“Selama anakmu ada di sana, aku akan berusaha mencari uang untuk menggantikan kerugianmu!” Olivia membuang mukanya seketika, wanita itu masih sangat jengkel dan marah karena kelalaian Willis, Olivia kehilangan banyak uang yang dia rencanakan untuk bisa membuat Leary sekolah. Kesialan Olivia benar-benar tidak berakhir. Olivia tahu jika tidak ada gunanya terus marah, tapi apa tanggung jawab Willis sebanding dengan semua senjata dan uang Olivia yang hilang? Olivia tidak bisa membiarkan Leary terus menerus berada di rumah dan menyaksikan dirinya sakit. Akhir-akir ini dada Olivia semakin sakit tidak terkendali. Akhir-akhir ini juga Leary menjadi murung karena khawatir melihatnya sakit. Olivia tidak ingin Leary semakin bersedih melihat kondisinya yang semakin memburuk sepanjang waktu. Olivia ingin jika Leary berhenti memikirkannya dengan diberi banyak kesibukan. Leary tidak boleh melihat semua rasa sakit yang diderita tubuhnya, dia harus terus melangkah jauh tanpa kesedihan meski bila
“Apakah di sana aku akan mendapatkan uang?” bisik Leary bertanya. Olivia sempat dibuat terdiam, dengan penuh kehati-hatian wanita itu menjawab, “Kenapa kau menanyakan uang Nak?” Wajah Leary kembali terangkat, anak itu menatap lekat Olivia dengan tangan terkepal kuat di atas meja. “Jika aku mendapatkan uang, aku ingin membelikan obat untuk Ibu, agar Ibu bisa sembuh. Aku ingin kita pergi berkuda lagi, aku senang bermain bersama Ibu.” Olivia tercekat kaget, bibirnya menekan kuat menahan desakan air mata kesedihannya mendengar jawaban Leary yang penuh kebijaksanaan. “Nak, sudah pernah bilang padamu jika ibu masih memiliki cukup uang, ibu menawarkanmu berada di toko bibi Willis karena di sana ada banyak buku dongeng yang bagus dan taman bermain, di sana kau tidak akan kesepian.” “Tapi Ibu akan kesepian jika kutinggal sendiri,” jawab Leary lagi masih tidak berpikir egois dan mendahulukan keadaan Olivia. Mata Olivia bergetar kian panas, ucapan Leary sangat menghangatkan hatinya dan mem
Tetesan darah segar terjatuh menodai kertas dan bergabung dengan tinta balpoin yang merangkai beberapa patah kata. Olivia menegakan kepalanya dan menutup hidungnya dengan cepat, kepalanya berdenyut sakit dan pandangannya sedikit mengabur. Suara napas Olivia mulai terdengar. Dokter mengatakan jika masalah Olivia ada pada satu paru-parunya yang tidak befungsi lagi, namun semenjak mendapatkan obat pelumpuhan dari Oxfo, Olivia merasakan ada sesuatu yang pada tubuhnya. Olivia curiga jika Oxfo mencoba memasukan zat yang mempercepat kematiannya setelah mendapatkan informasi dari Olivia. Dia semakin lemah dan mudah sakit, Olivia terus menerus membutuhkan obat untuk bertahan dan beberapa inhaler yang membantu pernapasannya dalam beberapa saat. Dengan tangan yang gemetar Olivia memutar kursi rodanya agar bisa pergi ke dapur dan membersihkan wajahnya yang dihiasi darah. Sepanjang hari ini Olivia tidak berhenti memikirkan Leary sambil menulis beberapa catatan penting yang harus dia berikan
Gigitan demi gigitan kentang mulai masuk ke dalam mulut, rasa bosan membuat Leary ingin mencoba ke taman bermain, tapi rasa takut yang lebih besar membuat Leary harus menahan diri dan menunggu Willis pulang. Beruntung saja Willis yang sudah pergi telah kembali, wanita itu terlihat tersenyum lebar penuh kesenangan karena baru selesai di ajak jalan-jalan oleh seorang laki-laki. “Bagaimana dengan tokoku?” tanya Willis. Leary terperanjat. “Ada seseorang yang mengambil buku pesanannya, namanya nyonya Lesley, buku yang di ambil panduan musik opera.” Kening Willis mengerut samar, mencoba mengingat apakah ada seseorang yang memesan buku musik opera bernama Lesley. Mata Willis mulai menyipit curiga, dia tahu siapa Lesley, wanita yang penah bertengkar dengannya karena suami Lesley tidur dengan Willis. Tapi, Lesley tidak pernah memesan buku, jangankan untuk bicara, untuk saling melihat saja mereka sudah saling membenci. Tapi benar, Lesley datang ke tokonya? “Apa aku salah dengar?” tanya W
Selesai mandi dan berpakaian, dengan cepat Leary segera duduk di meja makan dan menikmati makan malamnya bersama Olivia sambil bercakap santai, membicarakan musim dingin yang sudah dekat. Olivia berjanji akan membawa Leary berkeliling kota London dan membawanya melihat menara bigben setelah Leary pintar membaca dan berhitung. Langit sore sudah mulai hilang berganti malam, mala mini bulan terlihat muncul bersama dengan bintang-bintang yang bertebaran. Rasa kenyang membuat Leary duduk santai di kursinya, anak itu memperhatikan kue kering kesukaannya ada di atas meja dengan berbagai makanan lezat lainnya yang masih banyak belum dimakan. Sudah sangat lama Leary tidak memakan makan enak lagi, dia sampai bertanya-tanya di dalam hatinya, bagaimana caranya ibunya mendapatkan semua makanan lezat ini padahal dia sedang sakit? Kini Leary tengah menunggu Olivia yang pergi ke sudut ruangan tengah untuk mengambil hadiah yang sudah dia janjikan kepada putrinya. Tidak berapa lama akhirnya Olivi
Olivia sudah berusaha sebisa mungkin menyelesaikan laporan terakhirnya untuk dikirimkan kepada Oxfo setelah dua bulan lebih lamanya dia mengirimkan sedikit demi sedikit informasi. Suara batuk Olivia terdengar berat, Olivia berhenti menulis di kertas khusus yang dikirim, dengan sisa-sisa tenganya dia menggulung semua kertas yang telah dia tulis dan memasukannya ke dalam sebuah kotak. Suara Olivia kasar tersenggal, Olivia masih tidak berhenti batuk, wanita itu mulai menutup mulutnya yang kini kembali mengeluarkan darah, keringat dingin mulai membasahi Olivia, pandangannya berkunang-kunang, wanita itu terlihat kesulitan untuk berpindah duduk ke kursi rodanya karena keadaan tubuhnya yang semakin lemah. Olivia harus mengambil obat dan meminta bantuan, dia tidak boleh terjatuh pingsan dan ditemukan oleh Leary. Tubuh Olivia gemetar, dia merintih mencoba memutar kursi roda yang didudukinya agar bergerak ke kamar, rasa sakit di dada tidak mampu diredakan hanya dengan tekanan dan usapan s
“Ibu.. apa yang harus aku lakukan? Ibu mau minum obat?” tanya Leary mengusap dada Olivia karena sejak tadi Olivia gemetar merasakan sakit dan sesak di dada. Olivia menggeleng tanpa suara. “Kita harus pergi ke dokter, kenapa Ibu tidak pernah mau pergi ke dokter? Aku akan mendorong kursi roda Ibu sampai ke klinik.” “Besok ibu akan sembuh, jangan khawatir,” jawab Olivia seraya menggenggam tangan kecil Leary di dadanya. “Terima kasih,” ucapnya lagi nyaris tidak terdengar. Leary menarik napasnya dalam-dalam, anak itu mengusap kening Olivia untuk merasakan suhu tubuhhnya yang kini sedikit menurun setelah setengah jam mendapatkan kompresan. Perlahan Olivia kembali tertidur, sementara Leary masih terjaga dan hanya duduk memperhatikan ibunya dengan lekat. Wajah cantik Olivia sudah berubah, dia tinggal kulit dan tulang, suaranya semakin hari semakin dalam, dia lebih banyak duduk di kursi roda. Leary takut.. Dia takut ibunya masih lama sembuh. Leary menatap ke sekitar dengan sendu, mata
Terlalu banyak melakukan pekerjaan di rumah pada akhirnya Leary terlambat datang ke toko, kedatangannya langsung disambut cemberutan marah Willis yang kini berdiri bersedekap di depan pintu. Willis kesal karena dia tidak memiliki kunci cadangan toko sehingga dia harus menunggu lama kedatangan Leary. “Kau kemana saja? Aku baru dua hari memberimu kunci, tapi kau sudah berani datang terlambat setengah jam.” Leary mengusap peluh keringat di keningnya, dia sudah cukup berlari untuk ke toko, namun karena harus mendorong sepeda, dia menjadi terlambat, seharian kemarin Leary sudah belajar mengendarai sepeda dengan Lohan, tetapi dia masih belum lancar memakainya. “Maaf Bibi, saya harus membantu ibu karena kembali sakit.” Kening Willis mengerut samar, sudah lebih dari satu minggu dia tidak menemui Olivia, jadi dia tidak tahu keadaan Olivia sekarang seperti apa. “Ibumu bisa bangun?” Leary menggeleng pelan, anak itu menyembunyikan kesedihan di matanya teringat jika sebelum dia berangkat per
Langit terlihat memerah, dalam waktu beberapa menit lagi akan benar-benar tenggelam. Leary duduk di rerumputan melihat banyaknya daun semanggi yang tumbuh subur.Gadis kecil itu terlihat merenung teringat Petri yang pernah dia beri daun semanggi.Petri, entah mengapa Leary ingin lebih dekat dengannya dan terus memikirkannya. Leary gelisah melihat Petri yang terlihat bersedih.“Apa yang kau lakukan di sini? Masuklah,” titah Chaning yang datang menyusul, sekilas pria itu melihat jauh keberadaan Ferez yang masih menunggangi kudanya di pacuan.Wajah Leary terangkat, menatap lekat Chaning yang kini disinari sinar matahari sore. Pria itu terlihat kuat, indah dan hangat, sehangat matahari sore.Leary tidak bersuara, namun anak itu terus menatap Chaning dalam diam, Leary bergumul dalam pikirannya mencoba untuk merangkai sesuatu untuk diungkapkan.“Kenapa?” tanya Chaning yang menyadari sesuatu.Leary segera berdiri. “Paman, apa boleh saya berteman baik dengan Petri?” tanya Leary terdengar seper
Ferez berjalan sendirian keluar dari kantin sekolah, beberapa saat yang lalu dia sempat pergi ke kelas Leary untuk memastikan keadaannya karena ingin tahu keadaannya. Ferez tidak menemukan keberadaannya, dia sempat berpikir Leary pergi ke kantin sekolah, namun ternyata Leary juga tidak ada.Cukup jauh Ferez melangkah akhirnya dia sampai di taman sekolah, tidak membutuhkan waktu lama untuknya mencari Leary karena kini perhatiannya langsung tertuju pada gadis kecil itu yang kini tersenyum melambaikan tangannya pada Petri yang beranjak pergi meninggalkannya.Ferez juga melihat Duke yang kini tengah berdiri di bawah pohon, Ferez tidak habis pikir dengan keputusan ayahnya yang mengirim Duke dibandingkan pengawal lainnya. Padahal Duke memiliki fisik yang mencolok dibandingkan dengan Romero.Tanpa pikir panjang Ferez segera pergi menghampiri Leary.“Ferez,” sapa Leary dengan senyuman lebar terlihat senang.“Bagaimana kelas pertamamu?” tanya Ferez seraya duduk, namun tatapannya yang tajam it
“Apa boleh saya duduk di sini?” tanya Leary memberanikan diri.Sekali lagi Petri menarik napasnya dalam-dalam, dan berkata, “Duduklah.”Leary memutuskan untuk duduk di samping Petri, sementara Duke berdiri menunggu di bawah pohon sambil berbicara dengan seorang anak laki-laki yang meminta tolong kepadanya karena bolanya menyangkut di dahan pohon.Leary dan Petri duduk berdampingan, keduanya terlihat terjebak dalam kecanggungan meski hatinya saling memiliki rasa penasaran dan bertanya-tanya ingin tahu kabar masing-masing.Petri melirik Leary yang kini membuka bekal makanannya di atas pangkuannya. “Kau mulai sekolah hari ini?”Leary mengangguk dengan senyuman.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Petri lagi.“Luar biasa, saya sangat senang.”Petri ikut tersenyum meski jauh di dalam lubuk hatinya dia merasa sedikit iri karena tidak bisa pergi bersama ke sekolah dengan adiknya, malahan kini mereka berdua tampak seperti dua orang asing yang sedang mengobrol.Leary mengambil roti isi yang dibuat o
Noah menopang dagunya memperhatikan gurunya tengah berbicara di depan, perhatiannya sempat teralihkan pada Petri yang tengah membaca buku. Sejak kejadian hari itu, Petri menjadi jarang sekolah, dia harus menanggung banyak tanggung jawab dan lebih mementingkan untuk belajar khusus bisnis dibandingkan dengan sekolah umum untuk anak-anak seusianya.Keadaan Darrel tidak kunjung membaik dan dia terus mendapatkan perhatian khusus, bisa dikatakan mungkin kini keadaan jauh lebih buruk. Beruntung Adelle sering datang membantu Petri dikala dia kesulitan. Kini kediaman keluarga McCwin sudah kosong tidak berpenghuni, Petri lebih memilih tinggal bersama Andrew yang sampai saat ini masih setia kepadanya meski sudah mengundurkan diri.Karena kejadian di hari itu, Petri sempat tidak sekolah selama satu bulan, dia harus mendapatkan banyak bimbingan agar bisa melewati masa traumanya.Kini, Petri yang cerdas dan selalu kompetitif dalam belajar sudah berubah, dia lebih banyak diam dan menyendiri, menja
Chaning dan Liebert duduk dalam ketegangan, kehadiran kedua pria itu membuat seseorang guru yang mengurus administrasi pendaftaran sekolah sempat dibuat diam dan tersenyum canggung.Hari kemarin seseorang bertubuh tinggi besar dangan wajah bertato yang datang memberikan semua berkas keperluan, dan kini yang datang menjadi wali adalah dua pria bertubuh besar.Chaning dan Liebert berpenampilan rapi, namun aura mematikan mereka tetap saja tidak bisa dihindarkan. Terlebih, sebelumnya Russel pernah bertemu dengan Chaning yang pernah mendaftarkan Ferez.Nama Benvolio sangat begitu jarang digunakan, dan nama itu dikenal sebagai nama klan besar keluarga mafia.“Kita pernah bertemu sebelumnya, Anda orang tuanya Ferez?” ucap Russel berbasa-basi, padahal sebelumnya dia sudah dihubungi secara khusus oleh petinggi sekolah bahwa akan ada tamu penting yang akan medaftar anaknya sekolah.Chaning mengangguk samar.Russel berdeham pelan sambil menyeka keringat dingin di keningnya. “Jadi, anak atas nama
“Aku paman kandungnya, aku akan menjadi walinya,” Liebert angkat bicara ditengah-tengah sarapan pagi yang akan dimulai.Pagi ini Chaning dan Liebert tengah berdiskusi mengenai sekolah pertama Leary, nampaknya diskusi itu sedikit terganggu karena Chaning dan Liebert sama-sama ingin menjadi wali Leary.Chaning menengok seketika, pria itu mendorong piring makanan untuk Ferez. “Apa kau sudah lupa? Sekarang aku menjadi ayah angkatnya secara sah, secara garis besar aku lebih berhak menjadi walinya.”Kening Liebert mengerut samar, pria itu tampak tidak setuju dengan apa yang telah Chaning katakan kepadanya. “Ayah angkat di atas kertas, Leary masih memanggilmu paman.”“Memangnya kenapa? Saat kecil, Ferez juga memanggilku Chaning dibandingkan dengan sebutan ayah. Lagi pula, Leary lebih dekat denganku.”Liebert tersenyum miring, pria langsung bersedekap sombong. “Oh ya? Jika kalian sangat dekat, apa kau tahu keahilannya?”“Apa maksudmu? Aku lebih tahu tentang dia dibandingkan denganmu,” debat C
Empat bulan kemudian..Leary terbaring dalam kegelisahan, gadis kecil itu terlihat beberapa kali melihat baju seragam sekolahnya yang digantung di depan lemari. Besok adalah hari pertama dia akan sekolah, Leary sangat gugup dan berdebar hebat tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok.Keadaan Leary sudah pulih sejak tiga bulan yang lalu, namun karena dia masih kesulitan berbicara dan takut dengan orang asing, butuh waktu lama untuknya bisa pulih seperti sekarang.Kini, Leary telah kembali menjadi anak yang penuh semangat dan selalu ceria. Sejak tinggal di rumah Chaning, secara perlahan Leary mendapatkan lebih banyak keberaniannya berkat dorongan semua orang.Chaning maupun Liebert, mereka berdua memang tidak begitu bisa bersikap manis dan lembut seperti orang lain. Namun, mereka berdua mampu memberikan banyak kenyamanan dan rasa aman untuk Leary, mereka berdua selalu menumbuhkan rasa percaya diri Leary agar dia berhenti berpikiran buruk lagi dengan orang-orang yang ada di se
Desa Bibury, tempat yang telah Leary tinggalkan, tempat kenangan terakhir Olivia hidup, kini berada di depan mata. Leary berdiri terpaku, berdiri di tengah-tengah rumah kecil sederhana dan kumuh. Pandangannya mengedar melihat ke penjuru tempat, merasakan kembali kenangan indah dirinya bersama ibunya dulu.Leary mengusap dadanya, merasakan sesuatu perasaan yang kosong kini terasa kembali penuh hanya dengan membayangkan wajah Olivia, mencium sisa-sisa aromanya yang masih tertinggal.Di tempat ini, Leary melewati masa indah terakhirnya bersama ibunya. Leary melangkah pelan dalam tuntunan Chaning, mendekati sebuah tungku perapian. Di tempat itu, Olivia menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan Leary. Leary masih ingat, dia memeluk tubuh Olivia yang semula hangat berubah dingin, Leary yang sudah berjanji untuk menjadi anak yang kuat menahan air matanya hingga hembusan napas terakhir Olivia, hingga detak jantung terakhirnya, Leary menangis tanpa suara agar Olivia tidak mendengarnya.
Leary terduduk di kursi rodanya dengan sebuah pakaian yang tebal, gadis kecil itu tidak berhenti memandangi Liebert yang sejak tadi menyisir rambutnya, membantu mengenakan pakaian tebal hingga membantu mempersiapkan kepergian mereka karena pulang dari rumah sakit.Suara ketukan di pintu terdengar, tidak terduga Petri berdiri di ambang pintu. Ini untuk pertama kalinya Petri keluar usai kejadian itu, kini konisi Petri sudah mulai stabil berkat bantuan dokter. Petri berdiri tertunduk terlihat ragu untuk menatap.“Apa aku dibolehkan masuk?” Tanya Petri terdengar pelan nyaris tidak terdengar.Liebert sempat terdiam, pria itu lebih dulu melihat reaksi Leary. Jika Leary ketakutan, maka Liebert akan menolak.Melihat Leary yang terlihat tenang, Liebert akhirnya segera berdiri. “Masuklah,” jawab Liebert memberi izin.Petri mencoba memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Liebert, orang sudah menembak kaki ayahnya dengan kejam. Namun entah mengapa, tidak ada kebencian di dalam ha