Rara mulai mengepak barang-barang. Untuk sementara dia akan kembali ke rumah Papanya sampai rumahnya laku. Rumah ini sudah diberi tanda kalau dijual, tapi Rara tidak mencantumkan nomornya, melainkan nomor Papanya. Ia benar-benar sudah tak mau lagi berhubungan dengan keluarga Dani, ia mulai mengganti nomornya dan memblokir nomor Dani dan keluarganya. “Sidangmu hari ini, ya?” tanya Alex. Rara memang dibantu Alex membereskan barangnya.“Iya, nanti jam sembilan pagi, ini masih jam enam kok,” tukas Rara.“Ya sudah, nanti aku antar sekalian. Mana lagi barang yang perlu dipacking?” tanya Alex sambil mengikat kardus berisi novel-novel milik Rara.“Barang di lantai dua, bawa seperlunya saja gak usah semuanya, Lex,” kata Rara sedikit berteriak karena dia sudah berada di tangga. Rara memasukkkan beberapa peralatan memasaknya. Tak sengaja Rara menengok ke arah pintu kamar Pembantu—yang sempat dipakai Anggita— karena pintunya terbuka. Rara pun masuk kamar itu. Ia lupa belum membereskan sisa bar
“Yang aku coret semuanya adalah laporan fiktif! Tidak ada kegiatan tersebut di kantor ini. Lalu ke mana uangnya?! Bentak Sang direktur yang membuatnya tambah panik. Apalagi orang itu menatapnya terus-menerus.**** “Kenapa kamu diam saja Anggita?” tatap Bosnya tajam. Tentu saja Anggita tak bisa menjawab. Kebingungan juga mendapat tatapan tajam dari seseorang membuatnya tambah grogi.Karena tak menjawab, Pak Bos mengambil sesuatu dari laci mejanya.“Lalu apa ini?!” Bos Anggita memberikan beberapa slip gaji palsu yang biasa Anggita pakai untuk menggaji karyawan kantor itu. Tanpa perlu memegangnya pun Anggita sudah mengenali tumpukkan kertas itu.Anggita masih terdiam, dia benar-benar tak menyangka bosnya akan mengetahui semua hal yang sudah dia sembunyikan rapat selama ini. Benar kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Sekarang Bosnya sudah tahu, dia tak bisa mengelak lagi. Pak Ardi memberikan slip gaji asli dari kantor, dan membandingkan dengan s
Anggita kesal sendiri di ruangannya. Dia tak menyangka kejahatannya akan ketahuan secepat ini. Dirinya mulai tak fokus bekerja. Pikirannya kembali pada percakapan tadi dengan Bosnya. Dirinya sama sekali tidak menyangka kalau Rara adalah anak dari Pak Ardi.“Arrrgh ....” Anggita memukul meja kerjanya. Dia sangat kesal. Semuanya tak berjalan sesuai keinginannya. Dia berencana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari kantor ini. Setelah itu baru akan resign dan memulai usaha butik impiannya.Tapi manusia hanya berencana, Tuhan yang menentukan. Ditambah sekarang dia dipecat. 'Mana mau Aku menjadi Office Girl, pekerjaan rendahan, mau-maunya menjadi pesuruh. Batinnya. Biarlah aku dipecat, nanti bisa cari kerjaan baru. Aku kan cantik. Gumamnya sambil melihat dirinya di kaca yang selalu ia bawa.[Perhatian kepada semua karyawan, besok akan diadakan pengangkatan direktur baru, diharapkan kehadirannya jam tujuh malam di Hotel Melia. Boleh mengajak anggota keluarga. Terima kasih.] Terdengar pe
“Kenapa, Nia?” tanya Bu Intan sambil duduk di samping Nia. Ibunya mengelus kepala Nia dan menyenderkannya di bahunya. Anggita dan Dani berdiri di depan Nia.“Ada orang yang mengirim pesan gambar padaku, Bu. Bang Ken ditangkap polisi.” Setelah mengatakan itu Nia kembali menangis.“Ditangkap polisi? Kok bisa? Memangnya apa yang dia lakukan?” tanya Dani tak sabar.“Jangan langsung percaya, bisa jadi itu penipuan, Mbak. Seperti mama minta pulsa, lagi di kantor polisi gitu.” Anggita menanggapi juga.Nia tak menjawab, hanya menyerahkan ponselnya kepada Dani. Anggita dan Ibunya ikut mendekat untuk melihat gambar apa itu. Di ponsel itu terlihat Ken dan seorang perempuan berpakaian mini yang menutupi wajahnya menggunakan tangan. Mereka duduk di ruangan seperti kantor polisi, terlihat dari warna coklat di cat dindingnya.“Memangnya apa masalahnya, Mbak? Lalu siapa perempuan ini? Mbak kenal?” Berondong Dani.Melihat kakaknya tak menjawab, Dani segera memanggil nomor tersebut. Namun tidak aktif.
Anggita sangat kesal melihat semua perhatian tertuju pada Rara. Apalagi suaminya juga tampak mendekati lagi wanita yang akan menjadi mantan istrinya itu. Bahkan sekarang secara terang-terangan Dani mengajak Rara bicara saat ia turun panggung.‘Aku harus melakukan sesuatu untuk mempermalukan dia di pesta ini.’ Ucapnya dalam hati sambil tersenyum licik. Anggita mengeluarkan ulat bulu dan kecoa dari dalam toples kecil, dia sendiri jijik melihat dua binatang itu. Kemarin sepulang kerja dia meminta OB di kantornya untuk mencari kedua binatang itu, makanya Anggita terlambat pulang karena menunggu OB yang diperintahnya. Tanpa dia sadari sepasang mata mengawasi gerak geriknya, Anggita yang tak sadar tetap mendekati Rara dari belakang. Dia hendak melemparkan binatang menjijikkan itu kepada Rara, tapi belum sampai melemparkan kedua binatang itu, sebuah tangan memukul lengannya pelan, sehingga jatuhlah binatang itu di tubuhnya sendiri. Anggita berteriak, semua orang menatapnya heran. Dani pun m
“Bu, kita ke apotek dulu beli obat. Gatal banget ini badanku!” keluh Anggita.“Kamu juga sih! Aneh-aneh pakai ulat bulu segala. Malu-maluin! Gara-gara kamu baju Ibu juga kotor nih!” sungut Ibunya.“Habis aku tuh sebel, Bu! Mentang-mentang kaya, sekarang Mas Dani jadi mengejar lagi, padahal kan uda mau cerai juga!” ucap Anggita.“Kamu kenapa sih? Lepaskanlah Dani, cari laki yang kaya. Orang dia uda pengangguran masih dipertahankan! Cerai aja udah!” pinta Ibunya.“Ibu! Jaga omonganmu! Anak baru nikah kok uda disuruh cerai. Ucapan seorang Ibu itu adalah doa! Kalau ngomong yang baik-baik! Jangan ngomong sembarangan!” sentak Pak Joko.Mendengar ucapan itu, Mereka berdua terdiam. Kalau Pak Joko sudah marah, maka gantian mereka berdua yang tak berani bicara. Dani dan Ibunya benar-benar menunggu Rara keluar. Mereka berdua duduk lesehan di dekat pintu masuk hotel. Meskipun terkantuk-kantuk, Bu Intan tetap menunggunya. Dani pun bersandar sambil memejamkan mata.Tak berapa lama, beberapa orang
Hari ini sidang selanjutnya perceraian Rara dan Dani. Rara telah bersiap. Kali ini ia akan ditemani oleh kedua orang tuanya.“Nanti sepulang sidang kita ke kantor Ya! Ada orang yang ingin Papa kenalkan padamu,” ucap Pak Ardi saat sarapan. Rara mengangguk.Seharusnya hari ini Dani berangkat sidang tetapi malah sibuk dengan kakaknya yang panik karena membaca pesan dari suaminya. Belum lagi mertuanya yang memaksa Ibu dan kakaknya untuk meninggalkan rumah. Anggita dari tadi hanya diam di kamar.“Dan! Cepat bawa Ibu dan kakak kamu pergi! Masa di rumah ini Cuma suamiku yang cari duit, kalian tinggal menikmati. Bangun-bangun langsung sarapan! Enak banget!” seru Ibu mertuanya.Belum sempat Dani menjawab Nia sudah menyahut.“Dan! Ayo cepat ke ATM! Bang Ken butuh uang!” Nia menarik tangan Dani.“Ya, sana keluar sekalian bawa koper kalian. Sudah cukup lama kalian numpang di sini! Anggita tak kuizinkan ikut denganmu, Dani! Kamu kan sekarang kere.” Mertuanya masih berteriak kepadanya.“Dasar so
Pak Tejo segera menekan bel di samping gerbang. Tak berapa lama, Bik Surti, Istrinya sendiri yang membuka pintu.“Lho? Ada apa Pak e? Kok tumben ke sini siang-siang?” tanya Bi Surti melihat rombongan yang ada di belakang Pak Tejo.“Ini, mengantar tamu. Beliau ini besannya Bapak, dan Masnya ini suami Non Rara,” jelas Pak Tejo.“Aku langsung pulang ya, Bune.”Bia Surti mengangguk lalu melihat ke arah Dani dan keluarganya. Sebenarnya sedikit banyak ia tahu permasalahan anak majikannya itu. Tetapi karena tidak diberi mandat, dia diam saja. Bi Surti pun membuka pintu gerbangnya dan mempersilahkan mereka duduk di teras sementara ia akan memberi tahu majikannya kalau ada tamu. Lalu dia ingat, Pak Ardi pergi dari tadi pagi dengan Rara dan belum kembali. Ia pun kembali ke depan lagi.“Maaf, saya lupa. Bapak dari pagi pergi dengan Non Rara, sampai sekarang belum pulang.” Bi Surti menjelaskan.“Saya mau nunggu di sini aja sampai Bapak pulang,” seru Ibunya Dani.“Keluarin aja cemilan buat kita nu
“Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud
“Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati
Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b
“Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi
“Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba
Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah