Pagi itu Patik, Awan dan Dayu bersiap. Raka tidak mau mengantar mereka ke halaman, dia masih kecewa karena mereka meninggalkannya secepat itu.
“Maafkan Raka. Dia memang seperti itu kalau menyangkut perpisahan,” kata Ki Danu.
“Tidak apa-apa Ki. Dia masih kecil,” kata Patik.
“Berhati-hatilah. Doaku menyertai kalian,” kata Ki Danu.
Mereka akhirnya berjalan melewati jalan utama padukuhan. Banyak orang berlalu lalang. Begitu sesampainya di simpang empat pertama, mereka berbelok ke kanan. Rumah semakin jarang, area persawahan yang terhampar mengiringi langkah mereka memasuki hutan.
“Kita tidak akan banyak berhenti. Bekal ubi rebus dan air minum ini akan membantu kita selama tidak menemukan makanan atau sumber air di hutan,” kata Patik.
“Di hutan banyak ayam yang bisa kita tang
Malam telah datang, Awan, Patik dan Dayu masih berada di tengah jalan. Perjalanan mulai menanjak. Entah di mana mereka akan menemukan padukuhan terdekat. Jalan makin terjal dan berbatu.“Kita berhenti di sini. Aku akan mengumpulkan ranting kering untuk membuat api,” kata Patik seraya masuk agak ke dalam hutan.Awan mempersiapkan tempat untuk mereka bermalam.“Duduklah, aku sudah membersihkannya,” kata Awan kepada Dayu yang terlihat lelah.“Seharusnya aku tak mengajakmu. Membuatmu dalam bahaya dan berada di alam terbuka,” lanjut Awan menyesal.“Kamu bicara apa, aku kan sudah memutuskan untuk menemanimu,” kata Dayu kesal.“Tapi kamu jadi kelelahan dan lihatlah kulitmu mulai menghitam terlalu banyak terkena sinar matahari. Sinar ultraviolet itu buruk bagi kulitmu,” gerutu A
Sultan Adiraja sudah melewati hutan lebat itu, bukit yang dia tuju berada di depannya sekarang. Bukit yang sudah sangat lama ditinggalkannya setelah membuat Awan terlempar ke dunia lain. Dia bertanya-tanya apakah Gurunya sekarang bertambah tua atau tidak.Guru yang mengajarinya cara untuk membuka lorong waktu, yang mengenalkannya pada kekuasaan. Yang akhirnya membuat mereka bertentangan dan Awan menjadi korban.“Tujuan kita sudah dekat. Aku tak akan beristirahat lagi. Kita harus bisa mencapai bukit itu paling lambat nanti malam” kata Sultan Adiraja membuat kedua pengawalnya pasrah.Tenaga mereka sudah seperti terkuras. Tai mereka tak berani membantah titah Sultan mereka kalau masih ingin hidup.“Kalian akan bisa beristirahat di bukit itu nanti. Di sana aku akan bersama Guruku. Kalian bebas melakukan apa saja asal tidak meninggalkan bukit,” k
Menjelang sore Sultan Adiraja mengajak Ratno dan Santo untuk meninggalkan bukit itu.“Kamu yakin akan pergi? Tak menunggu gelap sekalian? Bukankah kamu tak takut apa pun?” ledek Resi Sangkala membuat Sultan Adiraja menggeram.“Bila nanti Awan datang ke sini. Kirim dia ke tempatku,” pinta Sultan Adiraja.“Terserah mauku. Buat apa aku membuang kesempatan menjadikannya muridku?” Resi Sangkala berkacak pinggang menantang.Tanpa bicara Sultan Adiraja meninggalkan halaman rumah itu. Santo dan Ratno hanya bisa mengangguk dan mengundurkan diri dari hadapan Resi Sangkala yang memberi isyarat agar mengikuti mau Sultan mereka tersebut.Saat Sultan Adiraja berbelok memasuki hutan yang mulai gelap, dari arah sebaliknya Awan datang bersama Patik dan Dayu. Mereka tak melihat Sultan Adiraja pun sebaliknya.Saat Awan mendekati rumah Resi Sa
Awan masih menggulung dirinya di dalam selimut, hawa dingin perbukitan membuatnya enggan untuk bangun. Sementara itu Patik sudah bersama Resi Sangkala di halaman rumah. Dayu sibuk mengagumi benda bulat seperti baling-baling itu.“Resi bukan berasal dari dunia ini?” tanya Patik penasaran.“Benar Ki, aku berasal dari dunia dengan jaman yang sudah maju. Itulah kenapa semua yang kamu lihat di sini berbeda dengan yang ada di dunia ini,” kata Resi Sangkala membuat Patik mengangguk.“Di sana sudah ditemukan listrik yang bisa menghidupkan lampu tanpa minyak. Atap itu, menangkap cahaya matahari untuk dijadikan energi yang bisa menghasilkan listrik itu.” Resi Sangkala menunjuk ke arah atap yang berbentuk kerucut dan mengkilap itu.“Listrik?” tanya Patik heran.“Iya semacam api yang menghasilkan panas, maka cahaya matahari yang diserap atap itu menghasilkan energi yang bernama listrik.”
Dayu sangat bersemangat menjalani hari itu. Karena dia akan mempelajari hal baru dan mengembangkan yang dia punya. Dia bahkan bersemangat membantu Awan menata meja makan yang masih asing baginya itu.Patik dan Awan bergantian membersihkan diri. Patik yang juga merasa aneh dengan keadaan kamar mandi itu mencoba memahaminya. Semua kemajuan yang ada di rumah ini bahkan membuatnya takjub.“Aku akan memulai dengan melihat kemampuanmu nanti. Tapi jangan terlalu terburu-buru, kita akan memulai dengan pelan-pelan,” kata Resi Sangkala kepada Dayu.“Baik Resi,” jawab Dayu khidmat.“Panggil aku Guru, hahaha.” Resi Sangkala tertawa sendiri.“Baiklah Guru,” jawab Dayu rikuh.“Kamu harus memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar banyak,” kata Patik.Awan hanya mengangguk-angguk seraya mengunyah makanan, perutnya lapar karena harus menguras tenaga untuk latihan tadi.Se
Dayu bergabung dengan mereka.“Kekuatanmu itu bisa kamu maksimalkan, kamu hanya perlu berusaha lebih keras. Fokusmu hanya bagaimana kekuatan itu bisa kamu gunakan. Salurkan melalui udara, maka bila kamu bisa mengendalikannya, semuanya akan lebih mudah bagimu,” kata Resi Sangkala.Dayu hanya mengangguk dan menghela napasnya. Semoga dia bisa memenuhi harapan Gurunya itu. Keinginannya agar bisa menjadi berguna dan membantu Awanlah yang membuat tekatnya semakin besar.Sultan Adiraja sedang mondar-mandir di ruangannya. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi bila benar Awan bisa kembali dari dunia lain itu. Dia bahkan tidak tahu apa yang Awan bawa kemari, bisa saja dia membawa benda yang lebih berbahaya dari Barretanya. Mengingat Awan sangat lama di dunia itu.Pintu kamarnya diketuk, membuatnya tersentak kaget.“Siapa ?” tanya Sultan Adiraja gusar.“Hamba Ayah, Radika.” Suara berat terdeng
Dayu dengan konsentrasi penuh membuat aliran energinya menyelimuti Awan sehingga dia tak merasakan lagi serangan Patik dan Resi Sangkala. Semakin lama kekuatan Dayu semakin mantap dan berkembang.“Aku menyerah!” teriak Awan kelelahan.Kekuatannya sudah berada diambang batas. Dia merebahkan badannya dan mengangkat tangannya tanda tak kuat lagi melawanPatik dan Resi Sangkala yang juga terengah-engah akhirnya menyelesaikan latihan itu. Mereka berdua kemudian mengatur napas dan berlalu dari ruang bawah itu.“Aku akan masak untuk kalian,” kata Resi Sangkala.“Aku akan memastikan nasinya cukup untuk mengisi tenaganya lagi,” timpal Patik menggoda Awan yang hanya bisa memejamkan mata karena sudah tak sanggup berkata-kata.Dayu kemudian menghampirinya. Duduk di sampingnya dan menatap Awan lekat. Laki-laki ini bahkan tidak mengeluh untuk menerima serangan itu hanya agar dia bisa berkembang. Tanp
Sapto terengah-engah saat berlari dari pekatnya hutan di malam hari. Keadaan yang mengharuskannya segera menyampaikan pesan itu membuat dia harus berkejaran dengan waktu. Tujuan berada di depan. Orang yang dia cari ternyata sudah jauh pergi dari keramaian.Bulan yang separo mengiringi langkahnya, dengan kecepatan yang di atas rata-rata Sapto seolah tak punya beban tubuh. Tenaganya hampir habis, tapi pesan ini harus tersampaikan sebelum hari berganti.Bukit kecil itu tetap dengan susah payah harus didakinya. Rumah ganjil dan segala sesuatu yang lain di sana sejenak membuat Sapto merasa di dunia lain. Benar kata orang, bahwa bukit ini adalah tempat aneh.Tergesa diketuknya pintu yang sangat ganjil baginya. Tulisan dari arang yang berisi kode-kode aneh dan pegangan pintu yang berisi angka yang sangat asing bagi Sapto.Seseorang membuka pintu. Lelaki tua yang belum terlalu tua.“Ada apa?” tanya lelaki itu.“Saya m
Patik, Awan dan Radika berjalan ke arah Kesultanan. Dayu mereka tinggalkan di rumahnya karena nanti pada saatnya akan pergi lagi bersama Awan.Begitu memasuki kota raja, prajurit yang mengenal Radika memberikan penghormatan. Radika hanya mengangguk. Dia belum begitu siap dengan perubahan kedudukan yang akan terjadi pada dirinya sebentar lagi. Bisakah dia?“Pangeran,” sapa prajurit di pintu gerbang Kesultanan.“Aku ingin bertemu dengan Ki Sadewa, katakan padanya untuk menemuiku di pendapa,” kata Radika membuat salah satu dari prajurit itu segera undur diri untuk menyampaikan pesan itu.Radika mengajak Awan dan Patik ke pendapa.“Silakan duduk Kangmas dan Paman Patik, kita menunggu Ki Sadewa,” kata Radika seraya duduk bersama mereka di bawah.Seorang emban datang untuk menanyakan apa yang harus dia suguhkan.“Wah, wah, akhirnya kamu menginjakkan kakimu lagi ke sini,” kata Ki
Resi Sangkala dan Santo sudah berjalan jauh keluar dari hutan dan mulai memasuki daerah yang padat penduduk. Mereka harus berhenti sejenak karena tak ingin menimbulkan kecurigaan. Seharusnya pasukan yang di panggil Ratno bisa mendapati mereka di area ini kalau tidak ada hambatan.Benar dugaan mereka. Dari arah berlawanan sepasukan prajurit datang. Ratno terlihat berada di depan mereka.“Maaf Resi, kami harus menyiapkan Kesultanan dan juga mewartakan kemangkatan Sultan Adiraja sepanjang jalan,” kata Ratno begitu mereka bertemu.“Tak apa. Kami juga baru saja sampai di sini,” kata Resi Sangkala.Setelah merasa cukup beristirahat mereka bergegas untuk kembali ke Kesultanan segera.Beberapa orang mengambil alih tandu yang berisi jenazah Sultan Adiraja. Mereka berjalan beriringan. Sepanjang jalan pedukuhan sudah banyak rakyat yang memberi penghormatan terakhir kepada Sultan mereka. Walaupun banyak kejadian yang tidak
“Awan, kamu urus Dayu, aku akan mengurus Radika. Pastikan peluru itu keluar. Aku hanya mempunyai pinset dan pisau kecil ini, buat luka baru jika tak memungkinkan,” perintah Resi Sangkala sangat jelas.“Apakah kamu punya obat bius Guru?” tanya Awan berharap ada obat bius untuk menghalau rasa sakit yang mungkin timbul.“Sayangnya tak ada. Suruh saja mereka menggigit kain yang kita gulung untuk menahan gemeretak gigi karena kesakitan,” usul Resi Sangkala.Ratno dan Patik tanggap segera mengambil kain di lemari yang di sudut dan mengangsurkan ke Radika dan Dayu yang terlihat menahan sakit dan semakin lemah.“Dayu, dengarkan aku. Dengarkan baik-baik, aku tidak akan membiarkanmu mati. Akan kulakukan semampuku untuk menolongmu. Bekerja samalah denganku,” kata Awan seraya mengangsurkan kain itu ke mulut Dayu.Dengan anggukan lemah Dayu membuka mulutnya dan menggigit kain itu. Awan membalik posis
Patik yang melihat wajah kesal Sultan Adiraja hanya bisa menahan napasnya. Bila ingin membuat semua ini adil, maka harus ada perang tanding. Bukan keroyokan.“Kita akan berperang atau kamu lebih memilih perang tanding?” tawar Patik pada akhirnya.Sultan Adiraja menimbang keputusannya. Bila berperang mungkin dia akan kalah karena Ratno dan Santo belum pada tataran yang bisa disandingkan dengan musuhnya itu. Dia tidak tahu kekuatan Resi Sangkala, Patik juga pasti mempunyai kekuatan yang besar, dilihat dari sikapnya yang tenang. Awan juga terlihat tenang, dia akan menjadi lawan yang seimbang untuk Radika. Walaupun dia tak tahu gadis di samping Awan itu, akan tetapi bila dia ada di sana, kemungkinan besar gadis itu juga mempunyai kekuatan.“Biarkan anak muda yang memperlihatkan bagaimana beradu kekuatan. Aku akan mengajukan Radika untuk berperang tanding dengan Awan,” kata Sultan Adiraja pada akhirnya.Awan yang mendengar
Sapto terengah-engah saat berlari dari pekatnya hutan di malam hari. Keadaan yang mengharuskannya segera menyampaikan pesan itu membuat dia harus berkejaran dengan waktu. Tujuan berada di depan. Orang yang dia cari ternyata sudah jauh pergi dari keramaian.Bulan yang separo mengiringi langkahnya, dengan kecepatan yang di atas rata-rata Sapto seolah tak punya beban tubuh. Tenaganya hampir habis, tapi pesan ini harus tersampaikan sebelum hari berganti.Bukit kecil itu tetap dengan susah payah harus didakinya. Rumah ganjil dan segala sesuatu yang lain di sana sejenak membuat Sapto merasa di dunia lain. Benar kata orang, bahwa bukit ini adalah tempat aneh.Tergesa diketuknya pintu yang sangat ganjil baginya. Tulisan dari arang yang berisi kode-kode aneh dan pegangan pintu yang berisi angka yang sangat asing bagi Sapto.Seseorang membuka pintu. Lelaki tua yang belum terlalu tua.“Ada apa?” tanya lelaki itu.“Saya m
Dayu dengan konsentrasi penuh membuat aliran energinya menyelimuti Awan sehingga dia tak merasakan lagi serangan Patik dan Resi Sangkala. Semakin lama kekuatan Dayu semakin mantap dan berkembang.“Aku menyerah!” teriak Awan kelelahan.Kekuatannya sudah berada diambang batas. Dia merebahkan badannya dan mengangkat tangannya tanda tak kuat lagi melawanPatik dan Resi Sangkala yang juga terengah-engah akhirnya menyelesaikan latihan itu. Mereka berdua kemudian mengatur napas dan berlalu dari ruang bawah itu.“Aku akan masak untuk kalian,” kata Resi Sangkala.“Aku akan memastikan nasinya cukup untuk mengisi tenaganya lagi,” timpal Patik menggoda Awan yang hanya bisa memejamkan mata karena sudah tak sanggup berkata-kata.Dayu kemudian menghampirinya. Duduk di sampingnya dan menatap Awan lekat. Laki-laki ini bahkan tidak mengeluh untuk menerima serangan itu hanya agar dia bisa berkembang. Tanp
Dayu bergabung dengan mereka.“Kekuatanmu itu bisa kamu maksimalkan, kamu hanya perlu berusaha lebih keras. Fokusmu hanya bagaimana kekuatan itu bisa kamu gunakan. Salurkan melalui udara, maka bila kamu bisa mengendalikannya, semuanya akan lebih mudah bagimu,” kata Resi Sangkala.Dayu hanya mengangguk dan menghela napasnya. Semoga dia bisa memenuhi harapan Gurunya itu. Keinginannya agar bisa menjadi berguna dan membantu Awanlah yang membuat tekatnya semakin besar.Sultan Adiraja sedang mondar-mandir di ruangannya. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi bila benar Awan bisa kembali dari dunia lain itu. Dia bahkan tidak tahu apa yang Awan bawa kemari, bisa saja dia membawa benda yang lebih berbahaya dari Barretanya. Mengingat Awan sangat lama di dunia itu.Pintu kamarnya diketuk, membuatnya tersentak kaget.“Siapa ?” tanya Sultan Adiraja gusar.“Hamba Ayah, Radika.” Suara berat terdeng
Dayu sangat bersemangat menjalani hari itu. Karena dia akan mempelajari hal baru dan mengembangkan yang dia punya. Dia bahkan bersemangat membantu Awan menata meja makan yang masih asing baginya itu.Patik dan Awan bergantian membersihkan diri. Patik yang juga merasa aneh dengan keadaan kamar mandi itu mencoba memahaminya. Semua kemajuan yang ada di rumah ini bahkan membuatnya takjub.“Aku akan memulai dengan melihat kemampuanmu nanti. Tapi jangan terlalu terburu-buru, kita akan memulai dengan pelan-pelan,” kata Resi Sangkala kepada Dayu.“Baik Resi,” jawab Dayu khidmat.“Panggil aku Guru, hahaha.” Resi Sangkala tertawa sendiri.“Baiklah Guru,” jawab Dayu rikuh.“Kamu harus memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar banyak,” kata Patik.Awan hanya mengangguk-angguk seraya mengunyah makanan, perutnya lapar karena harus menguras tenaga untuk latihan tadi.Se
Awan masih menggulung dirinya di dalam selimut, hawa dingin perbukitan membuatnya enggan untuk bangun. Sementara itu Patik sudah bersama Resi Sangkala di halaman rumah. Dayu sibuk mengagumi benda bulat seperti baling-baling itu.“Resi bukan berasal dari dunia ini?” tanya Patik penasaran.“Benar Ki, aku berasal dari dunia dengan jaman yang sudah maju. Itulah kenapa semua yang kamu lihat di sini berbeda dengan yang ada di dunia ini,” kata Resi Sangkala membuat Patik mengangguk.“Di sana sudah ditemukan listrik yang bisa menghidupkan lampu tanpa minyak. Atap itu, menangkap cahaya matahari untuk dijadikan energi yang bisa menghasilkan listrik itu.” Resi Sangkala menunjuk ke arah atap yang berbentuk kerucut dan mengkilap itu.“Listrik?” tanya Patik heran.“Iya semacam api yang menghasilkan panas, maka cahaya matahari yang diserap atap itu menghasilkan energi yang bernama listrik.”