tersebut.Pantas saja jika Rain menyebut pria itu psikopat, pasalnya Julian Anggara memang seorang pembunuh berdarah dingin.Sampailah mereka di rumah Bintang yang ternyata sudah ada beberapa orang suruhan Rain berjaga di sana. Saat Diaz turun, orang-or
Dengan tergopoh-gopoh salah satu orang kepercayaan Julian memasuki ruangannya."Ada apa?" tanya Julian yang masih merasa kesal karena teror yang baru saja dia terima.Terlihat orang kepercayaannya itu sedang mengatur nafas, namun Julian sudah tak sabar."Cepat katakan!"Sore itu menjadi hari yang kelam bagi Julian Anggara, gudang senjata miliknya tiba-tiba saja meledak tak bersisa."Apa? Jangan bercanda!"Jelas saja Julian tidak percaya, pasalnya gudang yang dimaksud adalah gudang paling aman dan tersembunyi, bahkan ayahnya saja tidak tahu tentang gudang tersebut."Be-benar Tuan. Tidak mungkin dalam situasi seperti ini saya malah berca
Tuan besar Anggara murka melihat pemberitaan di televisi dan media sosial. Dia tidak menyangka jika Willian berbuat seperti itu.Tuan besar Anggara meminta orang-orangnya untuk mencari Willian, namun tak menemukannya dimana pun. Bertanya pada Julia pun, anak itu mengatakan tidak tahu.Dalam amarahnya, tuan Anggara mengecek alamat surelnya tadi pagi dia melihat sekilas ada pesan masuk yang belum sempat dia lihat.Betapa terkejutnya tuan Anggara, email tersebut berupa bukti kepemilikan gudang senjata yang sejatinya adalah milik Julian Anggara. Tak hanya perihal gudang, file itu berisikan tentang informasi bisnis gelap Julian Anggara. Tuan Anggara memukul meja dengan keras hingga tanganya memar dan sedikit mengeluarkan bercak darah.Asisten pribadi tuan Anggara sampai terkejut dan panik."Ada apa Tuan?" tanya asisten tersebut."Cari Willian tanpa sepengetahuan Julian. Booking tiket ke Jakarta. Pastikan Julian tidak tahu kedatanganku."Meski heran, asisten tuan Anggara segera melaksanakan
Nampak gurat kekhawatiran dari orang yang baru saja memasuki kamar rawat inap Karen dan Ken. Berbeda dengan Karen, dia justru tersenyum hangat menyambut kedatangan orang tersebut–Ratna.Ratna mendekati Karen, memindai seluruh tubuh anaknya. Menyentuh wajah cantik anak perempuannya yang ada sedikit lebam di sana."Mami tak perlu cemas. Aku baik-baik saja," ucap Karen seakan tahu isi hati sang ibu."Kamu membuat mami khawatir. Kenapa kamu selalu saja berada dalam keadaan bahaya," ucap Ratna. Netra wanita paruh baya itu mulai memerah. Karen memeluk erat sang ibu."Bagaimana keadaan kandunganmu?" tanya Ratna setelah melepaskan pelukan sang anak."Dia baik-baik saja mi. Dia aman dan sehat," jawab Karen."Syukurlah!"Hari ini Ratna diperbolehkan datang berkunjung ke rumah sakit, setelah melihat kondisi Karen dan Ken yang sudah boleh di jenguk."Di mana Ken? Bukankah kalian satu kamar?" Ratna melihat ke sekeliling ruangan, terdapat beberapa mainan dan b
Satu mobil berhasil dikecoh. Namun tidak untuk yang satu lagi, mobil yang sejak awal hanya mengintai di belakang, kali ini mulai mendekat dengan agresif. Aksi kejar-kejaran terjadi begitu saja. Beberapa kali suara klakson terdengar untuk menghalau mobil mereka.Tiba-tiba saja dari arah jalan yang lain, muncul sebuah mobil yang berusaha menghalangi laju mobil Diaz. Menurut perkiraan, mobil itu memang sudah menunggu di sana. Suara klakson saling bersahutan. Jalan yang cukup ramai, membuat Jhon sedikit kehilangan kendali mobil itu melesak melewati trotoar menabrak sudut tembok sebuah bangunan dan terguling. Posisi mobil mereka bersandar di buk jembatan, nyaris saja mobil itu melesak ke sungai.Beruntung Jhon masih bisa mengendalikan mobil itu agar tidak menabrak bangunan yang merupakan ruko kecil. Teriakan histeris terdengar dari dalam ruko tersebut.Disisi lain terdengar suara tabrakan yang cukup keras. Rupanya mobil yang mengejar tadi bertabrakan dengan truk yang mati-matian Jhon hind
Pukul 10 malam, suasana terasa sangat sepi, hening. Ken sudah tertidur di brankarnya, Ratna sudah pulang, sedangkan Rain entah kemana rimbanya. Karen mencoba untuk memejamkan mata, hatinya masih gelisah memikirkan suaminya yang hingga larut tak juga nampak batang hidungnya. Nomor teleponnya juga tak bisa dihubungi.“Kenapa mas Diaz tak juga datang. Tidak mungkin kan dia pulang lebih dulu,” monolog Karen sembari menatap langit-langit yang berwarna putih–monoton.Saat Karen hampir terlelap, sayup-sayup dia mendengar suara pintu dibuka, pelan-pelan. ‘Apa itu Rain? Kenapa dia seperti maling? Bukankah di depan ada penjaga.’ Pikiran Karen berpikir yang tidak-tidak. Dia merasakan orang yang masuk ke dalam ruangan itu mengendap-endap seperti maling. Meski matanya terpejam, dia bersikap sangat waspada.Perlahan orang itu semakin mendekati brankarnya.Hap! Karen mencekal tangan yang hendak menyentuhnya."Aaa…mmmm." Diaz membungkam mulut Karen, khawatir istrinya itu akan berteriak dan membangu
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,