Ibu buru-buru mengambil ponsel dari dalam tasnya. Notifikasi pesan masuk terdengar berulang kali. Ibu membuka pesan itu dan duduk di sofa. Ekspresi wajahnya berubah sendu di tengah gurat keriput yang kian kentara. "Dari siapa, Bu?" tanya Riana yang muncul dari dapur sambil menggigit sepotong semangka. Beberapa saat Ibu Riana diam, matanya tertuju pada layar benda pipih di tangannya itu. Ibu menghela nafas panjang, lalu menatap Riana. "Bukan hal yang penting," jawabnya singkat dan langsung menutup kembali layar ponsel dan menggenggamnya erat. Riana melihat ekspresi ibunya yang seakan ingin merahasiakan pesan itu darinya. "Lihat, Bu!" kata Riana sambil merebut ponsel itu dari tangan ibu.Ibu sempat ingin menahannya, tapi akhirnya pasrah membiarkan Riana melihat pesan itu. Riana segera membuka layar ponsel itu dengan kode yang telah ia ketahui. Setelah itu, Riana membuka aplikasi hijau dan mencari pesan teratas. Mata Riana terbelalak melihat sebuah nomor asing mengirimkan pesan dan
David tertegun menatap layar gawainya. Wajah sang gadis pujaan ditatapnya lekat dalam keheningan malam itu. Ditemani segelas kopi, David hanya bisa terpaku di teras di malam minggu nan kelabu. Hembusan nafas berat dan rasa kecewa masih menggelayuti hatinya. Sejak Riana melihat foto itu, sikapnya benar-benar berubah. David sudah mencoba berbagai cara untuk meminta maaf, membujuk, dan melunakkan hati Riana, tetapi semuanya belum membuahkan hasil. Riana menjauh begitu saja, bahkan tidak mau menatap wajah David. Bukan hanya Riana saja, sikap Mario juga tidak seperti biasanya. "Semua gara-gara Tante Sandra!" keluh David. "Tumben anak Mama di rumah saja malam ini?" tanya Mama David yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. "Mau kemana lagi, Ma?" ujar David lemas. "Rasanya kemarin kamu sangat bersemangat, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Bagaimana hubunganmu dengan pacarmu?" tanya Mama David. David mendengus kesal, lalu berkata, "Kami sudah putus, Ma," "Putus? Cepat sekali? Ada
Sandra tercengang, wajahnya terlihat panik dan pucat. Ia tidak menyangka keponakannya akan masuk begitu saja ke dalam rumah. 'Ini pasti karena bibi lupa mengunci pintunya," rutuknya. Namun Sandra mengangkat wajahnya, ia tidak boleh kalah dengan bocah ingusan itu. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan tersenyum angkuh. "Kamu! Apa kamu tidak pernah diajar oleh orang tuamu mengenai sopan santun saat bertamu? Seharusnya kamu mengetuk pintu dan tetap menunggu di luar sampai ada yang membukakan kamu pintu," ujar Sandra geram. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Tante! Rahasia dan kecurangan Tante sudah terbongkar! Tante tidak perlu duduk di kursi roda itu dan berpura-pura sakit lagi. Karena aku akan menceritakan semuanya pada Om Hadi dan semua orang," jawab David sambil menendang kursi roda itu karena kesal. "Jangan macam-macam kamu!" teriak Sandra. David mengambil ponsel dari sakunya dan bersiap untuk merekam kejadian itu. David yakin itu akan menjadi bukti yang tepat untuk membu
Saat David masih termenung, tiba-tiba ponselnya berdering. David berjalan ke sudut ruangan, lalu ia merogoh sakunya dan melihat nomor asing di layar benda pipih itu. "Halo," sapa David. "Halo, Keponakanku. Kamu sudah melihat sebagian kecil peringatan dari Tante," kata Sandra. David mengerutkan keningnya, ia mulai mengenali suara wanita di seberang sana. "Ta-tante. Apa Tante ada hubungannya dengan kecelakaan Mario dan Riana?" tanya David. "Ini semua kesalahanmu, Anak manis. Kamu yang menantang Tante dan mencoba bermain api," ucap Sandra. David tercekat, ia mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia tidak menyangka jika Sandra lebih berbahaya dari apa yang terlihat olehnya. "Tante, jangan main-main! Aku bisa melaporkan Tante ke polisi. Aku tidak takut pada Tante," gertak David. "Sayang, apa setelah ini kamu masih mau mengajak Tante bermain? Kamu bisa melihat sendiri, bahwa Tante mempunyai kekuatan yang lebih besar dari yang kamu duga. Dan rasanya ini barulah peringatan kecil. Kalau k
Pagi itu Hadi sedang bersiap berangkat ke kantornya. Ketika Hadi sedang sarapan, dengan sengaja Sandra menampilkan wajahnya muram dan sendu. Hadi menatap istrinya dan merasakan ada yang tidak beres. "Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu muram seperti itu? Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Hadi. "Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran dan mengganjal di hatiku. Aku berusaha memendamnya, agar tidak mengganggumu, Mas," jawab Sandra. "Katakan saja, apa yang membuatmu sedih seperti ini? Apa kamu bosan tinggal di rumah saja? Kamu ingin kita pergi ke suatu tempat atau berlibur?" tanya Hadi. "Nanti malam saja kita bicarakan, Mas. Aku takut akan menganggu konsentrasimu saat bekerja. Jangan terlalu cemas! Aku baik-baik saja, Mas," ucap Sandra. Hadi melihat jam tangannya, ia memang sudah hampir terlambat. "Ya sudah, aku berangkat kerja dulu, ya. Aku akan segera pulang, Sayang," kata Hadi sambil mengecup kening Sandra. Hadi mempunyai beberapa usaha yang sudah lama ia rintis. Hadi memiliki us
Tanpa terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Mario sudah bisa berjalan kembali dengan normal tanpa bantuan tongkat.Beberapa bulan berikutnya, Mario dan David sudah lulus dari bangku SMA. Kini Mario bersiap untuk memulai aktivitas sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Mario dan David akan kuliah di sebuah kampus yang berlokasi di luar kota. Mario akan kuliah di Jakarta, sedangkan David memilih menempuh pendidikan di Surabaya, karena ada saudara yang tinggal di sana. Dengan berat hati Riana melepas kepergian kakaknya. Perpisahan ini merupakan saat yang berat bagi Riana, yang sejak kecil selalu dekat dengan kakaknya. Malam itu, Riana menemani Mario membereskan barang-barangnya, karena ia akan pergi besok pagi. Wajah Riana muram sejak beberapa hari sebelumnya. Setelah memasukkan pakaian dan barang-barang ke dalam koper, Mario menatap adiknya yang masih tertunduk dan membisu. "Hei, kenapa sedih?" tanya Mario. Setetes air mata bening yang mati-matian ditahan oleh Riana mulai mem
"Ja-jadi selama ini kamu membohongi aku dan semua orang?" tanya Hadi terduduk di tempat tidurnya. Sandra duduk dengan santai di depan Hadi sambil tersenyum sinis. Sandra berucap keras, "Gak semuanya kebohongan, Mas. Aku memang mengalami kecelakaan itu dua puluh tahun yang lalu. Aku juga mengalami hilang ingatan dan gak bisa berjalan selama beberapa tahun. Kamu tahu bagaimana keadaanku? Bagaimana aku harus menghadapi itu semua? Bertahun-tahun aku menderita dan sendirian, Mas. Sendirian!" "Itu karena aku dan semua orang menyangka kalau kamu sudah meninggal, San," jawab Hadi. "Yang paling membuatku membenci kamu adalah karena dengan mudahny kamu menerima wanita lain sebagai penggantiku dan menikah dengannya, Mas! Mengapa semudah itu kamu jatuh cinta? Padahal kita sudah akan menikah?" tanya Sandra. Hadi mengatur nafasnya karena tiba-tiba ia merasa sesak. Ia berusaha menjawab Sandra, "Kamu salah, San. Sangat sulit bagiku untuk melewati semua proses itu. Aku juga sangat menderita dan t
Riana dan Hana berpacu dengan waktu, sesakit apapun hati mereka di masa lalu, Hadi tetap menjadi bagian istimewa dalam hidup mereka. "Itu rumahnya, Bu," tunjuk Riana. "Kamu sudah tahu?" tanya Hana sambil melirik anaknya."Mm.. Aku dan Mas Rio pernah kemari, Bu. Setelah Ayah pergi dari rumah. Saat itu kami penasaran, dan masih berharap ayah akan memilih kembali pada kita," jawab Riana. Hana menghela nafas panjang, kedua anaknya memang keras kepala, namun berhati baik. Mereka berdua segera turun dari mobil. Hana berulang kali menelepon Hadi, tetapi tidak ada jawaban darinya. "Koq sepi?" tanya Hana pada Riana. Riana mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. "Jangan-jangan tadi memang jebakan dari Tante Sandra, Bu?" kata Riana. "Tapi tadi Ibu benar-benar mendengar suara ayahmu meminta tolong," jawab Hana. "Ya sudah, kita coba ketuk dulu," Riana mengetuk pintu beberapa kali, sampai akhirnya seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Sudah beberapa kali Riana dan Hana bertemu d
Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma
Hari yang dinantikan oleh Cindy akhirnya tiba. Pagi itu ia sudah ada di bandara dan menunggu Raka. Mereka akan pergi menemui Mario untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Cindy memakai kaus kasual dan celana panjang berwarna hitam. Ia memakai kacamata hitam dan membawa sebuah tas koper. Ia juga akan pulang ke rumah orang tuanya dan tinggal beberapa hari di sana. Cindy duduk di bangku yang tersedia di luar bandara. Di tangannya ia menggenggam ponsel dan terus memantau keberadaan Raka. Cindy cukup tenang ketika Raka memberi tahu bahwa ia sudah ada cukup dekat dengan lokasi bandara. Beberapa menit kemudian, Raka datang menghampiri Cindy. Ia membawa tas ransel di punggungnya dan tersenyum ramah. "Maaf lama menunggu, tadi jalanan macet," kata Raka. "Gak apa-apa, Mas. Aku juga belum lama sampai di sini. Ayo kita masuk!" ajak Cindy. Bagi Raka, perjalanan ini juga sangat penting. Ia cukup puas akan menghabiskan waktu bersama dengan Cindy. Hal yang membuatnya semakin senang adalah
Seorang pria berjaket tebal dan berkacamata hitam berhenti sejenak di depan ruang perawatan Raka. Setelah mengintip sejenak dari celah tirai jendela yang terbuka, ia melangkah pergi ke sudut rumah sakit yang sepi. Setelah merasa cukup aman dan tidak ada yang akan mendengar ucapannya, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Halo, Nyonya. Saya sudah berhasil melaksanakan tugas dari Nyonya," katanya. "Oh ya? Bagaimana hasilnya?" tanya Sandra dari ujung telepon. "Lukanya cukup serius, dia dirawat di rumah sakit. Tolong kirim uang yang Nyonya janjikan sekarang, karena saya harus segera kabur dari kota ini sebelum ada yang curiga," bisik pria itu. Matanya tetap lincah mengawasi keadaan di sekitarnya. "Saya harus mengetahui kondisi Raka yang sebenarnya. Kenapa dia gak m4ti saja?" tanya Sandra. "Nyonya hanya memberi perintah untuk membuat dia mengalami kecelakaan. Saya sudah melakukan tepat seperti yang Nyonya perintahkan," jawab pria itu. "Kirimkan dahulu foto-foto Raka sebagai bukti! S
"Terimakasih banyak, Nak Cindy. Kami janji akan membayarnya segera," ucap Bapak Raka sambil menangis haru. Cindy tersenyum tipis, ia tidak dapat menahan diri untuk menolong Raka, walaupun itu berarti harus mengorbankan uang tabungannya. Cindy juga sadar, mungkin rencananya untuk menemui Mario akan tertunda sampai kondisi Raka pulih. Jika Cindy memaksa menemui Mario saat ini, mungkin Mario akan menolak dan meragukan keterangannya. Bagaimanapun juga, ia membutuhkan keterangan dan pengakuan dari Raka tentang kejadian yang sebenarnya. Kedua orang tua Raka segera masuk ke ruangan IGD, sementara Cindy menuju bagian administrasi. Ia mengisi formulir rawat inap pasien dan memberikan sejumlah uang deposit. Pihak rumah sakit akan segera memindahkan Raka ke ruang perawatan. Setelah menyelesaikan semua proses yang diperlukan, Cindy segera menyusul ke ruang perawatan Raka. Ia berjalan perlahan dan menunggu di depan pintu, karena Raka sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. "Nak, syukurlah