Danina melihat kegelisahan di wajah seluruh orang. Bahkan makan malam sekarang jauh lebih sunyi dari sebelumnya, sekaligus jauh lebih ramai dari sebelumnya. Biasanya, hanya beberapa Effrayante yang ikut makan malam bersama mereka. Para elf itu akan berjaga setiap malam di pintu-pintu masuk hutan, dan menyisakan sedikit elf yang bergabung. Sitaf juga jarang ikut berkumpul dengan mereka, untuk alasan yang tidak diketahui siapapun.
Tapi malam ini, semua orang berkumpul tanpa terkecuali. Seluruh anggota Effrayante duduk menyebar diantara orang-orang yang membuat lingkaran di tepian api unggun. Sitaf duduk diapit oleh ayahnya dan Nareef. Ibunya duduk jauh darinya—duduk di seberang bersama Loo dan Ian. Gaia duduk di dekat kembar Glapyra. Dan dirinya duduk di dekat Xenon yang bersebelahan dengan Aias. Mereka membahas sesuatu secara bisik-bisik—dan Danina tidak mendengar apapun kecuali gumaman tak jelas Xenon.
Perlahan gadis itu meremas tangan Xenon yang menggengga
Lorelai berlari. Kaki yang hanya dia gunakan untuk berjalan itu, kini dia gunakan untuk berlari menuju ruang kerja Liam. Kabar yang dia dengar—dia berharap itu hanya sebuah lelucon payah dari sang Raja. Dia berharap Liam hanya mengerjai dirinya dan menertawai saat dirinya sampai di ruang kerja itu.Tapi Liam tidak pernah tertawa lagi saat bersamanya.Tidak lagi, setelah suaminya menjadi Raja.Meskipun Xavi yang menyampaikan kabar padanya dengan raut wajah yang tak terbaca, Lorelai tetap berharap itu hanya sebuah lelucon. Dirinya tidak ingin mempercayai apa yang dia dengar.Di belakangnya, dua pelayannya meminta dia untuk berhenti berlari. Tapi siapa yang tidak akan berlari saat mendengar kabar seperti ini?Putrinya mati.Putrinya yang selalu membuatnya sakit kepala telah dibunuh oleh angota Camsart!Putri kesayangannya telah dibunuh oleh klan yang menjadi kambing hitam!Lorelai membuka ruang kerja Liam dengan dorongan sep
Danina hampir tidak bisa tidur. Disaat Xenon sudah tidur nyenyak di sampingnya—dirinya masih menatap langit-langit rumah pohon, mendengarkan hewan malam yang berbunyi nyaring, dan pikiran yang masih dipenuhi dengan permasalahan yang belum dia putuskan untuk menyelesaikannya.Hingga suara binatang malam mulai tidak terdengar, dirinya tertidur untuk beberapa saat dan kembali terbangun saat langit mengeluarkan semburat merah. Disebelahnya, Xenon masih tertidur dan memeluknya dengan erat.Jadi Danina memutuskan untuk pulang ke rumah, berharap saat dirinya sampai di rumah, ibunya masih tertidur dan tidak mencecarnya dengan pertanyaan. Danina mencium pelan pipi Xenon, membetulkan posisi selimut Xenon kemudian turun dari rumah pohon.Udara di sekitarnya masih terasa dingin, membuatnya mengeratkan kedua tangannya di depan dada. Meskipun udara disini tidak lebih dingin dibandingkan diluar hutan Camsart, tapi Danina benar-benar hampir menggigil. Di sekitarnya, ia bi
“Aku mencintaimu.” Bisiknya lirih. Dirinya berharap makhluk didekatnya itu tidak mendengarnya. “Aku benar-benar mencintaimu.” Bisiknya lagi.Air matanya terasa menusuk-nusuk. Dirinya benci perasaan sentimentil seperti ini. Tapi mendengar penjelasannya, membuatnya memutuskan untuk mengakui perasaannya. “Aku berharap ini hanya omong kosong. Kau mengetahui semuanya dan membuatku seperti orang dungu yang tergila-gila dengan rencana yang kuanggap sempurna—tapi aku tak peduli. Entah bagaimana semua ini berjalan, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin kau pergi dariku.”Ilvy benci menangis, tapi dirinya tak mampu menahan rasa nyeri di dadanya karena penjelasan Qeen yang masih terasa tak masuk akal. Ia melarikan pandangannya pada kunang-kunang yang menjadi sumber pencahayaan di ruangan itu. Ilvy berusaha untuk memikirkan alasan mengapa mereka menangkap kunang-kunang untuk menjadi pembantu penglihatan di malam hari, atau mengapa
Xavi menyukai pekerjaannya. Terlebih jika pekerjaan itu tentang pembersihan. Menyingkirkan seseorang, membuang mayat—dia menyukai semua pekerjaan kotor itu. Bukan karena dia menyukai anyir darah—baunya membuat kepalanya berdenyut nyeri—tapi karena Raja memberikannya alasan untuk semakin terikat padanya.Juga, banyaknya rahasia Raja yang dia simpan—yang sewaktu-waktu bisa dia gunakan untuk menyelamatkan diri.Hidup pasti tentang membunuh atau dibunuh. Apa salahnya memegang kendali?Seperti beberapa waktu yang lalu, saat Raja menginginkan nyawa seseorang. Putri Gerian adalah miniatur dari sang Raja—penuh tipu muslihat dan licik. Tapi kelicikan Putri Gerian jauh dibawah sang Raja.Saat gadis yang baru saja debutante itu berusaha untuk mencari pengasuh Blyana, Xavi sudah mengetahui keberadaan wanita itu. Bahkan saat bandit itu menangkap Issisia dan membawanya ke Rhauven—Raja sudah menduga hal itu.Lalu saat Putri Ger
Danina melihat gadis itu yang tengah menatapnya dengan senyum yang terkulum. Matanya yang cemerlang tampak penuh dengan rasa penasaran. Juga penuh dendam kesumat. “Dia adalah Putri Gerian—Ilvy Channest.” Suara Sitaf membuatnya kaget. Buru-buru ia mengedipkan mata untuk menyadarkan dirinya.Ia kembali menatap gadis di depannya itu. Disebelah gadis itu, ayahnya menatap dirinya dengan ekspresi hampir menangis, sementara Nareef dan Qeen menatapnya dengan tanpa ekspresi.Danina ingin mengatakan sesuatu, tetapi tenggorokannya tercekat. Kedua tangannya berkeringat, dan kepalanya mendadak berdenyut sakit.Ia tak siap dengan ini semua.Dirinya bahkan belum berani untuk menanyai hal yang dicuri dengarnya beberapa hari yang lalu, dan ia sudah mendapatkan kejutan yang tak menyenangkan ini.“Nareef,” di ujung lapangan—ditepian hutan—suara Gaia menginterupsi mereka. Danina terkejut dengan suara pelan Gaia yang terdengar
Danina menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Ia kembali membuka mata dan melihat hutan di depannya. Pohon-pohon berdiri dengan pincang, tanah terasa bergoyang, ia melihat rumput pendek di bawah kakinya bergerak menggulung-gulung.Danina menatap sekeliling. Ia melihat Sitaf menjadi dua, dengan senyum menyeramkan dan tangan yang menggenggam tongkat dengan api diatasnya. Ia melihat Qeen bergerak dengan aneh—meliuk-liuk seperti ular. Dan gadis didepannya itu, menatapnya dengan empat mata yang berwarna merah.Danina merasakan lonjakan di perutnya tiba-tiba. Dengan cepat dia terhuyung ke samping, menjauhi orang-orang aneh yang membuatnya semakin mual.Kakinya terasa seperti tidak bertulang, langkahnya bergerak tidak lurus. Danina tersandung sesuatu dan terjatuh. Tak membuang waktu, ia merangkak ke tepian lapangan dan akhirnya mengeluarkan seluruh isi perutnya.Danina tidak bisa menghilangkan bayangan menyeramkan dan menyedihkan di kepalanya. Danina
Ia duduk diantara Sitaf dan Qeen, tetapi seluruh mata menatapnya dengan pandangan penasaran. Orang-orang berbisik, ada yang secara terang-terangan menunjuk dirinya dan Qeen. Tapi itu semua tidak begitu mengusik selain sepupunya yang mengobrol dengan seorang pria dan tidak menatapnya sama sekali. Tidak sejak pertama kali ia duduk di tepi api unggun, maupun saat piring-piring telah dibersihkan.Ilvy menarik pelan lengan kemeja Qeen, membuat perhatian makhluk itu yang awalnya mengobrol dengan salah seorang Camsarian menjadi berfokus padanya. Mata kelam itu menatapnya untuk beberapa saat, lalu sebelah alisnya naik—bertanya secara isyarat.Ilvy hanya menarik lengan makhluk itu lebih dekat dengannya, kemudian bersandar sambil sesekali menatap orang-orang yang masih mencuri pandang ke arahnya. “Mereka menatapku seperti aku seekor hewan langka.” Bisiknya pelan setengah menggerutu.Disebelahnya, Sitaf terkekeh mendengar gerutuannya. Membuatnya menegakka
Api unggun padam melewati tengah malam. Ilvy sempat bercakap-cakap dengan beberapa orang Camsart dan juga Effrayante—lebih tepatnya mereka yang berbicara dan Ilvy hanya sesekali menanggapi. Ilvy bisa melihat dengan jelas sorot benci dari Camsarian, tetapi wanita paruh baya yang bernama Gaia cukup bisa menjadi teman mengobrol yang baik. Bahkan Ilvy beberapa kali mendapati wanita itu menegur Camsarian yang secara terang-terangan menyumpahinya.Orang-orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Tapi Ilvy melihat Danina bersama seorang pria masih duduk di tepi api unggun. Sepupunya itu menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu, dan kedua tangan mereka saling terkait.Di sebelahnya, Sitaf telah kembali ke tempatnya, begitu pula dengan Nareef yang sempat menyapanya tadi. Ia mengangguk, yang langsung dibalas Qeen dengan menggenggam tangannya dan membantunya berdiri. “Aku akan menyapa sepupuku terlebih dahulu.” Ujarnya. Makhluk itu tidak membalas apapun dan meng
Ia menyibak selimutnya, turun dari ranjang dan membuka jendela yang berada tak jauh darinya. Langit masih gelap, udara masih terasa begitu dingin. Dengan cepat ia menarik jubahnya yang tersampir di kepala ranjang dan mengenakannya—menghalau dinginnya udara menjelang pagi yang masuk dengan mudah melewati jendela yang ia buka. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di bawah jendela itu. Kedua tangannya menumpu di kusen jendela, dengan kepala yang terbaring di atas kedua tangan. Matanya menatap ke halaman samping rumahnya yang masih gelap gulita, ditemani bunyi kepak burung hantu yang terdengar jelas di dahan pohon yang berdiri tak jauh dari batas halamannya. Samar, ia mencium bau bunga lavender yang mekar di halaman. Bercampur dengan bau bunga mawar dan bunga-bunga lainnya yang ia tak ketahui namanya. Meskipun pelayannya menjelaskan hingga mulut berbusa tentang nama-nama bunga, ia tetap tidak bisa mengingat nama-nama itu. Satu kunang-kunang mendekat kearahnya. Tak l
Ilvy tak pernah merasa sesedih dan sebahagia ini. Baginya, ini pertama kalinya ia merasakan perasaan campur aduk seperti itu. Ia bisa tertawa dan menangis bersamaan. Disudut hatinya, batinnya merasa terkoyak sekaligus lega. Luka di tubuhnya terasa seperti sebuah kekalahan dan kemenangan. Singgasana yang ia duduki terasa begitu menakjubkan tetapi menakutkan. Sempat terbersit dihatinya untuk melepaskan segalanya. Hidup bahagia dengan makhluk yang mencintainya—tapi saat ini, pada momen seperti ini—iblis didalam hatinya membutuhkan sebuah kepuasan yang berbeda. Kepuasaan saat dirinya melenyapkan pemilik sah takhta terakhir. Ilvy melihat dua pedang yang dipegang kedua tangannya. Satu miliknya, satu lagi milik sepupunya. Ia melemparkan pedang itu hingga bunyi besi yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan itu. Ruangan yang meskipun diisi banyak manusia tetapi terasa sunyi dan menyedihkan. Toh karena semua manusia disana telah menjadi mayat. Bahkan dia
“Bantu Jenderal Otto di pintu masuk timur. Aku akan masuk bersama Danina!” Qeen menggeleng cepat. Mata kelam itu menatapnya dengan skeptis. “Aku tidak akan terluka.” Ujarnya tanpa menunggu. Ilvy tidak membutuhkan persetujuan Qeen. Itu perintah untuk sang Effrayante dan harus dituruti. Dia membawa sepertiga pasukan ke gerbang depan istana, menyerang secara terbuka. Menyongsong jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh ayahnya. “Masih ada waktu untuk mundur, Dan.” Teriaknya di atas kuda kepada sepupunya. Danina tidak menatapnya. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat penuh dengan tekad. Ilvy tahu gadis itu sedang menjangkau penyebab dirinya yatim piatu. Dan gadis itu tidak akan mundur meskipun pasukan Gerian jauh lebih banyak dari pasukan yang mereka bawa saat ini. “Kau bisa mundur jika terlalu sedih melihat kematian kedua orang tuamu.” Ilvy memutar matanya, dia kembali menatap ke depan. “Tidak.” Ilvy tidak akan pernah mundur. Mere
Istana jauh lebih megah dari bayangannya. Awalnya dia hanya membayangkan bahwa istana Gerian hanya sebesar lapangan kumpul dikalikan sepuluh. Tapi dia salah. Istana itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada banyak bangunan yang terpisah di istana dibawah sana, dengan kubah-kubah kecil di setiap bangunan itu. Tetapi kubah-kubah itu tidak sebesar bangunan yang berdiri di bagian tengah lingkungan Istana Gerian. Kubah besar terlihat berkilau dari tempatnya berdiri di dalam hutan—membuatnya bertanya-tanya mengapa Ilvy ingin menghancurkan posisi ayahnya yang tinggal di tempat yang pantas disebut surga itu, membuat posisi gadis itu juga ikut terancam.Tembok tinggi yang menjulang membuat batasan dengan jalanan yang melingkari istana Gerian dan juga tempat-tempat mewah lainnya di luar tembok. Danina mengasumsikan jika tempat-tempat cantik itu adalah rumah-rumah bangsawan yang menyebut dirinya sebagai Brosnean.Kuda di belakangnya meringkik, bersahut-sahutan. Kuda
Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani
Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang
Ilvy terus memperhatikan drama di depannya dalam diam. Menurutnya malam ini adalah malam yang paling menarik selama dia menghabiskan banyak waktu di tengah hutan Camsart ini. Malam dimana semua orang murka karena kehilangan dua orang yang menjadi tonggak berdirinya klan Camsart.Nareef dan Nefsnan.Ayahnya begitu pintar melenyapkan dua orang yang perkataannya selalu dituruti oleh anggota Camsart lainnya.Raja Liam mendapatkan dua tangkapan pada satu umpan yang dipasangnya.Ilvy mengulum senyumnya ketika melihat betapa keruhnya situasi saat ini. Kudeta yang kini berada di depan mata, goyahnya klan Camsart karena kematian sang Alfa dan penasehatnya, dan kini dirinya melihat kebencian anggota Camsart kepada Effrayante, kaum yang selama ini melindungi mereka.Atau… kaum yang selama ini memelihara para Camsarian.Teriakan di depannya tidak pernah terputus. Bahkan, intensitasnya semakin menjadi. Ilvy bahkan harus mundur hingga ke tepi lapan
Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen
Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I