"Ibu benar-benar tidak menyangka, sejak kecil ibu mendidik mu dengan sudah payah, tapi kenapa hari ini kamu membuat ibu sangat kecewa dan merasa sudah sangat gagal sebagai orang tua!" Bu Ratih meluapkan semua kesedihan dalam hatinya. Anna yang tak henti-hentinya merasa bersalah, dia terus berlutut dan memohon agar ibunya mau memaafkan semua kesalahannya. Tapi bagi Bu Ratih semua itu sulit untuk dia terima. "Jika nyonya Renata tidak datang hari ini, dan menunjukan foto ini. Mungkin kamu tidak akan pernah berterus terang pada ibu, benar-benar putri yang tidak berbakti." Maki Bu Ratih dengan emosi yang meluap-luap dalam dirinya. "Maafkan Anna Bu, Anna tidak punya pilihan lain lagi dan karena Anna tidak ingin kehilangan ibu jadi Anna menerima tawaran tuan Daren," jelas Anna yang tidak ingin sang ibu lebih salah paham lagi kepadanya. Bu Ratih yang masih kesal, dia menepis tangan Anna lalu pergi ke dalam kamar dengan mengunci pintu. Untuk meredam semua emosi yang menyelimutinya
Hari berganti malam, setelah berhasil menemui ibu Anna. Renata yang baru saja sampai di rumah dia merasa sangat puas. Karena akhirnya rencananya berhasil. Setibanya di rumah, Renata di sambut hangat oleh nyonya Hilda dan beberapa pelayan yang sudah menyiapkan beberapa menu hidangan khusus beserta kue ulang tahun yang berukuran besar. Melihat semua yang ada, membuat Renata sangat terharu dan menatap nanar ibu mertuanya. "Ibu, ada apa acara apa ini? kenapa terlihat ini banyak makanan dan bolu Indan ini?" cecar Renata yang begitu penasaran . Nyonya Hilda tersenyum., lalu dengan santainya mulai menjelaskan pada menantu kesayanganya. "Renata, apa kamu benar-benar lupa hari ini hari sangat penting untuk kamu dan Daren." Renata yang masih bergeming, mulai memikirkan semua perkataan ibu mertuanya yang memang benar-benar lupa. Tak tega melihat Renata yang berpikir keras Nyonya Hilda pun mulai memberikan sebuah kado special yang telah dia siapkan untuk menantunya. "Renata! ambilah
Daren menghela nafas kasar, ia memberanikan diri untuk mengungkapkan semua keinginan yang ada di dalam hatinya, berharap jika ibunya akan mengerti. "Ibu, Pernikahanku dengan Renata sama sekali tidak di dasari dengan perasaan cinta. Jadi aku ingin bercerai saja," ungkap Daren. Nyonya Hilda sangat kaget, bahkan jantungnya seperti berhenti berdetak saat mendengar permintaan putranya yang sangat membuatnya kecewa. "Apa! bercerai, apakah kamu sudah gila Daren, kamu ingatkan bagaimana ayah berkata pada waktu saat kalian menikah, mendiang ayah Renata begitu banyak jasa membantu keluarga kita, jadi ibu harap tarik kata-katamu lagi Daren!" nyonya Hilda marah dan tidak setuju. Lagi-lagi mendengar ibunya yang terus menekan agar mau mempertahankan rumah tangganya, membuat Daren sangat kesal. "Bu, aku sudah berusaha mencintai Renata. Tapi di antara kami memang benar-benar tidak ada ketertarikan satu sama lain, pernikahan ini hanyalah sebuah alat untuk mempererat hubungan dua keluarga saja,
Beberapa jam kemudian, setelah Daren selesai mandi. Lelaki tampan itu terlihat keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk di bawah pingangnya. Membuat Renata yang masih duduk di meja riasnya, terlonjak kaget saat melihat postur tubuh Daren yang terlihat menggoda. Sampai membuat jantungnya berdegup sangat kencang. Apa lagi saat melihat dada bidang Daren yang terlihat kekar, bak seperti roti sobek berbentuk kotak-kotak. Siapa pun wanita yang melihat pasti akan terpana. "Mas Daren! Apa mandinya sudah selesai?" Tanya Renata sembari beranjak dari meja rias lalu berjalan menghampiri sang suami yang sudah lama sekali dia dambakan. "Iya, aku sangat lelah. Tapi ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu Renata," jawab Daren dengan nada datar dan sikapnya yang dingin. Renata yang sudah lama menunggu, dia merasa sudah tak bisa menahan gejolak hasratnya yang selama belum dia dapatkan dari Daren. "Memangnya, apa yang ingin kamu bicarakan mas? oh iya apa kamu ingat
"Mas kamu ini kenapa bicara ngawur, katakan padaku apa benar gosip yang sedang beredar itu jika kamu dan sekertarismu itu bermain di belakangku?" cecar Renata yang tak terima saat Daren mengutarakan keinginannya. Daren menghela nafas kasar, lalu ia memutar badan dan menatap ke arah Renata yang berada tepat di belakangnya. "Ini bukan urusanmu, yang perlu kamu ingat. Apakah kamu ingin terus terjebak dalam pernikahan tanpa rasa cinta ini? apa kamu tidak merasa jika pernikahan ini hanya membuang waktu saja, tidak ingin kah kamu hidup bahagia dengan orang yang kita cintai?" jelas Daren yang melontar balik pertanyaan pada Renata. Renata tercengang, saat mendengar kata-kata suaminya yang menusuk hatinya. Sampai air matanya mengalir deras tak bisa dia tahan lagi. "Kamu bicara apa mas? aku ingin hidup menjadi pendamping hidupmu untuk selamanya sampai kita menua nanti, tidak kah itu cukup aku mengungkapkan perasaan padamu. Tolong tarik kata-kata mu mas. Aku akan memaafkannya asal kamu m
Keesokan harinya, Renata yang dari semalam menunggu Daren sampai ketiduran. Perlahan dia beranjak dari sofa melihat arah jarum jam yang sudah siang menunjukan angka sembilan. Membuat dia segera beranjak dari sofa, dan memastikan apakah suaminya itu semalam sudah pulang. Namun nihil setelah menyusuri kamar besar dan mewahnya terlihat kosong dalam suasana sepi. "Apakah mas Daren dari semalam tidak kembali?" Renata bertanya-tanya dalam hati sembari keluar kamar dan berjalan menuruni tangga, terlihat ibu mertuanya yang sudah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. "Renata! kamu sudah bangun nak? mana Daren suruh dia sarapan bareng," sapa nyuonya Hilda yang terlihat begitu bersemangat. Bukannya menjawab Renata yang masih berdiri mematung, hanya mengerucutkan bibir dengan rona wajah masamnya. Wanita paruh baya itu pun terheran. "Ada apa Renata, katakan pada ibu nak?" cecar Hilda perasaan yang cemas. Renata yang semakin tak tahan dengan permintaan Daren, tanpa ragu dia mengatakan s
Daren berjalan dengan langkah lebarnya, baru saja dia ingin menyusul Anna, namun seorang satpam yang bertugas di perusahaannya menghampiri dan memberitahukan. "Tuan, apa anda mencari cari nona Anna?" tanya pak satpam memastikan. "Kau benar, di mana dia sekarang?" jawab Daren yang berbalik tanya dengan nada ketus dan sikap dinginnya. Dengan nada yang terbata pria berseragam hitam putih itu pun mengatakan jika Anna sudah pergi dengan terburu-buru tanpa ingin menunggu lama persetujuan dari surat pengunduran dirinya. Sontak darah Daren semakin mendidih, saat mendengar perkataan karyawannya itu. Tanpa membuang waktu lagi lelaki berparas tampan itu pun segera meraih kunci mobil yang ada di tangan asistennya. "Tuan anda mau kemana?" Tanya Hans yang ikut cemas. Saat sang bos berjalan terburu-buru masuk ke dalam mobil. Namun sayang baru saja Daren menyalakan mesin mobil. Nyonya Hilda dan Renata yang baru saja sampai di perusahaan, segera menghampiri dan mengetuk pintu jendela mo
Disepanjang jalan, Anna hanya terdiam dengan tatapan mata kosongnya. Entah kenapa dia merasa sangat sedih mengingat dirinya yang sudah mengambil keputusan yang menurut dirinya sudah benar. "Maafkan aku tuan Daren, karena telah mengingkari perjanjian di antara kita berdua," lirih Anna dalam hati yang menahan kesedihan. Dirga yang dari tadi fokus menyetir, sesekali dia melihat ke arah Anna yang dari tadi hanya diam membisu tanpa bicara sepatah kata pun. Meskipun dia ragu tapi berusaha untuk memberanikan diri untuk melontarkan sebuah pertanyaan. "Anna, aku lihat dari tadi kamu terlihat sedih jangan bilang kamu menyesal karena sudah resign dari perusahaan ka Daren? sekarang apa rencanamu," Dirga begitu penasaran. Anna terbuyar dari lamunannya, saat mendengar pertanyaan yang di lontarkan oleh Dirga yang sebenarnya sulit untuk dia jawab. "Tidak tuan Dirga, ini adalah keputusan yang sudah aku ambil karena aku tidak mau jika nyonya Renata terus salah paham padaku," jawab Anna li
Daren terlihat sangat gelisah, saat dia masih dalam perjalanan mengejar Anna. bahkan beberapa kali lelaki itu terlihat terus menekan asistennya untuk mempercepat laju kecepatan mobilnya. "Cepat jalannya, apakah kamu tidak bisa menyetir!" bentak Daren dengan nada meninggi dan terlihat sangat gelisah. "Baik tuan, ini sudah sangat cepat," sahut sang asisten. Yang masih fokus melakukan tugasnya. Daren benar-benar terlihat cemas dan panik, berharap Anna tidak pergi sebelum dia datang. Tak hanya bisa menunggu sampai ke tempat tujuan, Daren meraih ponsel miliknya lalu berusaha untuk menghubungi wanita yang sangat dia cintai. Drrrt..drtt Panggilan telepon terus berbunyi, namun nihil tidak ada jawaban dari Anna, walaupun hanya sekedar pesan balasan. Membuat Daren semakin tak sabar dan lebih naik pitam. "Aakkkh, sial kenapa dia tidak mengangkat teleponku jangan bilang Anna benat-benar sudah pergi," Daren meracau dalam hati, perasaannya sama sekali tidak tenang. Lalu menekan kembali
Setelah Renata masih di ruangan UGD, semua orang terlihat sangat cemas dan panik. Setelah melihat insiden yang terjadi tadi. Tapi Nyonya Hanum yang masih belum mengerti dengan semua ucapan pelayan pribadinya. Membuat ia kembali memastikan apa maksud perkataanya tadi. "Bi Laksmi katakan padaku, maksud Bibi tadi apa mengatakan jika Renata adalah putrimu?" Nyonya Hanum menatap penuh selidik. Laksmi tertunduk malu, tapi setelah melihat putrinya yang saat ini sedang terpojok membuat ia tidak bisa lagi menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. "Nyonya benar, Renata adalah putriku yang sengaja aku bawa untuk nyonya rawat agar hidupnya bahagia, tapi yang aku liat malah sebaliknya," sesal Laksmi. "Astaga Bi, kenapa bibi sangat tega membiarkan Renata di panti asuhan saat itu? sekarang lihatlah Renata malah semakin susah untuk di atur karena obsesinya yang terlalu tinggi," Nyonya Hanum tak habis pikir. Mendengar perkataan mereka, tuan dan nyonya Wijaya segera menghampiri lalu menega
Daren dan kedua orang tuanya melirik ke arah sumber suara yang berada tepat di samping mereka, ibu Hanum dan bibi Laksmi merasa tak tega ketika melihat Renata yang berlutut memohon di bawah sana. "Nyonya Hanum, kebetulan anda kemari kami ingin membicarakan tentang putrimu yang sudah membuat kami malu dengan skandalnya." Hardik tuan Wijaya memberitahukan dengan nada tinggi. Nyonya Hanum dan bi Laksmi segera menghampiri dan berusaha untuk membantu Renata untuk bangun. "Renata bangunlah kamu nak," bujuk nyonya Hanum. Renata menggelengkan kepala, rasanya dia tidak ingin beranjak sebelum kedua mertuanya memberikan ampun padanya. "Nggak Bu, aku tidak mau, biarkan aku memohon pada mas Daren dan kedua orang tuanya," ucap Renata dalam tangisnya. Daren tersenyum getir, saat melihat dan mendengar kata-kata maaf dari Renata yang begitu enteng, seolah perbuatannya itu adalah hal kecil yang mudah untuk di maafkan. "Tidak! aku tidak sudi memaafkan wanita murahan sepertimu Renata mulai ma
"Aaakh tidak! kenapa semuanya jadi kacau seperti ini? dan kau tuan Andre! lihat ini semuanya gara-gara kamu," teriak Renata setengah frustasi sembari menjambak rambutnya. "Aku tidak tahu akan seperti ini Renata, jadi tenanglah. Kau bisa menjadi wanita ku untuk selamanya," bujuk Andrew menghampiri. Renata menepis kasar tangan pria itu, tak ingin kehilangan Daren. Ia segera memakai gaunnya kembali, lalu berusaha untuk mengejar dengan langkah yang tertatih-tatih. "Renata! tunggu!" panggil Andrew, yang masih di kerumuni oleh beberapa karyawan yang masih membidik kamera ke arahnya. Renata tidak menggubris panggilan Andrew. Baru saja keluar dari hotel, Kiki yang sudah lama menunggunya dari mobil segera menghampiri dan memanggil Renata. "Nyonya Renata! naiklah!" "Kiki, kau ternyata di sini?" Renata tak membuang waktu lagi, dengan cepat masuk ke dalam mobil dan meminta asistennya untuk mengejar Daren. Dengan patuh, Kiki melakukan sesuai perintah walaupun terpaksa harus mengebut.
Nyonya Wijaya benar-benar kecewa, sampai dia terduduk lemas di sofa dengan kepala yang sudah sangat sakit dan pusing. Karena bagaimana bisa menantu yang selalu dia idamkan malah ternyata hanya seorang wanita murahan yang sering bergonta-ganti seorang pria. "Renata! benar-benar kamu mengecewakan keluarga ini," Nyonya Wijaya sangat kesal, dengan berita yang mengegerkan hati ini membuat wajah keluarga Wijaya hilang di depan semua orang. "Tidak! Meskipun pernikahan Daren dan Renata sudah di sepakati oleh mas Wijaya, aku tetap tidak setuju dengan masalah ini," Nyonya Wijaya tak tahan lagi dengan berita yang tersebar. Ia segera menghubungi Daren dan juga suaminya tak lupa juga dengan Renata. Beberapa kali wanita paruh baya itu , terus menghubungi putra dan suaminya untuk membicarakan hal ini. Sementara Kiki asisten dari Renata sangat kaget ketika melihat skandal model yang ada dalam naungannya. "Astaga! gawat, bagaimana foto dan video nyonya Renata dan tuan Andrew bisa tersebar s
Kedua tangan Anna terkepal, netra coklatnya berkaca-kaca saat mendengar perkataan nyonya Wijaya. Yang begitu memandang rendah dirinya. Setelah berpikir dengan waktu yang cukup lama, Anna menarik nafas lalu dengan tegas kembali menolak tawaran uang dari wanita kaya itu. "Nyonya tidak usah repot-repot memberikan saya uang, jika itu keinginan anda maka aku akan melakukannya," Lirih Anna menangis. "Baguslah, kamu memang seharusnya tahu diri perbedaan kamu dan Daren sangatlah jauh berbeda, ambil saja cek itu tidak usah terlalu munafik!" ledek wanita paruh baya itu sembari memutar kedua mata malasnya. Lalu pergi begitu saja dengan sikap angkuh dan sombong. Bu Ratih yang tak sengaja mendengar obrolan mereka, membuat dia sangat kesal dan marah saat putri yang sangat sayangi di perlakukan rendah oleh orang lain. Dengan amarah yang menguasai dirinya, Bu Ratih memungut cek yang di berikan oleh nyonya Wijaya yang tergeletak di bawah lantai. "Tunggu!" panggil Bu Ratih. Langkah
Setelah Daren pergi untuk menyelesaikan semua masalah yang ada, Bu Ratih kembali mengingatkan putri kesayangannya atas apa yang baru saja dia dengarkan tadi. "Anna, jawab ibu. Apa kamu benar-benar akan menerima kembali pinangan tuan Daren? sudah jelas-jelas dia pria yang sudah memiliki pasangan," peringat Bu Ratih, berharap jika putrinya tidak salah mengambil keputusan dalam hidupnya. Anna menghela nafas panjang, lalu ia memutar badan dan menatap ibunya. Lalu menjawab. "Ya ibu, Anna sudah berpikir, jika calon bayi yang ada di dalam kandungan ini dia begitu membutuhkan figur seorang ayah, dan Anna juga yakin apa yang di katakan oleh tuan Daren membuat aku yakin," jelas Anna. Sebagai seorang ibu, ibu Ratih tidak bisa mencegah dia hanya berharap jika putrinya benar-benar bisa merasakan kebahagiaan. "Ya sudah, ibu hanya bisa berharap kamu dan tuan Daren segera menikah!" imbuh Bu Ratih. "Iya Bu," Anna tersenyum. Ketika ibu dan anak itu tengah berbicara serius tiba-tiba saj
"Tidak Anna! kamu sekarang tidak bisa lari dariku lagi, bagaimana pun juga calon bayi yang ada dalam kandunganmu adalah darah dagingku," tegas Daren meraih dan memegang kedua bahu mungil Anna. Kedua insan yang saling mencintai itu menatap satu sama lain dengan tatapan mendalam, terutama Anna rasanya air matanya sudah tak terbendung lagi. "Ku mohon, Anna. Jangan pernah lagi kamu pergi dariku, Renata dan aku hanya menikah dalam perjodohan, tidak ada rasa cinta dalam hatiku untuknya." jelas Daren sembari memeluk Anna dengan sangat erat. Bu Ratih yang hanya terpaku, entah kenapa dia melihat sebuah ketulusan di kedua manik mata Daren. Akan tetapi ada satu hal yang membuatnya sangat ragu dan di lema. "Tuan Daren sepertinya tulus pada Anna, tapi statusnya sebagai nyonya Renata hanya akan membawa masalah untuk Anna, bahkan semua orang mungkin akan mencemoohnya," batin Ratih. Setelah Anna dan Daren saling memeluk wanita paruh baya itu pun menghampiri dan mengingatkan keduanya. "Ann
Anna tercengang, dia sampai menutup mulut dengan kedua tangannya saat baru mengetahui semua kenyataan yang ada bahkan dia benar-benar tak habis pikir. "Tidak! itu tidak mungkin, bagaimana bisa mas Dirga begitu tega untuk mencelakai ku!" Dirga yang tak terima dengan cara Daren yang sengaja membuat Anna untuk menjauh dan membencinya. Pria itu pun segera menjelaskan. "Ana! apa yang di katakan oleh ka Daren itu bohong, aku tidak ingin mempunyai niat buruk padamu, dan aku benar-benar menyukaimu," Jelas Dirga beralibi. Mendengar perkataan Dirga yang berusaha untuk membela diri, membuat darah Daren mendidih. Dan tak kuasa lagi menahan diri untuk melayangkan kepalan tangannya tepat di wajah sepupunya itu. BLUGH! "Kau munafik sekali Dirga! Sudah jelas-jelas dirimu ingin mencelakai Anna dan calon bayinya." Bentak Daren yang sudah tak bisa lagi menahan emosi. Sampai Dirga terkena pukulan dan terjatuh tersungkur ke bawah lantai, tak terima di perlakukan kasar. Dirga berusaha mem